Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wawan Darmawan
"Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah berdiri sejak tahun 1945. Semenjak kelahirannya, PGRI senantiasa berusaha untuk memajukan, meningkatkan, dan memperjuangkan nasib guru Indonesia. Tujuan itu tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI, tetapi sampai tahun 1998, permasalahan nasib guru belum memperoleh kejelasan. Undang-Undang Guru belum disusun dan ditetapkan.
PGRI sebagai organisasi profesional yang menjadi pelindung para guru dapat menjadi pos terdepan dalam memperjuangkan nasib guru. Dalam usahanya untuk memperjuangkan nasib guru, tidak selamanya PGRI memperoleh kesuksesan dan berjalan dengan lancar. PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia.
Berdasarkan kajian terhadap track record PGRI selama tahun 1945-1998, terdapat kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang menyebabkan PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia. PGRI yang dianggap sebagai organisasi para birokrat dibidang pendidikan sebenarnya dapat menjadi strenght (kekuatan) bagi PGRI untuk memperjuangkan nasib guru Indonesia dengan dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kesejahteraan guru. Namun duduknya para birokrat dalam PGRI dapat juga menjadi weakness (kelemahan) PGRI dalam memperjuangkan nasib guru, karena para birokrat akan lebih terfokus pengabdiannya pada pemerintah daripada organisasi (PGRI). Jika mengandalkan pada keanggotaan PGRI yang mencapai 1,4 juta jiwa, keanggotaan PGRI dapat menjadi kekuatan dan peluang (opportunity) secara intern (organisasi) untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Caranya dengan mengelola potensi yang ada dalam diri anggota dan iuran keanggotaan yang terkumpul dapat dijadikan modal usaha yang keuntungannya dapat diberikan kepada anggota. Peluang lain, masuknya PGRI dalam organisasi serikat sekerja membuka PGRI untuk lebih berani menuntut perbaikan nasib buruh termasuk guru di dalamnya. Begitu juga dengan lembaga pendidikan (sekolah-sekolah dari Tk - PT) yang telah dirintis oleh PGRI, hasil penyelenggaraannya dapat menjadi faktor pendukung untuk membantu kesejahteraan guru. Sementara itu, PGRI yang selalu mengikuti arus pemerintahan dengan menjadi organisasi pendukung dari pemerintah yang berkuasa, seperti Orde Lama dengan Nasakom-nya yang memunculkan PGRI Non-vaksentral dan Orde Baru dengan Golkarnya, akan memberikan image (citra) buruk dan ketidakpercayaan anggota terhadap PGRI. Hal itu terbukti ketika terjadi Reformasi pada tahun 1998, telah bermunculan organisasi guru di luar PGRI. Kehadiran mereka, seperti Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Kesatuan Dosen dan Guru Swasta Seluruh Indonesia (KDGSSI), tidak menutup kemungkinan dapat menjadi threat (ancaman) atas keberadaan PGRI yang tidak tegas dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia.
Adanya kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada pada diri PGRI tersebut membuat perjuangan PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Fajrul Muttaqin
"Skripsi ini menceritakan tentang peranan lembaga-lembaga yang mendahului lahirnya Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh KH Wahab Chasbullah. Ia merupakan salah seorang ulama besar dan motor penggerak dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi masyarakat Jawa saat itu yang serba kekurangan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah akibat penjajahan Belanda. Kondisi tersebut kemudian menggugah hati sejumlah kalangan, salah satunya adalah kalangan ulama. Mereka berupaya untuk mendirikan lembaga-lembaga tertentu sebagai sarana memperbaiki tingkat kehidupan rakyat dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, berdirilah beberapa lembaga diantaranya, Taswirul Afkar (1914), Nahdlatul Wathan (1916), dan Nahdlatul Tujjar (1918) yang diprakarsai oleh KH Wahab Chasbullah. Sebab lain berdirinya ketiga lembaga tersebut ialah berkaitan dengan berkembangnya paham pembaharuan di Timur Tengah yang mempengaruhi pemikiran ke-Islaman di Indonesia. Paham tersebut kemudian