Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aida Argaputri
"Self-confidence adalah keyakinan terhadap diri serta kemampuan yang dimiliki (Webster's Dictionary, 1996). Gejala tidak percaya diri pada anak erat kaitannya dengan persepsi anak terhadap konsep dirinya (Surya. 2007). Orangtua yang mempersepsikan anaknya sebagai 'segalanya buruk'dapat menciptakan konsep diri yang menekankan pada anak bahwa anak kurang diterima, buruk, den tindakannya tidak disetujui oleh orangtuanya (Frenkei-Bronswilk, dalam Burns, 1993) Cognitille-llehavior Therapy (CB1) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan bentuk intervensi yang bersifat psikoterapeutik den bertujuan untuk mengurangi distress paikologis dan perilaku mal adaptif dengan cara mengganti proses kognitif (Kaplan et al., dalam Stallard, 2002). Program CBT pada dasamya didasari oleh pemyataan bahwa keyakinan negatif mengenai hidup dan seseorang adalah hasil dari self-talk negatif yang berujung pada perasaan negatif mengenai diri sendiri, selfesteem rendah, dan kepada perilaku yang bersifat menghambat individu mencapai basil yang diinginkan (Burnett, 1996). lntervensi cognitive behavioral dinilai paling snkses meningkatkan harga diri dan konsep diri.Program diososiasikan dengan peningkatan positive self talk dan CBT dihuhungken dengan penganangan negative self-talk (Burnett, Craven, den Marnh, 1999). Program CBT dalam tugas akhir ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri seorang anak berusia 9 tahun dengan tingkat kecerdasan rata-rata. Ia merasa kurang pereaya diri menjawab pertanyaan guru atau orangtua saat belajar. Ia takut menjawab dengan sa1ah. Setelah intervensit anak mampu menyadari kesalahan berpikirnya, menjadi lebih percaya diri di sekolah. Di sisi lain, sikap ayah yang marab saat anak melakukan kesalahan membuat anak sulit menunjukkan perubahan positif di rumah.

Self-confidence is faith about oneself and one's own ability (Webster's Dictionary, 1996). Lack of confidence of symptom in a child is tight with the child's perception of bislber self-concept (Surya, 2007). Parents, who perceive their child as "all bad1create a self-concept that emphasize the child that be/she is less accepted, bad, and does not hove any approval of his action from the parent (Frenkel-Brunswilk, in Bums, 1993). Cognitive-Behavior Therapy (CBI) is an intervention that aims to psychological distress and Maladaptive behavior by altering cognitive processes (Kaplan et al., in Stallard, 2002). CBT program is baaod on the notion that negative beliefs about life and oneself is the result of negative self-talk which lands to negative feelings about oneself; low self-esteem, and self-defeating behavior {Burnett, 1996). Cognitive behavioral based interventions were the most successful enhancers of self-esteem and self-concepts.The program was associated with an increase in positive self-talk a.nd CBT was linked to a decrease in negative self-talk (Burnett, Cmven, and Marsh, 1999). CBT's program on this final assignment was aimed to improve the self­ confidence of a nine year old girl with an average intelligence. She feels little of confidence in answering the teacher's or parent's questions. She was afraid that she might give a wrong answer. As the result of the intervention, the child now is aware of her faulty Chink and become more confident In school. On the other side, - her father's attitude that always become angry whenever she gives a wrong' answer make her more difficult to show some improvement at home setting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T32434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virra Priscilla Ayuningtyas
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai perbedaan tingkat parenting stress dan coping stress pada ayah dan ibu yang memiliki anak dengan autisme. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam proses pengumpulan data. Tingkat parenting stress diukur melalui Parenting Stress Index-Short Form PSI-SF dan coping stress melalui Brief COPE. Partisipan penelitian ini berjumlah 37 pasang ayah dan ibu yang memiliki anak dengan autisme. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan parenting stress p = 0.850, p > 0.05 dan coping stress p = 0.899, p > 0.05 yang pada ayah dan ibu yang memiliki anak dengan autisme.

