Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dedi Junaedi
"Most of multicultural literature works explore identity problems. The writer analyzes White Teeth and Brick Lane. Both of them have similarities in terms of situation, setting of place and theme. Both of them explore the theme of diaspora identity undergone by Bangladeshi immigrants. The novels are studied closely on the focus of theme through Stuart Hall's concept of cultural identity by considering character, conflict, setting, tone and point of view.
The leading character of two novels chooses cultural identity in the contrary position. Samad Miah Iqbal, the leading character of White Teeth tries hard to reconstruct his essential identity through residual cultural traits (ethnic and moderate religion). His choice results in his being alienated and exclusive when others follow dominant culture. He is in crisis when failing to find out the identity assumed transcendent and pure, even disillusioned by his twin's taking his own identity quests beyond his hope. Alsana and Neena Begum criticize most of Samad?s identity quest.
In Brick Lane, the leading character, Nazneen adapts herself gradually into dominant culture. She had once applied religion for identity quest before she criticized the fundamentalist Islamic group, Bengal Tigers. Ethnic is easier to adapt than religion. Nazneen is in opposite with Chanu who is conservative and defends his cultural identity with ethnicity. Nazneen gives her daughters a chance to find out their own identity. After her proper adaptation into dominant culture, Nazneen finds a convenient position and remains in London with her daughters when Chanu comes back to Bangladesh.
Second Generation of Bangladeshi immigrant following English culture is Magid in White Teeth and Shanana in Brick Lane. Since the very beginning, they have fought to release themselves from ethnical and religious burden in order to identify themselves with English culture. The end of White Teeth shows that Magid is in opposite with Samad and Millat, while Shanana in Brick Lane is finally allowed to lead her own way of identity quest after having been controlled by Chanu for a long time.
Second Generation of Bangladeshi immigrant emphasizing his essential identity through residual culture traits (fundamental religion) is Millat Zulfikar Iqbal and Karim who join ethno-religious group. Millat joined KEVIN and Karim established Bengal Tigers. KEVIN and Bengal Tigers are dedicated for Islam struggle and also for opposing dominant culture. Ethnic is used to support their main goal, i.e. religious struggle. Thus, ethno-religious is used as their collective identity. Their radical attitude causes them to be called Islamic fundamentalist group. This supports Western stereotype that Islam is related with fanaticism, violence and intolerance.
Both of novels prove Stuart Hall's concept that an immigrant identity needs to be positioned in dominant culture because they are in diaspora within a strange land. Referring to residual culture (religion and ethnic) will lead an immigrant into exclusive and alienated life. Identity crisis takes places when one fails to find out the cultural identity assumed pure, fixed, and coherent.
The author of two novels implies the importance of assimilation for immigrant's success in different way. Zadie Smith implies it by showing Samad's identity crisis and failure of finding essential identity. On the other hand, Monica Ali implies it by revealing Nazneen's happiness, as she is willing to adapt herself into dominant culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zusmeidar
"Terjemahan beranotasi adalah terjemahan yang dilengkapi dengan catatan yang menyampaikan pertanggungjawaban penerjemah atas padanan yang dipilihnya. Karena tujuan utama penerjemahan mengalihkan pesan dari BSu ke BSa, penerjemah buku Nasty Bosses menerapkan prosedur, metode, dan teknik penerjemahan sebelum mulai menerjemahkan. Ketiga prosedurÂ?analisis, pengalihanan termasuk de-verbalisasi, dan restrukturisasi teks dilakukan untuk mengatasi dua masalahÂ?ketidakmampuan memahami arti kata, frasa, kalimat, dan paragraf dalam TSu dan kesulitan dalam penerjemahan; menandai, memberikan nomor, dan mengelompokkan ungkapan-ungkapan yang akan dianotasi.
Masalah yang dihadapi penerjemah buku Nasty Bosses antara lain dalam menganalisis masalah, misalnya mengidentifikasi idiom dan/atau membedakan idiom dari ungkapan biasa, dan penerapan teknik dan metode yang sesuai untuk mendapatkan padanan yang tepat. Ini disebabkan ungkapan-ungkapan dalam buku Nasty Bosses berbentuk metaforis dan idiom yang mengakibatkan penerjemah terlebih dahulu harus menganalisa makna TSu berdasarkan konteksnya. Setelah selesai menerjemahkan, penerjemah memahami bahwa dalam menerjemahkan tidak cukup hanya berdasarkan metode, prosedur dan teknik melainkan juga memiliki wawasan yang luas.

