Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Catharina Any Sulistyowati
"Pertanian berbasis dukungan komunitas (community supported agriculture/ CSA) membangun hubungan yang saling menguntungkan antara petani dan konsumen dalam jarak yang relatif dekat. Publikasi CSA sebelumnya membahas manfaat CSA bagi petani, konsumen, dan lingkungan, serta perannya sebagai sistem alternatif. Sejauh ini kajian mengenai proses pembentukan subjek CSA masih terbatas. Disertasi ini menjelaskan proses pembentukan subjek di CSA – Tani Sauyunan (CTS), sebuah inisiatif yang mengadopsi sistem CSA di Kota Bandung, Indonesia. CTS dikembangkan sejak pertengahan tahun 2021 oleh Seni Tani, sebuah start-up yang dipimpin oleh orang-orang muda yang dibentuk pada tahun 2020. Mereka merekrut pemuda pengangguran untuk menerapkan sistem pertanian regeneratif agar menghasilkan makanan sehat di lahan tidur perkotaan. Mereka memanfaatkan sampah organik sumbangan warga sebagai kompos dan membagikan hasil panennya kepada anggota CTS yang membayar iuran bulanan untuk mendapatkan sayuran segar. Meski masih merugi selama lebih dari dua tahun beroperasi, CTS tetap berkomitmen memberikan pendapatan yang layak bagi petani dan memberikan sayuran sehat kepada para anggota. Kajian etnografi sejak November 2021 hingga Oktober 2023 ini mengeksplorasi mengapa dan bagaimana para pendiri terus mengembangkan CTS meski menghadapi banyak tantangan. Dengan menggunakan lensa teoritis pembentukan subjek Foucault dan politik paskakapitalis Gibson-Graham, penelitian ini menyimpulkan hal-hal berikut. (1) CTS merupakan model CSA unik yang menyediakan ruang bagi generasi muda untuk belajar dan bekerja sesuai kepedulian masing-masing, selain memberikan dukungan kepada petani dan anggota. (2) Format prekaritas dan strategi bricolage memungkinkan mereka mengembangkan CTS meski menghadapi keterbatasan sumber daya. (3) Dialektika antara imajinasi dan kepedulian dengan pembentukan subjek para pendiri membentuk komitmen mereka untuk terus mengembangkan CTS sebagai CSA yang unik.

Community supported agriculture (CSA) builds mutually beneficial relationships between farmers and consumers at relatively close distances. Previous publications on CSA discuss the benefits of CSA for farmers, consumers, and the environment, as well as its role as an alternative system. So far, studies on the process of subject formation in CSA are still limited. This dissertation explains the process of subject formation in CSA – Tani Sauyunan (CTS), an initiative that adopted the CSA system in Bandung City, Indonesia. CTS was developed in mid 2021 by Seni Tani, a youth-led start-up formed in 2020. They recruit unemployed youth to apply the regenerative farming system to produce healthy food in urban vacant land. They use organic waste donated by residents as compost and distribute the harvest to CTS members, who pay a monthly fee to get fresh vegetables. Although still losing money in more than two years of its operation, CTS remains committed to providing a decent income for farmers and delivering healthy vegetables to members. This ethnographic study from November 2021 to October 2023 explores why and how the founders continue developing CTS despite facing many challenges. By using Foucault’s subject formation and Gibson-Graham’s postcapitalist politics as the theoretical lenses, this study concludes the following. (1) CTS is a unique CSA model that provides a space for youth to learn and work according to their respective care, besides supporting farmers and members. (2) The precarity format and bricolage strategy allowed them to develop CTS while facing resource constraints. (3) The dialectic between imagination and care with the subject formation of the founders shapes their commitment to continue developing CTS as a unique CSA."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Semiarto Aji Purwanto
"Kajian mengenai pertanian kota menunjukkan bahwa kegiatan ini merupakan gejala yang dijumpai di hampir semua kota. Di negara-negara maju, pertanian kota dikaitkan dengan gerakan kembali ke alam, promosi bertani organik, usaha mempercantik kota, pendidikan lingkungan untuk warga, hobi dan sebagai mata pencaharian. Di negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Selatan dan Asia, sejumlah kajian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan dinamika kependudukan mewarnai munculnya pertanian kota di negara berkembang. Di Jakarta, karakteristik kota yang berbeda menyebabkan penjelasan munculnya pertanian kota sebagaimana di negara maju tidak relevan untuk dijadikan jawaban. Oleh karena itu, penjelasan mengenai pertanian kota di Jakarta tidak bisa dijelaskan dengan teori pertanian kota di negara maju atau semata-mata dari negara berkembang yang lain.