ABSTRACT
This research was conducted to decrypt the differences of parenting stress and coping stress in fathers and mothers of children with autism. This research used quantitative and qualitative design for collecting data. Level of parenting stress was measured by Parenting Stress Index Short Form PSI SF and coping stress was measured by Brief COPE. The participants of this research are 37 pairs of fathers and mothers of children with autism. The main result of this research showed that there are no differences of parenting stress p 0.850, p 0.05 and coping stress p 0.899, p 0.05 on fathers and mothers of children with autism."
2017
S68739
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Adhika Mulya
"Penelitian ini menjelaskan mengenai pengaruh sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control terhadap intensi menggunakan Transjakarta. untuk pergi ke tempat kerja. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan jumlah responden sebanyak 82 pekerja di DKI Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa norma subjektif merupakan determinan yang paling signifikan pengaruhnya terhadap intensi menggunakan Transjakarta untuk pergi ke tempat kerja. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat keluarga dan teman sebagai pihak yang pengaruhnya signifikan untuk mengajak anggota keluarga atau teman-teman agar mau menggunakan Transjakarta untuk pergi ke tempat kerja.

The research explained the influence of attitude, subjective norms, and perceived behavioral control toward intention for using Transjakarta as a transportation mode to working place. This research using quantitative method with total respondents are 82 workers in DKI Jakarta. This research shown that subjective norms are the most determinant factor which significantly influences for using Transjakarta as a transportation mode to working place. At the end, this research will have intention to suggest family and friends that are significantt for others to invite his family member or friends for using Transjakarta for go to working place.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Argaputri
"ABSTRAK
Self-confidence adalah keyakinan terhadap diri Sena kemampuan yang
dimiliki (Websters Dictionary, 1996). Gejala tidak percaya diri pada anak erat
kaitannya dengan persepsi anak terhadap konsep dirinya (Surya, 2007). Orangtua
yang mcmpersepsikan anaknya sebagai ?segalanya buruk?dapat menciptakan
konsep diri yang menekankan pada anak bahwa anak kurang diterima, buruk, dan
tindakannya tidak disetujui oleh orangtuanya (Frankel-Bnmswilk, dalam Burns,
1993).
Cognilfve-Behavior Therapy (CBT) adalah sebuah istiiah yang digunakan
untuk menjelaskan bentuk innervensi yang bersifat psikoterapeutik dan bertujuan
untuk mengurangi distress psikologis dan perilaku maladaptifdengan cara
mengganti proses kognitif (Kaplan et al., dalam Stallard, 2002). Program CBT
pada dasamya didasari oleh pemyataan bahwa keyakinan negatifmengenai hidup
dan seseorang adalah hasil dari se%taIk negatif yang berujung pada perasaan
negatif mengenai diri sendiri, sebf-esteem rendah, dan kepada perilaku yang
bersifat menghambat individu mencapai hasil yang diinginkan (Bumett, 1996).
Intervensi cognizive behavioral dinilai paling sukses mcningkatkan harga diri dan
konsep diri. Program diasosiasikan dengan peningkatan positive seMta1k dan CBT
dihubungkan dengan pengurangan negative se%talk (Bumett, Craven, dan Marsh,
1999).
Program CBT dalam tugas akhir ini bertujuan untuk meningkatkan
kepercayaan diri sorang anak berusia 9 tahun dengan tingkat kecerdasan rata-rata.
Ia merasa kurang percaya diri menjawab pertanyaan guru atau orangtua saat
belajar. Ia takut menjawab dengan salah. Sctelah intervcnsi, anak mampu
menyadari kcsalahan berpikimya, menjadi lebih percaya diri di sekolah. Di sisi
lain, sikap ayah yang marah saat anak melakukan kesalahan membuat anak sulit
menunjukkau perubahan positif di mmah. Anakjuga sangat memperhatikan
cvaluasi dari teman scbayanya.

ABSTRACT
Self-confidence is faith about oneself and one?s own ability (Webster?s
Dictionary, 1996). Lack of confidence of symptom in a child is tight with the
child?s perception of his/her self-concept (Surya, 2007). Parents, who perceive
their child as ?all bad", create a self-concept that emphasize the child that he/she
is less accepted, bad, and does not have any approval of his action from the parent
(Frenkel-Brunswilk, in Bums, 1993).
