Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Sejati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Terdapat gangguan sistem imun pada sepsis. Fase awal ditandai
dengan hiperinflamasi, sedangkan fase lanjut ditandai dengan imunosupresi.
Kematian kumulatif lebih banyak pada fase lanjut. Saat ini belum terdapat
penelitian yang secara khusus meneliti faktor prognostik mortalitas sepsis fase
lanjut dan mengembangkan model prediksi mortalitasnya.
Tujuan. Mengetahui faktor prognostik mortalitas sepsis berat fase lanjut di ICU
dan mengembangkan sistem skor untuk memprediksi mortalitas.
Metode. Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada pasien dewasa yang
mengalami sepsis berat di ICU RSCM pada periode Oktober 2011 – November
2012 dan masih bertahan setelah > 72 jam diagnosis sepsis ditegakkan di ICU.
Tujuh faktor prognostik diidentifikasi saat diagnosis sepsis berat ditegakkan di
ICU. Prediktor independen diidentifikasi dengan analisis Cox’s proportional
hazard. Prediktor yang bermakna secara statistik dikuantifikasi dalam model
prediksi. Kalibrasi model dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan kemampuan
diskriminasi dinilai dari area under curve (AUC) dari receiver operating curve.
Hasil. Subjek penelitian terdiri atas 220 pasien. Mortalitas 28 hari sepsis berat
fase lanjut adalah 40%. Faktor prognostik yang bermakna adalah alasan masuk
ICU (medis (HR 2,75; IK95%:1,56-4,84), pembedahan emergensi (HR 1,96;
IK95%:0,99 – 3,90), indeks komorbiditas Charlson > 2 (HR 2,07; IK95%:1,32-
3,23), dan skor MSOFA > 4 (HR 2,84; IK95%:1,54-5,24). Model prediksi
memiliki kemampuan diskriminasi yang baik (AUC 0,844) dan kalibrasi yang
baik (uji Hosmer-Lemeshow p 0,674). Berdasarkan model tersebut risiko
mortalitas dapat dibagi menjadi rendah (skor 0, mortalitas 5,4%), sedang (skor 1 –
2,5, mortalitas 20,6%), dan tinggi (skor > 2,5, mortalitas 73,6%).
Simpulan. Alasan masuk medis dan pembedahan emergensi, indeks komorbiditas
Charlson > 2, dan skor MSOFA > 4 merupakan faktor prognostik mortalitas
sepsis berat fase lanjut di ICU RSCM. Sebuah model telah dikembangkan untuk
memprediksi dan mengklasifikasikan risiko mortalitas.

ABSTRACT
Background. Immune system derrangement occurs during the course of sepsis,
characterized by hyperinflamation in early phase and hypoinflamation and
immunosupression in late phase. The number of patient die during late phase is
larger than early phase. Until now, there is no study specifically addressing
prognostic factors of mortality from late sepsis and developing a mortality
prediction model.
Aim. To determine prognostic factors of mortality from late phase of severe
sepsis in ICU and to develop scoring system to predict mortality.
Method. A retrospective cohort study was conducted to identify prognostic
factors associated with mortality. Adult patients admitted to ICU during
November 2011 until October 2012 who developed severe sepsis and still alive
for minimum 72 hours were included in this study. Seven predefined prognostic
factors were indentified at the onset of severe sepsis in ICU. Cox’s proportional
hazard ratio was used to identify independent prognostic factors. Each
independent factors was quantified to develop a prediction model. Calibration of
the model was tested by Hosmer-Lemeshow, and its discrimination ability was
calculated from area under receiver operating curve.
Result. Subjects consist of 220 patients. Twenty eight-day mortality was 40%.
Significant prognostic factors indentified were admission source (medical (HR
2.75; CI95%: 1.56 – 4.84), emergency surgery (HR 1.96; CI95%:0.99 – 3.90),
Charlson comorbidity index > 2(HR 2.07; CI95%:1.32 – 3.23), and MSOFA score
> 4 (HR 2.84; CI95% : 1.54 – 5.24). Prediction model developed has good
discrimination ability (AUC 0.844) and good calibration (Hosmer-Lemeshow test
p 0.674). Based on the model mortality risk can be classified as low (score 0,
mortality 5.4%), moderate (score 1 – 2.5, mortality 20.6%), and high (score > 2.5,
mortality 73.6%).
