Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oska Mesanti
"Latar Belakang: Kondisi dekompensata tanpa infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dapat meningkatkan kadar prokalsitonin (PCT). Belum ada penelitian yang secara khusus membandingkan kadar PCT berdasarkan kompensasi hati dan ada tidaknya infeksi bakteri.
Tujuan: Mengetahui peran PCT dalam membantu menegakkan diagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati.
Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap pasien sirosis hati yang berobat jalan dan dirawat inap di RSUPNCM Jakarta dari April sampai Mei 2016. Pada pasien dilakukan pemeriksaan PCT dan penentuan ada tidaknya infeksi bakteri berdasarkan pemeriksaan standar sesuai jenis infeksi yang dicurigai. Dilakukan analisis untuk mengetahui perbedaan rerata kadar PCT pada pasien sirosis hati yang tidak terinfeksi bakteri dan yang terinfeksi bakteri, serta pencarian nilai titik potong PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada sirosis hati dekompensata dengan menggunakan receiver operating curve (ROC).
Hasil: Didapatkan 55 pasien sirosis hati, pria sebanyak 65,5%, dengan rerata usia 55,34±1,308 tahun. Sebanyak 38 (69,1%) pasien sirosis hati dekompensata yang 22 (57,9%) diantaranya tidak terinfeksi bakteri dan 16 (42,1%) terinfeksi bakteri. Pada pasien yang tidak terinfeksi bakteri terdapat perbedaan rerata kadar PCT yang bermakna antara pasien dekompensata (0,738ng/mL±1,185) dibandingkan dengan 17 pasien kompensata (0,065ng/mL±0,022). Rerata kadar PCT pasien dekompensata yang terinfeksi bakteri (3,607ng/mL±0,643) lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi bakteri(0,738ng/mL±1,185). Dari kurva ROC, kadar PCT pada pasien sirosis hati dekompensata didapatkan area under curve (AUC) 0,933 (IK 0,853-1,014) untuk diagnosis infeksi bakteri. Nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dekompensata adalah 2,79ng/mL dengan sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 86,4%.
Kesimpulan: Pada pasien sirosis hati yang tidak terinfeksi bakteri, kadar PCT pasien dekompensata lebih tinggi dibandingkan dengan yang kompensata. Kadar PCT pasien sirosis hati dekompensata yang terinfeksi bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi bakteri. Sementara nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien sirosis hati dekompensata adalah 2,79ng/mL.

Background: Liver decompensated without bacterial infection may increase procalcitonin (PCT) level in liver cirrhosis patients. Previous studies did not provide conclusive results about the differences of PCT level due to specific liver compensation and bacterial infection.
Objective: To examine the role of PCT in assisting the diagnosis of bacterial infection in liver cirrhosis patients.
Methods: A cross sectional study was conducted in liver cirrhosis patients who were outpatients and admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta between April and May 2016. Procalcitonin were examined and bacterial infection were identified using standard criteria for each type of infection being suspected. Analysis were performed to determine differences in the level of PCT among liver cirrhosis patients without bacterial infection and with bacterial infection, also to get cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients using receiver operating curve (ROC).
Results: There were 55 patients with liver cirrhosis, 65,5% male, with mean of age 55,34±1,308 years. A total of 38 (69,1%) patients had decompensated liver cirrhosis, while 22 (57,9%) of them without bacterial infection and 16 (42,1%) with bacterial infection. In the absence of bacterial infection, there was significant difference between PCT level in decompensated patients (0,738ng/mL±1,185) and 17 compensated patients(0,065ng/mL±0,022). Decompensated patients with bacterial infection (3,607ng/mL±0,643) had significantly higher PCT levels than those without bacterial infection(0,738ng/mL±1,185). From ROC, level of PCT for bacterial infection in decompensated liver cirrhosis was area under curve (AUC) 0,933 (IK 0,853-1,014). Cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients was 2,79ng/mL with a sensitivity of 87.5% and specificity of 86,4%.
Conclusion: In the absence of bacterial infection, PCT levels of decompensated patients was higher than compensated ones. Procalcitonin levels of decompensated liver cirrhosis patients with bacterial infection was higher than those without bacterial infection.Cut off point of PCT for bacterial infection diagnosis in decompensated liver cirrhosis patients was 2,79ng/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Feriadi Suwarna
"Latar Belakang: Masalah diagnostik efusi pleura tuberkulosis (EPTB) merupakan hal yang menjadi dilema di Indonesia. Pewarnaan rutin sering hasilnya negatif. Kultur M. tuberculosis (MTB) mempunyai kendala waktu, PCR masih dirasa mahal. Kadar Adenosine Deaminase (ADA) pada cairan pleura di berbagai studi di luar negeri menunjukkan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Uji diagnostik ADA di Indonesia belum pemah diteliti.
Tujuan. Mengetahui karaktreristik cairan pleura pada EPTB dan mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas ADA.
Metodologi. Uji diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan EPTB yang datang dan dirawat di RSCM, untuk dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, foto torah analisa cairan pleura, pemeriksaan kimia dash, sitologi, kultur MTB, PCR TB, ADA dan respons terhadap OAT. Dilakukan pengolahan data dan dimasukkan ke tabel frekuensi dan tabel silang.