Cognitive-Behavior Therapy (CBT) is an intervention that aims to
psychological distress and maladaptive behavior by altering cognitive processes
(Kaplan et al., in Stallard, 2002). CBT program is based on the notion that
negative beliefs about life and oneself is the result of negative self-talk which
leads to negative feelings about oneself; low self-esteem, and self-defeating
behavior (Bumett, 1996). Cognitive behavioral based interventions were the most
successful enhancers of self-esteem and self-concepts. 'I'he program was
associated with an increase in positive self-talk and CBT was linked to a decrease
in negative self-talk (Bumett, Craven, and Marsh, 1999).
CBT?s program on this final assignment was aimed to improve the self-
conlidence ofa nine year old girl with an average intelligence. She feels little of
confidence in answering the teacher?s or pa1°ent's questions. She was afraid that
she might give a wrong answer. As the result ofthe intervention, the child now is
aware of her faulty think and become more confident in school. On the other side,
her father-'s attitude that always become angry whenever she gives a wrong
answer make her more difficult to show some improvement at home setting. The
child also pays much of attention on her peer?s evaluation.
"
2007
T34197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherly Meidya Ova
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara self-esteem dan perilaku kekerasan pada remaja laki-laki di wilayah Jabodetabek.
Jenis perilaku kekerasan yang diukur antara lain perkelahian fisik, tawuran,tindakan melukai orang dengan senjata, tindakan melukai seseorang hingga membutuhkan perawatan dokter, vandalisme, perilaku mengancam dengan senjata, perilaku mengancam tanpa senjata, dan bullying (menjahili orang lain, mempermalukan orang lain di depan umum, memanggil nama orang dengan sebutan lain, dan mengancam akan melukai orang lain). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan alat ukur Rosenberg Self-Esteem Scale untuk mengukur self-esteem. Daftar perilaku kekerasan yang digunakan adalah alat ukur yang telah diadaptasi dari penelitian-penelitian sebelumnya. Data penelitian diolah dengan menggunakan teknik statistik Pearson Product-Moment Correlation. Partisipan berjumlah 311 remaja laki-laki yang berada di komunitas dan lembaga pemasyarakatan. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-esteem dan perkelahian fisik pada remaja laki-laki di wilayah Jabodetabek (r = 0.24; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Selain itu, terdapat hubungan positif yang signifikan antara selfesteem
dan perilaku mengancam tanpa senjata pada remaja laki-laki di wilayah Jabodetabek (r = 0.231; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara self-esteem dan jenis perilaku kekerasan lainnya.

This research was conducted to find the relationship between self-esteem and violence behavior among male adolescents in Jabodetabek Area. Type of violent behavior being measured include physical fights, group fights, used a weapon in a fıght, hurt someone badly enough to need bandages or care from doctor or nurse, vandalism, threatening behavior with a weapon, threatening behavior with and without weapons, and bullying (teased others, humiliate someone, call the person's name with another name, and threatened to hurt someone else). This research used a quantitative approach and using the Rosenberg Self-Esteem Scale to measuring self-esteem. List of violent behavior that is used is a measure that has been adapted from previous studies. Data was analyzed using Pearson Product-Moment Correlation technique. The participants were 311 male adolescents in community and correctional-institution. The results showed that there is a significant correlation between self-esteem and physical fights among male adolescents in Jabodetabek area (r = 0.24; p = 0.000, significant at the L.o.S 0.01). In addition, there is a significant positive correlation between self-esteem and threatening behavior without weapon among male adolescents in Jabodetabek area (r = 0.231, p = 0.000, significant at the LoS 0.01). Did not reveal any significant relationship between self-esteem and other types of violent behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46108
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhanari
"Remaja yang cenderung membentuk self-esteem-nya dengan mengarahkan kepada teman-teman dapat mengakibatkan munculnya masalah perilaku dan prestasi akademis yang menurun (Steinberg, 2002). Salah satu aspek dalam masalah perilaku adalah perilaku nakal, yaitu perilaku melanggar aturan seperti melarikan diri, mencuri dan membolos. Sebelum menjadi suatu gangguan perilaku, perilaku nakal sebaiknya segera diintervensi.
