Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ari Suryanta
Abstrak :
ABSTRAK Salah satu pendorong perkembangan industri penerbangan di Indonesia adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik sebesar 7,4% setahun yang diperkirakan akan berlangsung sampai tahun 2009. Kondisi ini juga mempengaruhi pertumbuhan transportasi udara di Indonesia di mana pertumbuhan transportasi udara domestik untuk empat tahun mendatang diproyeksikan sebesar 6,9 % pertahun dan 8,8% per tahun untuk pertumbuhan transportasi udara internasional. Hal ini akan mengakibatkan frekuensi maupun jalur penerbangan dalam dan luar negeri bertambah yang akan berdampak pada penambahan jumlah pesawat terbang yang dioperasikan untuk melayani jalur-jalur tersebut. Posisi perusahaan penerbangan dalam industri dapat dibagi dalam dua karakteristik yang berbeda yaitu 1) perusahaan penerbangan sebagai pemasok dalam sistem transportasi yaitu berperan sebagai penyedia jasa transportasi udara dan 2) perusahaan penerbangan sebagai pelanggan yaitu berperan sebagai pelanggan dari pabrik pembuat pesawat terbang, bengkel perawatan/perbaikan pesawat terbang. Di Indonesia telah dioperasikan 624 jenis pesawat bersayap tetap yang memiliki tingkat pemakaian (utilization) rata-rata 1790 jam per tahunnya. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah pesawat terbang yang dioperasikan dan semakin tua umur pesawatpesawat terbang tersebut maka semakin meningkat pula kebutuhan akan jasa perawatan pesawat. Keberadaan perusahaan perbengkelan/perawatan pesawat terbang dalam negeri saat ini belum dapat menampung/mendukung pengoperasian penerbangan dalam negeri. Sebagai contoh, masih banyaknya pesawat dan komponennya yang dikirim keluar negeri untuk perawatannya. Penyebabnya adalah selain kapabilitas bengkel dalam negeri yang kurang dan belum dikenalnya bengkel tersebut, juga disebabkan oleh kurangnya motivasi para operator untuk memakai fasilitas perawatan pesawat terbang dalam negeri. Dilihat dari kapabilitasnya, sebenarnya GMF sudah dapat bersaing dengan fasilitas perawatan pesawat terbang luar negeri. Hal ini terbukti dengan diakuinya GMF oleh Federal Aviation Administration (FAA). Saat ini kapasitas terpakai GMF baru 30% dari kapasitas terpasangnya, berarti untuk pasar pelayanan jasa perawatan pesawat dalam negeri saja peluang GMF cukup besar. Di dalam penulisan karya akhir ini, akan dibahas rencana strategis pemasaran perawatan pesawat terbang dalam rangka meraup pangsa pasar khususnya pasar dalam negeri yang memberi peluang dan prospek yang cukup besar bagi GMF. Penyelenggaraan suatu kegiatan jasa pelayanan perawatan pesawat terbang harus dilakukan secara profesional berdasarkan misi dan visi perusahaan, dengan penekanan pada 1) strategi lingkungan luar yang dikonsentrasikan pada lingkungan industri suatu perusahaan dan kedudukan kompetitifnya terhadap pesaingnya seperti diteliti dan dikembangkan oleh Michael Porter dari Harvard maupun oleh Boston Consulting Group dan 2) strategi lingkungan internal perusahaan yang belum digali dan dikembangkan yang secara umum dikaitkan dengan permasalahan internal perusahaan. Sifat usaha dan komoditi jasa mempunyai karakteristik yang khas dibandingkan barang-barang hasil produksi. Karakteristik jasa tersebut adalah: ketidaknyataan (intangibility), tidak terpisahkan antara produksi dan konsumsinya (inseparability), tidak tahan lama (perishability) dan keragaman (variability). Karena adanya empat karakteristik yang khas tersebut maka umumnya kegagalan dari usaha jasa adalah karena adanya perbedaan persepsi antara jasa yang diharapkan oleh pelanggan dan yang disampaikan oleh penyedia jasa. Untuk menghindari kegagalan tersebut maka strategi pemasaran GMF harus meliputi pemasaran eksternal, pemasaran internal, dan pemasaran interaktif. Pemasaran eksternal adalah menggambarkan kerja normal yang dilakukan oleh GMF melalui strategi-strategi: mempersiapkan