Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nofri Suriadi
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2003
T563420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: PERNEFRI, 2009
616.61 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmah Dhafir
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2002
T40130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman Sekarsari
"Tujuan: Mengetahui efek pemberian suplemen vitamin A penderita DVA dalam meningkatkan fungsi sensitivitas kontras, pemeriksaan sensitivitas kontras dapat menjadi alat deteksi penderita DVA dan perbedaan dosis vitamin A mengakibatkan peningkatan fungsi sensitivitas kontras.
Metode: Merupakan penelitian uji klinis tersamar ganda pada anak usia 6-9 tahun yang sudah dapat membaca di desa Suwug Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng,, Bali. Pengambilan subyek penelitian berdasarkan kadar vitamin A serum yang menurun (0,35-<0,70 µmol/lt) dan pemeriksaan sensitivitas kontras (<1,75 log unit). Pemberian suplemen vitamin A dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dosis 200.000 IU dan 100.000 IU pada hari 1,2,14. Evaluasi kadar serum vitamin A dilakukan pada hari ke-21 dan sensitivitas kontras pada hari ke-8,9, dan 21.
Hasil: Sejumlah 36 (19%) anak dari 190 anak SD menderita DVA subklinis dengan sensitivitas kontras menurun. Pemeriksaan sensitivitas kontras sangat sensitive untuk diagnosa DVA subklinis (100%) terapi tidak begitu spesifik (80,5%). Didapatkan hubungan yang bermakna (p=0,00) antara sensitivitas kontras dengan kadar serum vitamin A dan didapatkan hubungan korelasi yang positif. Efek suplemen vitamin A terhadap kadar serum vitamin A dan sensitivitas kontras bermakna (p=0,00) dan tidak didapatkan perbedaan percepatan peningkatan fungsi sensitivitas kontras antar dua kelompok (p<0,05).
Kesimpulan: Pemberian suplemen vitamin A dapat meningkatkan fungsi sensitivitas kontras, dengan dosis 100.000 IU sudah mencukupi terapi penderita DVA subklinis. Pemeriksaan sensitivitas kontras merupakan alat yang sensitif untuk menditeksi DVA subkluus.

Purpose: To evaluate the effect of vitamin A supplementation in increasing contrast sensitivity function of vitamin A deficiency patients. Contrast sensitivity examination can be used as a tool to detect vitamin A deficiency and the vitamin A dose variation can accelerate of sensitivity contrast function increase.
Method: The study is double blind clinical trial conducted in elementary school able to read students, aged between 6-9 years old in Suwug village, Sawan, Buleleng, district of Bali. Subject were collected based upon decreased of vitamin A serum level (0,35-<0,70 µmol/lt) and decrease function of contrast sensitivity (<1,75 log unit). The intervention of vitamin A supplementation is divided into 2 doses, 200.000 IU and 100,000 IU in day 1,2 and 14. On day 21 vitamin A serum level were evaluated and contrast sensitivity on day 8.9.21.
Result: Thirty six (19%) students from 190 were detected to be subclinical vitamin A deficiency with decreasing contrast sensitivity function. Contrast sensitivity is very sensitive to diagnose subclinical vitamin A deficiency (100%) but quite sensitive (80,5%). There was positive significant correlation (p=0,00) between contrast sensitivity with vitamin A serum level. The effects of vitamin A supplementation on vitamin A serum level and contrast sensitivity were significant (p=0,00). There were no difference in acceleration of contrast sensitivity increase between two groups (p<0.05).
