Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Siswanti E
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor sosial budaya dan fertilitas, dimana didalam faktor tersebut terdapat aspek sentralitas kekerabatan. Dalam sentralitas kekerabatan ini dapat dilihat dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat di Indonesia pada umumnya terdapat perbedaan yang menyolok antara kota dan pedesaan, sehingga sering dikatakan bahwa masyarakat kota sebagai masyarakat yang bercorak patembayan dan masyarakat pedesaan bercorak paguyuban. Dua corak masyarakat yang berbeda ini tentunya akan mempunyai dampak yang berbeda pula dalam perilaku fertilitas. Akan tetapi perilaku fertilitas tidak sepenuhnya tergantung pada sifat kekerabatan, faktor individu seperti umur, pendidikan, umur kawin pertama dan pemakaian alat juga mempengaruhi fertilitas. Penelitian ini bersumber kepada data SPI 1987, dan dipilih Propinsi Sawa Timur sebagai daerah penelitian. Responden penelitian ini adalah wanita yang berstatus kawin (currently married women) berusia antara 15 - 49 tahun berjumlah 1581 responden. Untuk menggali informasi lebih mendalam, dilakukan wawancara dengan responden yang telah menikah dan juga para orang tua serta para pimpinan tidak formal dalam masyarakat.
Teori yang menjadi dasar analisis dalam penelitian ini adalah analisa yang diajukan oleh Davis dan Blake yang dikembangkan oleh Freedman. Teori ini cenderung berpangkal pada tingkat fertilitas yang terjadi pada suatu saat, kemudian diteliti faktor-faktor yang melatar belakangi kehidupan individu dan masyarakat. Model tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh yang kuat antara lingkungan dan struktur sosial dan ekonomi. Struktur sosial ekonomi saling berpengaruh melalui norma mengenai besarnya keluarga dan norma mengenai peubah antara yang pada gilirannya mempengaruhi fertilitas melalui peubah antara. Sebaliknya fertilitas mempengaruhi struktur sosial ekonomi dan tingkat mortalitas melalui peubah - peubah tersebut. Dari model ini juga dapat dilihat bagaimana norma-norma social dan organisasi bekerja mempengaruhi fertilitas melalui peubah antara.
Analisa data dilakukan dengan cara analisa deskriptip yaitu menyajikan data dalam bentuk tabulasi silang untuk membahas masing-masing hubungan dari model yang dibuat. Sedangkan untuk melihat peubah bebas dalam satu model secara bersama-sama mempunyai hubungan dengan peubah tak bebas dilakukan dengan analisa regresi ganda. Langkah-langkah dalam analisa ini dibagi menjadi tiga model. Model pertama membahas hubungan antara peubah antara dengan jumlah anak yang dilahirkan, model ke-dua hubungan antara peubah sosial budaya dengan jumlah anak yang dilahirkan, sedangkan model ke-tiga, hubungan antara peubah antara dan peubah sosial budaya secara bersama-sama terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Hasil yang diperoleh sebagai berikut:
Model pertama, Umur kawin pertama menunjukkan hubungan yang negatif dengan jumlah anak yang dilahirkan baik di kota maupun di pedesaan. Semakin muda usia pada waktu kawin maka jumlah anak yang dilahirkan ada kecendurangan lebih banyak. Sedangkan wanita yang pernah pakai alat kontrasepsi menunjukkan hubungan yang negatif terhadap jumlah anak yang dilahirkan baik di kota maupun di pedesaan. Wanita yang pernah pakai alat kontrasepsi mempunyai anak lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak pernah pakai alat kontrasepsi. Interaksi umur dan pemakaian alat kontrasepsi menunjukkan hubungan positif baik di kota maupun pedesaan. Ini berarti wanita yang tinggal di kota dan pedesaan memakai alat kontrasepsi hanya untuk tujuan "stopping". Sedangkan wanita yang, berumur muda masih dalam masa pembentukan keluarga, sehingga masih enggan untuk memakai alat kontrasepsi. Interaksi umur kawin pertama dan pemakaian alat kontrasepsi untuk daerah kota menunjukkan hubungan yang negatif. Artinya wanita yang kawin pada umur muda mempunyai kecenderungan tidak menggunakan alat kontrasepsi, mengingat masa awal suatu perkawinan bertujuan untuk pembentukan keluarga. Wanita yang tinggal di kota meskipun sudah relatif modern ternyata belum banyak memakai alat kontrasepsi. Berarti perilaku masyarakat kota masih mempunyai nilai-nilai yang berlaku pada umumnya, yaitu bertujuan untuk mempunyai anak lebih dahulu sampai mempunyai anak berikutnya.
