Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mulyati
Abstrak :
Candida merupakan genus jamur yang saring menginfeksi organ tubuh manusia dan merupakan jamur oportunis. Akhir-akhir ini sering dilaporkan adanya penurunan efektifitas obat golongan azol terhadap beberapa spesies Candida sehingga menyulitkan dalam pengobatan kandidosis. Walaupun di Indonesia belum pernah dilaporkan adanya resistensi terhadap obat golongan azol, akan tetapi untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya resistensi, maka perlu peningkatan diagnosis laboratorium hingga spesies secara dini. Umumnya metoda identifikasi ditujukan khusus untuk mengidentifikasi spesies C. albicans, karena spesies ini terbanyak ditemukan sebagai penyebab kandidosis serta metoda yang digunakan adalah metoda morfologi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan apakah metoda identifikasi berdasarkan morfologi memberikan hasil yang sama dengan metoda berdasarkan fisiologi yaitu uji fermentasi dan asimilasi karbohidrat. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah 132 isolat Candida yang berasal dari bahan klinik tersangka penderita kandidosis. Isolat kemudian dimurnikan dengan membiak Ulang ke dalam medium baru agar Sabouraud dekstrosa dan setelah koloni berumur 2 hari kemudian dilakukan pembiakan kedalam medium putih telur, agar tepung jagung dan medium cair Beret gula untuk melihat karakteristik morfologi dan fisiologi. Hasil yang diperoleh dengan uji fermentasi dan asimilasi karbohidrat, memperlihatkan pola distribusi beberapa spesies Candida dengan jumlah yang berbeda yaitu C. albitan 68,18%, C. glabrata 12,12%, C. krusei 6,06%, C, tropicalls 3,79%, C. parapsilosis 3,03%, C. stellatoidea, C. guilliermodi dan Trichosporon cutaneum masing-masing 2,27% dari 132 isolat Candida. Metode morfologi yang digunakan untuk identifikasi spesies C. albicans/C.stellatoidea adalah uji pembentukan germ-tube dalam medium putih telur (uji GT) serta uji pembentukan klamidospora pada biakan agar tepung jagung Tween-BO (uji CMT). Pada uji GT isolat Candida yang berhasil membentuk germ-tube sebanyak 66 isolat {50%) sedangkan dengan uji CMT isolat yang berhasil membentuk klamidospora berjumlah 74 isolat (56,06%) dari 132 isolat. Dengan uji morfologi tidak dapat membedakan antara C. albicans dengan C. stellatoidea, karena kedua spesies ini mempunyai morfologi yang hampir same. Uji CMT selain digunakan untuk identifikasi spesies C.albir_ans/C.steIlatoidea, dapat pula mengidentifikasi spesies Candida yang lainnya dengan melihat susunan hifa semu yang spesifik. Dari 132 isolat yang dibiak dalam medium CMT, 21 isolat (15,9'/.) mempunyai susunan hifa semu yang tidak spesifik untuk spesies tertentu sehingga kesalahan identifikasi dapat terjadi dan 22 isolat atau 16,67% hanya membentuk blastospora, sehingga penentuan spesies tidak dapat dilakukan. Isolat-isolat ini kemudian dibiakan dalam medium cair deret gula dan spesies Candida yang tidak teridentifikasi dengan uji morfologi, ternyata dengan uji deret gula ini dapat ditentukan spesiesnya. Perbandingan hasil identifikasi antara biakan CMT dengan uji deret gula memberikan perbedaan yang sangat bermakna dengan rumus McNemar (X2= 11,25; P < 0,05 untuk uji fermentasi dan X2 = 16,06; P < 0,05 untuk uji asimilasi karbohidrat). Demikian pula perbandingan hasil identifikasi antara uji GT dengan uji deret gula memberikan perbedaan yang sangat bermakna (x2 = 18,89; p < 0,05 untuk uji fermentasi dan x2 = 24,04; p < 0,05 untuk uji asimilasi). Ini membuktikan bahwa spesies Candida yang berhasil diidentifikasi dengan uji deret gula tidak semuanya dapat diidentifikasi dengan uji morfologi (uji GT dan CMT). Berarti hipotesis yang diajukan dapat diterima. Jumlah spesies Candida yang berhasil diidentifikasi dengan uji fermentasi adalah 88 isolat C. albicans dan 5 isolat C. stellatoidea, sedangkan dengan uji asimilasi berhasil diidentifikasi 90 isolat C. albicans dan 3 isolat C. stellatoidea. berarti dengan uji fermentasi ada 2 isolat C.albicans yang tidak teridentifikasi karena tidak dapat memfermentasi sukrosa, laktosa dan galaktosa sehingga dimasukkan ke dalam pola C. stellatoidea. Dari 90 isolat C. albicans yang terdeteksi dengan uji asimilasi ternyata mempunyai pola fermentasi yang berbeda-berbeda pada karbohidrat sukrosa. 