Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djoko Hartanto
"ABSTRAK
Suatu peninjauan akan dilakukan terhadap divais semikonductor dengan empat terminal yang disebut metal oxide semiconductor bipolar junction transistor (MOSBJT). Dalam divais ini karakteristik listriknya berdasarkan gabungan dua prinsip yaitu; prinsip metal oxide semiconductor (MOS) atau field effect transistor (FET) dan prinsip bipolar junction transistor (BJT). Pada keadaan forward active, struktur permukaan MOS bersifat terbalik (inverted) dan kontak listrik yang terdifusi (diffused electrical contact), drain, memberikan suatu mekanisme untuk reverse bias lapisan inversion terhadap base. Pembawa minoritas yang diinjeksikan ke base, berdifusi sepanjang base, dikumpulkan pada permukaan yang inverted dan selanjutnya mengalir ke terminal drain. Resistansi lapisan inversion menyebabkan suatu voltage drop sepanjang lapisan inversion dan akan mengurangi reverse bias dari inversion-layer/base junction. Voltage drop ini dapat mengurangi/membalik bias dari inversion-layer/base junction yang letaknya paling jauh dari kontak drain. Pengurangan/pembalikan bias ini akan mengurangi daerah active collector untuk mengumpulkan arus drain. Karena resistansi lapisan inversion tergantung dari tegangan gate dan base bias, maka kedua terminal kontrol (gate dan base) tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat listrik dari divais.
Berdasarkan prinsip dasar Hall effect dan magnetoresistance, pengaruh medan magnet terhadap divais ternyata mendominasi pengurangan/pembalikan bias dari inversion-layer/base junction, mempertahankan daerah active dan menyebabkan suatu penurunan besarnya resistansi lapisan inversion.
Empat set model divais untuk sensor medan magnet telah difabrikasi dengan bentuk geometri gate, yaitu; Large-L shape, Medium-L shape, Small-L shape dan T shape. Divais tersebut difabrikasi secara bersama, memakai suatu prosedur yang didisain untuk mengoptimalkan keandalan kedua komponen, FET dan BJT, dari MOSBJT.
Suatu kenaikan yang sangat berarti terjadi pada arus collector, telah diobservasi, selama divais dipengaruhi oleh medan magnet dengan tiga arah yang saling tegak lurus. Pengaruh ini berkaitan dengan resistansi lapisan inversion yang menyebabkan bertambahnya daerah active MOSBJT dalam keadaan forward active MOSBJT pada harga gate bias tertentu. Besarnya magnetosensitivity dari divais yang difabrikasi adalah; a) absolute magnetosensitivies S'As, besarnya antara 0.002 µA/G dan 0.200 µA/G, serta b) relative magnetosensitivies S'Rs, besarnya antara 0.03 %/G dan 15.67 %/G. Besarnya magnetosensitivity tersebut di atas merupakan keunggulan (excellent achievements) dari divais yang difabrikasi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1993
D4
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumardi Dahlan
"Penelitian mengenai Pengujian Model Nilai-Harapan Kepuasan terhadap Penggunaan Media bertujuan: untuk mengetahui deskripsi aspek demografi dari responden, motivasi menonton siaran televisi, frekuensi menonton siaran televisi, lama menonton siaran televisi, tingkat kepuasan yang diperoleh responden sebagai upaya pemenuhan kebutuhan mereka, serta untuk mengetahui apakah model yang dibangun sesuai dengan urutan tahapan model Nilai-Harapan Kepuasan terhadap Penggunaan Media.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metade survei dengan type penelitian explanatory. Populasi adalah remaja dan orang dewasa di perkotaan dan pedesaan. Lokasi penelitian ini adalah Kotamadya Makassar dan Kabupaten Soppeng, Propinsi Sulawesi Selatan. Penarikan sampel menggunakan "Multistage Stratified Random Sampling?, dengan jumlah sampel sebanyak 440 rumah tangga (400 orang). Data dianalisis dengan menggunakan Path Analysis for Window Release 8.01.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok responden antara usia dengan GS, Sedang antara usia dengan GO tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Antara pendidikan dengan GS maupun GO memperlihatkan pengaruh yang signifikan. Demikian pula antara penghasilan dengan GS maupun GO juga menunjukkan pengaruh yang signifikan.
Motivasi Remaja Desa dalam menonton siran televisi menunjukkan bahwa lebih
separuh dari jumlah mereka menganggap dimensi Pengetahuan penting, sedang
dimensi-dimensi lainnya dianggap biasa-biasa saja. Demikian pula motivasi Dewasa Desa, Remaja Kota, dan Dewasa Kota memperlihatkan bahwa sebagian besar dari mereka menganggap dimensi-dimensi yang diukur biasa-biasa saja bagi mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena mereka pada umumnya memiliki media alternatif untuk memenuhi kebutuhannya.
Frekuensi menonton siran televisi (hari/minggu) secara berurut dari tertinggi hingga terendah adalah: Remaja Desa, Dewasa Kota, Remaja Kota, dan Dewasa Desa. Sedang lama waktu menonton siran televisi (jam/hari) pada hari-hari biasa / hari-hari kerja berurut dari tertinggi sampai terendah adalah: Remaja Desa, Remaja Kota, Dewasa Desa, dan Dewasa Kota. Semua kelompok responden mengalami kenaikan jumlah jam menonton siaran televisi pada hari-hari libur, kecuali Remaja Desa.
Kepuasan yang diperoleh responden dalam menonton siaran televisi adalah: terdapat perbedaan yang nyata (signifikan) antara Remaja Desa dengan Remaja Kota, antara Remaja Desa dengan Dewasa Desa, antara Remaja Kota dengan Dewasa Kota, dan antara Dewasa Desa dengan Dewasa Kota.
Untuk pengujian model Nilai - Harapan Kepuasan terhadap Penggunaan Media, dalam penelitian ini dibangun 10 model. Dan pengolahan data secara statistik dengan menggunakan Path Analysis diperoleh hasil bahwa dari 10 model yang dibangun tersebut hanya 2 model yang sejalan dengan urutan tahapan model Nilai - Harapan yang diuji, yaitu: model Gabungan Kota dan Desa , dan model Gabungan Kota dan Desa yang memasukkan variabel demografi. Sedang 8 model lainnya merupakan model baru (tidak sejalan) dengan model Nilai - Harapan yang diuji. Delapan model tersebut adalah: model Perkotaan, model Pedesaan, model Perkotaan yang memasukkan variabel demografi, model Pedesaan yang memasukkan variabel demografi, model remaja Kota, model Dewasa Kota, model Remaja Desa, dan model Dewasa Desa.