Conclusion: Vitamin A supplementation may increase contrast sensitivity function with 100.000 IU dose is enough for subclinical vitamin A deficiency therapy. Contrast sensitivity examination is a sensitive tool to detect subclinical vitamin A deficiency patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Sarwono
"Latar belakang : Inflamasi pada hemodialisis (HD) berhubungan dengan terjadinya kontak darah dengan membran dialisis, cairan dialisat, akses vaskuler dan infeksi. Peningkatan sitokin pro-inflamasi berperan penting terhadap terjadinya aterosklerosis selain itu inflamasi berakibat anoreksia dan kondisi hiperkatabolik yang menyebabkan malnutrisi. Keadaan ini disebut sebagai Sindrom Malnutrisi-Inflamasi-Aterosklerosis. Karakteristik HD di Indonesia berbeda dengan negara maju, perbedaan tersebut terkait penggunaan dialyzer pakai ulang dan tipe low-flux, belum menggunakan dialisat ultrapure dan dosis HD yang tidak adekuat.
Tujuan : Melihat beda rerata antara Skor-MI, hsCRP dan sTNFR-1 pada pasien HD yang mengalami aterosklerosis dan yang tidak aterosklerosis.
Metode Penelitian : Desain studi potong lintang pada pasien HD yang dalam keadaan stabil yang sudah menjalani HD antara 3 bulan sampai 5 tahun di RSUP Fatmawati. Jumlah subyek 60 orang yang dikumpulkan dalam kurun waktu Desember 2013 sampai dengan Februari 2014. Pemeriksaan hsCRP dan sTNFR-1 sebagai biomarker inflamasi, untuk menentukan status nutrisi menggunakan skor malnutrisi-inflamasi(Skor-MI) dan pemeriksaan USG doppler arteri Karotis untuk menentukan penebalan intima-media(CIMT). Analisis statistik dengan uji T dan uji Mann-Whitney.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan Skor-MI pada kelompok yang CIMT positif (aterosklerosis) memiliki nilai median lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang non aterosklerosis (7 vs 5). Sedangkan kadar sTNFR-1 memiliki nilai median CIMT positif (3.48) lebih rendah dibandingkan CIMT negatif (12,126 vs 11,657). Kadar hsCRP pada kelompok CIMT positif memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan CIMT yang negatif (3.48 vs 5.32). Dari ketiga variabel tersebut tidak ada beda rerata (p>0,05).
Kesimpulan : Tidak terdapat beda rerata antara Skor-MI, hsCRP dan sTNFR-1 pada pasien HD yang mengalami aterosklerosis dan yang tidak aterosklerosis.

Background: Inflammation in hemodialysis is associated with blood contact with dialysis membrane, dialysate solution, vascular access and infection. Increment of pro-inflammatory cytokine plays important role in atherosclerosis development. Inflammation also causes anorexia and hypercatabolism state leading to malnutrition. This condition is called malnutrition-inflammation-atherosclerosis syndrome. Hemodialysis characteristics in Indonesia is different with those in developed countries. Those differences are associated with reuse dialyzer, low flux hemodialysis, inadequate dose of hemodialysis, and unavailability of ultrapure dialysate.
Aim: To determine the mean difference between MI score, hsCRP and sTNFR-1 in hemodyalisis patients with atherosclerosis and non-atherosclerosis.
Methods: This is a cross-sectional study which has involved hemodialysis patients who underwent HD between 3 months to 5 years in Fatmawati Central Hospital. There are 60 subjects collected from December 2013 until February 2014. hsCRP and soluble TNFR-1 were used as inflammation biomarker, MI score was used to assess nutritional status. and carotid doppler ultrasonography was used to assess carotid intima media thickness. This study used T-test and Mann-Whitney for statistical analysis.
Results: Median score for malnutrition-inflammation score in atherosclerotic group is higher than non atherosclerotic group (7 vs 5), while the median sTNFR-1 in atherosclerotic group is lower than non atherosclerotic group (12,126 vs 11,657). Mean hsCRP in atherosclerotic group is higher than non atherosclerotic group (3.48 vs 5.32). There are no mean differences of all those three variables (p>0.05).