27 isolat dengan fermentasi sukrosa (-), 2a isolat hanya terjadi perbbahan warna saja pada sukrosa atau 3(A) dan 35 isolat tidak terjadi fermentasi atau S(-). Perbedaan pola fermentasi ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan sifat dari dari setiap strain C, albicans yaitu C. albicans tipe A dan tipe B. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metoda morfologi tidak dapat mendeteksi seiuruh spesies Candida serta tidak dapat membedakan antara C. albicans dengan C. steIlatoidea. Terdapat perbedaan hasil identifikasi antara uji fermentasi dan asimilasi karbohidrat (uji fisiologi) dengan uji GT dan CMT (uji morfologi). ......Candida is an opportunistic fungus and can cause diseases in human body. At present it was reported that there is the decrease of effectivity of azole derivatives to some species of Candida. Though in Indonesia there is no report of resistency against Candida spp but it is necessary to anticipate by increasing laboratory diagnostic in order to make early species identification. In general the morphological identification method was aimed to identify C.albicans, due to its bigest role in causing the disease. The aim of this study is to compare weather morphological based identification method has the same result with physiological based method such as fermentation and assimilation of carbohydrate. The materials used in this study were 132 isolates originated from clinical specimen from candidosis patients. The purification was done by inoculation onto fresh Sabourand dextrose agar and after 2 days was inoculated to white egg medium, corn meal agar and carbohydrate solution to get the morphological and physiological characteristic. The distribution of Candida spp according to fermentation and assimilation test was 68,18% C.albicans, 12,12% C.glabrata, 6,06% C.krusei, 3,79% C.tropicalis, 2,27% C.= tel latoidea, 2,27% C.gui Ilier?mondi i and 2,27% Trichosporon cutaneum. The morphological tests used for identification of C.albican5/C.stellatoidea were germ-tube formation test in white egg medium and chlamidospare formation test in corn meal Tween-BO agar. Out of 132 isolates, 66(50%) produces germ--tube and 74(56,06%) produces chlamidaspare. Morphological test could not differ C.albicans and C.stelIatoidea. The formation of pseudo-hyphae in corn meal Tween-8O agar could be use to identify other Candida spp. From 132 isolates inoculated in the CMT medium, 21(15,9%) has no specific pseudo-hyphae formation that could result in misidentification and 22 isolates grows as blastospore which made the identification impossible. All those isolates were inoculated in sugars medium and can be identified. The comparison between the result of CMT and fermentation test is highly significant (McNemar X2 = 11,25 and p<0,05) and also for assimilation test (McNemar x2 = 16,06 and p<0,05). The comparison between germ-tube formation test and fermentation test is highly significant (McNemar X2 = 1B,89 and p<0,05) whereas the comparison with assimilation test showed the same result (x2 = 24,04 and p<0,05). It was proven that sugar fermentation and assimilation test iliere better than morphological test. It means that the proposed hypothesis was accepted. Using the fermentation test 80 isolates were identify as C.albicans whereas 5 were identify as C.stellatoidea. The result of assimilation test were as follows, 90 isolates identify as C.albicans and 3 isolates as G_stellatoidea. There are two isolates .in the fermentation test with could not be