Penerapan model Nilai - Harapan Kepuasan terhadap Penggunaan Media hanya dapat diterapkan bilamana sampel yang diambil terdiri atas remaja dan orang dewasa di perkotaan dan Pedesaan digabungkan. Dalam penelitian model tersebut hendaknya dimasukkan variabel selain media televisi, juga media elektronik lainnya, media cetak, media antar pribadi, dan media kelompok/organisasi, sebab kesemua jenis media tersebut sangat berpengaruh dalam GS, MC dan GO, yang sekaligus mempengaruhi tingkat ketepatan model yang dibangun (Goodness of Fit Index).

Testing on Models of Gratification Expectation-Value toward The Use of MediaThe research aimed to discover the description of demography aspects of respondent, motivation to watch television programs, the frequency, the duration, the gratification level obtained by respondent as an effort to meet their need, and the agreement between the models established and the sequence level of gratification Expectation-Value models of using of media.
The method applied was survey and the research type was explanatory. The population taken were adolescence and adult in towns and rural. The locations taken were Makassar municipality and Soppeng regency of South Sulawesi province. The sample was drawn by employing Multistage Stratified Random Sampling method. The amount of the sample was 400 households (400 peoples). Data was analyzed using Path Analysis for Windows 8.01.
Research result showed that there were significant different between respondent group on age and gratification sought (GS) whereas between age and gratification obtained (GO) did not indicate a significant effect. There was a significant effect between income and GS as well as GO.
Motivation of rural adolescence in watching television program showed that more than a half of the sample population considered the importance of knowledge dimension. Hence other dimensions were judged as usual and so rural adult, town adolescence, and town adult thought of that. This condition could be understood since they generally had alternative media to fulfill their need.
Sequentially from the highest to the lowest, the frequency to watch television (day/week) was rural adolescence, town adult, town adolescence, and rural adult. Whereas everyday duration to watch television (hour/day) was rural adolescence, town adolescence, rural adult, and town adult. All respondent groups experienced increasing the number of hour in watching television program on free days except rural adolescence.
Gratification obtained by respondent in watching television was significant difference between rural adolescence and town adolescence, rural adolescence and rural adult, town adolescence and adult adolescence, and rural adolescence and town adult.
For the testing on models of gratification expectation-value toward the use of media as much as 10 models was established. Based on statistic analysis using path analysis, it was only 2 models in accordance with the sequence of steps of expectation-value model tested namely joining model of town and rural, and that for town and rural involving demography variable. Another 8 models were new models that were not in accordance with the expectation-value model studied. They were town model, rural model, town model involving demography variable, rural model involving demography variable, town adolescence model, town adult model, rural adolescence model, and rural adult model.
The application of models of gratification expectation-value toward the use of media could only be addressed if the sample used covered the combination of adolescence and adult in town and rural. In the models studied, other variables besides television should be included such as electronic media, printed media, inter-personal media, and group or organization media as all the media are extremely influence to GS, MC, and GO as well as the level of model-accuracy built (Goodness of Fit Index).;Testing on Models of Gratification Expectation-Value toward The Use of MediaThe research aimed to discover the description of demography aspects of respondent, motivation to watch television programs, the frequency, the duration, the gratification level obtained by respondent as an effort to meet their need, and the agreement between the models established and the sequence level of gratification Expectation-Value models of using of media.
The method applied was survey and the research type was explanatory. The population taken were adolescence and adult in towns and rural. The locations taken were Makassar municipality and Soppeng regency of South Sulawesi province. The sample was drawn by employing Multistage Stratified Random Sampling method. The amount of the sample was 400 households (400 peoples). Data was analyzed using Path Analysis for Windows 8.01.
Research result showed that there were significant different between respondent group on age and gratification sought (GS) whereas between age and gratification obtained (GO) did not indicate a significant effect. There was a significant effect between income and GS as well as GO.
Motivation of rural adolescence in watching television program showed that more than a half of the sample population considered the importance of knowledge dimension. Hence other dimensions were judged as usual and so rural adult, town adolescence, and town adult thought of that. This condition could be understood since they generally had alternative media to fulfill their need.
Sequentially from the highest to the lowest, the frequency to watch television (day/week) was rural adolescence, town adult, town adolescence, and rural adult. Whereas everyday duration to watch television (hour/day) was rural adolescence, town adolescence, rural adult, and town adult. All respondent groups experienced increasing the number of hour in watching television program on free days except rural adolescence.
Gratification obtained by respondent in watching television was significant difference between rural adolescence and town adolescence, rural adolescence and rural adult, town adolescence and adult adolescence, and rural adolescence and town adult.
For the testing on models of gratification expectation-value toward the use of media as much as 10 models was established. Based on statistic analysis using path analysis, it was only 2 models in accordance with the sequence of steps of expectation-value model tested namely joining model of town and rural, and that for town and rural involving demography variable. Another 8 models were new models that were not in accordance with the expectation-value model studied. They were town model, rural model, town model involving demography variable, rural model involving demography variable, town adolescence model, town adult model, rural adolescence model, and rural adult model.
The application of models of gratification expectation-value toward the use of media could only be addressed if the sample used covered the combination of adolescence and adult in town and rural. In the models studied, other variables besides television should be included such as electronic media, printed media, inter-personal media, and group or organization media as all the media are extremely influence to GS, MC, and GO as well as the level of model-accuracy built (Goodness of Fit Index)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D118
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arintowati Hartono Handojo
"ABSTRAK
Homoseksualitas yang sudah ada sejak jaman peradaban manusia dan bersifat universal, merupakan salah satu realitas sosial yang sampai saat ini masih dianggap misterius karena begitu banyak aspek-aspek di dalamnya yang belum terkuak secara tuntas. Sebagai akibatnya, realitas sosial ini mengundang minat para pakar ilmu-ilmu sosial untuk diteliti lebih lanjut secara lebih mendalam. Sebagai suatu realitas social, Homoseksualitas muncul akibat adanya interaksi terus menerus antara manusia (baik sebagai individu ataupun sebagai kelompok) dengan masyarakatnya yang diungkapkan secara sosial melalui berbagai tindakan-tindakan sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa homoseksualitas terbentuk dari pengalaman-pengalaman sosial individu, atau karena interaksinya dengan lingkungan.