An annotated translation is a translation completed with a note or annotation showing the translatorÂ?s responsibility in choosing the equivalent words. Since the core of translation is to transfer or reproduce the source language message into the target language, the translator of Nasty Bosses, before translating, applied the procedures, methods, and techniques of translation. The three procedures analyzing, transferring including de-verbalizing, and restructuring the text are done in order to solve the two practical problems the incapability of comprehending meaning of words, phrases, sentences, and paragraph of the source text and the difficulty in translating such as marking, numbering, and grouping the expressions going to be annotated.
The problems faced by the translator of Nasty Bosses among others are analyzing the problems, such as identifying idioms and/or distinguishing them from common expression, and applying the techniques and methods suitable and applicable to get accurate equivalence. This because the annotated expressions of Nasty Bosses are expressions such as idiom and metaphor which make the translator analyze its contextual meaning first. Having finished translating, the translator got the impression that doing the translation is not enough only by basing on the method, procedure, and technique but also by having wide horizon.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haryunany
"Satu hal yang menarik dari drama All My Sons dan Death of a Salesman karya Arthur Miller adalah bahwa kedua drama itu saling melengkapi dalam menyampaikan sebuah kritik so_sial. Kritik sosial terhadap masyarakat Amerika pada masa setelah Perang Dunia kedua tersebut, menyoroti kehidupan dunia usaha. Kritik berupa kesalahan persepsi dari tokoh utama yang menjadikan kesuksesan materi sebagai tolok ukur bagi kesuksesan seseorang. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk membuktikan bahwa berbagai peristiwa sosial yang terjadi dalam drama tersebut mencerminkan sebagian dari keadaan sosial masyarakat Amerika yang sesungguhnya. Keadaan masyarakat sesudah Perang Dunia kedua yang ditandai dengan dominasi bidang industri dan perdagangan dalam perekonomian negara, membentuk masyarakat yang materialistis dan korisumtif. Mereka memiliki persepsi bahwa kebahagiaan dan kesuksesan dapat diraih dengan kekayaan materi. Kritik Miller disampaikannya dengan menceritakan bahwa semua persepsi yang dimiliki tokah utama dalam drama tersebut pada akhirnya terbukti salah. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang berdasar pada teori sosiologis karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, seperti klasifikasi yang dibuat oleh We11ek dan Warren, saya berusaha menelaah apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa yang menjadi tujuannya. Dari hasil telaah tersebut, saya sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa sosial yang tersirat dalam kedua drama tersebut merupakan cerminan dari sebagian kehidupan masyarakat Amerika."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13979
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Marwatri Nugrahani
"Skripsi ini mencoba menganalisis kekhasan tragedi batin Eugene O'Neill melalui lakonnya, The Great God Brown, dengan cara memperbandingkannya dengan konsep tragedi Wasik Aristoteles. Aristoteles menekankan alur dengan tragic actions (lakuan-lakuan tragis) sebagai pemicu efek tragis dalam tragedi. Lakuan tragis di sini mengacu kepada lakuan fisik yang menghasilkan suatu kejadian tragis yang spektakuler. Itu sebabnya Aristoteles tidak terlalu mementingkan peranan tokoh dan penokohan dalam menghasilkan efek-efek tragis. Sebaliknya tragedi khas Eugene O'Neill justru menyoroti kehidupan batin manusia. Lakuan tragis yang ditemukan terjadi di dalam batin tokoh. Untuk itu tokoh dan penokohan menjadi lebih penting daripada alur cerita. Sang tokoh ada dalam satu perjuangan menyelesaikan konflik-konflik batinnya yang membawa kepada satu tragedi batiniah. Hal ini tergambar melalui perjalanan kepribadian yang dilalui tokoh-tokoh utama lakon The Great God Brown, Dion Anthony dan Billy Brown. Konflik yang mereka alami adalah konflik-konflik batin yang timbul karena adanya suatu keterbagian kepribadian (split personality). Topeng-topeng dikenakan para tokoh untuk menggambarkan suatu kepribadian baru yang mereka kenakan. Topeng-topeng itulah yang terus-menerus bertentangan dengan kepribadian asli tokoh dan menyebabkan berbagai konflik batin. Perjuangan tokoh utama dalam lakon The Great God Brown adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik batinnya. Satu-satunya cara untuk memenangkan pergumulan batinnya adalah dengan membuka topeng dirinya. Tapi pembukaan topeng menuntut satu bayaran yang amat mahal, yaitu keratian kepribadian tokoh. Tragedi yang dialami tokoh-tokoh tragis Eugene O'Neill adalah tragedi batiniah, yang disebabkan oleh lakuan-lakuan tragis batiniah yang membawa kepada kematian kepribadian. Hal inilah yang dialami oleh Dion Anthony dan Billy Brown. Dalam proses pembukaan topeng diri mereka, mereka berhasil mencapai kemenangan atas konflik batin mereka, namun semua itu dibayar dengan kematian kepribadian mereka. Dengan dernikian lakon ini dapat menggambarkan konsep tragedi batin khas Eugene O'Neill."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S14054