Conclusion. Medical and emergency surgery admission, Charlson comorbidity
index > 2, and MSOFA score > 4 were prognostic factors of mortality from late
phase of severe sepsis in ICU at Dr.Cipto Mangunkusumo general hospital. A
model has been developed to predict and classify mortality risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Kartika Dhiputra
"Terkait dengan motivasi untuk : penelitian dalam bidang Termodinamika - Teknik, maka telah dirancang, di-konstruksikan dan di-uji coba sebuah peralatan penelitian yang dapat dipergunakan untuk menentukan sifat-sifat termik berbagai gas reil, dengan suhu dan tekanan - ukur maksimum adalah sampai 100 ° C dan 15 MPa. Prinsip kerja peralatan penelitian ini adalah: pengukuran Faktor kompresibilitas Gas, Z, berdasarkan metoda ekspansi gas, yang diperkenalkan oleh E.S. Burnett. Setelah Burnett Apparatus ini di-konstruksikan, lalu di-uji cobakan kemampuan fungsionalnya dengan melakukan pengukuran-pengukuran dan kaliberasi terhadap Konstanta Alat-nya dengan mempergunakan gas Helium dan gas Karbondioksida di-Laboratorium Institut air Technische Thermodynamik, Universitat Karlsruhe - Jerman. Burnett Apparatus ini kemudian digunakan untuk meneliti "sifat-sifat termik" gas: He, C02 dan N2, serta campuran biner : N2 / CO2 dengan fraksi molar : Xco2 = 0,209 , Xco2 = 0,509 dan XC02 = 0,706. Pada suhu : 40 ° C / 60 ° C / 80 ° C dan 100 ° C dengan tekanan awal gas uji maksimum sebesar 150 bar. Terbukti bahwa parameter interaksi biner B12 maupun terner C112 dan C122 dari koefisien Virial campuran N2 / CO2 dalam penelitian ini, menunjukkan adanya korelasi yang sangat spesifik baik terhadap parameter (T, Xco2) maupun terhadap "ekses - tekanan" , AP, campuran biner. Secara keseluruhan tingkat ketelitian data-data hasil penelitian ini cukup tinggi , dengan besarnya deviasi relatif maksimum < 0,85 % terhadap data-data literatur, dan maksimum < 2,5 % terhadap data perhitungan teorits dengan persamaan R-K dan BWR untuk gas murni CO2 dan N2, dengan kecendrungan sernakin kecil pada suhu yang semakin rendah. Sedangkan untuk campuran biner N2 / C02 , ternyata deviasi relatifnya sangat carbonbesar, bahkan mencapai nilai maksimum sekitar 4 % untuk campuran biner dengan fraksi molar , XCO2 = 0,706 , pada suhu 100 ° C."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
D120
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Arie Setiawan
"ABSTRAK
Latar belakang Pada pasien diabetes melitus (DM) dengan penyakit jantung koroner 3 pembuluh darah (PJK 3PD) hasil revaskularisasi akan lebih baik dengan bedah pintas koroner (BPK) dibanding intervensi koroner perkutan (IKP) atau medikamentosa. BPK tidak selalu menjadi prosedur yang dikerjakan meskipun sudah direkomendasikan sesuai Skor Syntax, dan tidak semua pasien bersedia menjalani BPK atau IKP. Perlu diketahui apakah pilihan revaskularisasi tersebut mempengaruhi kesintasan 5 tahun. Tujuan Mengetahui perbedaan kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD DM yang menjalani bedah pintas koroner (BPK), intervensi koroner perkutan (IKP), dan medikamentosa di RSCM. Metode Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan untuk meneliti kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD DM yang menjalani tindakan BPK, IKP, atau medikamentosa. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder 126 pasien PJK 3PD DM yang menjalani BPK, IKP, maupun medikamentosa di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2006-2007 dan diikuti sampai dengan tahun 2011-2012 dengan dilihat adakah kejadian meninggal. Hasil Kesintasan terbaik pada kelompok BPK (93.5%). Proporsi kematian terbesar pada kelompok medikamentosa (36.1%). Kesintasan BPK paling baik secara bermakna dibandingkan IKP dan Medikamentosa. Kelompok IKP memiliki kesintasan yang lebih baik dibanding medikamentosa (69.5% vs 63.9%). Meskipun tidak bermakna secara statistik, namun pada kelompok IKP proporsi keluhan yang ditemukan setelah tindakan lebih sedikit dibanding kelompok medikamentosa (52% vs 38%). Skor Syntax yang berperan menilai kompleksitas stenosis ikut menentukan kesintasan (p 0,039). Kesimpulan Kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD dengan DM yang paling baik didapatkan pada kelompok yang menjalani Bedah Pintas Koroner. Kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD dengan DM yang menjalani IKP lebih baik dibanding Medikamentosa namun secara statistik tidak bermakna. Faktor yang berpengaruh pada kesintasan 5 tahun pasien PJK 3PD adalah kompleksitas stenosis yang dilihat dengan menggunakan skor Syntax.

