Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retnowati
"Penelitian ini merupakan penelitian Antropologi, berjudul Kethoprak sebagai identitas, dengan mengkaji kelompok kesenian tradisional kethoprak Arum Budoyo, di Juwana, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Kethoprak sebagai salah satu pentas kesenian tradisional kerakyatan, pada dasarnya adalah sebuah gagasan budaya - dengan simbol, mitos dan upacaranya - untuk membayangkan sesuatu yang tidak terjadi pada masa kini dan di sini pada saat pementasan berlangsung. Sebagaimana cirikhas dari penelitian Antropologi, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menggunakan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam terhadap komunitas (penonton dan pemain) kethoprak pesisiran, khususnya di Pati Jawa Tengah.
Tujuan penelitian untuk memberikan pemahaman mengenai identitas sosial budaya (kebudayaan) masyarakat Jawa pesisiran melalui kethoprak. Manfaat penelitian, turut menyumbang tentang identitas sosial - budaya. Bahwa identitas sosial-budaya diperlukan seseorang atau kelompok untuk bereaksi menghadapi perubahan dan perkembangan dunia sekitarnya.
Hasil penelitian menunjukkan, komunitas kethoprak pesisiran nampaknya melakukan sebuah dekonstruksi terhadap modernisasi (dengan melakukan aksi "mimikri") dan globalisasi (menghasilkan perekonomian yang terasa ironis dan parodis terhadap cara produksi kapitalistik). Kethoprak menciptakan solidaritas sosial dan sebuah "bahasa bersama", tidak adiluhung yang menghasilkan nasionalisme. Dalam kethoprak pesisiran ditunjukkan bahwa budaya kerakyatan dan demokratisasi tetap bernyala dan masih ditengarai dan dihargai masyarakat kecil. Kethoprak telah memberi pemahaman bahwa sejarah seharusnya memberi ruang pada keseharian, kemanusiaan dan sesuatu yang terpinggirkan, dan bagaimana seharusnya menghadirkan sisi kemanusiaan dalam sejarah. Dengan demikian kethoprak juga memberi pemahaman yang berlainan dengan anggapan sempit bahwa people without history dan bahkan "history without people".

Kethoprak as an Identity is an Anthropological study conducted in a kethoprak traditional art group of Arum Budoyo in Juwana, Pati regency, Central Java. Kethoprak as one of the people`s traditional art performances is basically a cultural insight - with semiotic symbols, myths and ceremonies - to fantasize something which is not currently happening here and then during the performance. As characteristic of any Anthropological study, this research is a qualitative case study, using participant observation and indepth interview methods to approach spectators and actors of northern coastal area kethoprak, in Pati region of Central Java, in particular.
The study aims at elevating socio-cultural identity awareness among the coastal area Javanese through kethoprak which is necessary for individuals or groups to cope with the changing and developing world around them.
The result of the study shows that coastal area kethoprak communities have deconstructed modernization (by means of "mimicry" acts) and globalization (which results in an irony and a parody of economic attitudes towards capitalization means of production). Kethoprak does create social solidarity and a "common language", and not adiluhung which results in nationalism. Northern coastal area kethoprak shows that people`s culture and democratization are still upheld and respected by the community of ordinary people. Kethoprak reveals the understanding that history should give room to daily life, humanity and the marginalized to grow and how humanity should be presented. Thus kethoprak can expose a much different understanding than the narrow assumption of "people without history" and even "history without people"."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D980
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Solihat
"Disertasi ini membahas tindakan migrasi dan presentasi identitas tiga kelompok Turki yang beraktivitas transnasional, yaitu kelompok Gulen, kelompok Suleymaniyah, dan kelompok Said Nursi. Aktivitas transnasional ketiga kelompok ini menunjukkan fenomena eskalasi dan proliferasi migrasi, namun, tidak diiringi dengan perkembangan teori yang memadai. Teori migrasi masih didominasi oleh perspektif ekonomi dan politik, sehingga menggiring studi migrasi kepada kesimpulan migrasi sebagai problem. Penelitian ini bertujuan menjelaskan bahwa migrasi ketiga kelompok Turki ke Indonesia sebagai suatu proses transformasi sosial yang dipengaruhi oleh struktur dan melibatkan agensi para aktor di dalam mereproduksi kebudayaan. Penelitian ini merupakan studi etnografi yang diperkaya dengan studi sejarah. Data diperoleh observasi terlibat dan wawancara mendalam terhadap di ketiga kelompok Turki yang berada di wilayah sekitar Jakarta, yang berlangsung antara tahun 2013-2015. Selain itu juga data diperoleh melalui studi literatur terkait kondisi kultural historis aktor inspiratornya. Dara dianalisis dengan perspektif transnasionalisme dan konstruktivisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa migrasi tiga kelompok Turki merupakan model migrasi berbasis kultural. Identitas Turki tidak dipresentasikan secara tunggal dan statis. melainkan secara beragam dan dinamis, karena para aktor pada setiap kelompok pemahaman histori dan juga pengalaman berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang berbeda.