mempengaruhi sejumlah ulama di Indonesia untuk melakukan pembaharuan ajaran Islam di Indonesia dengan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan lama di luar ajaran agama Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, para ulama yang masih mempertahankan kebiasaan-kebiasaan lama kemudian mendirikan beberapa lembaga yang berfungsi sebagai wadah pemersatu para ulama untuk menentang ajaran pembaharuan yang disebarkan oleh para ulama pembaharu di Indonesia. Namun, dengan banyaknya persoalan yang terjadi berkaitan dengan pembaharuan Islam yang terjadi di Indonesia maupun di Timur Tengah, para ulama yang lebih dikenal dengan ulama tradisional ini membutuhkan wadah yang lebih besar sebagai pemersatu mereka. Melalui lembaga-lembaga seperti Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan inilah para ulama berhasil merumuskan berdirinya sebuah komite yang dinamakan komite Hijaz. Komite Hijaz inilah yang pada akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S12294
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Pahotan Franto
"Skripsi ini mencoba memaparka nsecara umum unsur seks sebagai bagian dalam film Indonesia dari tahun 1970 sampai tahun 1996. Pemaparan dikhususkan kepada penjelasan mengapa unsur seks bisa dapat muncul dalam film-film Indonesia selama kurun waktu tersebut. Dengan pemaparan tersebut maka akan dapat dilihat pengaruh yang diakibatkan dan reaksi yang timbul dari berbagai pihak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara garis besar seks dalam film Indonesia adalaha aspek komersialisme. Saran yang dapat diberikan adalah perlunya pelaksanaan UU Perfilman mengenai Sensor Film secara ketat, sikap tegas dari pemerintah dalam membina perfilman nasional, dan sebaiknya pemerintah membuat pengkategorian jenis film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12660
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hendry Gustian
"Skripsi ini memaparkan sejarah dan profil majalah Fikiran Ra?jat 1932-1933 yang dipimpin oleh Soekarno yang mulanya sebagai salah satu alat untuk menyatukan PNI Baru dengan Partindo. Namun, setelah Soekarno memilih masuk Partindo majalah ini tetap berusaha menjaga kenetralannya dan aroma persatuannya walau pada akhirnya sedikit berbau Partindo. Hal ini dapat dilihat dari kiprahnya sebagai wakil marhaen dalam menyuarakan pandangan anti kapitalisme dan imperialisme dalam usaha untuk mencapai Indonesia merdeka. Kiprah majalah Fikiran Ra?jat sebagai wakil marhaen dalam menyuarakan pandangan anti kapitalisme dan imperialisme dalam penelitian ini dilihat melalui pemaparan dan pembahasan beberapa contoh karikatur, artikel dan primbon politik. Karikatur, Artikel dan Primbon Politik yang bernada radikal, daya cetak dan jangkaunya yang luas pada akhirnya menyebabkan majalah Fikiran Ra?jat dilarang peredarannya.

This theses describes the profile and history of Fikiran Ra'jat Magazine among year 1932-1933 which was run by Soekarno as the media to unite two political parties, PNI Baru and Partindo. But after Soekarno chose Partindo, this magazine tried to keep its stability and still trying to be neutral between PNI Baru and Partindo although at the end the color obviously seemed a bit more like Partindo than PNI Baru. This can be seen from its role as Marhaen's agent who expressing upon anti-capitalism and anti-imperialism to bring about Indonesia's independency. The research of this theses focused on the explanation and description of some caricature drawing, written articles, magazine's readers letters, and discussion between magazine's readers and editorials which was all lead to the conclusion that this magazine is literally the Marhaen's agent in sounding anticapitalism and anti-imperialism. However, some factors such as the radical tone of caricature drawings, articles and readers' letters (Primbon Politik) also it's wide coverage publication became the reason of the withdrawal of this Fikiran Ra'jat Magazine in the end."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S17
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alwi Alatas