Hasil. Selama periode April - September 2005 terkumpul 30 pasien namun dua orang dikeluarkan karena dari sitologinya didapati keganasan dan 4 pasien gagal punksi. Dua puluh empat pasien dengan klinis EP TB yang terdiri dari 12 laki-laki (50%) dan 12 perempuan (50%). Kelompok usia terbanyak < 25 tahun (10 prang, 41,6%). Kultur kuman MTB positif (5 orang, 20,83%), pewarnaan kuraan semua negatif (24 orang, 100%), PCR TB positif (16 orang, 66,6%), ADA positif (16 orang, 66,6%), sensitivitas ADA 75%, spesifisitas ADA 50%, nilai prediksi positif 75%, nilai prediksi negatif 50%, rasio kemungkinan positif 1,5, rasio kemungkinan negatif 0,5.
Kesimpulan. Seluruh sampel cairan pleura didominasi limfosit. Diagnosis EPTB dengan menggunakan ADA, didapat sensitivitasnya auk-up tinggi namun spesitisitasnya kurang tinggi.

Backgrounds: Diagnostic problems of Tuberculous Pleural Effusions (TPE) is dilemmatic in Indonesia. Routine smears are almost always negative. M. tuberculosis (MTB) culture has a time problem and PCR TB is very expensive. Study in other countries about ADA levels on pleural effusions had excellent sensitivity and specificity for TPE. The ADA diagnostic test is less expensive and has never been studied before in Indonesia.
Objectives. To study TPE characteristics and ADA's sensitivity and specificity for TPE.
Methods. Diagnostic test was conducted to TPE clinically patients who were outpatients or inpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital_ The patients were interviewed, physically examined, thorax x-ray, blood serum, cytology, MTB culture, PCR TB, ADA levels and response to anti tuberculosis medicine. Data were processed and make available on frequency table and cross table.
Results. From April - September 2005, 30 patients were enrolled in this study but two were excluded because they had malignancy and four because of failure on aspiration procedure. 24 TPE patients were available for in depth study. There were 12 males (50%) and 12 females (50%). Majority of the patients were from < 25 years old group (10 subjects, 41.6%). Culture MTB positive (5 subjects, 20.83%), stain totally negative (24 subjects, 100%), PCR TB positive (16 subjects, 66.6%), ADA positive (16 subjects, 66.6%), ADA sensitivity 75%, ADA specificity 50%, positive predictive value 75%, negative predictive value 50%, likelihood ratio positive 1.5, likelihood ratio negative 0.5.
Conclusions. All of pleural effusions sample are predominant lymphocytes. To diagnose TPE, ADA has good enough sensitivity but less specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21344
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cucunawangsih
"Demam dengue atau demam berdarah dengue masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, karena angka kesakitan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun terutama pada saat kejadian luar biasa. Meskipun demikian angka kematian telah turun di bawah 3% yaitu 1,1% pada tahun 2004. Terdapat beberapa penyakit yang memberikan gejala klinis menyerupai DBD sehingga menyulitkan dalam mendiagnosa, untuk itu diperiukan uji laboratorium sebagai konfirmasi untuk diagnosis klinis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan.64 spesimen yang berasal dan penderita tersangka demam dengue dan demam berdarah dengue yang dirawat di rumah sakit untuk kemudian dilakukan uji RT-PCR, hambatan hemaglutinasi dan IgM-IgG rapid immunochromatagraphy. Diagnosis klinis DBD menggunakan kriteria WHO 1997. Hasil yang didapat adalah bahwa keempat serotipe virus dengue ( DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 ) beredar di Jakarta, tempat dimana penelitian ini dilakukan dengan DEN-3 sebagai predominannya. IgM-IgG rapid immunochromatography dapat digunakan untuk membedakan infeksi virus dengue dengan yang bukan infeksi virus dengue karena sensitif, di samping itu mudah dan cepat untuk dikerjakan. Nilai sensitifitasnya adalah 95,8% dan spesifisitasnya adalah 65%. Dengan menggunakan tiga macam antigen ( DI, D2 dan D3 ), hasil uji hambatan hemaglutinasi memberikan hasil yang positif sebesar 60,9% dari kasus tersangka demam berdarah dengue. Meskipun pengerjaannya tidak sederhana dan memerlukan spesimen ganda, uji ini merupakan Baku emas bagi diagnosis infeksi dengue."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2005
T58393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronald Irwanto Natadidjaja
"Latar belakang : Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata hingga saat ini masih termasuk kasus yang sering dijumpai dalam klinik. Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata kerap kali dapat berakibat fatal. Data yang diperoleh di ruang rawat inap penyakit dalam RSCM menunjukkan lebih dari 200 kasus infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata sepanjang tahun 2010, dengan angka kejadian sepsis kurang lebih mencapai sekitar 10%. Manfaat diagnostik kausatif melalui temuan kultur kuman sebaiknya juga dinilai, karena pada kenyataannya, pemberian antibiotik sesuai temuan kultur kuman juga tidak sepenuhnya menjamin menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien, hal ini seringkali dimungkinkan oleh karena banyaknya kesalahan dalam pengambilan dan pelaporan hasil spesimen.