identify as C.albicans due to lack: of capability in fermenting sucrose, lactose and galactose, so they were included to C.stellatoidea. The assimilation test of the 90 isolates of C.albicans shows different pattern in the assimilation of sucrose. Twenty seven isolates were capable of sucrose fermentation, 28 shows color changes only and 35 isolates does not capable of fermenting sucrose. The differences here may be due to the serotype A and B of C.albicans. It can be concluded that morphological based method could not detect all of the species of Carzdida and could not differ between C.albicans and C.stellatoidea. There are significance differences between morphological based test and physiological based test.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B.M. Bachtiar
Abstrak :
ABSTRAK Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Mikoflora yang merupakan bagian dari plak yang melekat di permukaan gigi dan tumbuh dalam biakan anaerob adalah jamur Actinomyces. Di Indonesia, penelitian terhadap mikoflora Actinomyces sebagai bagian dari komposisi plak belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi Actinomyces pada plak di dalam kavitas karies, kalkulus dan permukaan utuh gigi; apakah terdapat perbedaan prevalensi menurut lokalisasi plak pada permukaan gigi. Bahan pemeriksaan diambil dari penderita yang datang ke Laboratorium Ilmu Penyakit Mulut FKGUI. Bahan pemeriksaan adalah kerokan jaringan karies di bagian 2/3 oklusal dan bagian 1/3 servikal, kerokan kalkulus supragingiva dan subgingiva, serta kerokan plak pada permukaan utuh gigi. Bahan pemeriksaan dikelompokkan menurut macam penderita, yakni penderita karies (I), penderita kalkulus (II), dan penderita karies dan kalkulus (III). Bahan tersebut dibiak dan diisolasi secara anaerob dalam medium BHI cair. Hasil biakan dianggap positif berdasarkan morfologi sal, dan bentuk makrokoloni dan mikrokoloni Actinomyces sp. Hasil dan Kesimpulan: Telah diperiksa 65 penderita karies dan/atau kalkulus. Pada kelompok I dan II, mikoflora Actinomyces lebih sering ditemukan pada plak di permukaan utuh gigi (14,8% dan 13,3%). Pada kelompok III, Actinomyces lebih sering ditemukan pada plak di dalam kavitas karies di bagian 1/3 servikal (23%). Berdasar lokalisasi plak, pada setiap kelompok tidak ditemukan perbedaan yang bermakna prevalensi Actinomyces. Mikoflora yang ditemukan dari isolasi anaerob sebagian besar (90,7%) adalah Actinomyces AR. yang fakultatif anaerob.
ABSTRACT Scope and Method of Study: The mycoflora isolated from dental plaques and grown anaerobically are fungi which belong to the genus Actinomyces. In Indonesia, the study of Actinomyces sp. as a part in the composition of dental plaque has not been reported. This study was taken to determine the prevalence of Actinomyces as a part of dental plaque the cavity of caries, on calculus and in the plaque deposited on the smooth teeth surface, whether the prevalence differ according to the location of the plaque. The clinical materials were taken from patients who attended the Laboratory of Oral Medicine of the School of Dentistry of the University of Indonesia. The materials are caries tissues taken from 2/3 occlusal and 1/3 cervical of the tooth, curettage of supragingival and subgingival calculus and from plaques deposited on the smooth teeth surface. The material was divided into three groups according to the condition of the patients: the patients with caries (I), patients with calculus (II), and patients with both caries and calculus {III). The samples were cultured on BHI broth and isolated anaerobically. The identification of positive cultures was based on the morphology of the cell, as well as by studying the shape of macro and microcolonies. Findings and Conclusions: A total of 65 patients had been observed. In group I and II, Actinomyces sp. was found most frequently on plaques of the smooth teeth surface (14,8 % and !3,3 %, respectively). In group III, Actinomyces sp. was most frequent on plaques in the cavity of caries at 1/3 cervical part of the teeth {23 %). There were no significant difference on the prevalence of Actinomyces sz. in the third group in relation to the location of the plaque. The majority of the mycoflora (90,7 %) isolated anaerobically are facultative anaerobic Actinomyces sp.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Aulung