ABSTRACT
Background In patients with diabetes mellitus (DM) with coronary artery disease involving 3 vessels (CAD 3VD) revascularization results will be better with coronary artery bypass surgery (CABG) compared with percutaneous coronary intervention (PCI) or medical therapy. CABG is not always done despite being recommended in accordance with Syntax Score, and some patients prefer not to go through CABG or PCI . This trial determined whether the choice of revascularization affect 5-years survival. Objectives Knowing the difference in 5-years survival of CAD 3VD DM patients who underwent coronary artery bypass surgery (CABG), percutaneous coronary intervention (PCI) or medical therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods This study was a retrospective cohort study with survival analysis approach to examine the 5-years survival rate of CAD 3VD DM patients undergoing CABG, PCI, or medical therapy. The study was conducted using secondary data of 126 CAD 3VD DM patients who underwent CABG, PCI, or medical therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2006-2007 and followed up to 2011-2012 if there any incident died. Results Best survival in the CABG group (93.5%). The largest proportion of deaths in the medical therapy group (36.1%). The CABG survival was significantly better than the IKP (p=0.01) and medical therapy (p=0.001). PCI group had better survival than medical therapy (69.5% vs. 63.9%). Although not statistically significant, but the proportion of complaints after revascularization in PCI group were found less than medical therapy group (52% vs. 38%). Syntax score that assesses the complexity of stenosis had a significant association with survival (p 0.039). Conclusion 5-years survival of CAD 3VD DM patients is best obtained in the group that underwent CABG. 5-year survival of CAD 3VD DM patients who underwent PCI better than medical therapy but was not statistically significant. Factor that affect the 5-years survival is the complexity stenosis viewed by the Syntax score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okto Dewantoro
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hepatocyte Progenitor Cell(HPC) merupakan stem cell dari hati yang akan muncul bila terjadi kerusakan hati yang kronis hingga sirosis hati seperti pada penderita hepatitis B kronik. Aktifnya HPC sebagai usaha untuk meregenerasi sel hati akan diikuti oleh migrasi dari Haematopoietic Stem Cell(HSC) ke sel hati dengan tujuan membantu proses regenerasi sel hati
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui adakah korelasi antara HPC dan HSC pada derajat Metavir baik nekroinflamasi ataupun fibrosis sebagai dasar untuk melakukan terapi stem cell pada penderita hepatitis B kronik dengan menggunakan HPC dan HSC.
Metode : Penderita hepatitis B kronik yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan sudah menjalani biopsi hati diperiksa parafin bloknya kemudian dibagi berdasarkan derajat metavirnya yaitu ringan-sedang dan berat. Kemudian dilakukan pewarnaan immunohistokimia untuk HPC dengan CK-19 dan HSC dengan CD34+. setelah itu dihitung jumlah HPC dan HSC dan kemudian dianalisis datanya.
Hasil : Didapatkan 17 penderita dengan fibrosis ringan-sedang dan 13 dengan fibrosis berat, serta 21 dengan nekroinflamasi ringan-sedang dan 9 dengan nekroinflamasi berat. Pada fibrosis ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dgn p=0.003 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.001. Pada nekroinflamasi ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dengan p=0.014 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.012. Hanya korelasi antara HPC dan HSC pada fibrosis ringan-sedang yang signifikan dengan p=0.003
Kesimpulan : Rerata HPC dan HSC pada nekroinflamasi berat lebih tinggi dibandingkan pada nekroinflamasi ringan-sedang. Rerata HPC dan HSC pada fibrosis berat lebih tinggi dibandingkan pada fibrosis ringan-sedang Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada nekroinflamasi ringan- sedang dan berat. Terdapat korelasi antara HPC dengan HSC pada derajat fibrosis ringan-sedang. Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada derajat fibrosis berat.

ABSTRACT
Background :
Hepatocyte progenitor Cell (HPC) is a stem cell from the liver that will arise in the event of chronic liver damage such as chronic hepatitis B to cirrhosis of the liver. HPC as an active attempt to regenerate liver cells followed by migration of Haematopoietic Stem Cell (HSC) to liver cells with the goal of helping the regeneration of liver cells.
Aims :
This study aims to determine the correlation between HPC and HSC as the basis for the conduct of stem cell therapy in patients with chronic hepatitis B by using the HPC and HSC.
Methods:
Patients with chronic hepatitis B who meet the inclusion criteria which had undergone liver biopsies examined paraffin blocks which divided by degrees of metavir as mild and severe. Then performed immunohistochemical staining for HPC with CK-19 and HSC with CD34+ .After the calculated amount of HPC and HSC and then analyzed the data.
Results:
There were 17 patients with mild-moderate fibrosis and 13 with severe fibrosis, and 21 with mild-moderate nekroinflamasi and 9 with severe nekroinflamasi. In mild- moderate and severe fibrosis obtained mean significant HPC with p = 0.003 and mean significant HSC with p = 0.001. In nekroinflamasi obtained mean mild- moderate and severe HPC significant with p = 0.014 and the mean HSC significant with p = 0.012. There is a statistically significant correlation between HPC and HSC on mild-moderate fibrosis with p = 0.003.
Conclusions:
Average of HPC and HSC in severe nekroinflamasi is higher than in mild - moderate nekroinflamasi . Average of HPC and HSC in severe fibrosis is higher than in mild - moderate fibrosis There were no correlation between HPC and HSC on nekroinflamasi mild- moderate and severe . There is a correlation between HSC and HPC in the mild - moderate fibrosis . There were no correlation between HPC and HSC on the degree of severe fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Em Yunir
"ABSTRAK
Luka kaki diabetik (LKD) merupakan komplikasi kronik diabetes yang meningkatkan mortalitas dan
morbiditas, serta menurunkan kualitas hidup. Komplikasi makro dan mikrovaskular/mikrosirkulasi
mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian LKD dan proses penyembuhannya. Kondisi
mikrosirkulasi dapat dinilai melalui pemeriksaan transcutaneous perfusion oxygen (TcPO2). Kondisi
mikrosirkulasi dipengaruhi oleh HbA1c, glukosa darah sewaktu, neuropati, fibrinogen, PAI-1,
hsCRP, indeks MMP-9, indeks TcPO2, dan indeks TcPCO2, yang akan memengaruhi terbentuknya
jaringan granulasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran HbA1c, GDS, neuropati, fibrinogen, PAI-1, hsCRP,
indeks MMP-9, terhadap indeks TcPO2, indeks TcPCO2, dan indeks granulasi, serta mengetahui
peran serta indeks TcPO2 dan indeks TcPCO2 terhadap indeks granulasi pada luka kaki diabetik.