Tujuan : Mengetahui pola sensitifitas dan resistensi mikroorganisme aerob, pola penggunaan antibiotika, serta manfaat kultur pada infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata.
Metode : Penelitian merupakan studi kohort retrospektif dengan data sekunder pada pasien- pasien dengan infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata yang masuk ke rawat inap penyakit dalam antara bulan Juli 2011 - Juli 2012.
Hasil : Diperoleh 90 subjek penelitian dengan temuan S. aureus dan S.epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai. Angka resistensi S. epidermidis terhadap oxacyllin yang dapat menjadi indikator tingginya Methycillin Resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE) mencapai 53,8%, sedangkan untuk Methycillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) hanya 15,4%. Bakteri gram negatif yang terbanyak dijumpai adalah Pseudomonas sp yang mencapai 19,5% dari seluruh temuan kultur. Angka resistensi Pseudomonas sp terhadap cephalotin selaku indikator antibiotik beta laktam pada temuan ini mencapai 90%. Pada pemberian antibiotik empirik, kombinasi ampicillin-sulbactam dengan metronidazole menempati urutan tertinggi, yaitu mencapai 63,9%. Penggunaan antibiotik meropenem tunggal tampak mendominasi kelompok dengan eskalasi antibiotik Pada kelompok de-eskalasi antibiotik, 100% subjek diberikan antibiotik tunggal. Ciprofloxacin mendominasi pemberian antibiotik pada kelompok tersebut, yaitu mencapai 32,2% Penilaian manfaat kultur dilakukan dengan terlebih dahulu mengontrol faktor perancu, dan setelah mengontrol variabel perancu, secara statistik tidak ada perbedaan keberhasilan antara antibiotik empirik yang diberikan sesuai kultur dengan antibiotik empirik yang diberikan tidak sesuai kultur. OR pada penelitian ini adalah 0,45 dengan p > 0,05.
Simpulan : Angka resistensi terhadap antibiotik beta laktam yang ditunjukkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif cukup tinggi, dengan penggunaan antibiotik empirik yang terbanyak adalah ampisulbaktam dan metronidazole. Penggunaan meropenem tunggal paling banyak dijumpai pada kelompok dengan eskalasi antibiotik, sementara ciprofloxacin tunggal merupakan antibiotik yang paling banyak dijumpai pada kelompok de-eskalasi antibiotik. Pada penelitian ini, secara statistik tidak ada perbedaan keberhasilan antara antibiotik empirik yang diberikan sesuai kultur dengan antibiotik empirik yang diberikan tidak sesuai kultur.

Background: Complicated skin and soft tissue infection is arising as a global problem in worldwide with high fatality rate that should urgently be treated in clinical practice. Cipto Mangunkusumo Hospital, Internal Medicine Ward data showed, there were more than 200 cases during 2010, with 10% sepsis incidence rate. The culture effectiveness should be evaluated, because there are still more bias which frequently happened in sample taking or reporting procedure. This condition evokes high morbidity and mortality.
Aim: To analyze the sensitivity and resistance pattern of aerobic microorganism, empiric antibiotic and culture using in complicated skin and soft tissue infection.
Methods: July 2011-July2012 retrospective cohort study with secondary data of complicated skin and soft tissue infection patients in Cipto Mangunkusumo Hospital Internal Medicine Ward.
Result: There are 90 subjects with S. aureus and S. epidermidis as the highest finding of gram positive culture. S. epidermidis high resistance rate to oxacyllin indicates the high event of Methycillin Resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE) infection which reaches 53,8%, for a while only 15,4% of S. aureus that present as Methycillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA).Pseudomonas sp that reaches 19,5% is the most frequent of gram negative culture finding. This finding show high indication for beta lactam resistant. The most frequent of empiric antibiotic using is ampicillin-sulbactam in combination with metronidazole that achieves 63,9%. Single meropenem and single ciprofloxacin treatment is a majority issue in group with antibiotic escalation and antibiotic de-escalation. The culture effectiveness is searched after confounding factors statistic reduction done. There are no statistic significant improve for success between appropriate culture based antibiotic and inappropriate culture based antibiotic, with 0,45 OR and p= 0,085.
Conclusion: High resistance to beta lactam showed by both gram positive and gram negative. Ampicillin-sulbactam in combination with metronidazole is the most frequent of empiric antibiotic using, with single meropenem and single ciprofloxacin as a majority use in antibiotic escalation and de-escalation group, and the appropriate culture based antibiotic and inappropriate culture based antibiotic success shows not statistically improve.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Velma Herwanto
"Latar Belakang: Laktat merupakan penanda pada sepsis untuk stratifikasi risiko, target resusitasi, dan prediktor kematian. Interpretasi bersihan laktat dinilai lebih baik dibanding laktat tunggal untuk menilai kecukupan resusitasi dan menentukan prognosis. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pada pasien sepsis berat dan syok sepsis ada beda rerata bersihan laktat 6, 12, dan 24 jam antara yang mengalami mortalitas fase akut dengan yang tidak, serta mencari titik potongnya.
