Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simon Abdi Kari Frank
"Disertasi ini tentang sengketa peebutan sumberdaya langka atau tanah, dan penyelesaiannya, di dalam rangka mendefinisikan kepentingannya, para pihak kepentingan menafsirkan aturan-aturan hukum, pemerinta, individu, kelompok masyarakat, badan-badan hukum dan swasta memakai undang-undang, dan kebijakan-kebijakan pertahanan sosial, sedangkan masyarakat hukum adat berdasarkan hukum adatnya. Dengan demikian terdapat pemaknaan terhadap aturan-aturan hukum itu seperti apa. Dampak adanya berbagai peraturan hukum sumberdaya tanah dapat terjadi perbedaan interpretasi (tafsir) dan benturan-benturan di antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumberdsaya tanah, yang pada akhirnya akan menimbulkan sengketa yang berkepanjangan. Sengketa dapat terjadi karena memperebutkan sesuatu (tanah) yang sangat berharga dalam kehidupannya, sehingga menimbulkan adanya keluhan, perselisihan, perbedaan kepentingan, ataupun tekanan yang dilakukan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah, sehingga pihak yang merasa dirugikan menyampaikan keluhannya pada pihak yang dianggap melanggar haknya, secara aktif, terbuka, dan melibatkan pihak ketiga.
Menjelaskan aksi-aksi sengketa perebutan sumberdaya tanah yang dikonstruksi masyarakat hukum adat papua, digunakan paradigma konstruktivisme, yang dikembangkan oleh para ahli ilmu sosial (sosiologi dan antropologi). Paradigma konstruktivisme menggambarkan proses-proses di mana melalui tindakan dan interaksinya, manusia menciptakan secara terus-menerus sebuah kenyataan atau realitas sosial secara objectif, tetapi berdasarkan makna-makna subjectif, dan refleksi atas isi kesadaran manusia (pengetahuan) yang dijadikan pedoman atau alat interpretasi dalam tindakan manusia. Dalam paradigma ini masyarakat atau manusia ditempatkan bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek penelitian yang dinamis, inovatif dan kreatif.
Uraian secara terperinci tentang kasus sengketa tanah, menggunakan metode kasus sengketa. melalui metode ini dapat doketahui waktu proses dan sebab-sebab terjadinya sengketa, siapa-siapa saja yang terlibat, strategi yang digunakan, aturan dan lembaga mana yang dipakai dalam menyelesaikan kasus sengketa. Data-data lapangan mengenai sengketa tanah dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam.
Sengketa perebutan sumberdaya tanah terjadi karena adanya tafsir mengenai hukum adat dan negara, tanah adat dan hak adat, serta rekognisi. masyarakat hukum adat Papua menyelesaikan sengketa tanah menggunakan berbagai lembaga maupun aturan hukum, realita menunjukkan terdapat kondisi majemuk atau pluralitik. Sedangkan strategi penyelesaian sengketa tanah menggunakan cara negosiasi, keterlibatan berbagai aktor, lembaga peradilan, pemalangan, lumping it, dan penduduk. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D642
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fikarwin
"Disertasi ini membahas relasi-relasi kekuasaan di antara pelaku-pelaku di dalam kancah sosial pengelolaan sampah. Kancah sosial pengelolaan sampah dalam penelitian ini dijadikan jendala untuk melihat kekuasaan bekerja dan memberi dampak pada kehidupan sehari-hari, khususnya di bidang kebersihan. Pertanyaannya adalah: bagaimana pelaku-pelaku di kancah sosial pengelolaan sampah melaksanakan dan mengalami kekuasaan sehingga hal itu berdampak pada jalannya penanganan sampah? Disertasi ini dibangun dari penelitian di Kota Depok, mulai dari sumbersumber penghasil sampah di hulu hingga ke tempat-tempat pembuangan sampah di hilir. Keragaman dan variasi jalur pembuangan sampah, serta pelaku pelaku yang menggerakkan system yang beragam itu, menjadi pusat perhatian utama penelitian ini karena hal itulah yang mencerminkan bekerjanya kekuasaan dalam relasi-relasi antar pelaku, di bidang persampahan. Kekuasaan dalam kajian ini difahami sebagai sesuatu yang beredar, cair dan dapat dimanfaatkan oleh semua pelaku dalam relasi-relasinya dengan pelaku yang lain. Oleh sebab itu sangat sulit membayangkan adanya hubungan kekuasaan yang langgeng dan terpola mantap di antara pelaku-pelaku mengingat semua pelaku pada dasarnya tidak pernah diam. Berbagai sumber dapat diakses dan dimanfaatkan oleh setiap pelaku untuk merubah konstruksi hubungan-hubungan yang dirasa kurang seimbang. Namun demikian, perlu digarisbawahi, bahwa kemampuan