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilia Sari
"Tennessee Williams (1911-1983) adalah seorang dramawan Amerika yang mulai dikenal namanya pada sekitar pertengahan abad dua puluh. Bersama-sama dengan Arthur Miller, ia dianggap oleh para kritikus sebagai dramawan besar yang mewarnai dan mendominasi dunia lakon dan panggung teater Amerika pada masa pasca Perang Dunia ke Dua(Weales, 1979:404). Tennessee Williams merupakan seorang pengarang yang cukup produktif dan berbakat. Banyak di antara lakon-lakonnya berhasil dipentaskan di atas panggung teater bergengsi Broadway dan memperoleh sukses besar. Di samping itu, beberapa lakon-lakonnya juga berhasil memperoleh penghargaan tinggi dalam dunia sastra. Lakon The Glass Menagerie (1945) merupakan salah satu dari empat karyanya yang dianggap terbaik dan paling banyak memperoleh pengharhgaan (Jackson, 1986:vi). Tiga karyanya yang lain adalah A Streetcar Named Desire (1947), Cat on..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S14109
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teraya Paramehta
"Adaptasi adalah sebuah dilema kontemporer dimana sebuah karya adaptasi seringkali dinilai berdasarkan kesetiaan maupun ketidak setiaannya terhadap karya sumber. Novel A Clockwork Orange yang ditulis oleh Anthony Burgess pada tahun 1962 diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Stanley Kubrick pada tahun 1971. Setelah dilayarputihkan, A Clockwork Orange menuai banyak kontroversi seputar permasalahan kekerasan karena banyak kasus kriminal yang kemudian mengikuti A Clockwork Orange baik di Amerika dan Inggris. Hal ini merupakan efek kultural yang diakibatkan oleh sebuah proses adaptasi. Perbedaan konvensi sastra (novel) dan film yang berbeda menghasilkan makna tematis dan ideologi yang berbeda.
Fenomena ini menarik penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang esensi kekerasan secara tematis dan ideologis yang terdapat dalam baik novel dan film A Clockwork Orange. Karena alasan inilah penulis memilih tema kekerasan (yang dalam A Clockwork Orange disebut dengan "ultra-violence") dalam film dan novel A Clockwork Orange sebagai corpus penelitian, dan menggunakan teori adaptasi George Bluestone dari buku Novels into Film (1957) dan pendekatan obyektif (New Criticism) dari Kenneth Burke. Dalam buku Novels into Film (1957).
Dikemukakan bahwa perbedaan medium novel dan film pasti menghasilkan perbedaan pemaknaan. Namun perbedaan pemaknaan tersebut bukan hanya dari mutasi narasi novel ketika diadaptasi ke film, tetapi juga dari pemaknaan visual.
Penulis melakukan penelitian ini dengan membandingkan novel dan film secara tematis, dan kemudian melihat pesan ideologis novel dan film yang muncul dari perbedaan tematis tersebut. Novel A Clockwork Orange secara tematis menunjukkan bahwa kekerasan merupakan sebuah bagian dari fase proses pendewasaan seseorang. Hal ini dapat dilihat dengan menganalisa tiga hal dalam novel.
Pertama, penokohan karakter utama Alex yang menunjukkan bahwa Alex adalah seorang remaja pemberontak.
Kedua, setting pada novel yang menunjukkan keadaan distopia sebagai latar belakang pendukung kekerasan yang dilakukan Alex.
Dan ketiga, plot novel yang memiliki struktur yang dapat diinterpretasi sebagai simbol pendewasaan seseorang.
Analisis tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa kekerasan dalam novel A Clockwork Orange dilihat sebagai sebuah bagian fase pendewasaan seorang remaja pemberontak seperti Alex. Hal tersebut menunjukkan posisi ideologis novel bahwa kekerasan dikritisi sebagai suatu hal yang satir; dimana kekerasan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang dapat merugikan banyak orang namun keberadaannya tidak dapat hilang dari kehidupan manusia. Film A Clockwork Orange menginterpretasikan novelnya secara visual dengan gaya sutradara Stanley Kubrick. A Clockwork Orange kemudian mengalami stilisasi atau _gaya_ sesuai dengan interpretasi visual Kubrick. Kubrick memilih A Clockwork Orange versi terbitan Amerika Serikat dimana versi tersebut tidak menyertakan bab terakhir dalam novel. Ini mengakibatkan pergeseran makna tematis dan posisi ideologis. Hal ini dapat dilihat dengan menganalisis penokohan Alex, setting, plot dan musik dalam film yang membentuk pemaknaan baru secara visual.