Metode: Disain studi adalah kohort prospektif. Subyek dikumpulkan dengan metode konsekutif dari Unit Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap, dan Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan laktat dilakukan pada jam ke-0, 6, 12, dan 24, kemudian subyek diikuti untuk diketahui kematian 3 harinya.
Hasil: Terinklusi 81 subyek pada studi ini, 80 subyek diikuti sampai jam ke-12, dan 72 subyek diikuti sampai jam ke-24. Dua puluh lima subyek meninggal dalam 3 hari (31%). Beda median hanya didapatkan pada bersihan laktat 24 jam (median -17,0% vs. 15,2% pada yang meninggal dan hidup; p 0,034). Titik potong bersihan laktat 24 jam terbaik adalah -6,0% (AUC 0,744, sensitivitas 62,5% dan spesifisitas 87,5%, nilai duga positif 58,8% dan nilai duga negatif 89,1%, risiko relatif 5,39). Dalam analisis multivariat, APACHE II bermakna sebagai perancu.
Simpulan: Median bersihan laktat 24 jam lebih rendah pada pasien sepsis berat dan syok sepsis yang mengalami mortalitas fase akut. Titik potong dari bersihan laktat tersebut adalah -6,0%.

Background: Lactate is one of biomarkers in sepsis, used for risk stratification, resuscitation target, and death prediction. Interpretation of lactate clearance was proven to be better than single lactate measurement to evaluate resuscitation adequacy and to determine prognosis. This study was aimed to find out if in severe sepsis and septic shock patients there are mean differences of 6, 12, and 24 hour lactate clearance between patients with and without acute phase mortality, and also to find its cut off.
Methods: Study design was prospective cohort. Subjects were collected by consecutive sampling from Emergency Department, hospital ward, and Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital. Lactate levels were measured on 6, 12, and 24 hour, then subjects were followed to evaluate their 3-day mortality.
Results: Eighty one subjects were incuded in this study, 80 subjects were followed until 12 hours, and 72 subjects were followed until 24 hours. Twenty five subjects were died within 3 days (31%). Only 24-hour lactate clearance had median difference (median -17.0% vs. 15.2% in mortal and survive group; p 0.034). The best cut off for 24 hour lactate clearance was -6.0% (AUC 0.744, sensitivity 62.5% and specificity 87.5%, positive predictive value 58.8% and negative predicitive value 89.1%, relative risk 5.39). In multivariate analysis, APACHE II was proven to be a confounder.
Conclusions: Median of 24-hour lactate clearance was lower in severe sepsis and septic shock patients who were died within three days. Its cut off was -6.0%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Sinto
"Latar Belakang. Angka kejadian dan mortalitas pasien sepsis berat dan syok sepsis di dunia masih tinggi. Belum diketahui peran gabungan parameter akhir resusitasi makrosirkulasi dan mikrosirkulasi yang disusun dalam sebuah model prediksi mortalitas dini pasca fase resusitasi awal pasien sepsis berat dan syok sepsis.
Tujuan. Menentukan model prediksi terjadinya mortalitas dini pasca fase resusitasi awal pasien sepsis berat dan syok sepsis berdasarkan parameter akhir resusitasi makrosirkulasi dan mikrosirkulasi.
Metode. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan terhadap pasien sepsis berat dan/atau syok sepsis yang berusia lebih dari sama dengan 18 tahun dan dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada periode waktu Januari 2011 sampai Desember 2012. Pasien diamati selama 120 jam pertama pasca inisiasi fase resusitasi awal untuk melihat luaran yang terjadi dan waktu timbul luaran berupa mortalitas. Sembilan prediktor terjadinya mortalitas dini yang telah didefinisikan sebelumnya diidentifikasi pasca pasien melewati fase resusitasi awal. Prediktor independen mortalitas dini diidentifikasi dengan analisis regresi Cox’s Proportional Hazard dan setiap faktor independen dikuantifikasi untuk mengembangkan suatu model prediksi mortalitas dini. Kemampuan kalibrasi model tersebut ditentukan dengan uji Hosmer-Lameshow dan kemampuan diskriminasinya ditentukan dengan menghitung area under curve (AUC) dari receiver operating curve.
Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 268 pasien. Sebagian besar (54,9%) merupakan pasien laki-laki, dengan median (rentang) usia 49 tahun (18;86). Mortalitas terjadi pada 70 pasien (insidens kumulatif 26,1%, insidens densitas 0,002 per orang-jam) dalam 120 jam pertama pasca inisiasi fase resusitasi awal. Dua prediktor independen mortalitas dini diidentifikasi, yakni: bersihan laktat (adjusted hazard ratio[HR] 11,81 [IK95% 6,50-21,46]) dan jumlah disfungsi organ (2 disfungsi organ, adjusted HR 1,47 [IK95% 0,58- 3,72]; >3 disfungsi organ, adjusted HR 3,79 [IK95% 1,65-8,69]). Model prediksi ditentukan dengan menggunakan model akhir analisis multivariat dan distratifikasi menjadi dua kelompok tingkatan risiko: rendah (probabilitas mortalitas dini 7,8%), dan tinggi (72,3%). Uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan presisi yang baik (p 0,745) dan AUC menunjukkan kemampuan diskriminasi yang sangat baik (0,91 [IK95% 0,87-0,95]).