masing-masing pelaku dengan konteks sosialnya masing-masing, adalah tidak sama sehingga ditemukanlah ada pelakupelaku yang tersingkir, kalah, walaupun mungkin kekalahannya itu hanya sementara. Bukti-bukti dari kancah social pengelolaan sampah menunjukkan bahwa berkuasanya pelaku atas pelaku yang lain tidaklah mencakup keseluruhan hal, melainkan hanya parsial dan temporal. Sifat sementara dari relasi-relasi kekuasan ini tampak semakin nyata karena diperkuat oleh proses globalisasi yang membawa bersamanya diskursus-disrkursus tentang demokrasi, Hak Azasi Manusia, multikulturalisme, otonomi dan lain-lain. Relasi-relasi kekuasaan yang tumbuh dalam lingkungan yang kian terbuka itu, pada akhirnya membawa dampak pada penanganan/pembuangan sampah yang sebagian dapat mengotori wajah perkotaan. Berbagai kepentingan yang diusung oleh para pelaku, menyebabkan penanganan sampah disubordinasikan di bawah kepentingannya yang utama, misalnya ekonomi, harga diri, dan politik. Tetapi boleh jadi juga, kontestasi dan persaingan, yang menyelimuti banyak sekali hubungan di antara pelaku-pelaku, membuat penanganan sampah terwujud dalam performa terbaiknya. Namun harus digarisbawahi, performa ini pun tidak langgeng; bisa bertambah baik tetapi bisa juga bertambah buruk. Relasi-relasi kekuasaan yang cair inilah yang menyebabkan kesementaraan itu terjadi.

This disertation discusses power relations among agencies in the social field/arena of waste management. In this case, the waste management is held as a window to see the power works and affects the cleanliness of daily social life. So, the question is: how those agencies do and exercise power that affects process of handling the waste? This writing is constructed from the research which was done in Depok City, from places that produce rubbish to ones in which the waste finally embark. Various ways of throwing away the waste and different agencies who manage its system are the main focus of the research, because their relations, I think, reflect the work of power. Power here is understood as something that is pervasive, fluid and is able to be used by all agencies in relation to each other. Therefore, it is hardly to imagine that power relations among them are forever and stably patterned due to in principle agencies are always moving.Many sources can be gained and differently used by each agencies that construction of their relations are always changing. In addition, it should be underscored that because of different abilities of these agencies and their social contexts that it is understandable if some are found to have been discarded or defeated, but their lost may only be for a while. From investigation of waste management in Depok it has been found the facts that power relations among agencies do not include all aspects of social lives but only occur in certain aspect and time. These partial and temporal relations of power become more and more actual due to and is encouraged by globalisation brought with it discourses of democracy, Human Rights, multiculturalism, otonomy, and so on. Power relations that occur and develop within more open society have lead ultimately to affect treatment of rubbish that cause dirty in certain parts of the city. Various interests held by each agencies make the rubbish treatment subordinated to their self-interests such as economic benefits, self-respect, and politic agenda.It could be stated that contestation and competition among agencies may make the rubbish treatment work properly and at the best. Nevertheless, it should be underscored that this performance is not permanent: it will be getting better or worse. The fluidity of these power relations that causes temporality of this situation to occur."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D835
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pattinama, Eklefina
"Desertasi ini mengkaji masalah integrasi pasca konflik, studi kasus di Maluku Tengah Saparua. Realitas konflik politisasi agama-etnis yang terjadi di Maluku Tengah Saparua, tahun 2000 antar negeri Sirisori Salam dan negeri Sirisori Sarani, membuat warga masyarakat mengalami penderitan secara sosial, budaya, ekonomi dan politik. Penderitaan mendorong kesadaran para pelaku berupaya mempertahankan diri, menciptakan budaya lokal untuk integrasi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif secara khusus etnografi.