Proses terbentuknya homoseksualitas sebagai suatu realitas sosial menjadi sangat menarik untuk dikaji, karena melibatkan aspek-aspek sosial yang berhubungan secara dialektis dalam interaksi sosial antara individu dengan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman. Di satu pihak individu dengan pradisposisi pribadi yang mempengaruhi pandangan, nilai, sikap dan perilakunya terhadap homoseksualitas, sedangkan di pihak lain masyarakat sebagai produk manusia akan ?memaksa? individu tunduk pada nilai-nilai dan norma-norma bersama. Pradisposisi pribadi sendiri merupakan hasil interaksi antara unsur-unsur simbolis yakni: mind, self dan society sebagaimana yang dikemukakan oleh Mead dan Blumer dalam teori interaksionisme simboliknya. Masalah terlihat semakin kompleks sekaligus makin lebih menarik lagi, ketika Adoni dan Mane memasukkan unsur media sebagai unsur yang sangat berperan dalam proses pembentukan realitas sosial.
Keseluruhan unsur dalam interaksi sosial yang demikian kompleks dalam mengonstruksikan realitas tersebut, telah demikian mengundang minat penulis untuk mengangkatnya sebagai permasalahan pokok dalam penelitian ini, yakni: pertama, bagaimana sebenamya proses terbentuknya realitas homoseksualitas pada kelompok ?gay? sebagai kelompok pelaku; kedua, faktor dominan apa saja yang mempengaruhi konstruksi realitas sosial homoseksualitas pada kelompok `gay' tersebut; ketiga, bagaimana peran dan apakah `kekuatan' media yang digunakan oleh kelompok `gay' dalam melakukan aktivitas komunikasi bisa mempengaruhi konstruksi realitas sosial tersebut.
Penelitian lapangan yang keseluruhannya dilaksanakan di Jakarta berhasil mengumpulkan 10 orang informan sebagai mitra peneliti dengan cara `bola salju' (snowballing). Kesepuluh mitra peneliti tersebut semuanya gay dan telah mewakili kelima kategori `gay' yang ada secara tidak proporsional dalam jumlah, yakni `gay' murni, tidak murni, transeksual, transvestit dan biseksual. Data yang dibutuhkan diperoleh melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, dengan menggunakan pedoman wawancara tidak berstruktur yang relatif hanya digunakan sebagai `treatment' untuk menggali data.
Paradigma Konstruktivisme telah ditetapkan sebagai paradigma landasan yang menurut peneliti paling tepat untuk menganalisis temuan-temuan tentang proses pembentukan realitas sosial. Sebagaimana diketahui, dasar keyakinan paradigma ini secara ontologi adalah relativisme, dimana realitas adalah sesuatu yang terdiri dari banyak bagian dan berada dalam pikiran-pikiran manusia. Relativisme adalah kunci untuk keterbukaan dan keberlangsungan konstruksi-konstruksi yang lebih canggih. Sedangkan secara epistemology, konstruktivisme mengambil sisi subyektivitas dalam arti peneliti dan yang diteliti dilebur ke dalam suatu entitas tunggal, sehingga penemuan secara keseluruhan merupakan ciptaan dari proses interaksi antara keduanya. Kemudian secara metodologi yakni heurmenetik/ dialektik, dimana konstruksi-konstruksi individual diperoleh dan disaring secara heurmenetik serta dibandingkan atau dibedakan secara dialektik, dengan tujuan untuk mengembangkan satu konstruksi dalam mana terdapat konsensus yang substansial.
Dengan menggunakan paradigma konstruktivisme sebagai paradigma landasan, maka analisis dalam disertasi ini bersifat kualitatif dan prosesual.
Unit analisanya adalah action yakni aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh para `gay', sedangkan unit pengamatannya adalah kelompok `gay' itu sendiri dengan mitra peneliti kunci yang ditetapkan dan dilihat sebagai agenagen yang signifikan. Dengan demikian unit analisis dalam penelitian ini lebih didasarkan pada tindakan-tindakan dan keterwakilan individu-individu, yang dianggap memahami permasalahan penelitian. Oleh karena itulah maka dalam penelitian dengan perspektif semacam ini, otentisitas dan refleksivitas lebih diutamakan. Temuan-temuannya merupakan refleksi yang otentik dari realitas yang dihayati oleh pelaku.
Beberapa hasil penelitian yang cukup menarik dalam disertasi ini antara lain adalah:
1. Bahwa realitas mengenai homoseksualitas di kalangan kelompok `gay' bukanlah realitas yang statis, melainkan merupakan sesuatu yang dinamis dan dialektis. Interaksi di antara mereka menghasilkan proses intersubyektivitas yang kemudian menginterpretasikan kembali realitas obyektif yang sebetulnya telah diintemalisasi pada waktu mereka masih kecil atau remaja. Awalnya homoseksualitas dipahami sebagai aib dan terlarang sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai agama, keluarga ataupun sekolah. Namun kemudian, interaksi telah membuat realitas tersebut disesuaikan secara timbal balik di dalam mana terjadi negosiasi, kerjasama atau bahkan konflik. Melalui interaksi dengan teman-teman sesama `gay', mereka dapat melakukan eksternalisasi dengan me-reinterpretasikan sebagian realitas obyektif yang tadinya kurang menguntungkan bagi mereka.
Jadi walaupun dalam proses pengonstruksiannya sama antara kelompok `gay' sebagai pelaku dengan masyarakat non `gay', yakni melalui interaksi sosial yang bersifat dialektis secara terus menerus, namun homoseksualitas telah dikonstruksikan dan dilihat secara berbeda, dalam arti apa yang dipahami sebagai homoseksualitas oleh kelompok `gay' tidak sama dengan apa yang dipahami oleh kelompok non `gay';
2. Bahwa lepas dari upaya resistensi kelompok `gay' terhadap labeling mereka sebagai menyimpang (devian), kelompok ini tetap terjebak dengan proses pendalaman diferensiasi antara `yang normal' dan `tidak normal'. Interaksi yang berlebihan di antara mereka, pandangan in dan out group yang semakin dalam, serta menguatnya identitas kelompok justru semakin mendorong kelompok `gay' menerima labeling yang diberikan oleh masyarakat di luar mereka. Dengan kata lain, eksternalisasi yang diiakukan oleh kelompok `gay' sesungguhnya memiliki pola yang sama dengan realitas obyektif yang dieksternalisasi masyarakat umum, yakni "normal' dan "tidak normal".