jasa, menentukan harga, mendistribusikan jasa dan mengkomunikasikan jasa kepada pelanggan. Pemasaran internal adalah menggambarkan pekerjaan yang hares dilakukan oleh manajemen GMF untuk mendorong karyawan penghubung pelanggan dan karyawan pendukung pelayanan agar tercipta budaya melayani dan semua karyawan mempunyai orientasi terhadap pemuasan pelayanan kepada pelanggan. Seharusnya pemasaran internal dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pemasaran eksternal sehingga seluruh karyawan akan siap menyediakan jasa ke pelanggan sesuai dengan keinginan pelanggan dan kebijaksanaan perusahaan. Pemasaran interaktif adalah hubungan interaktif antara karyawan dengan pelanggan. Hal ini sangat penting karena diperlukan keahlian dari karyawan dalam menangani hubungan dengan pelanggan. Oleh karena itu, mutu pelayanan baik "mutu teknis" dan juga "mutu fungsional" harus sebaik mungkin. Sifat keragaman dari jasa memerlukan fleksibilitas perusahaan yang tinggi. Pemisahan organisasi GMF dari PT Garuda Indonesia merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi birokrasi agar GMF lebih fleksibel terhadap permintaan jasa pelanggan yang beraneka ragam.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmarawati Handoyo
Abstrak :
Profesionalisme birokrasi adalah salah satu persoalan yang paling penting dalam mencapai visi dan misi nasional. Terdapat banyak aspek dalam profesionalisme birokrasi, namun artikel ini hanya akan berfokus pada kemampuan negoisasi. Tujuan utama dari artikel ini adalah menganalisa proses negoisasi dalam merumuskan kebijakan perencanaan pembangunan pusat seni dan kerajinan yogyakarta (Yogyakarta Art and Handicraft centre). Kajian ini akan membahas teori sawyer dan guetzkow
Jakarta: Badan Kepegawaian Negara (BKN), 2010
350 CSJKM 4:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1990
959.802 23 IND s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
Abstrak :
Residu protein pada barang jadi lateks alam (Heuea brasiliensis) yang banyak dipergunakan untuk perlengkapan kedokteran dan rumah tangga (sarung tangan, catether, tensimeter, kondom, karet busa dll) dilaporkan dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe cepat) yang dapat berakibat fatal bagi pemakainya sehingga dikhawatirkan konsumsi lateks alam di pasaran dunia akan menurun dan beralih menggunakan lateks sintetis yang lebih aman. Untuk memberikan jaminan keamanan produk lateks, Food and Drug Administration (FDA), Amerika Serikat dalam websitenya http:/www.fda.gov /cdrh/manual/glovmanl.pdf akan menerapkan labeling rendah protein allergen (hypo allergenic protein) dengan persyaratan yang ketat. Indonesia sebagai market leader lateks alam setelah Thailand perlu mengantisipasi dampak labeling FDA dan reaksi konsumen internasional melalui serangkaian langkah-langkah nyata. Oleh karena kadarnya sangat rendah dan jenis proteinnya khas, maka teknik deteksi protein allergen yang spesifik dan sensitive. Perangkat imunodiagnostik merupakan teknik yang paling sesuai dari segi kepekaan, kespesifikan dan kemudahan penerapannya di lapang untuk deteksi protein allergen. Perangkat deteksi protein allergen yang spesifik, sensitive, mudah dan mudah belum tersedia di pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengikatan protein allergen lateks dengan IgE individu sensitive dan merakit perangkat diagnostik imunologi menggunakan antibody anti protein allergen yang sesuai. Penelitian Tahun I mencakup kegiatan penelitian lapang (uji reaksi sensitisasi allergen pada kelompok terpajan dan tidak terpajan secara cross sectional dan uji skin prick test) dan laboratorium meliputi koleksi IgE serum manusia peka, penetapan kadar protein berbagai produk lateks, deteksi protein allergen dengan dot blot menggunakan IgG kelinci antilutoid, deteksi protein allergen dengan IgE manusia peka dengan teknik ELISA dan dot blot, identifikasi protein allergen dengan SDS-PAGE dan