"Tentara merupakan bagian intergral dalam suatu negara yang berfungsi mempertahankan eksistensi negara tersebut dari agresi militer negara lain. Namun, pembentukan organisasi tentara pada suatu negara yang baru berdiri bukanlah pekerjaan yang ringan, apalagi harus menghadapi seangan negara lain pada saat yang bersamaan. Situasi seperti inilah yang dihadapi oleh Negara Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaannya. Pada awalnya pemerintah Republik Indonesia hanya mendirikan BKR yang mempunyai fungsi berbeda dengan tentara. Kedatangan tentara Sekutu di Indonesia dengan tentara Belanda yang ikut di dalamnya menimbulkan respons dari para pemuda dengan membentuk laskar-laskar dan merebut senjata-senjata dari tangan tentara Jepang guna mempertahankan kemerdekaan. Walaupun pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah membentuk TKR sebagai wadah resmi tentara pemerintah, tetapi kendali militer tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah mengingat keberadaan laskar-laskar yang juga berjuang dengan gigih di luar koordinasi tentara resmi. Didaerah Sumatra Timur, jumlah laskar justru lebih banyak dibandingkan jumlah tentara. Mereka berhimpun di sekitar Medan yang dikuasai oleh tentara Sekutu. Upaya menyatukan pasukan-pasukan laskar dan tentara yang umumnya berasal dari Sumatra Timur dan Tapanuli in dilakukan lewat pembentukan LRMA yang kemudian berubah menjadi KMA. Namun, koordinasi pasukan tetap menjadi masalah penting bagi perjuangan di daerah ini. Konflik-konflik antar pasukan kerap terjadi, begitu pula penyimpangan-penyimpangan pasukan berupa perampokan dan pembentukan atas masyarakat sebangsa yang tidak berdosa"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
S12154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Mutiana
"Masuknya Jepang ke Indonesia di awal tahun 1942, membawa perubahan yang cukup banyak bagi rakyat Indonesia. Pada awalnya rakyat Indonesia menyambut kedatangan Jepang dengan keyakinan bahwa bangsa Jepang akan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Anggapan seperti ini terjadi karena jauh sebelum bangsa Jepang menguasai Indonesia, orang-orang Jepang telah disebarkan di wilayah Indonesia untuk melakukan propaganda terhadap rakyat Indonesia. Melalui propaganda ini rakyat Indonesia menjadi yakin bahwa Jepang bermaksud baik. Setelah menduduki Indonesia, bangsa Jepang mulai merangkul golongan nasionalis untuk bekerjasama. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar golongan nasionalis yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat dapat membantu pemerintah Jepang untuk memobilisasi rakyat. Selain golongan nasionalis, golongan Islam juga menjadi perhatian pemerintah Jepang. Sikap golongan Islam yang anti Barat membuat pemerintah Jepang ingin bekerjasama dengan golongan ini. Kerjasama dengan golongan Islam dilakukan oleh pemerintah Jepang dengan tujuan penghapusan pengaruh Barat dan mobilisasi rakyat untuk kepentingan perangnya. Kebijakan pemerintah Jepang terhadap golongan Islam sangat lunak. Di masa pendudukannya, pemerintah Jepang rnempcrbolehkan organisasi Islam yang telah ada sejak masa penjajahan Belanda yaitu Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) tetap ada. Setelah MIAI dibubarkan karena dianggap kurang menguntungkan bagi Jepang, pemerintah Jepang kembali mendirikan salu organisasi bagi umat Islam yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Selain itu, pemerintah Jepang juga mendirikan kantor urusan agama dan mengadakan pelatihan bagi para ulama. Pada masa pendudukan Jepang pula tokoh-tokoh golongan Islam Indonesia menduduki jabatan dalam pemerintahan. Memasuki tahun 1944, pemerintah Jepang mulai mengalami berbagai kekalahan. Hal tersebut kemudian membuat pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Janji tersebut kemudian mulai direalisasikan dengan membentuk Badan Penyclidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Keadaan pemerintah Jepang yang semakin terdesak juga membuat pemerinlah Jepang mengizinkan berdirinya organisasi semi militer bagi para pemuda muslimin yaitu Barisan