3. Bahwa media massa bukan faktor eksternal yang determinan dalam menentukan realitas obyektif di kelompok `gay'. Media massa cenderung menjadi bahan interpretasi atau bahkan titik tolak resistensi. Realitas media yang mereka anggap cenderung memojokkan mereka dipahami sebagai realitas yang ideologis, yang tidak melihat kelompok `gay' secara obyektif. Walaupun media massa diakui memiliki pengaruh yang besar, namun media-media tersebut dianggap tidak cukup mampu merefleksikan homoseksualitas secara utuh.
4. Bahwa kelompok `gay' cenderung memiliki kohesivitas yang tinggi, meski tidak dilandasi oleh struktur organisasi yang formal. Sekali lagi, posisi kelompok `gay' yang minor serta intensitas komunikasi interpersonal menjadi salah satu kondisi yang membangun kohesitas internal mereka.
5. Bahwa keberadaan penyakit HIV/AIDS ternyata tidak terlalu mempengaruhi persepsi mereka terhadap realitas sosial homoseksualitas. Keberadaan penyakit tersebut hanya mampu membuat kelompok `gay' lebih waspada dan lebih selektif dalam memilih pasangan, namun tidak membuat mereka berkeinginan untuk mengubah perilaku dan orientasi seksualnya.
6. Bahwa walaupun sebagai kelompok kesadaran total manusia mengenai realitas yang diperoleh indera memiliki basis yang sama, namun belum tentu ia akan memberikan tanggapan atau mempersepsikan hal yang sama pula terhadap homoseksualitas sebagai suatu realitas sosial. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara kelompok `gay' sebagai pelaku dengan kelompok non `gay' mencakup karakteristik, sikap, gaya hidup, selera dan perilaku seksualnya. Dalam proses interaksi sosial pada kelompok `gay', unsur self dalam hal ini sisi I nya terlihat paling mengemuka dibandingkan unsur `mind' dan `society';
Secara keseluruhan dari hasil studi yang oleh penulis dinilai telah cukup menjawab pertanyaan pokok penelitian, dapat dikemukakan bahwa ternyata konstruksi kelompok 'gay' sebagai pelaku, berbeda dengan konstruksi kelompok non `gay' berkenaan dengan realitas sosial homoseksualitas. Aktivitas komunikasi utamanya yang menggunakan media massa dalam interaksi mereka, ternyata tidak terlalu ikut mengembangkan perubahan cara berpikir maupun persepsi mereka terhadap homoseksualitas. Unsur kepentingan dan kedekatan mitra peneliti dengan realitas tersebut, telah membentuk hangman realitas yang berbeda."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D499
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"Dalam situasi transisi politik tahun 1999, munculnya kebebasan berpolitik yang ditandai dengan berdirinya banyak partai, di satu sisi, memicu munculnya kembali aliran-aliran ideologi partai seperti ketika Indonesia menganut sistem liberal 1955-1959. Kebebasan pers yang hampir tanpa batas pasca reformasi, di sisi lain, menghidupkan lagi "panggilan sejarah" media massa Indonesia yang telah memasuki era industri.
Pertautan antara keduanya --pers dan partai politik--dalam situasi transisional itu tentu menjadi sangat khas. Bagi pers, berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam meliput partai partai politik : lebih berorientasi pada semangat ideologis, idealis, politik ataukah lebih mementingkan ekonomi ---hal-hal mana yang ingin ditemukan dalam penelitian ini.
Dengan menggunakan analisis wacana kritis sebagai metode pembacaan terhadap berita-berita sembilan parpol selama kampanye Pemilu 1999, ternyata 10 koran yang diteliti menunjukkan pencitraan dan orientasi pemberitaan yang berbedabeda di antara mereka. Mereka memanfaatkan tanda-tanda Bahasa (membangun wacana) dalam mengembangkan pencitraan tersebut tempat dimana motif yang mereka miliki bersembunyi : motif ideologis, idealis, politis dan ekonomi tadi.
Untuk pengembangan politik yang sehat (demokratis) pola pengkosntruksian parpol yang terlalu berorientasi pada kepentingan kelompok sealiran saja maupun yang sangat mengutamakan nilai jual berita, jelas bukan isyarat yang balk Hal ini seyogyanya menjadi bahan pertimbangan bagi pers Indonesia untuk peliputan-peliputan parpol di masa yang akan datang. Untuk para pengkritisi pers, penelitian seperti ini dapat diperkaya untuk memastikan dijalankannya tanggung-jawab sosial oleh pers atau pelaku komunikasi lainnya (pangiklan, humas, politisi, dan sebagainya).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D516
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Djoko Basuki
"Dalam rangka pencapaian visi dan misi yang diemban dalam PROPENAS tahun 2000-2004 di bidang hukum, penulis melakukan penelitian di bidang hukum khususnya dalam bidang pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawinan kedua orang tua yang melakukan perkawinan campuran. Karena masalah pemeliharaan anak dalam disertasi ini termasuk dalam bidang Hukum Perdata Internasional, nmka dianggap perlu untuk mengadakan penelitian yang berkaitan pula dengan masalah-masalah Hukum Perdata Internasional. Terbatasnya ketentuan perundang-undangan Serta literatur yang tersedia di Indonesia mengenai masalah pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawanan campuran kedua orang tua, termasuk masalah ?child abduction", penulis mencoba melengkapinya dengan cara menelusuri ketentuan-ketentuan perundang-undangan baik nasional maupun internasional termasuk Konvensi Internasional terkait Serta putusan-putusan pengadilan di negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, Malaysia dan Indonesia beberapa tahun terakhir, baik melalui penelusuran literatur maupun dengan Cara mangakses pada internet.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dan pengaturan pemeliharaan anak (child custody), kekuasaan orang tua dan batas seseorang dianggap sebagai anak (batas kedewasaan) yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan luar negeri (Belanda, Inggris dan Malaysia) termasuk ketentuan- ketentuan yang tercantum di dalam Konvensi-Konvensi Internasional terkait, dan membandingkannya dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang pemeliharaan anak yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui seberapa jauh hak-hak anak di Indonesia, Belanda, Inggris dan Malaysia telah dilindungi sebagai akibat putusnya perkawinan antara kedua orang tua yang berbeda kewarganegaraan dalam hal status kewarganegaraannya serta adanya diskriminasi dan ketidak adilan gender terhadap perempuan.