Sebanyak 68 subjek LKD tanpa penyakit arteri perifer di RS dr. Cipto Mangukusumo dan beberapa
rumah sakit jejaring, pada Desember 2015?Desember 2016, diberikan perawatan standar dan
dipantau setiap minggu sebanyak 4 kali. Pada pemantauan ke-1, ke-2, dan ke-3, dilakukan
dokumentasi LKD, pengambilan darah vena sebanyak 7,7 mL untuk pemeriksaan fibrinogen, PAI-1,
hsCRP, MMP-9, dan TIMP-1, darah arteri sebanyak 2 mL untuk pemeriksaan analisis gas darah,
serta pemeriksaan TcPO2 dan TcPCO2 dengan menggunakan TCM TOSCA/CombiM monitoring
systems buatan Radiometer. Pada pemantauan ke-4, hanya dilakukan dokumentasi LKD.
Pengukuran luas luka dan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil dokumentasi fotografi dengan
menggunakan program ImageJ. Penilaian neuropati menggunakan pemeriksaan interval RR dan
kecepatan hantar saraf. Data laboratorium lainnya diperoleh dari data sekunder rekam medis.
Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan path analysis (analisis lajur) pada data
repetitif dan SPSS pada data nonrepetitif.
Berdasarkan analisis didapatkan hubungan antara peningkatan glukosa darah sewaktu, fibrinogen,
dan PAI-1 dengan penurunan indeks TcPO2. Didapatkan juga hubungan antara beratnya neuropati
motorik dan sensorik, peningkatan glukosa darah sewaktu, fibrinogen, PAI-1, dan hsCRP dengan
penurunan indeks granulasi. Tetapi, indeks granulasi tidak dipengaruhi oleh indeks TcPO2. Indeks
TcPCO2 tidak memiliki hubungan terhadap semua variabel tersebut, kecuali hsCRP dan indeks
TcPCO2 tidak memengaruhi indeks granulasi.
Indeks TcPO2 pada LKD dipengaruhi oleh kadar glukosa darah sewaktu, fibrinogen, dan PAI-1,
tetapi tidak memengaruhi tumbuhnya jaringan granulasi. Tumbuhnya jaringan granulasi dipengaruhi
oleh glukosa darah sewaktu, neuropati motorik dan sensorik, peningkatan kadar fibrinogen, PAI-1,
dan hsCRP. Selain itu, indeks TcPCO2 tidak memengaruhi indeks granulasi

ABSTRACT
Diabetic foot wounds/ulcer (DFU) is chronic complication of diabetes, which increases
mortality and morbidity, and lower quality of life. Macro and microvascular/microcirculation
complications has a great influence on DFU and healing process. Microcirculation condition can
be seen from transcutaneous perfusion oxygen (TcPO2). The growth of granulation tissue in the
healing process is determined by microcirculation condition, among others influenced by
HbA1c, random blood glucose, neuropathy, fibrinogen, PAI-1, hsCRP, MMP-9 index, TcPO2
index, and TcPCO2 index.
This study aimed to investigatethe role of HbA1c, random blood glucose, sensory, motoric, and
autonomy neuropathy, fibrinogen, PAI-1, hsCRP, MMP-9 index, TcPO2 index, TcPCO2 index,
and granulation index, as well as the relationship between TcPO2 index, TcPCO2 index and
granulation index in diabetic foot wounds.
As much as 68 subjects DFU without peripheral arterial disease, in Cipto Mangunkusumo
Referral National Hospital, on December 2015?December 2016, were given standard
managementof diabetic foot ulcer and monitored once a week for four times. In the 1st, 2nd, and
3rd monitoring, DFU was documented, then 7.7 mL of venous blood was taken for fibrinogen,
PAI-1, hsCRP, MMP-9, and TIMP-1 examination, also 2 mL arterial blood for blood gas
analysis, and then examination of TcPO2 and TcPCO2was performed using TCM4
TOSCA/CombiM monitoring systems made by Radiometer. In the 4th monitoring, only DFU
was documented. Wound and granulation size was measured through photographic
documentation using ImageJ program. Neuropathy was diagnosed based on RR interval and
nerve conduction velocity study. Other laboratory data were obtained from medical records. The
data were analysed by path analysis for repetititive data and SPSS for nonrepetitive data.
From analysis, there is a significant correlation between the increasing random blood glucose
(RBG), fibrinogen, and PAI-1 with the decreasing of TcPO2, also found a significant
relationship between the severity of sensory and motoric neuropathy, the increasing levels of
RBG, fibrinogen, PAI-1, and hsCRP with the decreasing of granulation index. But, TcPO2 index
does not influence granulation index. TcPCO2 index does not have significant correlation with
all these variables, except hsCRP. Moreover, TcPCO2 index also does not influence granulation
index.