Hizbullah. Organisasi ini secara resmi didirikan pada tanggal 3 Desember 1944. Pada awal pembentukannya, jumlah anggota Barisan Hizbullah dibatasi hanya 14 ribu orang. Kemudian pada bulan Februari 1945, diadakan pelatihan bagi anggota Barisan Hizbullah di Cibarusa. Peserta latihan Barisan Hizbullah di Cibarusa berjumlah 500 orang. Peserta latihan tersebut merupakan wakil dari tiap-tiap keresidenan yang ada di Jawa. Lama latihannya adalah tiga bulan, terdiri dari latihan jasmani dan rohani. Selesai dari pelatihan di Cibarusa, mereka semua dikembalikan ke daerah asal masing-masing. Kemudian mereka melatih pemuda di daerahnya sehingga terbentuklah organisasi Hizbullah pada tingkat yang terendah yaitu tingkat kelurahan, kecamatan, atau kabupaten. Hal serupa juga dilakukan oleh para alumni latihan Hizbullah Cibarusa yang berasal dari keresidenan Semarang. Dari seluruh wilayah yang ada di keresidenan Semarang, organisasi Hizbullah di kabupaten Demak merupakan yang paling maju jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya batalyon Bintoro Demak yang telah terkoordinasi dengan baik. Balalyon Bintoro merupakan cikal bakal dari terbentuknya Barisan Hizbullah divisi Semarang yang merupakan organisasi Hizbullah pada tingkat keresidenan. Kemudian untuk lebih memudahkan koordinasi, maka Barisan Hizbullah divisi Semarang bergabung dengan divisi Surakarta menjadi divisi Sunan Bonang. Adanya dua kekuatan bersenjata di Indonesia, yaitu TRI di satu sisi dan laskar serta barisan di sisi yang lain membuat pemerintah berkeinginan untuk menggabungkan kedua kekuatan bersenjata ini menjadi satu. Pada tanggal 5 Mei 1947, keluarlah penetapan Presiden yang memutuskan menggabungkan TRI dan laskar serta barisan ke dalam satu organisasi tentara yaitu TNI. Kemudian bergabunglah Hizbullah divisi Sunan Bonang dengan TIi ke dalam Resimen 6 Brigade 24 Divisi IV/Panembahan Senopati."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12563
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tb Dony Nurpatria
"Sewaktu agresi militernya yang pertama pasukan Belanda tidak menyerang Banten namun pada tanggal 23 Desember 1948 Banten tidak luput dan serangan pasukan Belanda. Hanya dalam waktu kurang dan seminggu semua kota-kota besar di Karesidenan Banten telah dikuasai pasukan Belanda. Dikuasainya kota-kota itu memaksa para pamong praja dan tentara yang anti Belanda untuk pergi dari kota dan pergi mengungsi kepedalaman. Tempat yang telah disepakati antara pihak militer dengan sipil adalah suatu daerah di Pandeglang Selatan yaitu di Kawedanaan Cibaliung dan Munjul. Dari tempat itulah semua strategi diatur dan disusun baik oleh pihak sipil maupun pihak militer. Kerjasama antara kedua belah pihak berjalan sangat erat, pihak militer beserta seluruh unsur perjuangan melakukan pertempuran digaris depan dengan cara bergerilya sedangkan pihak sipil atau pamong praja yang banyak terdiri dari ulama berusaha untuk menenangkan hati rakyat dan menumbuhkan semangat juang rakyat dan tentara dan juga menyediakan perbekalan bagi kelangsungan perjuangan. Selama kurang lebih satu tahun pertempuran berkecamuk diseluruh Banten dengan Pandeglang Selatan sebagai pusat komando gerilyanya. Pada akhirnya gencatan dilakukan antara pihak RI dengan Belanda sesuai dengan persetujuan Konfrensi Meja Bundar."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S12201
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samsul Kamil B. Osman
"Lahirnya gerakan kebangsaan di Tanah Melayu hampir bersamaan dengan munculnya gerakan. kebangsaan di Indone_sia. Namun dalam perkembangan awalnya, gerakan kebangsaan di Tanah Melayu berjalan agak lambat. Hingga tahun 1945, belum terlihat kesadaran.kebangsaan yang dapat mempersat_ukan seluruh penduduk Tanah Melayu. Kesadaran kebangsaan yang muncul sebelum tahun 1945 masih bercorak kedaerahan dan bersifat konservatif, yaitu berusaha mengembalikan status quo. Keadaan politik di Tanah Melayu mula berubah sete_lah Perang Pasifik berakhir. Kegagalan Tanah Melayu meraih kemerdekaan bersama Indonesia menyadarkan rakyat_nya bahwa mereka harus