This dissertation discusses the practices of migration and identity presentation of three Turkish group in Jakarta, namely The Gulen 39 s Group, The Suleymaniyah Group, and The Said Nursi Group. Transnational activities of these groups show the escalation proliferation migration, however, theyare not accommodated with sufficient theories. The Theories of migration are still dominated by economic and political perspectives, leading migration towards a conclusion that migration is a problem. The research aims to explain that their migration to Indonesia is a social transformation process affected by structure, involving agency in reproducing culture. The data was obtained through participant observation and in dept interview with actors within the groups that live around Jakarta, conducted between 2013 2015, as well as through literature on the cultural history condition and actors inspiring the group. The data was analyzed with a perspective of transnationalism and constructivism. The result shows that Turkish migration is a migration model based on culture. The identity of Turkey is not represented as a singel and static, but diverse and dynamic, as a construction thet involves understanding of history and interaction experience with Indonesian societies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
D2360
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denpasar: Pustaka Larasan, 2012
340.115 KAJ
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidsyukrie Z.M.
"ABSTRAK
Penelitian ini mempermasalahkan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam budaya maja labo dahu (MLD) orang Bima dengan fokus etnografi pada pengalaman dan pandangan perempuan sebagai korban. Penelitian ini hendak menjelaskan tentang konstruksi gagasan, nilai-nilai dan norma-norma apa yang memungkinkan dan mendorong suami melakukan kekerasan terhadap istri, relasi kuasa yang terbangun antara suami dan istri, pemahaman dan pemaknaan kekerasan menurut perspektif budaya MLD, dan resistensi dan respon korban, masyarakat, negara terhadap kekerasan yang dialami istri. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa budaya MLD memiliki nilai yang baik namun KDRT terjadi. Mengapa dan bagaimana kekerasan terjadi dalam budaya MLD? Penelitian?yang dilakukan di Kota Bima yang bermotto ?Maja Labo Dahu??menggunakan metode kualitatif dengan analisis kritis terhadap kasus-kasus keributan dan kekerasan yang diperoleh melalui pengamatan, dokumen dan wawancara dengan korban (istri) dan pelaku (suami) KDRT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman tekstual keagamaan dan nilai-nilai MLD cenderung menempatkan istri sebagai pihak yang subordinatif, yang posisinya rendah sebagai dampak dari relasi kuasa yang timpang dan kuat. Relasi kuasa ini dapat terbentuk dan didasari oleh konsep rangga (perkasa, maskulin), qawwam (pemimpin), fu'u mori (pilar kehidupan), co'i (mahar/harga), mitos penciptaan perempuan, dan pemahaman konsep kodrat yang simplistis dapat mendorong dan memberi kontribusi bagi terjadinya KDRT. Peristiwa peristiwa KDRT itu sendiri terjadi karena dipicu oleh hal-hal yang terkategori dalam persoalan ekonomi, sosial, dan personal. Kekerasan dilihat sebagai hal yang biasa dan diprakktikan dalam kehidupan rumah tangga yang dilatarbelakangi oleh pemahaman dan gagasan yang legitimatif; karena itu, KDRT bersifat ekskalatif dan repetitif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa MLD melegitimasi subordinasi dan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga karena diabsahkan oleh pemahaman keagamaan, pemahaman atas konsep laki laki sebagai rangga (perkasa/maskulin), sebagai qawwam (pemimpin), sebagai fu'u mori (pilar kehidupan), perempuan sebagai properti, dan mitos penciptaan perempuan yang semuanya menekankan istri sebagai subordinasi dari suami. Kepatuhan istri terhadap suami merupakan bentuk ibadah. Bias penafsiran dan pemahaman yang bersifat patriarkal pada gilirannya memungkinkan pula istri menerima saja perlakuan suami sebagai kodrat, dan tidak melakukan resistensi yang nyata terhadap perlakuan suami, meskipun dalam kondisi-kondisi tertentu istri mampu melakukan resistensi. Adanya resistensi mencerminkan bahwa budaya MLD tidak mampu memberi perlindungan terhadap keselamatan, kenyamanan, dan keadilan bagi istri sehingga mereka mencari dan mengakses keadilan di luar yaitu UUPKDRT, pranata yang disediakan pemerintah. Penelitian ini merekomendasikan untuk mengembangkan suatu ?wacana anti kekerasan? dalam komunitas budaya MLD, sebagai upaya membuka diskusi dan dialog ke arah penghapusan KDRT (zero violence). Untuk kebijakan, direkomendasikan kepada pemerintah untuk mengadakan pelatihan dan pendidikan terhadap calon pasangan suami-istri agar mereka memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana menjadi suami dan menjadi istri, tentang hak dan kewajiban suami-istri dalam rumah tangga, dan tentang kehidupan rumah tangga yang berkeadilan gender.

ABSTRACT
The research focused on the domestic violence based on women?s experience and ideas within maja labo dahu (MLD: shame and fright) culture. It studied the values that enable and force husbands to perpetrate violence against their wives; how the violence itself is understood in accordance with MLD cultural perspectives. It also studied the power relation between husband and wife, the women (wives) responses and resistances, responses of community and state against the violence within the Bimanese households. It was based on the assumption that MLD culture has good point of view (values) but domestic violence happens. The question arose: "Why and how does it happen?" Qualitative method was used for the research that conducted at Bima Municipality, in West Nusa Tenggara Province. Data?collected by using interview, observation, and documents?were critically analyzed throughout the cases of domestic violence. The ethnography of the research focused on the experience and the ideas of women (wives).