Film A Clockwork Orange menunjukkan bahwa kekerasan dilihat sebagai bagian dari kehendak bebas manusia yang dirayakan. Secara tematis, kekerasan tidak lagi dilihat sebagai bagian dari proses pendewasaan, namun bagian dari kebebasan manusia. Adanya terjemahan visual ke dalam film dari apa yang ditulis dalam novel memberikan pemaknaan yang berbeda, yaitu kekerasan sebagai bagian dari kehendak bebas tersebut. Hal ini kemudian menunjukkan posisi ideologis film yang berbeda dengan novel, yaitu sebagai sebuah perayaan terhadap kebebasan.
Kesimpulan akhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa novel dan film A Clockwork Orange memiliki pemahaman tematis dan posisi ideologis yang berbeda. Dalam novel, kekerasan dilihat sebagai bagian pendewasaan dan memiliki posisi ideologis dimana kekerasan dilihat sebagai sebuah satir kehidupan. Sementara dalam film, secara tematis kekerasan dilihat sebagai bagian dari kehendak bebas manusia, dan secara ideologis memperlihatkan bahwa kehendak bebas manusia merupakan suatu hal yang keberadaannya dirayakan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses adaptasi, novel dan film berhubungan sebagai karya sumber dan interpretasinya, namun secara tematis dan ideologis, novel dan film merupakan karya yang dapat berdiri secara otonom dan dapat berdiri dengan pemaknaannya masing-masing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Rizqi Damayanti
"Skripsi ini membahas tentang transformasi tokoh Snow White dalam film Snow White and The Huntsman untuk memenuhi aspek-aspek sosok pahlawan yang berdasarkan pada buku Margery Hourinhan, Deconstructing The Hero (1997). Film ini menunjukkan adanya penyesuasi tokoh Snow White sebagai perempuan menjadi sosok pahlawan yang terjenderkan maskulin.Snow White sebagai perempuan ditampilkan sebagai submisif, pasif, tidak berdaya dan dalam ranah domestik sehingga berlawanan dengan kualitas maskulin sosok pahlawan.Melalui analisis lewat mise-en-scene dalam film, tokoh Snow White menunjukkan pengadopsian terhadap kualitas maskulin sosok pahlawan agar dikukuhkan menjadi pahlawan.Kemudian, simbolisme yang dalam film juga memperlihatkan adanya justifikasi penokohan Snow White dalam konstruksi jender yang patriarki.

This focus of this study is to examine transformation of Snow White character in film Snow White and the Huntsman to perform aspects of the figure of hero by Margery Hourihan in her book, Deconstructing The Hero (1997). This film demonstrates adjustment Snow White character as a woman to be the figure of hero who is gendered masculine. Snow White as a woman is portrayed as submissive, passive, powerless and in the domestic sphere, in contrast with masculine quality in the figure of hero. Through mise-en-scene analysis in film, Snow White character reveals adopting to masculine quality in the figure of hero to be affirmed as a hero. Moreover, symbolism in film display the justification of Snow White’s characterization in accordance with gender construction based on the patriarchal system."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S44165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriana Rahajeng Mintarsih
"Skripsi ini membahas representasi women 's madness dalam trilogi film X-Men melalui tokoh Jean Grey. Pada awalnya, Jean Grey merupakan superheroine yang mendapat posisi penting karcna ia merupakan mutan tcrkuat (satu-satunya mutan kelas lima). Potensi Jean inilah yang membuatnva dianggap special oleh Xavier. Meskipun begitu, ia tidak nampak menunjukkan kekuatannya yang besar pada serf pertama (X-.1/len). Ia baru bcnar-henar menunjukkan kekuatannya yang besar pada serf kedua (X-Men United). l lanva saja, ketika kekuatan Jean menjadi semakin kuat, Jean mengorhankan dirinya demi mcnyelamatkan tim X-Men. Meskipun Jean nampak mini, ia kemudian hangkit pada serf ketiga (X -Men: The Last Stand). Jean yang hangkit ini mempunyai kekuatan yang sangat besar kuat, namun kekuatannya ini tidal: membawa dampak positif padanya. Kekuatan Jean yang besar ini malah dikaitkan dengan herhagai permasalahan psikologis dan akhirnya membawa Jean Dada diagnosa madness. Dengan menggunakan kerangka berpikir feminis, penulis ienemukan bahwa diagnosa madness terhadap Jean atau women's madness bukan merupakan permasalahan psikologis. melainkan sebuah bentuk kontrol. Women's madness pada akhirnya merupakan alat yang digunakan oleh para tokoh laki-laki (Xavier. Cyclops. Wolverine, dan Magneto) untuk mengukuhkan dominasi mereka terhadap perempuan kuat seperti Jean.