Abstrak :
ABSTRAK Di sekitar lingkungan hidup kita terdapat banyak damur, karena Iklim tropik sesuai untuk pertumbuhannya. Salah satu maealah yang menarik perhatian pada masa kini adalah maealah infeksi yang dieebabkan oleh Jamur, khusuenya infeksi jamur sietemik. Keberadaan jsmur dalam tubuh sebagai saproba, tidak menimbulkan kelainan, karena adanya pertahanan tubuh. Apabila pertahanan tubuh ditekan, maka jamur dapat menimbulkan infeksi (penyakit). Penekanan sietim imun oleh obat imunosupresif dapat menyebabkan jamur eaproba menjadi patogen CKerkering, 1981, Wasser, 1987 dan Susilo, 1991). Pemakaian antibiotika yang berlebihan akan mengubah keseimbangan mikroflora yang mencolok di dalam tubuh, menyebabkan jamur tumbuh dengan eubur dan berkembang (Janas, 1985 dan Setiabudy, 1987). Sueilo (1991) mengemukakan bahwa penderita yang memerlukan pengobatan antibiotika dan atau kortikosteroid, kemungklnan beear akan mendapat infekei oleh jamur setelah beberapa lama. Peneliti lain aeperti Suprihatin, (1979), Susworo (1990) dan Anaissie (1991), mengemukakan bahwa infeksi jamur (mikoeie sistemik) semakin banyak ditemukan, sehubungan dengan meningkatnya pemakaian obat antibiotika dan obat imunosupresif seperti obat golongan steroid dan aitostatika. Dikatakan selanjutnya bahwa jamur sistemik juga eering ditemukan pada penderita "immunocompromised", yaitu seorang penderita yang sietem kekebalan tubuhnya terganggu sehingga mudah terkena infeksi (Susilo, 1992). Penderita yang mendapat transplantasi organ, penderita kanker dan penderita "Acquired immune deficiency syndrome" (AIDS) adalah beberapa contoh penderita "Immunocompromised". Pada kerusakan eelaput iendir dan kulit oleh tumor ganae di telinga, hidung dan tenggorokan, kemungkinan terjadinya infeksi oleh jamur tidak dapat disangkal lagi dieamping infeksi oleh bakteri. Menurut Munir (1991). Penderita kanker yang menjalani pembedahan di telinga, hidung dan tenggorokan ditemukan jamur Candida dan AspergllluB. Bonadonna (1988) (dalam Ramli dan Darwis 1991) mengemukakan bahwa pada 10 70% penderita yang meninggal karena kanker ditemukan jamur, terutama Candida dan AspergllluB. Beberapa penyelidik mengemukakan bahwa infeksi jamur pada penderita tumor ganas dan AIDS makin meningkat, mortalitas Juga makin meningkat. Kesulitan yang dihadapi ialah infeksi oleh Jamur sulit didiagnosis terutama pada stadium dini (Kenneth, 1991). Keadaan neutropenia sengat potensial untuk terjadinya jamur eistemik yang sering (Munir, 1991). Neutropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah neutrofil menurun. Pemberian terapi kortikosteroid juga dapat mengganggu fungsi neutrofil, eehingga mudah terinfeksi oleh jamur (Ramli dan Darwis, 1991). Infeksi noeokomial adalah suatu infekei yang didapat seseorang di rumah sakit. Jamur udara Juga dapat merupakan pencemar, ditemukan di laboratorium dan rumah sakit. Jamur pencemar ini dapat menyebabkan infeksi nosokomial pada penderita yang dirawat di rumah sakit yang sistim imunnya terganggu. Infeksi nosokomial oleh jamur dapat terjadi secara endogen, yaitu jamur penyebab telah ada di dalam tubuh, atau secara eksogen bila Jamur penyebab berasal dari luar tubuh. Infeksi nosokomial oleh Jamur dapat timbul bila terdapat faktor predisposisi seperti adanya keganasan, penderita diabetes melitus, higiene mulut yang buruk, pemberian kortikosteroid, antibiotika serta pada pasien-pasien yang memperoleh radioterapi (Roesie, 1987). Jamur Candida sering ditemukan sebagai kausa infeksi nosokomial pada saluran kemih, luka akibat operasi, saluran nafas bagian bawah, darah dan alat tubuh lainnya (Supardi, 1991). Suryatenggara (1991) Melaporkan selain Candida sebagai infeksi nosokomial, ditemukan juga Aaperelllug, Penlclll±wn dan Mucor. Menurut Susilo (1992) selain jamur saproba {Candida) dan (AepergllluB) Juga Jamur lain dapat menyebabkan infeksi noeokomial.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Prasetyo