3. Meneliti dan menganalisa ketentuan-ketentuan tentang hukum yang berlaku terhadap pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawinan campuran kedua orang tua, berdasarkan Konvensi-Konvensi Den Haag terkait (1902,1961,l980 dan 1996) baik di Indonesia maupun di luar negeri.
4. Meneliti, menganalisa dan membandingkan pertimbangan-pertimbangan hukum Hakim dalam keputusan-keputusannya di bidang pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawinan kedua orang tua yang berbeda kewarganegaraan, termasuk di bidang "international child abduction" yang diputus oleh pengadilan-pengadilan di Inggris, Amerika Serikat, Belanda, Australia, Serta beberapa negara Islam tertentu seperti Arab Saudi, United Emirat Arab (khusus mengenai masalah "international child abduction" dan Indonesia.
Hasil penelitian dan analisa tersebut akan dijadikan masukan untuk mengisi kekosongan hukum dengan membentuk perundang-undangan Indonesia di bidang pemeliharaan anak pada umumnya dan pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya perkawinan campuran kedua orang tua pada khususnya, Serta untuk mengetahui sudah waktunyakah Indonesia turut serta di dalam Konvensi 1980 tentang ?International Child Abduction".
Disertasi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, interdisipliner dalam lingkup Hukum Perdata Internasional, dan yuridis empiris, yang bersifat kualitatif dan komparatif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
D1105
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwarto
"Penelitian sistem komunikasi di dalam organisasi di lingkungan budaya Jawa di PT Gopek Cipta Utama, Slawi, Kabupaten Tegal, Propinsi Jawa Tengah, yang didirikan oleh sebuah keluarga peranakan Cina/Tionghoa, ini dilakukan pada tahun 2001. Penelitian difokuskan pada peran nilai budaya Jawa dan budaya bisnis Cina/Tionghoa peranakan, serta teori organisasi. Penelitian menggunakan pendekatan ilmu komunikasi, serta pendekatan sistem, sosiologi dan antropologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem komunikasi di dalam organisasi itu memiliki pola-pola: a) komunikasi selalu dilakukan secara tertulis, dan terdokumentasi; b) komunikasi menggunakan media tulis tersebut selalu diikuti dengan konfirmasi lisan; dan c) dalam komunikasi lisan dilakukan dengan sopan santun yang longgar, menurut kacamata budaya Jawa. Di dalam sistem komunikasi informal, nampak adanya d) pola komunikasi horisontal di semua tingkatan, baik manajemen, pelaksana, maupun pekerja, yang mengikuti pola hubungan antar unit dalam proses produksi,. yang mencerminkan nilai kepastian pesan komunikasi, dan nilai kesetaraan antar aktor komunikasi.
Fenomena itu menunjukkan bahwa terbentuknya sistem komunikasi di dalam organisasi PT Gopek Cipta Utama itu diakibatkan oleh interaksi yang panjang dari perilaku para aktor komunikasi yang masing-masing dipandu oleh nilai-nilai yang dipegangnya. interplay antar nilai budaya itu menghasilkan nilai penghindaran konflik sebagai equilibriumnya, berupa budaya organisasi menghindari konflik dan tetap untung, dan diimplementasikan di dalam sistem komunikasi di dalam organisasi tersebut sebagai nilai kepastian pesan komunikasi, dan nilai kesetaraan antar aktor komunikasi. Secara religi, yang membentuk nilai penghindaran konflik itu, adalah ajaran Islam abangan dalam masyarakat Jawa, yaitu Tantularisme yang mengajak manusia untuk hidup bersatu di dalam keanekaragaman (bhineka tunggal ika) meskipun tidak ada kebenaran yang mendua (tan liana dharma rnangrwa), dan pemahaman tentang asal dan tujuan manusia (sangkan paraning durnadi), yang mengarah ke toleransi tanpa batas. Sedangkan dalam ajaran Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme, antara lain penghindaran dari penderitaan (samsara), toleransi, belaskasihan, kejujuran, kesopanan dan kepantasan, serta mengikuti jalan alam (tao) dengan memelihara harmoni dengan alam.
Pada tataran konsep, budaya Jawa dan Cina memiliki dasar yang berbeda, dan tampak bertolak belakang, tetapi menghasilkan nilai/sikap yang sama, yaitu penghindaran konflik. Dalam budaya Jawa konsep kekuasaan didasarkan pada penguasaan sumberdaya politik yang cenderung menggunakan kekerasan, sedangkan dalam budaya Cina didasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang cenderung anti kekerasan. Keduanya mengajarkan nilai penghindaran konflik dengan latar belakang yang berbeda. Pada konsep sosial atau hubungan antar manusia, budaya Jawa menempatkan kehidupan sosial masyarakat sebagai acuan utama, sebaliknya dalam budaya Cina acuan utamanya ialah keluarga (familiisme). Konsep kemasyarakatan Jawa mengajarkan nilai penghindaran konflik dalam kerangka memelihara harmoni sosial di masyarakat, sedangkan budaya Cina dalam kerangka memelihara hubungan keluarga dalam arti luas, serta konsep perang Sun Tzu, yang mengajarkan penghindaran. konflik berdasar kehati-hatian dan keseksamaan perencanaan. Teori organisasi memiliki konsep kontingensi konflik untuk mengelola konflik di dalam organisasi. Interaksi dan kedua set nilai dalam organisasi PT Gopek Cipta Utama itu mencapai equilibrium pada mengkristalnya nilai penghindaran konflik, dan diimplementasikan dalam sistem komunikasinya dalam bentuk kepastian pesan komunikasi, dan kesetaraan aktor komunikasi. Kepastian pesan banyak diilhami oleh nilai perbaikan nama-nama dalam Konfusianisme, sedang nilai kesetaraan antar aktor komunikasi cenderung dibentuk oleh nilai-nilai yang ada pada konsep kekuasaan, baik dari budaya Jawa, Budaya Cina, maupun teori organisasi.