Untuk membaca data lapangan bagaimana proses reintegrasi yang dilakukan oleh para pelaku dan bagaimana mereka mengrekonstruks ikan integrasi pascakonflik, maka pemikiran Giddens dengan teori strukturasinya dimanfaatkan untuk itu. Temuan penelitian menunjukan bahwa (1). Atas inisatif para pelaku terjadi interaksi diantara para pelaku pada ruang dan waktu sesuai situasi berbeda. Pada situasi rawan interaksi pelaku terjadi di hutan, laut, pantai, loka/perbatasan pos militer. Di situasi keamanan terkendali interaksi pelaku korban konflik semakin melebar, di tempat kerja, ruang domestik dan publik. Adapun para pelaku reintegrasi lokal: kaum perempuan, petani, nelayan, pengemudi ojek, tukang bangunan, anak-anak, pemuda, tokoh pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat, kelompok kekerabatan. (2). Dari interaksi para pelaku sehari-hari, berlangsung terus menerus dan berulang, mereka menciptakan budaya lokal untuk integrasi, antara lain : (a).budaya ?gandong? baru lintas agama etnis, membentuk kembali struktur tiga batu tungku dan pertemanan baru. (b).menciptakan kerjasma ekonomi ; budaya ?pela? baru lintas agama-etnis ; membudaya kontrak hutan dibayar dengan hasil hutan. (c). membudayakan doa dan dialog, serta budaya Silaturahmi. (d). Menciptakan budaya mempertahankan diri melalui: berteman dengan militer, jaga lingkungan bersama serta menciptakan strategi menghadapi kemungkinan konflik baru, dengan cara mempertahankan identitas diri dan mengalihkan perhatian pada kerja.
Implikasi teoritis: (1) Temuan penelitian menunjukan bahwa kajian terhadap masalah integrasi telah mengalami pergeseran perhatian dari ide ke aktual, dari kultural ke struktural Pergeseran ini menunjukan bahwa kebudayaan dibentuk oleh tindakan manusia, yang mengindikasikan bahwa kebudayaan bukan lagi sekedar struktur yang mengarahkan tindakan para pelaku. Tetapi dari tindakan para pelaku sehari-hari, struktur diproduksi dan sekaligus menjadi sarana dari tindakan. 2), Melalui interaksi sehari-hari para pelaku memproduksi struktur baru atau bentuk kerjasama baru lintas agama-etnis, untuk memenuhi kepentingan para pelaku ; ekonomi, sosial-budaya dan politik. 3). Untuk memperkuat kerjasama baru ini, maka dibutuhkan Trust (saling percaya). Trust menjadi sarana utama mengembangkan relasi-relasi sosial lintas ruang dan waktu. Dengan kata lain trust harus diusahakan, dikerjakan, dikelola (karena tidak lagi given). Intensitas tust ditentukan oleh kesalingan dalam pengungkapan diri antara para pelaku.
Kesimpulan : Integrasi pascakonflik produksi tindakan manusia, tidak hanya memiliki kekuatan kerjasama budaya, tetapi juga sosial, ekonomi, religi dan politik dalam kesatuan sistem yang saling terkait.