Penelitian yang saya lakukan pada komunitas petani kota di wilayah Jakarta Timur, yang merupakan migran dari Karawang, Jawa Barat, menunjukkan bahwa fenomena pertanian kota di Jakarta harus dilihat dalam perspektif keterkaitan desa-kota. Perhatian hanya pada dinamika migran di kota, adaptasi pendatang dan munculnya pertanian di kota di satu sisi, atau hanya melihat dinamika sosial budaya akibat industrialisasi di desa, kebijakan pembangunan pedesaan yang berubah dan berbagai faktor pendorong migrasi ke kota di sisi lain, tidak cukup untuk menerangkan pertanian kota yang saya temui di Jakarta Timur.
Secara teoretik saya menghadirkan argumen bahwa pendekatan antropologi perkotaan atau studi petani pedesaan belaka tidak mampu memberikan penjelasan yang utuh. Demikian pula dengan analisis di tingkat individu, yang tidak akan menerangkan secara lengkap pengaruh faktor eksternal: sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi muncul dan bertahannya pertanian kota. Walaupun saya yakin bahwa pendekatan yang lebih luas dengan melihat keterkaitan dan hubungan desa-kota lebih mampu memberikan penjelasan, namun saya menemukan bahwa berbagai hal yang selama ini menjadi domain desa atau kota, dalam kasus petani kota migran Karawang di Jakarta, justru berlainan ceritanya. Pertanian yang selama ini menjadi domain desa, kali ini justru berlangsung di kota; sementara kota yang selama ini menjadi inspirasi budaya dari desa justru menambah pilihan pekerjaan yang stereotipik dengan desa. Dengan kasus ini saya menunjukkan bahwa pendefinisian desa dan kota secara eksklusif nampaknya sudah tidak lagi relevan.

Researches on urban agriculture indicated that it is common in almost every city in the world. In the developed countries, it has connection with back-to-nature movements, organic farming initiatives, city beautification, environment education, hobby and livelihood. While in the developing states, such as in Africa, South America and Asia, it is said that government policies and population dynamics have colored the emergence of urban agriculture. With its specific character as a city of a developing country, Jakarta?s urban agriculture will not be sufficiently explained by any theories and explanations derived from developed and other developing countries. Hence, it is necesarry to build its own expalanation.
My research conducted among communities of Karawang migrants in East Jakarta has shown how urban agriculture would be best seen within the perspective of rural-urban linkage. Solely giving attention to migrants? dymanics, adaptation process of new comers and the emerging of urban farming, or only by examining the socio-cultural dynamics as consequence of rural industrialization, changing rural policies and other push-factors for urbanization will not adequate to explain the case of urban agriculture in East Jakarta.
Theoretically, I argue that some approaches in urban anthropology and peasant studies fail to thoroughly and comprehensively answer my case. Similarly, analysis in individual level can not completely explain the external factors of social, political and economical issues. However, the rural-urban linkage that I believe will be able to give better explanation, in my case, has indicating other direction of rural-urban flows. Agriculture that commonly placed and seen as rural domain, in the case of urban agriculture practiced by Karawang migrants in East Jakarta, has obviously found in urban context. At the other hand, urban living that in many cases inspired rural tradition, has received rural contribution in term of choice in livelihood: agriculture that stereotypic to village. My finding and analysis have revealed that efforts to distinguish and constitute a finite and exclusive definition of rural (villlage) and urban (city) have now lost its relevance."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
D00911
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library