Abstrak :
ABSTRAK
Tax avoidance merupakan suatu cara meminimalisasi kewajiban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan yang berlaku. Salah satu bentuk penghindaran pajak ini adalah tax avoidance melalui pinjaman antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related party). Praktek penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa biasanya memanfaatkan lemahnya peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dalam karya akhir ini dibahas tentang bagaimana bentuk praktek-praktek penghindaran pajak melalui pinjaman related party dilakukan dan peraturan perpajakan di Indonesia untuk mencegah praktek-praktek tersebut serta cara-cara pencegahannya. Bentuk-bentuk penghindaran pajak pada pinjaman related party ini bisa dilakukan dalam bentuk pemberian modal dalam bentuk pinjaman, pemberian pinjaman dengan memanfaatkan pihak-pihak mediasi (perbankan), pemberian pinjaman tanpa bunga atau dengan tingkat bunga yang tidak wajar serta pemberian pinjaman dengan memanfaatkan ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak (P3B). Pembahasan bentuk-bentuk penghindaran pajak ini disertai dengan ilustrasi baik berupa skema maupun contoh perhitungannya agar mudah dipahami. Perlakuan perpajakan atas pinjaman related party meliputi bagaimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperlakukan bunga pinjaman tersebut, PPh pasal berapa saja yang terkait, berapa tarif yang berlaku, bagaimana perlakuannya kepada pembayar bunga dan penerima bunganya, bagaimana perlakuan perpajakannya jika penerimanya Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri. Selain itu juga dibahas peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia berkaitan dengan pencegahan tax avoidance melalui pinjaman related party ini. Peraturan perpajakan yang dibahas dalam karya akhir ini adalah ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UU PPh berkaitan dengan debt to equity ratio serta peraturan terkaitnya (Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-1002/KMK.04/1984 dan KMK-254/KMK.01/1985). Ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh memberikan kewenangan pada DJP untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa, dan DJP dapat melakukan koreksi pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham jika tidak memenuhi syarat kumulatif seperti yang dimaksud dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-165/PJ.312/1992. Tax avoidance melalui pemberian pinjaman dengan memanfaatkan ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak (P3B) diambilkan dari adanya loophole dalam ketentuan pasal 11 P3B antara Indonesia dengan Belanda yang memungkinkan atas bunga pinjaman tersebut dikenakan tarif PPh Pasal 26 yang lebih rendah dari 20% yaitu 10% dan bahkan 0%. Ketentuan yang terkait dengan pencegahannya adalah kewajiban menyerahkan Surat Keterangan Domisili bagi WP luar negeri yang memanfaatkan P3B (Surat Edaran Direktur Jederal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996) dan ketentuan mengenai ?Beneficial Owner?. (SE- 04/PJ.34/2005) Selanjutnya dilakukan analisa apakah peraturan perpajakan yang sudah ada sudah cukup kuat untuk mencegah tax avoidance melalui pinjaman related party , kelemahankelemahan peraturan tersebut sehingga dapat dimanfaatkan Wajib Pajak untuk melakukan tax avoidance serta memberikan saran-saran perbaikan terhadap peraturan yang ada serta usul peraturan perpajakan terutama terkait dengan back to back loan.