Dari penelitian ini nampak bahwa aktor-aktor komunikasi memang bagian dari komunikasi itu sendiri, yang partisipasinya memiliki peran yang besar dalam pembentukan nilai-nilai bersama. Dalam penelitian komunikasi di dalam organisasi, kernungkinan kits bisa melakukan penelitian percobaan dalam usaha meningkatkan sinergi organisasi, melalui rekayasa budaya komunikasi tertentu. Pada perencana organisasi dianjurkan agar jangan terlalu sering merubah struktur organisasi dengan maksud agar energi pemeliharaan kelompok (instrinsic energy) dapat diminimalkan dan sinergi yang optimum bisa dicapai. organisasi atau kelompok memerlukan waktu panjang untuk membentuk nilai-nilai bersamanya.

Communication System in Organization in Javanese Cultural Environment. (The Role of Values in Javanese Culture, Chinese Descendant Business Culture, and Modem Organization on the Shaping of Communication System in the Organization of PT Gopek Cipta Utama in Slawi, Central Java, Indonesia)Research on communication system in an organization in Javanese cultural environment was carried out in PT Gopek Cipta Utama in Slawi, Tegal district, Central Java Province, Indonesia in the year of 2001. Since the organization is managed by a family of Chinese descendant, the research focused on the roles of values in Javanese culture and Chinese business culture, and modem organization. The research conducted in communication science approach and supported by system, sociology and anthropology perspectives.
The results of the research showing that the communication system of the organization have certain patterns, i.e.: a) the communications always practiced by written materials and be documented, b) the communication practiced by written materials are followed by spoken confirmations, and c) in the spoken communications conducted in the loosely manner in the view of Javanese culture. In the informal communication system, there is a d) horizontal communication pattern in all levels, both of management, supervisor, and employee, following the pattern of inter-unit connection in the production process. The patterns projecting the value of communication message assurance and communication actors equality.
The phenomena showing that the shaping of communication system in the organization was the consequences of the long interaction of behavior of the communication actors in the. frame of the their values, respectively. The interplay of the cultures resulting the value of conflict avoidance and profit making in the organization culture, and implemented in its communication system as the value of communication message assurance and communication actors equality_ Discussion on the values playing in the shaping conflict avoidance value, start with value in the highest level, of religions and theory. Religion shaping the basic values in Javanese culture is the abangan Islamic tenet of Tantularism, directing human being to life in unity in differsity (bhineka tunggal ike) although the truth is one (tan hang dharma mangrwa), and comprehension of origin and destination of man (sangkan paraning manungsa),--having a- trend to be infinite tolerant-to the differentiations. in the Chinese culture, the basic values are from Budhism, Confucianism, and Taoism tenets, i.e. avoidance from anguish (samsara), tolerance, mercy, honesty, good manner and properness, and following the way of nature (tao) by harmony with the nature maintenance.
In the concept level, Javanese and Chinese cultures having the different base, and seem opposite each other, but resulting the same attitude/value of conflict avoidance. In the Javanese culture power concept based on authorizing of political resources that tend to apply violence, while in Chinese culture based on knowledge mastering that tend to prevent violence. The two concepts tenet conflict avoidance value with different background. In the social or human relationship concept, the Javanese culture placed social life in the prime reference, oppositely the Chinese culture placed family in the prime reference. The Javanese social concept tenet conflict avoidance in the frame of social harmony maintenance, while the Chinese culture in the frame of good relationship maintenance of family widely views, and Sun Tzu war concept tenet for conflict avoidance based on carefulness and accuracy of planning. The organization theory it self, have a conflict contingency concept for managing conflict in organization. The interaction of the two sets of value in PT Gopek Cipta Utama organization, gaining equilibrium in the crystallization on conflict avoidance value, and implemented in the communication system by the values of communication message assurance, and communication actors equality. Communication message assurance seem inspired by the value of names accuracy for everything for accuracy in it's handling. While value of communication actors equality rather to be shaped by values in power concept, both from Javanese and Chinese cultures, and theory of organization.
The research uncover phenomena that individuals, as communication actors is a part of the communication it self, and his or her participation shaping an equilibrium, the values shared together, by a long time process. The research result may be used as a reference for other research in the attempt for increasing the organization synergy, such as by a certain cultural engineering. To the organization planner, the research results propose for not too frequent altering organization structure in order to minimizing the allocation of intrinsic energy for optimizing synergy of organization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D358
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Billy Sarwono
"Penelitian ini menggambarkan bahwa resistensi perempuan kelas menengah di Jabotabek terhadap terhadap patriarkisme, masih lemah. Hal itu terlihat dari bagaimana kaum perempuan tersebut memberi makna hal-hal yang terkait dengan kondisi internal dan identitas perempuan Indonesia yang berkecimpung dalam dunia politik melalui pemberitaan di media massa.
Penelitian yang menggunakan paradigma kritis dan perspektif feminis ini dilakukan dengan tujuan utama untuk memahami bagaimana ibu rumah tangga kelas menengah di Jabotabek memberikan pemaknaan terhadap karir politik Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia dan untuk mengetahui tipe-tipe ibu rumah tangga kelas menengah yang mempunyai pernaknaan dominan, negosiasi, ataupun oposisi. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan ibu rumah tangga yang berasal dari kelas menengah di wilayah Jabotabek. Data sekunder diperoleh melalui analisis wacana Van Dijk terhadap surat kabar (Harian Kompas) tentang perjalanan politik Megawati Soekamoputri.
Dengan menggunakan kerangka pemikiran dari kajian budaya (cultural studies), terutama pemikiran dari Stuart Hall mengenai encoding dan decoding (McCullagh, 2002)., penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan sumbangan teoritis pada bidang kajian media dan gender di Indonesia. Hal itu disebabkan, selama ini kajian media dan gender yang melihat dari aspek resepsi khalayak media berjenis kelamin perempuan relatif masih belum banyak dilakukan.