Model ke-dua, wanita yang pernah tinggal dengan orang tua setelah nikah di pedesaan mempunyai anak lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak pernah tinggal dengan orang tua setelah nikah. Wanita yang pernah tinggal dengan orang tua setelah nikah diduga dipengaruhi saran-saran dari orang tua yang dapat mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan. Masyarakat pedesaan yang mempunyai corak paguyuban dan struktur masyarakat yang bersifat mekanis mempunyai nilai-nilai tradisionil yang masih layak untuk ditaati, antara lain masih adanya pengaruh dari orang tua terutama aturan-aturan terhadap jumlah anak yang dilahirkan dan di satu sisi masih ada pengaruh dari orang tua dikarenakan masih percaya adanya mitos yaitu masih percaya adanya pemeo-pemeo seperti sendang kapit pancuran. Di kota tidak ada perbedaan antara wanita yang pernah tinggal dengan orang tua setelah nikah dengan yang pernah tinggal dengan orang tua setelah nikah terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Suatu hal yang wajar kalau kita simak bagaimana ciri kota di Indonesia yang bercorak patembayan dengan struktur masyarakat yang bersifat organis, kota mempunyai lingkungan budaya yang sering dipandang banyak menerima medernisasi menyebabkan ikatan sosial masyarakat yang ada terutama dalam keluarga inti semakin "longgar", sehingga dapat diartikan bahwa pengaruh lingkungan masyarakat lebih dominan daripada lingkungan keluarga terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Sedangkan wanita yang tidak tamat SD mempunyai anak lebih banyak dari yang tidak pernah sekolah baik di kota maupun di pedesaan.
Model ke-tiga, Umur ibu tetap menunjukkan hubungan yang positif dengan jumlah anak yang dilahirkan baik di kota maupun di pedesaan. Pada umumnya semakin tinggi umur seseorang wanita maka semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan, karena peubah umur dengan jumlah anak yang dilahirkan mempunyai korelasi yang tinggi. Demikian halnya dengan umur kawin pertama yang pada model ke-tiga ini tetap menunjukkan hubungan yang negatif terhadap jumlah anak yang dilahirkan baik di kota maupun di pedesaan.
Apabila hanya memperhatikan peubah antara saja (model pertama) pemakaian alat kontrasepsi menunjukkan hubungan yang negatif terhadap jumlah anak yang dilahirkan baik di kota maupun di pedesaan. Setelah peubah sosial budaya diperhatikan (model ke﷓ dua) ternyata menunjukkan hubungan positif. Perubahan ini dikarenakan ada hubungan yang kuat dengan peubah pendidikan. Apabila dibandingkan menurut tempat tinggal, rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh wanita yang memakai alat kontrasepsi di pedesaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tinggal di kota. Karena pada umumnya tingkat sosial ekonomi orang kota lebih tinggi dibandingkan pedesaan, diharapkan keikut sertaan wanita yang memakai KB lebih tinggi di kota. Keikut sertaan masyarakat kota dalam KB bukan karena kurang kesadaran atau tidak mampu membiayai, kemungkinan disebabkan segi pelayanan yang dirasakan tidak sesuai dengan masyarakat kota. Karena pada umumnya orang kota ingin mendapatkan pelayanan yang lebih pribadi atau ?a personalized servive" . Sedangkan di pedesaan lebih banyak dikarenakan struktur masyarakatnya yang "kolektif" sehingga datang berduyun-duyun ke Puskesmas adalah sesuatu yang wajar.
Tidak ada perbedaan antara wanita yang berpendidikan dengan yang tidak pernah sekolah terhadap jumlah anak yang dilahirkan baik di kota maupun di pedesaan. Dari hasil korelasi Pearson ternyata ada hubungan yang cukup kuat dengan peubah umur kawin pertama dan pemakaian alat kontrasepsi. "
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Sudiman
"The objective of the present study was to evaluate and to compare the nutritional status of households targeted by the IDT program (POKMAS members), with those households not targeted (non-POKMAS) from the same village, and with households in non-IDT villages in West Sumatra at the start (1994) of the program, after a one year period and its determinants.