2007
T 24511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dian Savitri Esthi Wardani
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T24535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferizal
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Evy Sjahrijati
Abstrak :
Tujuan : Membandingkan angka keberhasilan pemasangan LMP antara teknik klasik modifikasi dengan teknik introduser. Metode :Uji klinik tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Maret sampai dengan April 2004, pada 118 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dengan anesthesia umum. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok; 59 pasein mendapat perlakuan teknik klasik modifikasi dan 59 pasien lainnya dengan teknik introduser. Apabila berhasil dilanjutkan dengan pemasangan OCT. Selama penelitian dilakukan pengamatan frekuensi upaya pemasangan, perubahan hemodinamik serta komplikasi yang timbul. Analisa statistik dilakukan dengan uji t untuk data numerik, uji x-kuadrat untuk data nominal, dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hasil : Angka keberhasilan pemasangan LMP pada upaya pertama (96% vs 88,1%, p<0,05) lebih tinggi dengan teknik klasik modifikasi, tetapi angka keberhasilan setelah upaya ketiga adalah sama (98,3%) pada kedua kelompok. Angka Keberhasilan pemasangan OGT lebih tinggi pada kelompok teknik klasik modifikasi (86,2% vs 81,1%, p<0,05). Terdapat penurunan hemodinamik yang bermakna pada 1 menit setelah pemasangan LMP. Angka penurunan MAP (6,16% vs 10,25%) dan laju denyut jantung (1,5% vs. 6,83%) lebih kecil pada kelompok teknik klasik modifikasi daripada kelompok teknik introduser. Kamplikasi yang timbul pada penelitian ini adalah ditemukannya darah pada kaf ketika dilakukan ekstubasi (9,32%). Kesimpulan : Teknik klasik modifikasi mempunyai angka keberhasilan pemasangan LMP yang sama dengan teknik introduser.
Background: The ProSeal laryngeal mask airway (PLMA) is a new laryngeal mask device with a modified cuff to improve seal and drainage tube to provide a channel for regurgitated fluid and gastric tube placement. In this present double blind, randomized, clinical study, we tested the hypothesis that the rate of successful) PLMA insertion using modified classical technique is higher than introducer technique. Method : A hundred and eighteen adult patients that underwent elective surgery with general anesthesia were randomly allocated to modified classical technique and introducer technique groups. We compared the rate of successful PLMA insertion technique. Oro gastric tube insertion was attempted if there was no gas leak. We assessed hemodynamic responses and complications of insertion. Result : First-attempt insertion successful rate (96% vs. 88,1%, p<0,05) was higher for the modified classical technique, but after the third attempt successful rate were similar (98,3%). Oro gastric tube placement was more successful with modified classical technique (86,2% vs 81,1%, p<0,05). There was a significant decrease in hemodynamic measurement at 1 minute after insertion of the PLMA. There was a smaller decrease in mean arterial pressure (6,16% vs 10,25%) and heart rate (1,5% vs. 6,83%) after insertion with modified classical technique compare with introducer technique. The only complication was the presence of blood on the device following removal (9,32%). Conclusion : Modified classical technique has a similar ALMA insertion successfulf rate with introducer technique.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gusno Rekozar
Abstrak :
Nyeri pasca bedah adalah sesuatu yang sangat mengganggu bagi pasien. Kenyamanan pasien adalah hal yang utama sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode pasca bedah. Penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi tubuh; berupa peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, mobilisasi yang terhambat, kecemasan, takut dan gangguan tidur. The Agency for Health Care Policy and Research dari Departement of Health and Human Services Amerika Serikat mempublikasikan panduan praktis penatalaksanaan nyeri akut, di mana bila tidak didapatkan kontraindikasi, terapi farmakologi untuk nyeri pasca bedah ringan-sedang harus dimulai dengan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. NSAID menurunkan kadar mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan, dan tidak mempengaruhi fungsi usus dan kandung kemih. Pemberian obat untuk