Cognitive Behavior Therapy (CBT) telah terbukti efektif untuk menangani masalah perilaku pada anak remaja apabila dilakukan sejalan dengan intervensi yang dilakukan terhadap orang tua anak (Mash, 2005; Stallard, 2002). CBT didasarkan pada premis bahwa gangguan psikologis ditentukan oleh makna yang diberikan oleh individu pada suatu kejadian daripada oleh kejadian itu sendiri (Kazantzis, 2006). CBT membantu klien mengidentifikasi persepsi yang terdistorsi yang berkontribusi terhadap munculnya masalah dan menggantinya dengan pikiran yang lebih adaptif dengan teknik-teknik seperti self évaluation, positive self-talk, control o f negative thoughts and feelings. Asumsi CBT adalah pada saat klien terlibat secara aktif dan berusaha menerapkan hasil belajar mereka pada situasi sehari-hari, dapat dikatakan bahwa klien ini akan memperoleh keuntungan jangka pendek dan jangka panjang dari terapi (Kazantzis, et al. dalam Kazantzis, 2006).
Intervensi CBT dalam tugas akhir ini bertujuan untuk mengubah keyakinan seorang remaja sehubungan dengan perilaku mencuri ke arah yang lebih baik agar ia dapat memperbaiki perilakunya sehingga tidak semakin mengarah kepada conduct disorder. Hasil dari intervensi ini menunjukkan bahwa keyakinan yang berhubungan dengan perilaku mencuri melemah. Berdasarkan informasi guru dan orangtua, anak juga telah menunjukkan perubahan perilaku dengan tidak lagi melakukan perbuatan mencuri hingga intervensi berakhir."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T38021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvi Lavina
"Latar belakang. Gangguan perilaku pada anak epilepsi memiliki prevalens yang tinggi dan dapat menyebabkan dampak psikososial pada anak. Namun sejauh ini di Indonesia belum terdapat studi yang meneliti gangguan perilaku pada anak epilepsi serta faktor-faktor yang berhubungan.
Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) proporsi dan jenis gangguan perilaku pada anak epilepsi berdasarkan child behavior checklist (CBCL), (2) hubungan antara: usia awitan kejang, frekuensi kejang, durasi epilepsi, obat anti epilepsi, tingkat sosial ekonomi, dan pendidikan orangtua, dengan gangguan perilaku pada anak epilepsi, (3) adaptasi keluarga dalam menghadapi anak epilepsi.
Metode. Penelitian potong lintang di Klinik Neurologi Anak FKUI RSCM. Skrining gangguan perilaku dengan kuesioner CBCL dilakukan pada 30 anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektual. Studi kualitatif untuk menilai adaptasi keluarga dalam menghadapi anak epilepsi.
Hasil. Terdapat tiga dari tiga puluh anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku, dengan jenis gangguan perilaku eksternalisasi (perilaku melanggar aturan dan agresif), masalah sosial dan gangguan pemusatan perhatian. Faktor usia awitan kejang (p=0,280), frekuensi kejang (p=0,007; RP 0,036; IK95% 0,005-0,245), durasi epilepsi (p=1,000), obat anti epilepsi (p=0,020; RP 0,019; IK95% 0,001-0,437), tingkat sosial ekonomi (p=0,251), dan pendidikan orangtua (p=1,000), tidak berisiko meningkatkan gangguan perilaku. Terdapat sikap dan reaksi, serta persepsi dan stigma orangtua yang negatif dalam menghadapi anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku. Terdapat masalah keluarga sejak anak mengalami epilepsi dan gangguan perilaku. Orangtua tidak dapat menerapkan pola asuh displin dan kemandirian pada anak dengan gangguan perilaku.
Simpulan. Proporsi gangguan perilaku pada anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektual tidak tinggi. Tidak terdapat faktor-faktor yang memengaruhi gangguan perilaku. Adaptasi keluarga baik dalam menghadapi anak epilepsi tanpa gangguan perilaku, dibandingkan dengan keluarga anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku.