The result of the research shows that distortive understandings of religious and cultural values which place women as the second position in society life (power relation) encourage men to perpetrate violence to women (their wives). Apart from these, the construction and understanding of men as rangga (masculinity), as qawwam (leader), as fu'u mori (pillar of life), women as property or as a bought "thing", and mythological understanding of women's creation makes men dominate or subordinate women and perpetrate violence against women. Wives must be totally obedient to their husbands. The values of obedience as normative and dogmatic things make women (wives) themselves accept the violence as a kodrat (God's omnipotence), and as an act of ibada (devotion). Such internal values in the husbands' mind encourage them to perpetrate violence if they are stimulated by unsatisfactory service and ncemba (disobedience) of wives or categorized as personal, economic, and social problems. Some of the wives make resistances towards the abusive acts of their husbands. In connection with escaping resistance for example, the wives need to be free and to access justice outside the household. It means that the Bimanese culture ?maja labo dahu? is not able to protect the wives from their husbands' violence, to meet women's need: happiness and safety, and justice. This condition makes wives find out "thing", an access to justice outside. Their option is UUPKDRT (Law on the Elimination of Domestic Violence) in which they are able to get an access to justice and protect them from violence and unsafe life. The domestic violence in Bimenese community is seen as a natural thing and it is escalate and repetitive. Based on the data and analysis, it is concluded that MLD legitimates the subordination and violence against women (wives) because of the construction of understanding on the concepts of men as rangga (masculinity), as qawwam (leader) who also has a right to hit his wife, as fu'u mori (pillar of life), women as property or as a bought "thing", and mythological understanding of women's creation. The various concepts insist that women are subordinate to men. Based on the research findings, the writer recommends the government to develop a discourse of eliminating violence against women within and outside the household life. He also recommends the government to take urgent action: ?to conduct a short course or workshop on how to be a husband and a wife, to understand their rights and gender equality in the household life for (a couple of) girl and boy who are going to get married.?"
Depok: 2009
D632
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purwadi
"ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji bagaimana orang Umalulu, mengkonstruksi identitas budaya mereka berkaitan dengan keagamaannya dalam menghadapi proses pendiskriminasian di sekeliling mereka. Pemeluk agama Marapu menjadi terdiskriminasi bukan karena identitas budaya yang melekat padanya, akan tetapi akibat pencitraan negatif terhadapnya. Kategori diskriminatif dengan semua atribut dan peran yang melekat padanya bukanlah konstruk alamiah, melainkan suatu produk sejarah dan produk representasi.
Kajian bertujuan mengungkapkan aspek-aspek yang berkaitan dengan representasi budaya dan masyarakat Umalulu, untuk memperoleh pemahaman tentang bagaimana orang Umalulu telah direpresentasikan oleh orang-orang lain, dan bagaimana mereka telah menampilkan diri mereka sendiri kepada dunia luar. Identitas budaya adalah sesuatu yang dikonstruksi, untuk mengungkapkannya dalam penelitian ini saya merujuk pada konsep identitas (identity) dari Erik H. Erikson, yang melihat identitas sebagai suatu proses restrukturasi segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu, di mana seluruh identitas fragmenter yang dahulu diolah dalam perspektif suatu masa depan yang diantisipasi.
Penelitian kualitatif yang dilakukan, meliputi penelitian kepustakaan dan lapangan. Pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan terlibat dengan satuan analisisnya adalah penduduk kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur.
Temuan penelitian memperlihatkan bahwa identitas budaya orang Umalulu merupakan hasil dari interaksi antara kekuatan-kekuatan dari ?luar? dengan praktek kehidupan yang dilandasi tatanan hidup mereka. Marapu adalah agama yang merupakan identitas budaya orang Umalulu, yang menjadi pedoman dasar atau nilai-nilai yang menata kehidupan mereka. Bagi orang Umalulu yang bukan pemeluk agama Marapu, ke-Marapu-an dianggap sebagai adat istiadat dari nenek moyang saja, dan bukan sebagai suatu keyakinan yang mereka peluk. Bagi orang Umalulu, beralih agama merupakan suatu kompromi, yaitu merupakan salah satu bentuk ?strategi perlindungan budaya? yang dapat meredam ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat. Budaya yang bersifat kompromistis ini diaktifkan melalui lembaga adat yang tetap selalu mengedepankan musyawarah dan memegang teguh konsep kebersamaan dan solidaritas.

ABSTRACT
This dissertation examines how the people of Umalulu construct their cultural identity associated with their religiosity to face discrimination process around them. Marapu religion to be discriminated not because of cultural identity attached to it, but due to their negative image. Discriminated category with all the attributes and roles attached to it is not a natural construct, but a product of history and product of representation.
The study aims to reveal the aspects relating to the representation of Umalulu?s culture and society, to gain an understanding of how people of Umalulu been represented by others, and how they have represented themselves to the outside world. The point of view that considers cultural identity as something that is constructed, then to express it I refer to the Erik H. Erikson?s concept of identity, who see the identity as a process of restructuring all previous self-identification and description, where all the fragmented identity of the first processed with a view of the future anticipated.
Conducted qualitative research, including literature and field research. Data collection through interviews and participant observation with the unit of analysis is the population of Umalulu district, East Sumba regency, Eastern Nusa Tenggara province.