TcPO2 index of DFU is affected by RBG, fibrinogen, PAI-1, but does not affect the growth of
granulation tissue. Granulation tissue?s growing is influenced by the sensory and motoric
neuropathy, increased levels of fibrinogen, PAI-1, and hsCRP. Furthermore, TcPCO2 index does
not influence granulation?s growth."
2016
D2218
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Martina
"ABSTRAK
Preeklamsia merupakan masalah kesehatan maternal yang berdampak luas pada kesehatan manusia. Defek plasentasi merupakan faktor predisposisi utama preeklamsia yang mengakibatkan spektrum kematian sel apoptosis, aponekrosis dan autofagi. Autofagi juga berperan sebagai mekanisme ketahanan selular melalui nutrisi sebagai regulator utama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran nutrisi dan autofagi sebagai ketahanan selular pada patomekanisme preeklamsia . Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang dilakukan terhadap 4 kelompok yakni; hamil normal, preeklamsia awitan lanjut, preeklamsia awitan dini dan PJT dengan jumlah sampel 10 pasien tiap kelompok. Dilakukan analisis nutrisi secara kualitatif dan kuantitatif untuk zat nutrisi vitamin D, kalsium dan seng serta zat nutrisi sebagai marka inflamasi yaitu vitamin A dan mineral besi. Dilakukan pemeriksaan marka kematian sel LDH dan pemeriksaan marka autofagi LC3, Beclin-1, kegagalan autofagi rasio LC3/Beclin-1 serta marka nutrisi plasenta VDR. Selama periode Agustus hingga Oktober 2015 terdapat 40 pasien yang mengikuti penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RS Budi Kemuliaan Jakarta. Terdapat perbedaan bermakna ekspresi LC3 dan Beclin-1 serta rasio LC3/Beclin-1 di antara kelompok penelitian. Kelompok preeklamsia awitan dini dan PJT memiliki ekspresi LC3 dan Beclin-1 tertinggi, sedangkan kelompok hamil normal dan preeklamsia awitan lanjut memiliki rasio LC3/Beclin-1 tertinggi. Terdapat korelasi antara kegagalan autofagi dengan LDH. Terdapat defisiensi vitamin D, kalsium dan seng serta terdapat peningkatan retinol dan ferrum sebagai marka inflamasi pada kelompok kehamilan patologis. Terdapat mekanisme up regulation ekspresi nutrisi plasenta reseptor vitamin D VDR pada kelompok preeklamsia awitan lanjut dan awitan dini , sementara ditemukan ekspresi VDR yang rendah pada kelompok PJT. Terdapat korelasi negatif antara rasio LC3/Beclin-1 dengan marka nutrisi maternal terutama kelompok preeklamsia awitan lanjut dan awitan dini. Terdapat korelasi bermakna antara rasio LC3/Beclin-1 dengan ekspresi VDR sebagai marka nutrisi plasenta pada kelompok preeklamsia awitan dini. Autofagi berperan dalam proses kematian sel dan ketahanan selular trofoblas. Terdapat peran nutrisi yang berkorelasi dengan proses autofagi pada patomekanisme preeklamsia. Kata kunci : Autofagi, kematian sel, ketahanan selular, nutrisi, preeklamsia.

ABSTRACT
Preeclampsia is a maternal health problem which largely affects human well being. Placentation defects is the main predisposition factor of preeclampsia which cause cell death spectrum of apoptotic, aponecrosis, and autophagy. Autophagy also has a role as cellular survival mechanism as well through nutrition as main regulator. This research aims to understand the roles of nutrition and autophagy as cellular survival in pathomechanism of preeclampsia. The research has cross sectional study design which was conducted to four groups of pregnancy normal pregnancy, late onset preeclampsia, early onset preeclampsia, and intrauterine growth restriction IUGR with 10 samples for each group. Qualitative and quantitative nutrition analysis was done for vitamin D, calcium and zinc. The same methods was done to nutrients as inflammatory markers which is vitamin A and iron. Assessment was done for cell death marker LDH, autophagy markers LC3, Beclin 1, autophagy failure ratio of LC3 Beclin 1, and placenta nutrition marker VDR. During the period of August to October 2015 there were 40 patients participated in research which was conducted in RSUPN Cipto Mangunkusumo and RS Budi Kemuliaan Jakarta. Analysis shows statistically significant difference between groups of the expression of LC3 and Beclin 1 and ratio of LC3 Beclin 1 as well. Early onset preeclampsia and IUGR group showed the highest LC3 and Beclin 1 expression, while normal pregnancy and late onset preeclampsia group showed the highest ratio of LC3 Beclin 1. There was a correlation between autophagy failure and LDH. There were deficiencies of vitamin D, calcium and zinc and the increase of retinol and iron as inflammatory markers in pathological pregnancy. There was up regulation of vitamin D receptor VDR expression in early and late onset preeclampsia, while low expression of VDR in placenta of IUGR group. There was negative correlation between ratio of LC3 Beclin 1 and maternal nutrition markers particularly in preeclampsia group. There was significant correlation between the ratio of LC3 Beclin 1 and expression of placenta VDR as nutrition marker in early onset preeclampsia group. Autophagy plays a role in the spectrum of cell death and cellular survival in trophoblast. There is role of nutrition in correlation with autophagy process in pathomechanism of preeclampsia Keywords Autophagy, cell death, cellular survival, nutrition, preeclampsia"