Background. Behavior problems are prevalent in children with epilepsy and have psychosocial impact in children. However, in Indonesia, no research has ever been done to study behavior problems in children with epilepsy and related factors.
Objectives. This study aimed to define: (1) proportion behavior problem and type of behavior disorder based on child behavior checklist (CBCL), (2) the relationship between factors: age at seizure onset, seizure frequency, epilepsy duration, antiepileptic drug, socio-economic, and parents education, with behavior problems in epileptic children, (3) family adaptation on managing children with epilepsy.
Method. A Cross sectional study in Pediatric Neurology Clinic FKUI RSCM. Screening for behavior problems with CBCL questionnaires in 30 children with epilepsy without neurologic deficit and intellectual disability. A qualitative study examined family adaptation on managing children with epilepsy.
Results. There were three of thirty children with epilepsy, who have behavior problems, with externalizing disorder (delinquent and agressive behavior), social and attention problems. Age at seizure onset (p=0,280), seizure frequency (p=0,007; PR 0,036; CI95% 0,005-0,245), epilepsy duration (p=1,000), anti epileptic drug (p=0,020; PR 0,019; CI95% 0,001-0,437), socio-economic (p=0,251), dan parents education (p=1,000), are not risk factors for development of behavior problems. Parents’ behavior and reaction, their perception and stigma are negative on managing children with epilepsy and behavior problems. There are family problems since their children have epilepsy and behavior problems. Parents are unable to discipline children with behavior problems and teach them to be independent.
Conclusion. The proportion of behavior problems in children with epilepsy without neurologic deficit and intellectual disability, are not high. There are no risk factors for development of behavior problems. Family adaptation on managing children with epilepsy without behavior problems are better than family who have children with epilepsy and behavior problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Viana
"ABSTRAK
Temporal term merupakan jenis kosakata yang menunjukkan jarak dan urutan waktu terjadinya peristiwa. Melalui pemahaman temporal term, dapat diketahui pemahaman konsep waktu seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perbedaan pemahaman temporal term pada anak bilingual dan monolingual anak usia 4 hingga 5 tahun. Pengukuran pemahaman temporal term menggunakan alat ukur yang telah dikembangkan oleh peneliti berdasarkan penelitian Grant dan Suddendorf (2011) serta Utami (2014). Karakteristik bilingual dan monolingual dikontrol dengan self-report dari orangtua. Responden penelitian sebanyak 81 anak yang terdiri dari 40 anak bilingual dan 41 anak monolingual. Hasil penelitian menunjukan bahwa hipotesis null penelitian ditolak (t=-3,499, p < 0.05) pada temporal term yang mengarah ke masa depan, yang berarti terdapat perbedaan antara pemahaman temporal term yang mengarah ke masa depan pada anak bilingual dan monolingual. Penelitian ini juga menunjukan bahwa faktor usia merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling kuat dalam pemahaman temporal term. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kemampuan anak bilingual dan monolingual dalam memahami konsep waktu.

ABSTRACT
Temporal term refers to group of words that describe distance and sequence of an event. Someone?s concept of time can be determined through temporal term. This study aimed to find if there is also a difference in temporal term between bilingual and monolingual children age 4-5 years old. In present study, temporal term measured by an instrument that already improved from previous studies (Grant and Suddendorf (2011) and Utami (2014). Bilingual and monolingual characteristic is determined from parent?s self-report. Total 81 children, 40 bilingual children and 41 monolingual children, participate in this study. Null hypothesis is rejected (t=-3,499, p < 0.05) for temporal term that refer to the future. This study also find that age is a dominant factor in children to understand the temporal term. The study result can provide information regarding bilingual and monolingual children?s ability to understand the concept of time"
2016
S64886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inti Nusaida Awaningrum
"Kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang paling dapat menyebabkan stress (Papalia dkk, 2002). Pada lanjut usia, rasa duka yang mendalam lebih tampak karena hubungan dalam pernikahan yang telah terjalin lama dan lebih sulit untuk beradaptasi hidup tanpa pasangan (Archer, 1998). Menariknya, pada perempuan, tekanan akibat rasa kehilangan dapat menjadi media untuk instropeksi dan perkembangan, melalui aspek-aspek dari diri mereka serta belajar untuk berdiri sendiri (Lieberman, 1996 dalam Papalia, 2007). Hal tersebut berkaitan dengan psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1995), dimana individu dengan psychological-well being berarti tidak hanya terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif (bebas dari cemas atau depresi, merasa bahagia), akan tetapi juga mengetahui potensi-potensi positif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mendapatkan gambaran psychological well-being perempuan lanjut usia yang mengalami grief karena kematian suami. Untuk tahapan grief yang dialami, akan ditelaah menggunakan tahapan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross. Penelitian ini dilakukan pada 3 orang subyek lanjut usia. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan observasi dengan harapan dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ketiga subyek memiliki enam dimensi psychological well-being yaitu dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Faktor-faktor yang paling mempengaruhi.