The research findings show that cultural identities of the Umalulu?s people are the result of the interaction between the forces of the "outside" the practice of life based on the order of their lives. Marapu is a religion which is the cultural identity of the person Umalulu, which became the basis of guidelines or values that organize their lives. Even for people who are not follow the Marapu religion, the Marapu's for those limited to the customs of ancestors only, and not as a faith they profess. For people of Umalulu, switching religion is a compromise, which is one form of "cultural protection strategy", which can reduce fear and aggression that arise between the individuals and society. The nature of this compromise culture is enabled through the traditional institutions that remain always puts deliberation and uphold the concept of togetherness and solidarity."
Depok: 2012
D1321
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Murtadlo
"ABSTRAK
Globalisasi pendidikan adalah suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh semua institusi pendidikan. Dalam dunia yang berubah, institusi pendidikan harus menghadapi beberapa isu penting. Pertama, Pendidikan harus kompetitif, yang memaksa pelaku pendidikan harus bekerja lebih serius untuk mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan mereka; Kedua, lembaga pendidikan perlu mempertimbangkan penerimaan terhadap nilai-nilai humanitas baru seperti pemahaman multikultural dan demokrasi sebagai ihtiar menyiapkan peserta didik memasuki dunia baru; Ketiga, sesuai dengan tuntutan sosial dan pasar, lembaga pendidikan perlu mengambil posisi sedemikian rupa sehingga alumni lulusannya dapat berkompetisi dan terserap pasar.
Madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan di Indonesia yang mempunyai segmen masyarakat tertentu. Lembaga pendidikan ini mengambil porsi kurang lebih 18-20 % dari layanan pendidikan sesuai dengan jenjang tingkat pendidikannya. Jumlah madrasah di Inonesia kurang lebih 39.469 lembaga. Permasalahan penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaku madrasah mengambil posisi dalam menghadapi globalisasi pendidikan. Untuk penelitian ini, saya mengambil kasus Madrasah Pembangunan di Ciputat Tangerang Banten. Madrasah ini berhasil membuktikan diri sebagai lembaga pendidikan alternatif. Siswa-siswinya berasal dari masyarakat urban kelas menengah secara ekonomi, dan lembaga pendidikan itu berhasil memperbaik kinerja dan image secara mengagumkan. Fenomena ini adalah sebuah perkecualian dari kebanyakan madrasah yang cenderung terbatas, memprihatinkan.
Penelitian ini menyimpulkan beberapa pernyataan berikut: Pertama, dalam konteks globalisasi di dunia pendidikan, identitas adalah sesuatu yang penting dan menjadi salah satu sumber inspirasi utama untuk pengembangan lembaga pendidikan yang berkarakter dan berkeunggulan. Nama ?madrasah? merujuk pada sebuah jenis pendidikan di Indonesia menjadi nama identitas yang berkontestasi baik secara lokal, nasional maupun internasional. Kedua, madrasah sebagai salah satu jenis lembaga pendidikan di Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi pendidikan harus mempunyai posisi yang sama dengan sekolah umum dalam legalitas dan akses terhadap negara. Kasus Madrasah Pembangunan, karena keberhasilan dalam memposisikan diri.

ABSTRACT
Globalization is one thing that must be faced by all educational institutions. In a changing world, educational institutions must face some crucial issues. First, educational competitiveness is a priority in the current education system which makes educational practitioners work harder in order to maintain the existence of their institutions. Second, educational institutions should take into consideration the new secular/humanity values such as democracy and multiculturalism in their theory and practice. Third, in line with societal demand to match education with the market, education institutions must review its position so that its alumni are able to compete in job market.
One of institutional education in Indonesia is education that manage by religious community. There are madrasahs (Islamic schools) that services for about 18-20 % Indonesia schools follows its each levels. The number madrasahs in Indonesia is approximately 39.469 unit (2007). The main research question is how are practitioners of madrasahs facing globalizatian challenges? For this research, I carried out a case study of Madrasah Pembangunan, located in Ciputat, Tangerang. The Madrasah is very successful. It?s students come from urban middle class family and that school has a favorable image and efficient administration. This phenomenon is different from the more common madrasahs found in the country with poor condition and second class in quality.
This research concluded to the following statement: first, in the context of globalization, identity issues become important and can even become a source of inspiration for the development of educational institutions that characterized and competitive. The word of ?madrasah? to mention some Islamic schools becomes one identity that contesting in the local, national and international context. Second, madrasah as one of education institution in Indonesia in facing globalization must have same opportunity with the general schools both in position legal claims and in the context of competition. Now, one of madrasahs like Madrasah Pembangunan Ciputat, Tangerang begin ready to follow competition with the others. Third, the position of the state to madrasah preferable concerned to keep benefit of the integration and modernization of the nation's need to drive quality through the helping in financing, management, and direction for developing of Islamic education."
Depok: 2012
D1325
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Suarga
"Penelitian ini menjelaskan suatu permasalahan sosial yang ditemukan di era reformasi yaitu bagaimana proses yang terjadi ketika para pihak mulai mempersoalkan pemahaman tentang illegal logging dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia khususnya temuan pada kasus Adelin Lis di Sumatera Utara, seorang pengusaha yang memiliki izin resmi namun dituntut secara pidana di dalam wilayah kerjanya sendiri, karena setelah jatuhnya rezim Orde Baru muncul pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan sistem serta aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedoman bersama dalam bingkai aturan perundangan negara buatan para rimbawan.