The dissertation examines the integration of post-conflict issues, case studies in Central Maluku Saparua. The reality of the politicization of religion-ethnic conflicts that occurred in Central Maluku Saparua, the year 2000 between negeri Sirisori Salam and negeri Sirisori Sarani, making residents experience suffering socially, culturally, economically and politically. The suffering encourages awareness of the agency to try to defend themselves, creating a local culture for the integration. This study is an ethnographic qualitative research in particular.
To read how the process of reintegration of field data performed by the agency and how they reconstruct integration of post-conflict, the writer makes use of Giddens assumption concerning with structuring theory . Findings showed that (1). Of the agency initiative, interaction can take place among the agency in space and time according to different situations. In vulnerable situations agency interaction occurs in the forest, ocean, beach, workshops / frontier military posts. In the under control security situation the interaction of agency victims of the conflict widened, in the workplace, domestic space and the public. The local reintegration agency are women, farmers, fishermen, and ojek drivers, construction workers, children, youngsters, government leaders, religious leaders, community and kinship group leaders. (2). Because of daily interaction of the agency which is on going and repetitive, the agency create a local culture for the integration, among others: (a). "Gandong" new cross-ethnic religious culture, reshaping the structure of three-stone stoves and a new friendship. (b). Creating economic cooperation; "pela" new cross-ethnic religious culture; entrenching forest products contracts and forest contracts paid for with its commodity. (c). Culturing prayer and dialogue, and cultural gatherings. (d). Cultures to defend themselves through: making friends with the military, sharing environment and strategic guard against the possibility of new conflicts by maintaining the identity and turning their attention to the work.
Theoretical implications are that: (1) There are findings that showed that the study of the problem of integration has been a shift attention away from idea to actuality, from the cultural to the structural. The shift shows that culture is shaped by human action, and this indicates that culture is no longer a structure that directs the actions of the agency. But based on the actions of everyday agency, structures are produced and become the means of action. (2) Through the daily interactions, the agency produce new structures or new forms of co-operation across religions, ethnicities to meet the interests of the agency economically, socio-culturally and politically. (3) To strengthen this new partnership, the Trust is required (mutual trust). Trust becomes the primary vehicle for developing social relations across space and time. In other words, trust must be cultivated, treated, managed (because it is no longer given). The trust intensity is determined by the reciprocity in selfdisclosure among the agency.
Conclusions: The integration of post-conflict is produced by human action; it does not only have the power of cultural cooperation only, but also social, economic, religious and political unity of interrelated systems.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D00903
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kunthi Tridewiyanti
"ABSTRAK
Disertasi ini menelaah pengalaman perempuan peranakan Arab Ba-Alawi di Jakarta (disingkat perempuan Ba-Alawi) dalam sistem perkawinan, serta peran mereka sebagai aktor reproduksi kebudayaan dan resistensi dengan tujuan menjelaskan tentang pengalaman merekadalam perkawinan yang diharapkan (preference marriage). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode genealogical history dari empat generasi pada empat keluarga luas Ba-Alawi, pengamatan terlibat dan wawancara mendalam.