Death of spouse is a very stressful event (Papalia et al., 2002). In late adulthood, the deep anguish had shown more vivid because of the marital relationship that has occurred for a long time and would be more difficult to adapt without the spouse (Archer, 1998). The interesting thing is that in women, the pressure from the lost could be a media for them to look back and to stimulate growth and learn to stand by her self. (Lieberman, 1996 in Papalia, 2007). That matter is related with psychological well-being (Ryff, 1995), someone with psychological well-being is not only liberated from negative affect (liberated from anxiety or depression, feel happy), but also knows his or her positive affect. Because of that, researcher wants to have description of psychological well-being of late adulthood woman who deal with grief because of the death of spouse. The grief process will be reviewed with Kubler-Ross? grief process. This research is conducted to 3 late adult women. The method used to collect data is interview and observation. With interview and observation, researcher will have a full description. This research found that all of the participants have all of the dimensions of psychological well-being, which are self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, personal growth. The factors that influence them the most after the death of their spouse are social support and religious factor. Meanwhile the grief processes that all of 3 participants deal with are shock and disbelief, preoccupation with the memory of the dead person, resolution."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hobert G. Videman
"Penelitian ini berkenaan dengan kecemasan yang dimiliki oleh para atlet sepakbola tim Persija Junior. Kecemasan dipandang sebagai salah satu faktor mental yang dapat menghambat prestasi seorang atlet. Persija Senior mengalami prestasi yang kurang baik dan salah satu hal yang dapat menghambat adalah kecemasan yang mereka miliki. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang ada pada pemain Persija Junior dan dilakukan intervensi terhadap kecemasan yang mereka miliki. Penelitian menggunakan metode wawancara dan observasi kepada 4 orang partisipan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa dua orang partisipan memiliki trait anxiety yang tinggi. Sumber kecemasan yang dimiliki oleh semua partisipan adalah fear of failure, penilaian kognitif dan pentingya suatu pertandingan. Dampak kecemasan mereka bersifat facilitating dan debilitating Sementara itu, dalam mengatasi kecemasannya terkadang partisipan menggunakan problem focused coping ataupun emotion focused coping. Terkadang mereka menggunakan kedua fungsi coping tersebut secara bersama. Dari hasil penelitian ini, disarankan agar diadakan penelitian lanjutan terhadap kecemasan pada olahraga beregu. Kemudian sangat penting bagi pengurus dan pelatih Persija Junior untuk mengadakan intervensi terhadap kecemasan yang dimiliki oleh pemainnya.

This research is about anxiety on Persija Junior team football athletes. Anxiety has been seen as one of the factors that inhibited athletes achievement. Persija Senior team has been underachiever and one of the factors that can inhibite their performance and achievement is anxiety. The purpose of this research is to describe anxiety on Persija Junior team football athletes and afterwards to make an intervention programs towards their anxiety. This research is using interview and observational method in four participant. The finding of this research has been indicated that two participant has high trait anxiety. Source of anxiety that was commonly found in all participant is fear of failure, cognitive appraisal and event importance. The effect of their anxiety is debilitating and facilitating. To cope with their anxiety, sometimes all the participant used problem focused coping and emotion focused coping. They used both method on the same time. It is important to make a research about anxiety on sports group. It is also important for the Persija Junior?s staff and coach to make an intervention regarding to Persija Junior?s player anxiety."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>