Dalam merangkai penjelasan berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh maka penelitian ini bertujuan untuk pertama memahami bagaimana para pihak melakukan perang wacana tentang illegal logging sehingga kemudian illegal logging tersebut bisa memiliki definisi ganda yaitu ia merupakan sebuah pelanggaran administratif tapi juga bisa diinterpretasikan sebagai pelanggaran pidana, sehingga untuk itu pulalah penelitian ini kemudian memilih rimbawan dan pihak-pihak lain yang berbeda konsep sebagai subyek kajian. Kedua, kehidupan berbangsa di Indonesia dalam 14 (empat belas) tahun terakhir pasca reformasi diwarnai dengan proses transisi demokratisasi yang memberikan ruang teramat luas bagi kebebasan berekspresi serta masuknya pengaruh global ke dalam segala aspek termasuk sektor kehutanan, pengelolaan sumber daya hutan dan tata aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedomannya. Untuk itu dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam penerapan konsep-konsep wacana yang berideologikan pengaruh global sebagaimana diungkapkan di atas ternyata memiliki muatan persaingan kepentingan yaitu utamanya kepentingan persaingan usaha yang bermotifkan ekonomi. Ketiga, perkembangan spesialisasi ilmu dalam ilmu Antropologi semakin berkembang dan dinamis, salah satunya adalah penggunaan teori analisa diskursus.
Analisa diskursus merupakan alternatif yang semakin populer belakangan ini karena mampu menggelar proses argumentatif secara scientific terhadap proses-proses legitimasi kekuasaan metode masa kini yang lebih mengedepankan proses penyebaran informasi melalui media. Asumsi dasar dari perkembangan teori diskursus belakangan ini adalah karena sejarah dan manusia ditentukan oleh adanya knowledge production (pengetahuan yang diproduksi) dan pemahaman atas berbagai hal yang terjadi di dunia yang diinterpretasi secara kolektif (Arts dan Buizer, 2009: hal. 340). Dalam sebuah ?pertarungan? sosial, antropologi mampu menyajikan proses konstruksi para pihak ketika mereka berkompetisi secara holistik, bukan sekedar membuktikan siapa pihak yang menang atau yang kalah. Analisa diskursus menyajikan proses konstruksi argumentatifnya dengan cara yang lebih runut serta rinci.
Dalam penelitian ini ingin memperlihatkan bagaimana pentingnya Antropologi terhadap spesialisasi analisa diskursus, dan begitu pula sebaliknya bagaimana pentingnya analisa diskursus terhadap Antropologi secara umum. Keempat atau terakhir, adalah tujuan praktis dalam pembentukan maupun pertarungan wacana persoalan illegal logging ke depan. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa perdebatan serta variasi pemahaman para pihak tentang illegal logging ini sesungguhnya memiliki makna kepedulian masyarakat dunia tentang lingkungan yang lebih besar. Masing-masing pihak memiliki intensi atau niat yang baik yaitu mereka peduli tentang masa depan dunia yang lebih baik sehingga untuk itu dibutuhkan pengelolaan lingkungan khususnya sumber daya hutan yang lebih bertanggung jawab demi kepentingan bersama. Seperti yang telah diungkapkan lebih awal, konsep-konsep yang membentuk tinjauan konseptual dalam penelitian ini adalah konsep analisa wacana dan konsep legitimasi diskursus yang memiliki muatan ideologi neoliberalisme.
Adapun pemahaman prinsipiil yang saya mengerti dari kedua konsep tersebut adalah bagaimana memecahkan suatu topik yang kompleks atau substansi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil dan detail demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik (Arts dan Buizer, 2009: hal. 341), kemudian menjalankan suatu tindakan melalui rangkaian proses yang telah dianggap mantap dan seringkali rutin ketika mencoba mengkonversi suatu pemaknaan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya (Sokal dan Bricmont, 1998 dalam Humphreys, 2009: hal. 319), dan memasukkan unsur norma serta nilai dalam kategori relatifisme moral untuk mendalami bagaimana sesungguhnya diskursus tetap diklaim atau dianggap etis oleh kelompok tertentu tanpa perlu memiliki dasar ilmiah sebagaimana lazim dilakukan pada klaim pengetahuan yang bersifat epistemik (Humphreys, 2009: hal.320). Kedua pokok pemahaman atas konsep di atas merupakan kriteria data yang saya butuhkan untuk mempelajari dan memahami analisis wacana dan legitimasi diskursif.
Kedua pokok pemahaman di atas pula selanjutnya saya coba untuk kemudian memandu saya dalam merekonstruksi seputar putusan pengadilan kasus Adelin Lis sebagai entry point dalam memasuki ranah dialektika persoalan diskursus tentang illegal logging sehingga benar data yang saya ambil adalah data legitimasi diskursif. Adapun hasil dan kesimpulan penelitian ini adalah pertama, pertarungan diskursus illegal logging yang terjadi adalah antara para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai pedoman dasar penerapan aturan serta pengelolaan sumber daya hutan yaitu memanfaatkan konsep Pembangunan Hutan Produksi Lestari serta metode Tebang Pilih Tanam Indonesia (jalur formal) dengan para pihak yang menggunakan diskursus global sebagai pedoman dasar pengelolaan hutan yaitu penerapan konsep-konsep biodiversity, sustainable development dan governance (jalur non formal).