Kesimpulan. Model prediksi terjadinya mortalitas dini pasca fase resusitasi awal pasien sepsis berat dan syok sepsis berdasarkan parameter akhir resusitasi makrosirkulasi dan mikrosirkulasi dapat disusun berdasarkan parameter bersihan laktat dan jumlah disfungsi organ.

Introduction. The incidence and mortality rates of patients with severe sepsis and septic shock in the world is still high. There is unknown role of macrocirculation and microcirculation end points resuscitation which are combined as the component of prediction model for early mortality after early resuscitative phase of patient with severe sepsis and septic shock.
Aim. To develop a prediction model for early mortality after early resuscitative phase of patient with severe sepsis and septic shock based on macrocirculation and microcirculation end points resuscitation.
Method. A retrospective cohort study was conducted in severe sepsis and septic shock patients (aged 18 years and older) who were hospitalized in Intensive Care Unit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo from January 2011 until December 2012. Patients’ outcome and time to outcome were observed during first 120 hours of initiation of early resuscitative phase. Nine predefined predictors for development of early mortality were identified after early resuscitative phase. Independent predictors for early mortality were identified by Cox’s proportional hazard regression analysis and each independent predictor was quantified to develop early mortality prediction model. The calibration performance of the model was tested by Hosmer-Lameshow test and its discrimination ability was determined by calculating area under the receiver operating characteristic curve (AUC).
Results. Subjects consist of 268 patients, predominantly male (54.9%), with median (range) age of 49 (18;86) years old. Mortality developed in 70 patients (cumulative incidence 26.1%, incidence density 0.002 per person-hours) during first 120 hours of initiation of early resuscitative phase. Two independent predictors for early mortality were identified, including: lactate clearance (adjusted hazard ratio[HR] 11.81 [95%CI 6.50-21.46]) and number of organ dysfunction (2 organs dysfunction, adjusted HR 1.47 [95%CI 0.58- 3.72]; >3 organs dysfunction, adjusted HR 3.79 [95%CI 1.65-8.69]). Predictive model was performed using the final model of multivariate analysis and stratified into two levels: low- (probability for early mortality 7.8%), and high-risk (72.3%) groups. The Hosmer-Lemeshow test revealed good precision (p-value 0.745) and the AUC showed very good discrimination ability (0.91 [95% CI 0.87-0.97]).
Conclusion. A prediction model for early mortality after early resuscitative phase of patient with severe sepsis and septic shock based on macrocirculation and microcirculation end points resuscitation can be developed based on two parameters, i.e. lactate clearance and number of organ dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Sarwono
"Latar belakang : Inflamasi pada hemodialisis (HD) berhubungan dengan terjadinya kontak darah dengan membran dialisis, cairan dialisat, akses vaskuler dan infeksi. Peningkatan sitokin pro-inflamasi berperan penting terhadap terjadinya aterosklerosis selain itu inflamasi berakibat anoreksia dan kondisi hiperkatabolik yang menyebabkan malnutrisi. Keadaan ini disebut sebagai Sindrom Malnutrisi-Inflamasi-Aterosklerosis. Karakteristik HD di Indonesia berbeda dengan negara maju, perbedaan tersebut terkait penggunaan dialyzer pakai ulang dan tipe low-flux, belum menggunakan dialisat ultrapure dan dosis HD yang tidak adekuat.
Tujuan : Melihat beda rerata antara Skor-MI, hsCRP dan sTNFR-1 pada pasien HD yang mengalami aterosklerosis dan yang tidak aterosklerosis.
Metode Penelitian : Desain studi potong lintang pada pasien HD yang dalam keadaan stabil yang sudah menjalani HD antara 3 bulan sampai 5 tahun di RSUP Fatmawati. Jumlah subyek 60 orang yang dikumpulkan dalam kurun waktu Desember 2013 sampai dengan Februari 2014. Pemeriksaan hsCRP dan sTNFR-1 sebagai biomarker inflamasi, untuk menentukan status nutrisi menggunakan skor malnutrisi-inflamasi(Skor-MI) dan pemeriksaan USG doppler arteri Karotis untuk menentukan penebalan intima-media(CIMT). Analisis statistik dengan uji T dan uji Mann-Whitney.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan Skor-MI pada kelompok yang CIMT positif (aterosklerosis) memiliki nilai median lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang non aterosklerosis (7 vs 5). Sedangkan kadar sTNFR-1 memiliki nilai median CIMT positif (3.48) lebih rendah dibandingkan CIMT negatif (12,126 vs 11,657). Kadar hsCRP pada kelompok CIMT positif memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan CIMT yang negatif (3.48 vs 5.32). Dari ketiga variabel tersebut tidak ada beda rerata (p>0,05).
Kesimpulan : Tidak terdapat beda rerata antara Skor-MI, hsCRP dan sTNFR-1 pada pasien HD yang mengalami aterosklerosis dan yang tidak aterosklerosis.