This research analyzes the representation of women's madness in the movie trilogy X-Men. At the beginning, Jean Grey is a superheroine who gets an important position because she is the most powerful mutant (the only class five mutant) among other mutants. For Xavier, this potential makes her special. However, her power isn't shown in the first movie (X-A'Jen). In the second movie (X--Men United, she shows her massive power. yet at the end she has to die in order to save her teammates. Even though she seems to die, in the third movie (X-Men. The Last Stand), she raises from death and becomes very strong. This great power, however, doesn't give a good impact on her. As a result, she is diagnosed to have some psychological problems which, then. lead to a diagnosis of madness. Using feminist perspective, this study is to argue that thf5 diagnosis of' madness in women (women's madness) is not about 'psychological problems, but a control. In the end, women's madness is actually a tool used by male characters (Xavier, Cyclops, Wolverine, dan Magneto) to establish their domination on powerful woman like Jean"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S13883
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Ratnasari
"Skripsi ini menganalisis perbedaan representasi Disney Princess yang terjadi pada kedua film animasi Disney, yaitu The Princess and the Frog dan Tangled. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan kecurigaan terhadap Disney Princess versi modern yang terkesan mendekonstruksi bentuk klasiknya. Untuk menganalisis masalah tersebut penulis menggunakan teori dekonstruksi dan feminisme pada bentuk arketipenya. Hasil penelitian membuktikan bahwa untuk beberapa dekade konsep Disney Princess telah mengalami perubahan di beberapa bagiannya. Penulis menganggap perubahan yang parsial tersebut bukanlah sebuah dekonstruksi melainkan sebuah inovasi dalam pembentukan Disney Princess dilihat dari sudut pandang feminisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep Disney Princess tidak mengalami dekonstruksi.

This undergraduate thesis focuses on Disney Princess different representation at both Disney animated movies, The Princess and the Frog and Tangled. The aim of this research is to find out the truth about modern Disney Princess which seems to deconstruct the classical form. To analyze the problem, deconstruction and feminism theory are used toward the archetype. The result of this research indicates that in some decades, Disney Princess concept has partially changed. The changes aren’t considered as a deconstruction but an innovation regarding feminism’s point of view. Therefore, it is assumed that deconstruction doesn’t occur toward Disney Princess concept."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S138
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Septiana Sari
"Arketipe adalah sebuah cetakan, gambaran, atau model ideal dari suatu fenomena dan karakter, seperti peran-peran yang mudah dikenali di dalam seni pertunjukan yakni ibu tiri yang kejam, pahlawan yang berani, dan lain-lain. Masyarakat percaya bahwa sosok ideal pahlawan mencerminkan sifat-sifat superior dalam perangkat oposisi biner. Penelitian ini membahas tentang bagaimana tokoh Ghost Rider dalam film Ghost Rider (2007) mendekonstruksi arketipe dan ideologi dualisme tersebut dengan menggunakan teori arketipe Jung dan teori strukturalisme Greimas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh Ghost Rider mendekonstruksi sekaligus mengadaptasi arketipe pahlawan.Selain itu, dualisme dari kebaikan-kejahatan dan cahaya-kegelapan juga berhasil digulingkan oleh tokoh Ghost Rider tersebut.Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi penelitian selanjutnya yang membahas mengenai elemen-elemen narasi.

Archetype is an ideal print, image, or model of phenomena or characters such as easily-recognized characters in an art performance's cruel step-mother, a brave hero, etc. People believe that an ideal hero mirrors superior criterion in binary opositions. This research focuses on how Ghost Rider in a movie titled Ghost Rider (2007) deconstructs the archetypal hero image as well as the dualism by using theory of Jung's archetype and theory of Greimas' structuralism. The result of the research indicates that Ghost Rider deconstructs as well as adapts the image of an archetypal hero. Besides, the dualism of good-evil and light-darkness are also deconstructed by Ghost Rider. This result is expected to be a reference for further researches on narrative elements."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S499
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>