Para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai basis pemahaman pengelolaan hutan berpendapat kalau illegal logging adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa mengantongi sehelai izinpun, sedangkan para pihak yang menggunakan basis diskursus global melihat siapapun termasuk pemilik izin apabila dianggap ?merusak? maka mereka dikatakan tetap ?liar? dan oleh karenanya tetap dianggap melakukan illegal logging. Kesimpulan kedua, dijelaskan bahwa dalam membangun diskursus illegal logging menggunakan referensi kasus Adelin Lis adalah dengan pertama mencermati, mengulas kembali serta mempelajari berbagai diskusi diskursus yang terjadi seputar proses hukum di ranah peradilan negara dan kedua mencermati, mengulas kembali serta mempelajari diskusi diskursus yang terjadi dalam konteks ditemukannya legitimasi diskursif pada berbagai diskursus yang bermuatan ideologi neoliberalisme yang sangat sarat dengan konsep-konsep globalisasi dan menggunakan moda teknologi informasi masif seperti media elektronik internet blogs yang berdaya jangkau lintas ruang dan waktu.
Kedua pihak yang berseteru dapat dikatakan membangun simulacra-simulacra yaitu sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul tanpa memiliki konteks sejarah awalnya. Para rimbawan dalam menetapkan kawasan hutan misalnya, banyak ditemukan melakukannya hanya di atas meja tanpa melakukan penelitian lapangan sehingga banyak kawasan hutan yang ditetapkan ternyata tidak berhutan lagi atau sudah berupa perkotaan. Para pihak yang menchallenge rimbawan juga membangun simulacra dalam menyebarkan konsep illegal logging nya seperti para blogger yang bukan berlatar belakang kehutanan namun aktif berkampanye masalah lingkungan hanya berdasarkan referensi informasi digital pula meski selalu memiliki pesan-pesan humanis lingkungan yang dikemas secara rapih didistribusikan dalam media yang menggunakan teknologi informasi masa kini yang sangat masif dan berdaya sebar sangat cepat dalam jumlah yang sangat besar pula dengan biaya sangat murah di internet. Kesimpulan ketiga, adalah dengan menjelaskan kalau relasi serta koalisi para pihak terbentuk setelah mencatat dan merangkum hasil diskusi dari proses diskursus yang diangkat oleh dua pertanyaan penelitian sebelum ini, yaitu koalisi terbentuk sebagai wujud pengejawantahan dari persaingan usaha skala global dimana kedua koalisi adalah para pihak yang ingin memperebutkan akses penguasaan sumber daya hutan untuk tetap dimanfaatkan sebagai usaha berbasiskan kepentingan ekonomi.
Koalisi pertama adalah para pihak yang menganggap Adelin Lis sebagai pengusaha resmi memiliki izin sah dan hanya melakukan pelanggaran administratif karena yang didakwakan masih berada dalam wilayah kerja sesuai izinnya, sedangkan koalisi kedua tetap menganggap Adelin Lis melakukan tindak pidana illegal logging karena tetap dianggap merusak hutan yang dikelolanya. Dari perspektif Antropologis dapat disimpulkan akhirnya kalau koalisi pertama adalah pihak yang mempertahankan interest positivis legalistik, sedangkan koalisi kedua adalah pihak yang berpedoman pada interest post-konstruktivis legalistik.

This research is about a social problem where certain parties systematically challenging the existing forestry legal system in particular on illegal logging issue raised out of a legitimate and licensed businessman (Adelin Lis) being prosecuted on a case within his own concession in North Sumatera. This problem discovered in the reform era, where there are concerns and dissatisfactions among group of parties towards the existing forestry legal and management system as well as practices.
To explain the research problem clearly, the purpose of this research are first, to understand how the discourse battle on illegal logging could end up having at least two definitions; as an administrative or civil case but also as a criminal case. Then the subjects of this research are foresters and parties or inviduals that challenged them. Secondly, there are global content within the concept used by the parties that challenged the existing forestry legal system so the next purpose of the research is to find out how those global content concept that are brought up actually have economic purposes. Thirdly, the expansion of specialization of Anthropology discipline are very dynamic, one of which is discourse analysis. So another purpose of this research is to show how important Anthropology towards discourse analysis specialization, and vice versa how important is discourse analysis towards Anthropology in general. Lastly, would be the practical purpose of this research, that is how variation of illegal logging interpretation is actually an expression of good intentions by all parties involved in this battle, that people of the world are more and more concerns about environment and how forest resources in particular needs to be managed more wisely for the sake of future generations.
The two main conceptual framework are discourse analysis and discursive legitimacy which has neoliberalism ideology content (Humphreys, 2009). Understanding both concepts would be the criteria to guide me to search deeply into collecting primary data, reconstructing Adelin Lis court trial and gathering other secondary data on illegal logging by making sure that information I collected are indeed discursive legitimacy material. The research findings are, first, the illegal logging discourse battle is between those using existing forestry legal system such as Sustainable Forest Management (PHPL) and Indonesian Selective Cutting and Planting System (TPTI) that I consider as using formal scheme as their reference base, against those using global concept such as biodiversity, sustainable development and governance (Arts and Buizer, 2009) or using non formal scheme as their reference base, in managing forest resource as well as forest law enforcement.