bersatu dan berusaha meneruskan perjuangan menuntut kemerdekaan Tanah Melayu. Kesadaran ini melahirkan Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM), yaitu merupakan partai politik pertama yang didirikan setelah Perang Pasifik usai pada penghujung tahun 1945. PKMM mempunyai beberapa ciri-ciri yang menarik dalam perjuangannya. Sebagai partai politik yang pertama didirikan setelah Perang Pasifik, partai ini mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memimpin perjuangan menuntut kemerdekaan Tanah Melayu. PKMM meneruskan usaha untuk menyatukan kemerdekaan Tanah Melayu dan Indonesia membentuk 'Indonesia Raya'. Dalam perjuangannya, PKMM tidak hanya menunjukkan sikap antikolonial, namum juga bersikap antifeodal. Bagi PKMM, feodalisme merupakan penghambat untuk mendirikan sebuah negara Republik Ma_laya, yaitu bagian dari Republik Indonesia. PKMM dalam perjuangannya berhasil membuktikan bahwa ia merupakan partai politik yang tidak pernah ketandusan ide. Berbagai-bagai alternatif diusahakan untuk mewujudkan Malaya Merdeka yang mereka perjuangkan, walaupun beberapa usaha mereka sebelumnya menempuh kegagalan. Di puncak perjuangannya, PKMM berhasil menyusun sebuah konstitusi yang akan menjadi dasar negara seandainya kemerdekaan yang mereka perjuangkan berhasil diraih. 'Konstitusi Rakyat' yang disusun oleh PKMM-AMCJA mem_buktikan bahwa rakyat Tanah Melayu siap untuk mengambil alih pemerintahan dari Inggris dan bisa memerintah sendiri negara mereka. Di akhir perjuangannya, PKMM ' terpaksa' membubarkan partai itu. Namun selama perjuangannya, PKMM telah berha_sil menyadarkan rakyat Tanah Melayu betapa besarnya arti sebuah kemerdekaan. Perjuangan PKMM seharusnya dibangg akan, karena partai ini berhasil membuktikan bahwa ia telah meniadi salah satu pelopor gerakan kemerdektiaan Tanah Melayu yang kelak berhasil diraih pada tanggal 31 Agustus 1957."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S12573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tirmizi
"Skripsi ini menguraikan peran Yap Thiam Hien dalam menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia dan dunia internasional. Pergulatan Yap dalam misi mulia tersebut berakar dari latar belakangnya sebagai kaum minoritas di Indonesia dan kerisauannya terhadap sikap diskriminatif kaum kolonialis serta tidak diindahkannya hak-hak rakyat oleh para penggenggam kekuasaan pascakemerdekaan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S12592
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indro Bagus Satrio Utomo
"Tan Malaka adalah salah seorang tokoh pergerakan lama. Pada 1922 Ia diasingkan keluar Hindia Belanda karena terlibat dalam pemogokan buruh pegadaian. Baru pada 1942 ia berhasil masuk kembali ke Hindia Belanda, namun masih beraktifitas secara diam-diam dengan menyamar. Penyamarannya baru dibuka setelah kemerdekaan RI 1945 kepada Ahmad Subarjo. Setelah itu ia mulai kembali melakukan aktifitas politiknya secara terang-terangan. Aktifitas politiknya pada masa revolusi 1945-1949 didasarkan pada pemikiran pemikirannya yang telah dicetuskan sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan pemikiran-pemikirannya lebih difokuskan pada mekanisme praktik atas pemikirannya tersebut. Pada masa revolusi, Tan Malaka merumuskan suatu jalur perjuangan sosialisme yang lebih disesuaikan dengan konteks perjuangan Indonesia, yaitu Murbaisme. Pemikiran tersebut kemudian melahirkan turunan-turunannya seperti konsep Merdeka 100 %, kemudian juga Gerilya-Politik-Ekonomi (Gerpolek). Berangkat dari pemikiran-pemikiran tersebut kemudian terbentuklah wadah-wadah perjuangannya seperti Persatuan Perjuangan, Gerakan Rakyat Revolusi, Partai Murba, dan Gerilya Pembela Proklamasi. Dalam organisasi-organisasi itulah pemikiran murbaisme membentuk jalur perjuangannya. Namun sangat tragis bahwa Tan Malaka sebagai seorang yang mencurahkan hidupnya memperjuangkan Indonesia, justru tewas di tangan tentara RI sebagai akibat dari pertempuran hegemoni politik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12480
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>