Western blotting menggunakan IgE manusia peka dan IgG kelinci antilutoid serta elusi protein allergen dari preparative gel SDS-PAGE dengan elektroeluter untuk sumber antigen terpilih untuk perakitan antibody monoclonal yang akan dilakukan pada Penelitian Tahun II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji prevalensi sensitisasi lateks telah dilakukan pada karyawan industri lateks PT Mitra Rajawali Banjaran (MRB) dan PT Sugih Instrumendo Abadi (SIA) Padalarang Jawa Barat seperti ditunjukkan pada hasil skin prick test positif pada karyawan PT Mitra Rajawali Banjaran yaitu sebesar 1 8 % (n = 24) dan PT SIA sebanyak 25 % (n = 200). Skin prick test positif juga dijumpai pada perawat dan peneliti laboratorium. Hasil skin prick test bervariasi antara positif satu (+) hingga positif tiga (+++) dan dijumpai baik pada karyawan yang langsung berhubungan dengan bahan dan produk lateks maupun yang tidak langsung berhubungan dengan produk (karyawan bagian administrasi, umum, satpam dan pemasaran). Teknik ELISA sandwich lebih sensitive ibanding ELISA tak-langsung dan ELISA langsung untuk mendeteksi keberadaan protein allergen lateks. Dengan teknik ELISA sandwich dapat diketahui bahwa kandungan protein allergen pada kondom (0,085-0175 OD ELISA) lebih rendah disbanding tensimeter (OD ELISA 0,088-0,693). Tensimeter yang dibuat dengan teknik iradiasi mengandung protein allergen lebih rendah disbanding tanpa iradiasi baik pada bagian bulb maupun lengan. Kandungan protein allergen bulb dan lengan tensimeter iradiasi yaitu 0,088 dan 0,184 dan pada tensimeter tanpa iradiasi yaitu 0,234-0,693 dan 0,264-0,283 OD ELISA. Protein allergen pada fraksi lutoid dan serum-C dalam lateks dapat dideteksi secara kualitatif dengan uji dot blot baik dengan IgE serum manusia peka dan IgG kelinci antilutoid. Dot blot dengan IgG keleinci antilutoid memberikan sinyal yang lebih kuat dibanding IgE serum manusia peka. Protein allergen pada lutoid dan serum-C lateks dapat diidentifikasi dengan Western blotting. Protein allergen yang teridentifikasi dalam lutoid yaitu memiliki BM 10, 14,5 21, 23, 32, dan 36 kDa. Protein allergen dalam serum C memiliki BM 17 kDa seta beberapa pita minor pada BM antara 25 kDa - 50 kDa. Sedangkan hasil Westen blotting dengan serum IgG kelinci anti lutoid diperoleh protein alergen yang relatif identik dengan serum IgE hanya intensitasnya lebih kuat. Protein alergen yang terdeteksi dengan IgG kelinci anti lutoid yaitu protein dari yang paling dominan yaitu BM 36, 50, 20, 60, 66 dan 16 kDa dari lutoid Berta BM 20 dan 16 kDa dari serum C. Protein dengan BM 21, 23, 32, dan 36 kD dalam lutoid lateks telah dielusi dari gel SDS-PAGE preparative dan akan digunakan untuk sumber antigen untuk pembuatan antibody pol iklonal dan monoclonal pada Tahun II. Selain pengembangan perangkat deteksi, juga telah dilakukan usaha deproteinasi protein allergen dengan protease basa dari isolat bakteri P6a asal lateks. Protein terlarut pada sarung tangan yang semula kadamya 1836 .iglg dengan penambahan enzim protease kasar 10% yang diaplikasikan bersama surfaktan 1% menurunkan sebesar 73% (500 Rig). Hasil penelitian yang diperoleh pada Tahun I sangat prospektif dan memilki peluang keberhasilan yang cukup besar untuk dapat merakit perangkat imunodiagnostik yang bemilai komersil pada akhir Tahun II karena (1) jenis-jenis protein asal lateks yang diduga kuat bersifat allergen telah diisolasi dan dimurnikan dari preparative gel SDS-PAGE, (2) determinasi individu yang positif terhadap allergen lateks, (3) Vasil pendahuluan kemampuan enzim protease yang diproduksi sendiri untuk penurunan kadar protein sarong tangan, (4) optimasi berbagai teknik immunoassay seperti ELISA, Dot blot dan Western blot. Antibodi poliklonal dan monoclonal spesfik terhadap protein allergen dan teknik deteksinya akan didaftarkan untuk paten sederhana.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library