Background: Inflammation in hemodialysis is associated with blood contact with dialysis membrane, dialysate solution, vascular access and infection. Increment of pro-inflammatory cytokine plays important role in atherosclerosis development. Inflammation also causes anorexia and hypercatabolism state leading to malnutrition. This condition is called malnutrition-inflammation-atherosclerosis syndrome. Hemodialysis characteristics in Indonesia is different with those in developed countries. Those differences are associated with reuse dialyzer, low flux hemodialysis, inadequate dose of hemodialysis, and unavailability of ultrapure dialysate.
Aim: To determine the mean difference between MI score, hsCRP and sTNFR-1 in hemodyalisis patients with atherosclerosis and non-atherosclerosis.
Methods: This is a cross-sectional study which has involved hemodialysis patients who underwent HD between 3 months to 5 years in Fatmawati Central Hospital. There are 60 subjects collected from December 2013 until February 2014. hsCRP and soluble TNFR-1 were used as inflammation biomarker, MI score was used to assess nutritional status. and carotid doppler ultrasonography was used to assess carotid intima media thickness. This study used T-test and Mann-Whitney for statistical analysis.
Results: Median score for malnutrition-inflammation score in atherosclerotic group is higher than non atherosclerotic group (7 vs 5), while the median sTNFR-1 in atherosclerotic group is lower than non atherosclerotic group (12,126 vs 11,657). Mean hsCRP in atherosclerotic group is higher than non atherosclerotic group (3.48 vs 5.32). There are no mean differences of all those three variables (p>0.05).
Conclusion: No mean differences between MI-score, hsCRP, and sTNFR-1 with atherosclerotic and non-atherosclerotic in HD patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mizanul Adli
"ABSTRAK
Latar Belakang: EORTC menekankan pentingnya menilai kualitas hidup pasien kanker. Saat ini, di Indonesia, belum ada kuesioner yang reliabel dan valid untuk menilai kualitas hidup pasien kanker payudara secara akurat. Tujuan: membuktikan bahwa EORTC-QLQ-BR23 merupakan kuesioner yang reliabel dan valid digunakan di Indonesia Metode: Penelitian dimulai dengan menerjemahkan EORTC-QLQ-BR23 ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian diujicobakan pada 10 responden. Setelah itu, EORTC QLQ-BR23 hasil terjemahan digunakan pada penelitian utama. Test-retest dinilai dengan Intraclass Correlation Coeficient (ICC). Konsistensi internal dinilai dengan cronbach alpha. Construct validity dinilai dengan multi-trait scaling analysis. Validitas kriteria dinilai dengan melihat korelasi antara domain EORTC-QLQ-C30 dan EORTC-QLQ-BR23 dengan SF36. Hasil: Telah dilakukan pengambilan data terhadap 100 pasien kanker payudara dari September ? Oktober 2015. Nilai ICC (interval 1 jam) pada semua domain sangat baik (ICC > 0,8). Nilai cronbach alpha > 0,7 pada hampir semua domain. Multi-trait scaling analysis menunjukkan korelasi cukup tinggi antara skor pertanyaan dengan skor domainnya sendiri. Uji validitas kriteria, didapatkan 19 korelasi dengan r > 0,3 antara domain EORTC-QLQ-C30 dan EORTC-QLQ-BR23 dengan SF36. Simpulan: EORTC-QLQ-BR23 merupakan kuesioner yang reliabel dan valid digunakan di Indonesia.ABSTRACT
Background: EORTC emphasize the importance of assessing quality of life in cancer patients. In Indonesia, there has been no reliable and valid questionnaire to assess quality of life of breast cancer patients accurately. Objective: To prove that EORTC-QLQ-BR23 is reliable and valid questionnaire used in Indonesia. Methods: Study began with the EORTC-QLQ-BR23 translated into Indonesian and then tested on 10 respondents. Indonesian version of EORTC-QLQ-BR23 is used in main study. Test-retest was assessed with intraclass correlation coeficient (ICC). Internal consistency was assessed by Cronbach alpha. Construct validity was assessed by multi-trait scaling analysis. Criteria validity assessed by looking at correlation between EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Results: Data collection were done on 100 breast cancer patients from September to October 2015. ICC value (1 hour interval) in all domains of EORTC-QLQ-BR23 is very good (ICC> 0.8). Cronbach alpha values >0.7 in almost all EORTC-QLQ-BR23 domains. Multi-trait scaling analysis showed a high correlation between scores of questions with a score of his own domain. Criteria validity test, obtained 19 correlation with r>0,3 between domains EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Conclusion: EORTC-QLQ-BR23 is a reliable and valid questionnaire used in Indonesia.;Background: EORTC emphasize the importance of assessing quality of life in cancer patients. In Indonesia, there has been no reliable and valid questionnaire to assess quality of life of breast cancer patients accurately. Objective: To prove that EORTC-QLQ-BR23 is reliable and valid questionnaire used in Indonesia. Methods: Study began with the EORTC-QLQ-BR23 translated into Indonesian and then tested on 10 respondents. Indonesian version of EORTC-QLQ-BR23 is used in main study. Test-retest was assessed with intraclass correlation coeficient (ICC). Internal consistency was assessed by Cronbach alpha. Construct validity was assessed by multi-trait scaling analysis. Criteria validity assessed by looking at correlation between EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Results: Data collection were done on 100 breast cancer patients from September to October 2015. ICC value (1 hour interval) in all domains of EORTC-QLQ-BR23 is very good (ICC> 0.8). Cronbach alpha values >0.7 in almost all EORTC-QLQ-BR23 domains. Multi-trait scaling analysis showed a high correlation between scores of questions with a score of his own domain. Criteria validity test, obtained 19 correlation with r>0,3 between domains EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Conclusion: EORTC-QLQ-BR23 is a reliable and valid questionnaire used in Indonesia."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Perdana Aditya Rahman
"ABSTRAK
Latar Belakang
Kejadian trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien LES, selain infeksi dan aktivitas penyakit. Faktor risiko trombosis pada LES sangat beragam seperti sindrom antifosfolipid, aterosklerosis dini, autoantibodies dan inflamasi yang akan mengaktifkan trombosit dan jalur koagulasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara MPV dengan D-dimer dan Mex-SLEDAI dan mencari titik potong dari MPV yang memberikan peningkatan D-dimer.