Those using existing forest legal system as reference base strongly describe that illegal logging is strictly for illegal offenders that do not have a single license at all, while the challengers think that illegal loggers are described as for anyone who destroys forest including license holder or concession owner. Second finding is, beside in depth interviews illegal logging discourse constructions in Adelin Lis case are done through two processes, one is reconstructing court trial proceedings, and two is collecting discourses from media in particular electronic blogs.
Both parties involved in the battle constructed simulacra. Foresters for example created forest land use mapping out of a simple desktop without going into the field, therefore the reference maps used in the existing forestry legal system can be easily challenged. On the other hand, bloggers that happen to be the challengers do not have any forestry basic knowledge whatsoever, are broadcasting their discourses on webs based only on electronic references collected digitally as well. The digital discourses presented are professionally packaged filled with popular humanistic and green messages. The third or last finding is, new power relation and coalition formed from the whole research proceedings. All parties involved in the battle agreed that the entire discourse of illegal logging have economic purposes.
The first coalition describes Adelin Lis, a legitimate licensed businessman, only conducted an administrative offense since the case against him were carried out within the boundary of his concession. While the second coalition describes Adelin Lis conducted a criminal offense, eventhough he is a licensed businessman but he is destroying the forest. In an Anthropological prespective, the first coalition is considered to be the positive-legalist interests, while the second coalition is the post constuctive-legalist interests.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1331
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Supangkat, Budiawati
"Studi ini tentang respon para perempuan pedagang dalam dinamika pasar tradisional di kawasan perkotaan Ujung Berung, Bandung, dan sebab akibat respon tersebut terkait dengan usaha mereka dan dengan pasar sebagai tempat usaha mereka. Pendekatan berorientasi aktor yang dipakai dalam studi ini, melihat perempuan pedagang yang hidup dan harus menghidupi dua dunia, yakni rumah tangganya dan pasar. Penelitian ini menggabungkan metode kualitatif untuk mengkaji respon-respon perempuan pedagang tersebut, dan metode kuantitatif untk mendapatkan profil demografis pedagang pasar sebagai landasan pemilihan informan.
Hasil studi menunjukkan bahwa tipe-tipe perubahan di Pasar Ujung Berung ditanggapi dengan cara berbeda-beda oleh perempuan pedagang. Urbanisasi Ujung Berung yang terus menerus meningkatkan jumlah dan keragaman populasi, dan mengubah pasar Ujung Berung dari pasar lokal menjadi pasar transisi, ditanggapi sebagai hal yang relatif menguntungkan karena meningkatkan 'pasar'. Namun kebijakan relokasi pasar dan pertumbuhan retail modern di sekitar pasar dilihat sebagai ancaman serius bagi eksistensi pasar maupun usaha para perempuan pedagang, dan memunculkan respon politik maupun adaptasi ekonomi seperti diversifikasi komoditi, perpanjangan waktu berjualan, dan memanfaatkan sistem konsinyasi atau komisi dalam pengadaan komoditi. Dampak krisis moneter berupa kenaikan harga direspon dengan mengurangi volume komoditi dan memperbanyak konsinyasi; sedangkan dampak lain berupa persaingan dengan mantan buruh industri yang menjadi pedagang, direspon dengan mengurangi aspek personal dalam berjualan, dan meniru modus pesaing dengan berjualan menghampiri konsumen di pasar luar. Kebakaran yang merusak usaha diatasi dengan pendayagunaan berbagai sumber modal, dan mendorong perempuan terlibat dalam tindakan kolektif untuk membangun kembali usaha dan mengantisipasi bahaya serupa di masa mendatang.
Dari kasus empat tipe perempuan pedagang terlihat adanya otonomi perempuan pedagang atas ruang usaha, termasuk pada perempuan yang bermitra dagang bersama suami. Nilai 'mencari keuntungan' di pasar menguatkan otonomi perempuan pedagang dalam pengambilan keputusan bisnis, baik untuk kelanjutan atau pengembangan usaha dagangnya maupun memenuhi kebutuhan rumah tangga. Otonomi mereka di pasar merupakan landasan bagi adaptabilitas perempuan pedagang dalam mempertahankan usahanya masing-masing maupun mempertahankan pasar.Pasar tradisional akan selalu penting bagi mereka, karena selain merupakan ruang penghidupan yang memberikan otonomi, juga merupakan tempat kerja yang luwes untuk memadukan tugas produksi dan reproduksi sosial.

This study is emphasized on the responses of woman traders in an urban traditional market in Ujung Berung Bandung, and the effect of such responses to their enterprises and to the traditional market. The study uses actor oriented approach which sees women in their two worlds, namely the marketplace and the household. The method of this study combines qualitative approach to explore processes and actors meanings to changes which have been occurring, and a survey to obtain demographic profile of market traders and determine the categorization of women traders to be selected as informants in the case study.
The result of study shows that various changes in Ujung Berung have been differently responded by woman traders. The urbanization process which has been occurring in Ujung Berung since a long time ago has seeing enough time woman traders to able to slowly adapt to the increase of customers and various commodities are more or less normally face. It starts with increasing intervention of the city government planning to relocate the marketplace and growth of the modern retails occurred in surrounding the Ujung Berung market has been seen as strength forwomen traders. The monetary crisis which has affected in increasing various good prices has been responded by decreasing commodity volumes and increasing consignment. Another impact of monetary crisis namely former laborers who have become competitor for market traders has been responded by decreasing personal approach in buying and selling, and imitating the operation of the competitor by trading in the outer marketplace. The repeatedly fire in market has been responded to by woman traders by making efficient use of various capital to rebuild their business, and organizing in preventing or minimizing impacts of the fires. The market has also been known as women's domain.