Penelitian ini menunjukkan:
(1) pengalaman perempuan ba Alwi memperlihatkan bahwa mereka sebagai bagian dari komunitas Ba-Alawi dikonfrontir oleh nilai-nilai perkawinan yang diharapkan berlandaskan pada sistem patri-lineal dan nilai sekufu/kafa?ah yang dipengaruhi oleh madzhab Syafe?i. Pemaknaan yang ketat terhadap nilai sekufu/kafaah menyebabkan perkawinan yang diharapkan berbentuk endogami bangsa (perkawinan sesama Ba-Alawi) untuk perempuan, sedangkan eksogami bangsa (perka-winan campuran) diperkenankan bagi laki-laki. Dalam perkawinanperempuan berada dalam pembatasan yang ketat, sehingga perempuan cenderung berada dalam dominasi laki-laki (budaya patriaki). Penelitian ini memperlihatkan bahwa perubahan pola, trend dan dinamika perkawinan pada komunitas Ba-Alawi disebabkan karena pemaknaan nilai sekufu/kafa?ah yang lebih longgar. Menarik bahwa data dari empat keluarga dalam penelitian ini menunjukkan trend perkawinan campuran meningkat dilakukan oleh perempuan. Adapun perkawinan campuran tersebut dapat terjadi antara perempuan Ba-Alawi dengan laki-laki di luar komunitas Ba-Alawi yaitu dengan laki-laki muslim, mualaf, atau bahkan dengan laki-laki beda agama dimana masing-masing pihak tetap bertahan pada agamanya. Namun bentuk perkawinan beda agama ini masih amat langka dan ditolak keras oleh komunitasnya. Setelah tahun 1974, perkawinan campuran yang dilakukan oleh perempuan, ditunjang oleh keragaman hukum yang berlaku, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum negara. Perempuan Ba-Alawi dapat memilih melakukan perkawinan siri, perkawinan sesuai dengan ketentuan negara (disebut perkawinan KUA), atau kedua-duanya.
(2) perempuan merupakan aktor yang dapat mengembangkan strategi-strategi untuk reproduksi kebudayaan dan resistensi terhadap budaya patriaki. Perempuan sebagai aktor pada prinsipnya didukung juga oleh aktor lain, yaitu laki-laki dalam keluarga, ulama/tokoh masyarakat, organisasi volunter dan aparat negara (terutama institusi agama). Reproduksi kebudayaan dan resistensi yang dilakukan oleh perempuan itu terlihat pada arena-arena sosial, yaitu pada media kekerabatan (seperti dalam silsilah keluarga dan perkawinan), media religi, dan media sosial.

ABSTRACT
This dissertation describes the experiences of half-breed Arab Ba-Alawi women in Jakarta (abbreviated as Ba-Alawi women) in the marriage system and their roles as actor of cultural reproduction and resistance with the objective to explain their experiences within the expected marital standards (preference marriage). This research is a qualitative research applying genealogical history method by using case studies of four generations of four Ba-Alawi extended family, participation observation, and indepth interviews.
This researches consist of:
1. The experiences of Ba-Alawi women showed that as part of Ba-Alawi community structure, they are being confronted by preference marriage which are based on patrilineal system and sekufu/kafa?ah values that are affected by Mazhab Syafe?i. The strict meaning of the se-kufu/kafa?ah values has caused the preference marriage became bangsa endogamy (marriage with same Ba-Alawi community) for women, while bangsa exogamy (intermarriage) is per-mitted for men. In the marriage, women are within the rigid restriction, so that, the women tend to be in the men?s domination (patriarchy culture). This research showed that the changes of pattern, trend and marriage dynamic in the Ba-Alawi community are caused by the less rigid restriction of sekufu/kafa?ah values. The data of the four families in this re-search shown the trend of increasing intermarriage done by women. Intermarriages are done by women marrying men outside the Ba-Alawi community (non Ba-Alawi), such as married to Moslem or mualaf men, or even married to non-Moslem men and they still retain each other?s religion. However, the marriage with the different religion is still rare and is much rejected by their community, After 1974, this marriage is supported by various laws occurred in Ba-Alawi community, that are Adat law, Islamic law and state law. Ba-Alawi women have chances to choose siri marriage, or marriage done in line with the Government Law (KUA marriage), or both of them.
2. Women are actor who could develop strategies of performing cultural reproduction and resistance to the patriarchy culture. Women are principally encouraged by other actors, that are male within the family, public figures/moslem scholars, voluntary organization and the state aparatus (mainly the religious institution). The cultural reproduction and resistance could be seen in social fields at the relationship medium (family genealogy and marriage), religion and social medium."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D962
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library