Metode
Studi potong lintang pada pasien LES yang tidak mengonsumsi antiplatelet/ antikoagulan. Penelitian ini mengeksklusi pasien dengan tuberkulosis/ herpes zoster aktif, wanita hamil, sepsis dan gangguan hati. Seluruh pasien dinilai aktivitas penyakitnya dengan Mex-SLEDAI dan sampel darah diambil untuk pemeriksaan MPV dan D-dimer. Korelasi antara MPV dengan Mex-SLEDAI dan D-dimer dianalisis dengan uji Spearman.
Hasil Penelitian
Enam puluh tiga subyek (62 perempuan, 1 laki-laki), dengan median usia 33 (18-55) tahun. Median durasi terdiagnosis adalah 3 (0-25) tahun. Keterlibatan mukokutan, muskuloskeletal dan nefritis didapatkan pada 82,5%, 79,4%, dan 50,7% berturut-turut. Skor Mex-SLEDAI berentang dari 0 – 13, dengan 60.3% subyek dalam kondisi remisi (< 2) dan 27% berada dalam kondisi aktif (> 5). Median dari MPV adalah 9,9 (8,2-12,9) fL dan median dari D-dimer 365,51 (97,58 – 4938,1) ng/ml. Tidak didapatkan korelasi antara MPV dengan D-dimer (r= 0,049, p= 0,700), dan MPV dengan Mex-SLEDAI (r= 0,018, p= 0,888). Tidak didapatkan perbedaan MPV antara kelompok D-dimer normal dan tinggi, yaitu 9,75 (8,6 – 12,9) dan 10,1 (8,2 – 12,8) fL, p = 0,641. Dari kurva ROC, MPV 10,3 fL memiliki sensitifitas 48,1% dan spesifisitas 75% dalam memprediksi peningkatan D-dimer.
Kesimpulan
Tidak didapatkan korelasi antara MPV dengan D-dimer dan MPV dengan Mex-SLEDAI. Tidak didapatkan perbedaan MPV antara kelompok D-dimer normal dan tinggi. Titik potong MPV untuk memprediksi peningkatan D-dimer adalah 10.3 fL.

ABSTRACT
Background
Thrombotic event is one of mortality cause in SLE patients beside infection and disease activity. Thrombotic risk factors in SLE consist of antiphospholipid syndrome, accelerated atherosclerosis, autoantibodies and inflammation that will activate platelet and coagulation cascade. This study aimed to determine the correlation between MPV with D-dimer and Mex-SLEDAI as parameter of disease activity, and to find the cut-off value of MPV that correlate with D-dimer levels.
Methods
A cross sectional study of SLE patients who do not consume antiplatelet/ anticoagulant medication. Active tuberculosis/ herpes zoster, pregnant woman, sepsis, and liver disorders were excluded. All patients were assessed for Mex-SLEDAI score and blood sample for MPV and D-dimer was taken. Correlation between MPV with Mex-SLEDAI and D-dimer was analyzed using Spearman’s analysis test.
Study Results
Sixty three subjects (62 females, 1 male), with median age 33 (18-55) years old. Median duration of diagnosis is 3 (0–25) years. Mucocutaneous, musculoskeletal and nephritis were found in 82.5%, 79.4% and 50.7% subjects respectively. Mex-SLEDAI score ranging from 0–13, 60.3% subjects are in remission (<2) and 27% in active disease (>5). Median of MPV 9.9 (8.2–12.9) fL and median of D-dimer 365.51 ng/ml (97.58–4938.10). There were no correlation between MPV with D-dimer (r=0.049, p=0.700), and MPV with Mex-SLEDAI (r=0.018, p=0.888). There is no difference of MPV among groups with normal or high D-dimer, which are 9.75 (8.6 – 12.9) and 10.1 (8.2 – 12.8) fL, p = 0.641. From ROC curve, MPV 10.3 fL had 48.1% sensitivity and 75% specificity in predicting D-dimer increment.