Latar belakang dilakukannya penelitian ini, karena masih adanya pandangan yang kuat di masyarakat yang menempatkan kaum perempuan hanya untuk mengurusi suami, anak-anak, memasak, dan aktivitas lain yang berada di lingkungan keluarga. Aktivitas perempuan di luar lingkungan keluarga tersebut, misalnya di lingkungan dunia politik, untuk kondisi negara berkembang semacam Indonesia ini adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dibayangkan. Domain politik adalah wilayah laki-laki. Tabu bagi perempuan untuk memasuki domain. Seandainya kaum perempuan berada di dunia politik, maka keberadaan mereka lebih banyak dilihat dari aspek penampilan dan keluarga mereka saja. Keterkaitan politikus perempuan dengan berbagai isu aktual kurang mendapat perhatian serius dari media massa. Bahkan, untuk bisa terlibat secara intens dalam domain politik itu, politisi perempuan harus menstransformasikan dirinya merrjadi ?maskulin? sebagaimana politisi laki-laki.
Sementara itu, kaum perempuan itu sendiri dalam posisinya sebagai khalayak media, digambarkan lebih banyak menikmati isi media yang bersifat hiburan saja. Segala informasi yang terkait dengan persoalan konkrit semacam politik, jauh dari eksposure terhadap mereka. Dalam berbagai kajian resepsi ditunjukkan bagaimana dunia perempuan lebih banyak terkait dengan tokoh-tokoh imajinatif belaka dibanding dengan tokoh-tokoh yang konkrit (McRobbie, 1991; Jones dan Jones, 1995; dan Radway, 1995). Menjadi menarik kemudian untuk melihat bagaimana kaum perempuan memberikan makna terhadap tokoh-tokoh perempuan kongkrit dalam posisi mereka sebagai politikus melalui berbagai pemberitaan media massa yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan adanya resistensi pemaknaan perempuan terhadap hal-hal yang terkait dengan kondisi eksternal Megawati dalam posisinya sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya negotiated reading dan critique of silence yang ditunjukkan oleh informan yang ada. Artinya, terhadap berbagai informasi di media massa yang terkait dengan posisi Megawati sebagai presiden, pandangan informan tidak harus setuju sebagaimana ditunjukkan oleh media massa. Hal itu terlihat pada sikap mereka terhadap tanggung jawab Megawati dalam urusan rumah tangganya.
Resistensi itu juga muncul dalam melihat aspek internal Megawati yang terkait dengan intelektualitas dan emosionalitasnya. Meskipun, mayoritas informan setuju dengan apa yang disampaikan oleh media massa mengenai intelektualitas dan emosionalitas Megawati, akan tetapi ada juga informan yang mempunyai pandangan sama sekali berbeda dengan apa yang muncul di media massa. Artinya, tidak semua perempuan setuju dengan apa yang disampaikan oleh media massa terkait dengan persoalan kemampuan intelektual dan tingkat emosionalitas Megawati sebagai politikus, wakil presiden, maupun presiden.
Tidak adanya resistensi terhadap identitas Megawati sebagai seorang perempuan yang berhasil menjadi politikus menunjukkan bagaimana kekuatan media sebagai instrumen ideologi patriarkisme mempengaruhi pandangan keseluruhan informan. Semua informan sepaham dengan media dalam menghilangkan eksistensi Megawati sebagai seorang perempuan yang berhasil di sektor publik, khususnya domain politik. Mereka sepaham dengan media, bahwa keberhasilan Megawati dalam karir politiknya bukanlah disebabkan oleh kemampuan dirinya sebagai seorang politikus, akan tetapi dikarenakan ia adalah anak Soekarno."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D579
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D587
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Hamdan
"Indonesia di era Orde Baru mengalami pengekangan dari pemerintah otoriter. Pers Indonesia yang hidup di dalamnya mengalami pengendalian ketat pada segi politik, dan mendapat perlakuan bail( secara ekonomi. Keadaan itu melahirkan pers yang berdaya secara ekonomi namun menurun secara politik.
Krisis ekonomi dan gerakan perlawanan yang dipelopori mahasiswa meruntuhkan kekuasaan Orde Baru. Seraya Indonesia memasuki masa transisi yang tidak pasti. Nilai-nilai lama telah runtuh dan kehilangan basis moralnya akan tetapi tatanan baru belum terbentuk. Dalam keadaan demikian pers Indonesia beroperasi dan menjalankan praktek jumalismenya. Pemerintah pasca-Orde Baru menghadirkan sistem politik multipartai dan meliberalisasi kehidupan pers dengan melikuidasi Departemen Penerangan, organ pemerintah pengendali pers. Pers kini merasakan iklim yang longgar yang menumbuhkan harapan.
Pers hidup tidak dalam vacum, perubahan sosial akan akan mempengaruhinya, sebaliknya pens akan mempengaruhi Iingkungan sosialnya. Berdasarkan tat-Ai konstruksi sosial tentang realitas, studi ini melihat gejala itu dengan meneliti berita talon gubernur dalam masa pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2003 pada Pikiran Rakyat, yang pada masa Orde Baru dikenal pro Golkar, dan Metro Bandung, yang baru terbit pascagerakan reformasi yang diperkirakan pro PDI-P karena Grup Kompas sebagai pemilik secara historis terkait dengan PDI-P.
Teori konstruksi sosial tentang realitas dari Berger dan Luckmann, yang telah disesuaikan untuk meneliti isi media sebagai realitas simbolik oleh Adoni dan Manna, dioperasionalkan menggunakan analisis framing untuk melihat proses konstruksi berita sebagai isi media.
Hasi l studi ini memperlihatkan ada perbedaan pembingkaian (framing) pada kedua stoat kabar mengenai realitas politik (talon gubernur). Bagi Pikiran Rakyat talon gubernur dibingkai sebagai masalah kedaerahan. Bingkai ini terlihat dari mengemukanya isu-isu mengenai rekrutmen calon pemimpin hares dan putra daerah (Sunda), serta kriteria pemimpin (calon gubernur) yang mengenal dan dikenal di Jawa Barat.
Sedangkan pads Metro Bandung, realitas politik (calon gubernur) dibingkai sebagai calon pemimpin yang hares memilila etika politik. Bingkai ini terlihat mengedepan pads pemberitaan isu-isu mengenai kasus dana kaveling (dugaan korupsi oleh anggota DPRD dan pejabat Pemda Jawa Barat), penggunaan taktik politik yang tidak etis, serta isu politik uang.