The four cases of women traders shown that those women have an autonomy domain. Although a women traders run her business with her husband but in principally she got more power to do what is the best for herself. The ability of women to take a decision and to flourished strategies in her domain means that women traders got an autonomy. Therefore women's trader can carry on with hers business and make more money to fulfill her business. Especially if a husband, could not make enough money for his family, then women trader will cover the whole expenditure of the household. Women traders adaptibility can survive in their trading in market. In addition, this influence on Ujung Berung market, the market will be survive. Based on their autonomy, the woman traders have tried to undertaking various activities continuously to make money to fulfill their household necessities.If the time of trading affair coincides with that of the household affair, various social reproductions which are usually continuously done in the household scope is moved or handled in the market.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1340
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Nugroho
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang perjuangan untuk kebebasan sebelum dan sesudah Reformasi. Kajian ini akan melihat dari sudut pandang sebuah Komunitas Epistemik yang bernama Komunitas Utan Kayu, yang sebagiannya berkembang menjadi Komunitas Salihara. Kisah tentang Komunitas ini dimulai pada tanggal 21 Juni 1994 ketika majalah Tempo, Detik dan Editor dibredel. Kegaduhan tentang ini bersama dengan hal lainnya berujung pada jatuhnya pemerintahan Soeharto di bulan Mei 1998. Komunitas ini melanjutkan upayanya untuk mempromosikan kebebasan pada banyak hal. Dimulai dari kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan menyiarkan, kebebasan atas informasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan lainnya dalam kerangka kebebasan berfikir dan kebebasan berekspresi. Promosi kebebasan dari komunitas ini pada akhirnya harus berkontestasi dengan kelompok dan komunitas lainnya yang memiliki prinsip dan nilai yang berbeda, epistema yang berbeda. Semuanya berebut untuk dapat terlembagakan menjadi kebijakan dan praktik negara. Pada akhirnya ini adalah perjuangan mengelola imaginasi yang berbeda tentang Indonesia.

ABSTRACT
This paper examines the struggle for freedom in Indonesia before and after the reformation. It would be seen from the perspective of an epistemic community namely Utan Kayu Community, a community which later established Salihara Community. The story of the community begun in 21 June 1994 when Tempo magazine was banned along with Detik and Editor media. This created one of crowds that brought Soeharto government into end in May 1998. The community continued to promote freedom in all kinds. It started with the promotion of freedom of the press, freedom to established associations, freedom of speech and opinion, freedom of broadcasting, freedom of information, freedom of religions and beliefs and other freedoms under the freedom of thought and expressions. Promotion of freedoms by this community has been contested with other interest groups who have different principles and values, different episteme. All want to be adopted and institutionalized into policies and practices of the state. At end, this is about the struggle of managing different imaginations of Indonesia."
Depok: 2012
D1327
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sigiro, Atnike Nova
"Dua puluh tahun sejak transisi politik Indonesia pada tahun 1998, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru belum dapat diselesaikan. Indonesia menghadapi situasi impunitas, sementara agenda keadilan transisi semakin hilang dari diskursus publik. Disertasi ini meneliti dan menganalisa bagaimana pendekatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial BMP Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK , tidak hanya memperbaiki prosedur dan pelaksanaan kebijakan BMP tetapi juga dapat mendorong kelanjutan agenda keadilan transisi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kualitas pemulihan dari kebijakan BMP ditentukan oleh koherensi internal dan eksternal dari kebijakan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LSM dan Komnas HAM terhadap kebijakan BMP telah menyentuh hal-hal yang menjadi masalah di dalam koherensi kebijakan BMP. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan ilmu kesejahteraan sosial tidak hanya bersifat komplementer terhadap pendekatan hukum dalam memandang korban dan hak-hak korban, melainkan justru memberikan perspektif baru dalam memandang fungsi kelembagaan LPSK dan Komnas HAM sebagai Lembaga Pelayanan Manusia.

Twenty year after Indonesia rsquo;s political transition in 1998, gross human rights violations that occurred during the New Order have not yet being settled. Indonesia is facing impunity, meanwhile the transitional justice agendas are disappearing from public discourse. This dissertation studies and analyses how the advocacy approach, which have been used by Non Governmental Organizations NGOs and the National Human Rights Commission of Indonesia Komnas HAM towards the Medical and Psychosocial Assistance rsquo;s policy BMP of the Victims and Witness Protection Agency LPSK , could not only improve the procedures and the implementation of BMP policy, but could also further drive the transitional justice agendas in Indonesia. This research found that the quality of reparation provided by BMP policy was determined by the internal and external coherence of the policy. Advocacy that were conducted by NGOs and Komnas HAM towards BMP policy have addressed the coherences of BMP policy. This research concludes that social welfare approach is not just a complementary to the legal approach in looking at the victims and the rights they are entitled. Instead, it gives new perspective in looking at the institutional role of LPSK and Komnas HAM as Human Service Organizations HSO ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library