For this purpose, a quasi-experimental study was applied. A total number of 38 IDT villages and 6 non-IDT villages were selected using proportionate random sampling from the list of less-developed villages in West Sumatra. ln each IDT village 40 households (20 POKMAS and 20 non-POKMAS) which have children under live and live to ten years of age were selected randomly, while in each non-IDT village 40 households which have children under live and live to ten years of age were selected using the same' method. At the beginning of the IDT program's implementation (baseline) and one year after the implementation of the IDT program (follow up), anthropometric measurements of the children and non-pregnant women, household's food consumption using food Frequency questionnaire and 24 hours recall for a sub sample, socio-economic, health and environmental condition?s assessments using questionnaires were conducted. Student t-test, ANOVA and logistic regression using SPSS for Windows version 6.0 were performed in this study. The study had several limitations such as the relatively short duration between the baseline and the follow up study, while the income generating activities done by most of the POKMAS were relatively long-term income generating activities. As a result some of the expected results and impacts could not be observed yet.
The nutritional status of the children under tive and tive to ten years of age in the surveyed villages in 1994 was not favorable with the highest prevalence of stunting (20.9% and 53.9%) followed by underweight ( 17.0% and 40.0%) and wasting (7.4% and 19.5%). After one year (1995) the prevalence of stunted children under five years of age in the POKMAS households and in non-POKMAS households was not lower compared with the prevalence in 1994 (58-4% vs. 53.1% and 41.5% vs. 30.6%), while the prevalence of stunted children five to ten years of age in the POKMAS households and in non-POKMAS households in 1995 tended to be lower compared with the prevalence in 1994 (50.4% vs. 53-9% and 38.4% vs. 40.4%). The best improvement in nutritional status in the stunted, underweight as well as the wasted was observed among the most retarded in growth. In 1994, the prevalence of chronic energy deficiency (CED) among non-pregnant women of the POKMAS households was significantly higher compared with the households in non-IDT village (I5.4% vs. 9.1%), There was no significant difference in the prevalence of CED among non-pregnant women in 1994 compared with 1995 (15.8% vs. 15.4% in POKMAS households, 11.8% vs. 13.8% in non-POKMAS households in IDT villages). The diets of the surveyed households were in general totally different from the food sold in "Padang" eating places, which are characterized, by its predominantly high animal protein dishes. The diets ofthe surveyed households generally consisted of rice as the staple food and side dishes such as boiled cassava leaves or young jack fruit in coconut sauce, fried small dried fish and hot pepper sauce (Indonesia: sambal). In 1994 the percentage of households which complained about food-shortage among the POKMAS households in IDT villages was about twice higher (62%) compared with the non-POKMAS households in IDT villages (42%), and three times higher compared with the households in non-IDT villages (28%) Regarding the selection criteria of households to be given funds, this study observed that there were various criteria among villages. As a result not all households given IDT funds could be considered poor. At the start of the lDT program, the selection of the income generating activities of the POKMAS used the bottom up approach, but later on the top down approach was still stronger influencing the process. lt could be observed that the income generating activity of most of the POKMAS was cow fattening while less than 20% of the POKMAS households had experience in cow fattening activity. The sanitation and hygiene practices (sources of the drinking water; place for garbage disposal and place for defecation) of the POKMAS households was worse compared with the non-POKMAS households in the same villages. In this study it was observed that the POKMAS households were households with undemourished children especially stunted children, It means that stunted children were the characteristic for poor households. The predictors for stunting of the children at the baseline were the following: the place for garbage disposal (in the garden, river, lake), health problems in daily life, the POKMAS households did not have a separated kitchen, children did not get measles vaccination, mother was pregnant, having problems with the environment, the age ofthe child (under five), chicken consumption less than once per week and the mother had more participation in social activities.
It can be concluded that the indicators of the poverty situation were a reflection of the living condition of the households (socioeconomic, environmental condition, housing condition) and confirm that the targeting of poor groups within villages used in this study was relatively proper. The child?s nutritional status particularly stunting is a reflection of the poor living condition; the prevalence of stunting at village level is a good indicator for targeting of a poverty alleviation program. The IDT program may have improved income however not necessarily alleviate poverty. The IDT program was emphasized on improving income however the households targeting was not clear; not all POKMAS households could be considered poor and the IDT program did not cover the other factors influencing poverty. Considering the feasibility and more practical use of the height and length measurements in young children for community studies, stunting should be used in the poverty alleviation program, nutrition surveillance program and other nutrition intervention programs. However further studies to investigate whether stunting could be used as indicator of poor households needs to be conducted. Further studies in different locations with ditferent socioeconomic, cultural, and environmental situations are needed to investigate approaches the most proper for various areas in indonesia. Referring to the most recent concept of poverty the key of the problem of poverty lies in the accessibility of the individual, household or community to the resources of basic needs such as food, health service, clothing and shelter, primary education and social cultural life. To alleviate poverty th IDT program should include activities to provide and improve the resources of basic needs. The IDT program at present is only providing one of the tools to improve resources."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D1560
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library