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Tatang Puspanjono
"ABSTRAK
Pada operasi koreksi penyakit jantung bawaan PJB dengan teknik pintas jantung paru PJP , proses sindrom respons inflamasi sistemik SRIS sering menjadi penyulit pascaoperasi. Disfungsi mitokondria pada SRIS diawali dengan pelepasan mediator inflamasi TNF-. Dampak cedera neurologis pascabedah belum dapat dihindari. Biomarker Brain derived protein S100B dapat digunakan sebagai penanda hipoksia serebral akibat disfungsi mikrosirkulasi dan mitokondria pada operasi PJB. Pemantauan keadaan hipoksia serebral diperlukan karena kejadian awal defisit neurologis sering tidak menimbulkan manifestasi klinis. Near infrared spectroscopy NIRS merupakan salah satu alat yang dapat memantau penghantaran oksigen ke otak dengan mengukur saturasi oksigen serebral SctO 2 . Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran S100B, sTNFR-1, laktat, saturasi vena cava superior dan saturasi oksigen serebral sebagai prediktor kejadian defisit neurologis pada operasi koreksi PJB. Penelitian ini bersifat kohort propsektif. Kriteria inklusi adalah pasien anak dengan PJB usia 1 bulan minus;6 tahun yang menjalani operasi koreksi. Kriteria eksklusi adalah pasien anak dengan sindrom Down, dengan arteri koroner tunggal, dan yang orang tuanya menolak berpartisipasi dalam penelitian. Dalam analisis, subjek dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok 1 mengalami defisit neurologis dan kelompok 2 tidak mengalami defisit neurologis . Semua subjek dipantau selama perawatan di ICU, dan tetap diikuti sampai keluar rumah sakit. Pemeriksaan darah dilakukan dalam tiga kali pemantauan: pra-operasi, akhir PJP, dan 4 jam pasca-PJP. Monitoring NIRS dilakukan selama 24 jam pascabedah di ICU. Selama periode Maret 2015 minus;Oktober 2015, didapatkan 51 pasien yang diteliti. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara konsentrasi S100B, sTNFR-1, laktat, dan NIRS AUC 20 baseline saturasi serebral pasien PJB pascabedah koreksi dengan PJP pada kelompok berdasarkan defisit neurologis. Parameter tersebut dapat dipakai sebagai model prediktor kejadian defisit neurologis pascabedah jantung dengan PJP. Nilai S100B, sTNFR-1, laktat, dan nilai NIRS AUC 20 dari baseline saturasi serebral dapat digunakan sebagai prediktor kejadian defisit neurologis pascabedah pada operasi PJB dengan mesin PJP.
In congenital heart disease CHD surgery using cardiopulmonary bypass CPB machine, systemic inflammation response syndrome SIRS process often causes post-operation complication. Mitochondria dysfunction in SRIS starts with the release of inflammation mediator TNF-? and sTNFR-1. Neurological injury after pediatric congenital heart surgery still cannot be avoided. Study about brain derived protein S100B as a biomarker for cerebral hypoxia caused by microcirculation and mitochondria disfunction as SRIS consequence in PJP in pediatric CHD surgery has yet to be conducted. Observation to find cerebral hypoxia is needed because the early stages of cerebral hypoxia often not show any symptoms. NIRS is one of the tools for observing oxygen delivery to the brain by measuring the cerebral oxygen saturation SctO 2 . In Indonesia, NIRS is still not common to be used and there are no studies about it yet. This study aimed to evaluate the role of S100B, sTNFR-1, lactate, saturation of superior vena cava and cerebral saturation as the predictor of neurological deficiency incidence on correction of CHD. This was a prospective cohort research. Inclusion criteria were children with CHD aged 1 month minus;6 years old who underwent corrective operation. Exclusion criterias were children with Down syndrome, with single coronary artery, and whose parents declined to participate in this study. In analysis, subjects were divided into 2 groups; group 1 with neurological deficit and group 2 without neurological deficit. All subjects were observed closely while they were in ICU, observed until they discharge from hospital. Blood examination were done 3 times: before surgery, after CPB, and 4 hours after CPB. Monitoring of NIRS was done during 24 hours after surgery in ICU. During March minus;October 2015, there were 51 patients included. There are significant difference for value of S100B, STNFR-1, lactate, and NIRS AUC 20 baseline of cerebral saturation between groups based on neurological deficit occurrence. Those parameters could be used as predictor of neurologic deficiency incidence post operation using CPB in CHD children. In CHD patients who underwent corrective operation with CPB, S100B value, sTNFR1, lactate, and AUC 20 baseline of cerebral saturation could be used as predictor of neurologic deficit after corrective operation."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilum Anam
"Latar Belakang: Sindroma dispepsia sering dialami oleh penderita DM. Asam lambung salah satu faktor agresif terjadinya sindroma dispepsia dan tukak lambung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan pH lambung pada pasien dispepsia DM dengan yang bukan DM dan untuk mengetahui apakah ada korelasi antara pH lambung dengan proteinuria dan HbA1c.