Conclusions
There are no correlation between MPV with D-dimer level and MPV with Mex-SLEDAI score. There is no difference of MPV among group with normal and high D-dimer levels. Cut-off value for MPV to predict increased D-dimer level was 10.3 fL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Zainudin
"Latar belakang: Infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan disregulasi sistem imun sehingga memperberat klinis pasien. Penilaian CT dan parameter inflamasi pejamu (neutrofil, limfosit, CRP dan feritin) saat admisi diharapkan membantu klinisi memberi tatalaksana efektif bagi pasien berisiko perburukan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh nilai CT dan parameter inflamasi pejamu saat admisi terhadap derajat penyakit COVID-19 dalam 14 hari sejak onset gejala.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien COVID-19 berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM dan RS Medistra pada Juni 2020-Februari 2021. Dilakukan analisis bivariat antara nilai CT, neutrofil, limfosit, CRP, feritin saat admisi dengan keparahan COVID-19, dilanjutkan analisis ROC untuk mendapatkan titik potong optimal. Setelahnya, dilakukan analisis multivariat dan membuat model klinis terbaik menilai kemungkinan keparahan COVID-19.
Hasil: Dari 336 subjek didapatkan COVID-19 berat-kritis sejumlah 75,3%. Tidak terdapat hubungan antara nilai CT rendah-sedang dan CT rendah-tinggi terhadap keparahan COVID-19 dengan nilai p masing-masing 0129 dan 0,913, sementara itu terdapat hubungan signifikan antara neutrofil, limfosit, CRP dan feritin terhadap keparahan COVID-19 dengan masing-masing nilai p<0,001. Dari analisis ROC, didapat titik potong optimal neutrofil (>71,5%), limfosit (<18,5%), CRP (>17,2 mg/dL), feritin (270 ng/mL) terhadap terjadinya COVID-19 berat-kritis dalam 14 hari sejak onset gejala. Hasil analisis multivariat menujukkan faktor yang mempengaruhi COVID-19 berat-kritis antara lain neutrofil (aRR 1,850 [IK 95% 1,482-2,311]), limfosit (aRR 1,877 [IK 95% 1,501 – 2,348]), CRP (aRR 2,068 [IK 95% 1,593 – 2,685]), dan feritin (aRR 1,841 [IK 95% 1,438 – 2,357]). Model klinis kombinasi neutrofil, limfosit, CPR dan feritin terhadap COVID-19 berat-kritis memiliki nilai AUC 0,933 (IK 95% 0,902 – 0,963).
Kesimpulan: nilai CT tidak mempengaruhi COVID-19 tidak berat dan berat-kritis. Neutrofil, limfosit, CRP, dan feritin saat admisi mempengaruhi terjadinya COVID-19 tidak berat dan berat-kritis Kombinasi neutrofil, limfosit, CRP dan feritin merupakan model klinis terbaik menilai kemungkinan keparahan COVID-19 dalam 14 hari sejak onset gejala.

Background: SARS-CoV-2 infection leads to immune dysregulation and hyperinflammation, thus potentially exacerbating clinical outcomes. Assessing CT value and host inflammatory parameters such as neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritin upon admission may assist clinicians in providing effective management, especially for patient at risk of severe-critical condition.
Objective: To analyze the effect of CT values and host inflammatory parameters upon admission on the severity of COVID-19 within 14 days of symptom onset.
Methods: A retrospective cohort study tracing COVID-19 patient’s medical records aged >18 years admitted to RSUPN Ciptomangunkusumo and RS Medistra from June 2020 to February 2021. Bivariate analysis was conducted between CT values, neutrophils, lymphocytes, CRP, feritin on admission with COVID-19 severity, then ROC analysis to determine the optimal cut off points. Multivariate analysis was performed to control confounding factors. The best clinical model was analyzed for severe-critical outcome within 14 days of symptom onset.
Results: Out of 336 subjects, 75,3% had severe-critical COVID-19. There was no association between low-moderate CT value and low-high CT value with COVID-19 severity, with p value 0,129 and 0,913 respectively. However, there was significant association between neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritins with COVID-19 severity, each with p<0.001. ROC analysis determined optimal cut off for neutrophils (>71.5%), lymphocytes (<18.5%), CRP (>17.2 mg/dL), and feritin (270 ng/mL) for the occurrence of severe-critical COVDI-19 within 14 days symptom onset. Multivariate analysis revealed factors influencing severe-critical COVID-19 including neutrophils (aRR 1.850 [95% CI 1.482-2.311]), lymphocytes (aRR 1.877 [95% CI 1.501 – 2.348]), CRP (aRR 2.068 [95% CI 1.593 – 2.685]), and feritin (aRR 1.841 [95% CI 1.438 – 2.357]). Combination of neutrophil, lymphocytes, CRP, and feritin was the best clinical model for severe-critical COVID-19 with AUC value 0.933 (95% CI 0.902 – 0.963).
Conclusion: Neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritin value upon admission effect COVID-19 severity within 14 days of symptom onset
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>