mengatasi nyeri dapat diberikan dalam berbagai cara seperti oral, suppositoria, transmukosa, intramuscular, intravena (intermitten atau kontinyus), dan regional analgesia, serta blok saraf perifer. Analgesia balans adalah cara pengelolaan nyeri pasca bedah yang bersifat multidrug di mana proses nyeri ditekan pada tiga tempat yaitu, transduksi dengan obat NSAID, transmisi dengan anestesi lokal dan modulasi dengan opioid. Ketorolac adalah salah satu analgetik NSAID yang sering diberikan kepada pasien pasca operasi dengan tingkat nyeri yang tinggi. Hasil yang dicapai dengan pemberian analgetik ini memuaskan. Efek analgetik ketorolac sama baiknya dengan morfin dengan dosis yang sebanding, tanpa takut terjadinya depresi pemapasan. Hal inilah salah satu sebab dipilihnya ketorolac sebagai analgetik pasca operasi Ketorolac juga bersifat anti inflamasi sedang, Paul F White melaporkan bahwa pemberian ketorolac menurunkan tingkat kebutuhan fentanil pasta operasi sampai 32 %. Dalam peneltian Etches disebutkan bahwa pemberian ketorolac menghilangkan nyeri dengan baik dan menurunkan tingkat kebutuhan morfin sampai 35 % dibandingkan plasebo. Terdapat suatu kepercayaan bahwa obat yang pertama kali keluar (launching), yang biaya disebut original product, adalah yang terbaik. Sebaliknya ada pula yang berpendapat obat sejenis yang dikeluarkan kemudian, me too drug, adalah yang terbaik. Di lain pihak seringkali original product jauh lebih mahal dibanding obat yang dikeluarkan berikutnya. Dalam hal ketorolac yang akan dibandingkan ini, harga ketorolac original tiga kali sampai empat kali lipat obat me too drug-nya. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan keefektifan antara keduanya, maka penelitian ini akan menjawabnya.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Adininggar
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Kandidosis bukan disebabkan oleh Candida albicans saja, dapat pula disebabkan oleh C. krusei, C. parepsilosis, C. lusitaniae, C. tropicalis, C. glabrata, C. stellatoidea, C. kefyr dan C. guilliermondii. Penentuan spesies Candida penyebab kandidosis di laboratorium umumnya ditegakkan dengan uji germ tube, CMT, EMB dan agar glukosa 0,1 %. Baik uji germ tube, CMT dan EMB maupun agar glukosa 0,1 % tidak dapat membedakan spesies-spesies Candida tersebut. Oleh karena itu diperlukan metode yang mampu mengidentifikasi semua spesies Candida. Untuk penentuan spesies tersebut dilakukan dengan uji fermentasi dan asimilasi deret gula yang merupakan uji Baku. Identifikasi pasti diperoleh bila tidak terdapat kontaminasi baik oleh bakteri maupun spesies Candida lain. Maka kepastian bahwa jamur yang diuji terdiri dari satu spesies saja harus terpenuhi. Selain mencegah kontaminasi, banyaknya macam deret gula yang diujikan juga perlu dipenuhi. Apabila macam deret gula yang diuji kurang dan ditemukan pola yang sama maka identifikasi pasti spesies tidak terpenuhi. Untuk memperoleh basil identifikasi spesies pasti maka dilakukan uji koloni-satu-spora sebelum uji fermentasi dan asimilasi deret gula dilakukan. Uji koloni-satu-spora yaitu pemumian koloni dengan Cara memisahkan spora-spora. Pada penelitian ini 9 isolat yang diperiksa berasal dari penelitian sebelumnya (Mulyati, tesis) dengan hasil "meragukan" dan 6 isolat dengan identifikasi spesies pasti, sebagai kontrol. Semua isolat pada penelitian ini diambil masing-masing 16 spora dengan perincian diambil 4 spora dan dilakukan sebanyak 4 kali. Koloni hasil pemumian yang tumbuh kemudian diidentifikasi dengan uji fisiologis deret gula, yaitu : glukosa, laktosa, maltosa, sukrosa, galaktosa, trehalosa, raffinosa dan cellobiosa. Hasil dan Kesimpulan : Hasil identifikasi spesies Candida dari 15 isolat dengan uji fermentasi dan asimilasi 5 deret gula saja diperoleh 6 spesies Candida. Sedangkan hasil identifikasi spesies Candida dari isolat yang sama setelah dilakukan uji kolonisatu-spora sebanyak masing-masing 4 X 4 spora dan uji fisiologis 8 macam deret gula diperoleh 9 spesies Candida, 3 spesies tersebut adalah C. lusifaniae, C. kefyr dan C. guilliermondii. Baik pada isolat "meragukan" maupun kontrol ternyata dapat terdiri lebih dari satu spesies Candida. Maka hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa penentuan spesies pasti Candida memerlukan uji koloni-satu-spora lalu uji fermentasi dan asimilasi dengan delapan macam deret gula.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>