Strategi framing media dalam meliput realitas calon gubernur tersebut terkait dengan aspek internal dan eksternal media. Pada Pikiran rakyat bingkai kedaerahan yang dikembangkan bukan semata ekspresi simbolik dari etnisitas melainkan berjalin dengan kepentingan ekonomi untuk meraih dan mempertahankan posisinya sebagai market leader di Jawa Barat, yang memosisikan dirinya sebagai bacaan utama orang Sunda, penduduk mayoritas di Jawa Barat yang senantiasa mengklaim paling tabu Jawa Barat.
Strategi pembingkaian (framing) Metro Bandung dalam berita ealon gubernur diwarnai oleh keberadaanya sebagai pendatang baru di pasar pers Jawa Barat yang berusaha agar diterima sebagai bahan bacaan lain untuk orang Jawa Barat dengan slogan the Real Local Paper, Metro Bandung tampak lebih tajam dalam mengungkapkan berita-berita mengenai pelangaran etika politik oleh calon gubemur, beda dengan Pikiran Rakyat yang cenderung lebih santun. Posisinya sebagai surat kabar yang ingin senantiasa menyaj ikan informasi yang mikro kepada pembaca menyebabkan Metro Bandung tampak labih tajam atau keras dari Pikiran Rakyat Pikiran Rakyat yang lebih santun.
Metro Bandung tidak mengidentifikasi diri dengan isu kedaerahan untuk diferensi dengan pesaing, karena Maim kedaerahan akan tampak tidak genuine baginya karena Metro Bandung dimiliki oleh bukan orang Jawa Barat. Keadaan demikian disebabkan pula oleh keberadaan "jaringan" berita oleh Persda yang dimiliki induk usaha, sehingga Metro Bandung lebih menasionai. Dugaan kedua surat kabar akan mengabdi kepentingan partai terkait asal talon gubernur tidak terlihat kuat, karena pada kedua surat kabar hadir berita-berita yang dapat menguntungkan atau merugikan kedua kandidat.
Pikiran Rakyat memperlihatkan diri sebagai lembaga yang sedang rnelepaskan diri darikungkungan politik ke wujud lembaga bisnis pers profesional yang nonpartisan. Sedangkan Metro Bandung sejak awal memahami dirinya sebagai lembaga yang berniat menjalankan bisnis pers yang bennotif mencari keuntungan dari pasar pers Jawa Barat.
Kekosongan sementara kekuasaan negara mengendalikan pers terlihat dari kedua surat kabar yang diteliti. Dalam praktek wacana pembuatan berita terlihat peran kapital semakin meningkat dan cukup mewarnai isi pemberitaan dan personalia pengelolanya yang ikut mengontruksi realitas yang dimediakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D2031
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umaimah Wahid
"Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media Industri, sebagai elemen penting untuk mengenalkan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara,justru berperan sebagai pendukung budaya patrlarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan dengan media industri, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan perselingkugan social (social conspiration) dengan media industri. Social conspiration antara negara dengan media Industri sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media Industri itu adalah bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Media Industri, sebagai sebuah lnstitusi yang memiliki Ideology kapital, memang bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya, terutama jlka mengingat bahwa Ideology kapilalis sangat menekankan pada orientasi financial (profit oriented). Orientasi financial ltu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah media Industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Masyarakat sendiri, meski dengan pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan yang sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media Industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk ?memaksa' media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan mereka. Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus mengangkat lsu lsu perjuangan agar mampu bermain dalam ?arena pasar? yang laku jual agar dapat terus memaksa media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka sehingga pada akhimya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung Ide Ide yang mereka perjuangkan. Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menalkan posisi tawar mereka terhadap negara.
Perjuangan counter hegemoni kaum perempuan sangat sulit dilakukan jika perjuangan dilakukan secara parsial / terpecah. Sejarah Indonesia mencatat bahwa spirit individual Kartini maupun "fighting movement" seorang Dewi sartika ternyata tidak memiliki posisi tawar signifikan untuk mengubah nilai budaya yang ada bahkan pada tataran "melintas tembok" sekalipun. Pada konsep ini jelas bahwa ?ideologi pembebasan' ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya gerakan melainkan sebuah kebersamaan visi dan misi dari seluruh elemen perjuangan yang akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk mencapai tujuan. Dan energi besar itu adalah ?collective will' dari kaum perempuan Itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadlkan "collectlve will" sebagal sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide ide perjuangan kaum perempuan Itu memiliki energi yang konstant dan Signifikan.
Disertasi ini menggunakan metode Analisis isi Kualitatif untuk menemukan tema-tema utama yang dikandung dalam teks Kompas dan Media Indonesia yang berhubungan dengan proses perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 persen di Parlemen.. Untuk memahami dan mengangkat realitas dlbalik realitas yang muncul, termasuk dalam menganalisis isi kedua Media tersebut, dl pakai paradigma kritikal dengan menggunakan teori Marxist Humanist Antonio Gramsci sepertl konsep hegemonl-counter hegemonl antara masyarakat sipll dan masyarakat politlk dengan menyimak peran media massa diantara keduanya.
Beberapa temuan yang dapat disimpulkan diantaranya :
1. Sistem budaya patriarki masih berlangsung di masyarakat dan didukung oleh negara bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri sehingga menciptakan realitas yang merugikan kaum perempuan.
2. Kaum Perempuan butuh Ideologl yang komunal untuk menjamin kontinultas perjuangan yang memang belum selesal, dan Ideology yang dltawarkan adalah "collective wiIl", sementara kesetaraan dan keadilan gender serta ?pembebasan' Iebih merupakan tujuan.
3. Butuh upaya cerdas dan kompromis dengan nilal nilal kapitalis Industri media untuk dapat meraih dukungan media massa bagi gerakan perjuangan kaum perempuan guna menaikan posisi tawar mereka terhadap Ideology dominan negara.
4. Perjuangan kaum perempuan belum selesai. Quota 30 % hanya merupakan affirmative action menuju situasi yang Ieblh ideal bagi kaum perempuan. Gerakan counter hegemoni kaum perempuan Indonesia baru berada pada fase awal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D812
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>