Metode: Pasien terdiri dari 30 kelompok DM dan 30 kelompok bukan DM. Masing-masing kelompok dihitung pH lambung basal. pH lambung basal diukur dgn memasukkan elektroda kateter kedalam lambung selama 30 menit kemudian di rekam dgn alat PH Metri merek Digitrapper pH-Z. Beratnya komplikasi DM diukur dengan mikroalbuminuria, sedangkan kendali gula darah diukur dgn HbA1c. Dilakukan uji chi square utk mencari perbedaan pH lambung kelompok DM dgn yg bukan DM, dengan terlebih dahulu menentukan titik potong dgn analisa ROC (Receiver Operating Caracteristic). Dilakukan uji korelasi antara pH lambung basal dengan mikroalbuminuria dan HbA1c pada kelompok pasien DM.
Hasil: pH lambung basal pada dispepsia DM vs non DM (2.30±0.83 vs 2.19±0.52). Dgn uji chi square terdapat perbedaan bermakna antara kelompok DM dengan yang bukan DM. Pada uji korelasi antara pH lambung dengan mikroalbuminuria dijumpai r = 0.47 dan p < 0.05, sedangkan HbA1c dijumpai r=0,59 dan p > 0.05.
Simpulan: Ada perbedaan bermakna pH lambung basal antara pasien dispepsia DM dengan pasien dispepsia bukan DM. Ada korelasi antara pH lambung basal dengan mikroalbuminuria, sedangkan dengan HbA1c tidak ada korelasi. pH lambung basal pada pasien DM adalah 2.03±0.83 sedangkan pada yang bukan DM adalah 2.19±0.52.

Aims: Dyspepsia syndrome often experienced in diabetic patients. Gastric acid was one aggressive factors in dyspepsia syndrome. This aim of this study was to determine differences gastric pH between dyspepsia diabetic and dispepsia without diabetic patients. Also to determine whether there were a correlation between basal gastric pH and microalbuminuria and also HbA1c.
Methods: There were 30 patients diabetic and 30 patients without diabetic. Basal gastric pH was measured with an electrode catheter that inserted into the stomach for 30 minutes. Gastric pH will be recorded with PH Metri Digitrapper pH-Z. Diabetic complications measured by microalbuminuria, while the measured blood sugar control with HbA1c. Chi-square test to determine differences gastric pH between diabetic and without diabetic patients. Correlation test was performed between basal gastric pH and microalbuminuria and also HbA1c.
Results: We found basal gastric pH diabetic and non diabetic patients were (2.30±0.83 vs 2.19±0.52). There was significant differences between diabetic and non diabetic patients. From 30 diabeic patients we found a corelation between basal gastric pH and microalbuminuria (p < 0.05 and r = 0.47) and a no corelation with HbA1c (p > 0.05 and r=0,59).
Conclusions: There was significant differences basal gastric pH between diabetic and non diabetic patients. There was correlation between basal gastric pH and microalbuminuria, and no correlation with HbA1c. Basal gastric pH diabetic patients was 2,30 ± 0.83 and non diabetic patients was 2,19 ± 0,52.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
T58556
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Sinta Murti
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kekuatan genggam tangan (KGT) merupakan metode pemeriksaan yang mudah, murah, cepat dan dapat digunakan secara bedside pada pasien yang dirawat. Data mengenai hubungan KGT dengan parameter status nutrisi lain selama perawatan di rumah sakit di Indonesia belum tersedia
Tujuan : Mengetahui hubungan KGT dengan nilai subjective global assessment (SGA), antropometri, analisis bioimpedans dan biokimia pada awal dan akhir perawatan. Metode : Ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien yang dirawat inap di ruang perawatan penyakit dalam RS. Cipto Mangunkusumo. Status nutrisi dinilai berdasar SGA. Indeks masa tubuh (IMT), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) dihitung secara antropometri. Masa otot dan masa lemak tubuh didapat dari analisis bioimpedans. Analisis statistik menggunakan uji anova, pearson dan uji T.
Hasil : Terdapat 131 pasien terdiri dari 102 laki-laki dan 29 perempuan dengan rerata umur 45,6 ± 14.2 tahun. Pada awal dan akhir perawatan didapatkan perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang maupun malnutrisi berat tetapi tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat (p<0.001). Kekuatan genggam tangan berkorelasi dengan cAMA (r=0,47 dan 0,49), masa otot tubuh (r=0,67 dan 0,55) dan albumin (r=0,23 dan 0,28). Tidak ada hubungan antara KGT dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada perbedaan KGT antara pasien yang mencapai target nutrisi berdasar SGA dan yang tidak (p=0,81).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang dan antara nutrisi baik dan malnutrisi berat. Tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat. Nilai KGT berkorelasi dengan cAMA, masa otot tubuh dan albumin tetapi tidak berkorelasi dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada hubungan antara pencapaian target nutrisi berdasar SGA dengan nilai KGT

ABSTRACT
Background : Hand grip strength (HGS) is an easy, cheap and quick method and can be used bedside in hospitalized patient. Data about HGS correlation with other nutrition status parameters in hospital are not yet provided in Indonesia Objective : To find relation among HGS with the value of subjective global assessment (SGA), anthropometry, bioimpedance analysis and albumin at the beginning and end of hospitalization.
Methods : This is a cross-sectional study from hospitalized patients at medical ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional status assessed by SGA. Body mass index (BMI), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) were calculated by anthropometry. Muscle mass and a body fat obtained from the bioimpedance analysis. Data were analyzed using ANOVA, Pearson and T test. Results : There were 131 patients consisted of 102 men and 29 women with mean age of 45.6 ± 14.2 years. At the beginning and end of the hospitalization there is significant HGS differences between good nutritional status with moderately malnourished and severely malnourished, but no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished (p <0.001). Hand grip strength was correlated with CAMA (r=0.47 and 0.49), muscle mass (r=0.67 and 0.55) and albumin (r=0.23 and 0.28) and was not correlate with AFA, body fat and BMI. There was no HGS difference between patients who achieved nutrition targets based on SGA and who did not (p=0.81).
Conclusion : There are significant HGS differences between good nutritional status and moderate malnutrition and good nutritional status and severe malnutrition. There is no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished. Hand grip strength was correlated with cAMA, muscle mass and albumin but did not correlate with the AFA, body fat and BMI. There was no corelation between nutritional achievement based on SGA with HGS value"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chatarina Niken Dwi Wahyuni Setya Budi Utami
"Penelitian susut dan rangkak di daerah tropis lembab ini dilakukan pada beton berkinerja tinggi fc' 60 MPa dengan campuran tanpa abu terbang (TAT) dan dengan abu terbang (DAT). Spesimen susut berukuran 150x150x600 mm3 (3 buah) dan spesimen rangkak 200Ñ…600Ñ…2700 mm3 (1 buah). Pemberian beban dilakukan dengan cara pratekan sebesar 0.3 fc' pada umur 15 hari, tulangan sebatas emberian beban tersebut. Ruang dikondisikan pada temperature 28±3°C dan kelembaban 72±5%. Model dibuat berdasar pengamatan 800 hari dan 1000 hari. Data diolah dengan metode outlying ASTM E178-02 untuk nilai ekstrim dengan tingkat signifikansi 5%.
Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan model rheologi susut dan rangkak beton berkinerja tinggi di daerah tropis lembab.
Model rheologi susut sampai jangka waktu 1000 hari adalah (H|N)-(H|N), sedangkan untuk rangkak (H|N)- (StV|N). Faktor koreksi susut untuk rasio air terhadap semen (w/cm) 0.26, 0.30, 0.34, dan 0.38 dalam jangka pendek (7-15 hari) berturut-turut adalah 1, 1.1, 2.1 dan 2.3, serta untuk jangka panjang 1, 1.13, 1.54 dan 1.65. Faktor koreksi jumlah semen sama dengan faktor koreksi ACI 209R.
Daerah tropis lembab menyebabkan suhu maximum 24 jam pertama untuk skala penuh dapat mencapai 2 kali suhu maximum di daerah non tropis lembab. Pencapaian suhu maximum tersebut setengah waktu pencapaian suhu maximum di daerah non tropis.
Dengan mengacu ACI 209 R, maka laju regangan susut di daerah tropis lembab pada jangka pendek TAT adalah 1.1 dan jangka panjang 4.1 kali laju regangan ACI 209R dan bila dengan abu terbang 1.6 dan 2.4. Laju rangkak kedua campuran terhadap ACI adalah 0.8 untuk jangka pendek dan 1.8 untuk jangka panjang. Regangan susut jangka panjang terhadap ACI 209 untuk TAT 1.7 dan DAT 1.4; sedang rangkak 1.3 dan 1.

The research of shrinkage and creep in humid tropical weather area was done in high performance concrete HPC fc' of 6MPa mixed with composition without fly ash called TAT and within fly ash called DAT. Three shrinkage specimens are 150x150x600 mm3 and one creep speciments is 200x600x2700 mm3. Loading was applied by prestressing of 0.3 fc' in 15th day, the reinforcement was limited by that prestressing. Room was set in 28 ± 3°C temperature and 72 ± 5% humidity. Rheological models were created based on 800 days and 1000 days observation. Datas were processed by using ASTM E178-02 outlying methode for extreme value with 5% significant level.
The objective of this research is to create rheological models of shrinkage and creep of high performance concrete in humid tropical weather.
Shrinkage rheological model until the age of 1000 days is (H|N)-(H|N), while for creep is (H|N)- (StV|N). Shrinkage correction factors for water ratio to cement (w/cm) of 0.26, 0.30, 0.34, and 0.38 (7-15 days) are 1, 1.1, 2.1 and 2.3 respectively, and for long term are 1, 1.13, 1.54 dan 1.65. Correction factors of cement amount was similar with correction factor of ACI 209R.
Humid tropical area caused maximum temperature in first 24 hours could reach 2 times of maximum temperature in non humid tropical area (full scale). The maximum temperature achievement was much faster, that was a half of maximum temperature achievement in non humid tropical area. Reffered to ACI 209 R, the rate of shrinkage in humid tropical area in short term is 1.1 and for long term is 4.1 times rate ACI 209R for TAT, 1.6 and 2.4 for DAT. Creep rate of the both mixture was compared with ACI 209R: 0.8 for short term and 1.8 for long term. Long term shrinkage strain of TAT and DAT was 1.7 and 1.4 times ACI 209R, while for creep was 1.3 and 1.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
D2015
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library