Conclusion: No mean differences between MI-score, hsCRP, and sTNFR-1 with atherosclerotic and non-atherosclerotic in HD patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sonya Farah Diba
"Latar Belakang. Hemodialisis (HD) menjadi pilihan utama terapi pengganti ginjal di Indonesia. Pada tahun 2016, Indonesia memiliki angka mortalitas satu tahun pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK) yang diterapi dengan HD (PGK-HD) lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Saat ini, Indonesia belum memiliki banyak data terkait insidens dan faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas pasien HD kronik.
Tujuan. Mengetahui insidens dan faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas satu tahun pasien HD kronik.
Metode. Penelitian dilakukan dengan desain studi kohort prospektif di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak 2020 hingga Desember 2021 dengan mengikuti 193 pasien yang masih hidup setelah tiga bulan dilakukan HD inisiasi. Pasien kemudian diobservasi selama sembilan bulan untuk mengetahui insidens mortalitas satu tahun dan faktor-faktor yang berkaitan. Data dianalisis menggunakan analisis bivariat diikuti dengan analisis multivariat cox regresi untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas.
Hasil. Rerata usia pasien penelitian adalah 52 tahun dan etiologi terbanyak pasien PGK-HD yaitu diabetes melitus (DM). Selama observasi, terdapat tiga pasien loss to follow up, dan terdapat 55 pasien meninggal. Insidens satu tahun mortalitas pada penelitian ini adalah 28,49% (IK 95% 22,25-35,42%). Setelah dilakukan analisis multivariat pada penelitian ini didapatkan tiga variabel yang secara signifikan memengaruhi mortalitas yaitu interdialytic weight gain (IDWG) ≥5% (OR 3,58, IK 95% 1,16-10,91), kadar hemoglobin <10 g/dL (OR 3,4, IK 95% 1,79-7,15), dan serum kalsium <8,5 mg/dL (OR 3,79, IK 95% 1,75-8,23).
Kesimpulan. Insidens mortalitas satu tahun pasien HD kronik sebesar 28,49%. IDWG ≥5%, kadar hemoglobin <10 g/dL, dan serum kalsium <8,5 mg/dL merupakan faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas satu tahun.

Background. Hemodialysis (HD) is the main kidney replacement therapy in Indonesia. In 2016, Indonesia had a higher one-year mortality rate of chronic kidney disease (CKD) patients treated with hemodialysis (CKD-HD) compared to other countries. Currently, HD centers in Indonesia lack data related to the incidence and factors related to mortality in CKD-HD patients.
Aims. To determine the incidence and factors related to one-year mortality in Chronic HD patients.

Methods. This prospective cohort study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) from January 2020 to December 2021, following 193 patients who survived three months after initial dialysis. Patients were observed for nine months to know the one-year mortality incidence and related factors. The data were analyzed using bivariate analysis followed by multivariate cox regression analysis to review factors related to mortality.
Results. The mean age was 52 years-old and the most common etiology of CKD-HD was diabetes mellitus (DM). During follow-up, three patients dropped out due to loss to follow up and 55 patients died. One-year mortality incidence was 28.49% (95% CI 22,25-35,42%) in this study. After multivariate analyses, we found three significant variables for one-year mortality: interdialytic weight gain (IDWG) ≥5% (OR: 3.58, 95% CI: 1.16.88-10.91), hemoglobin level <10 g/dL variables, (OR: 3.4, 95%CI 1.79-7.15), and calcium serum <8.5 mg/dL (OR: 3,79, 95% CI 1.75-8.23).  
Conclusion. The incidence of one-year mortality in CKD-HD patients was 28.49%. IDWG ≥5%, hemoglobin <10 g/dL, and calcium serum <8.5 mg/dL are significant factors related to one-year mortality.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Kemala Sari
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julie Dewi Barliana
"Tujuan: Mengetahui hubungan polimorfisme genetik MnSOD Ala-9Val dengan retinoblastoma pada pasien-pasien di Indonesia, serta menilai hubungan polimorfisme gen MnSOD ini dengan aktivitas enzim SOD.
Disain: Penelitian kasus-kontrol
Metode: Polimorfisme gen MnSOD Ala-9Va1 dideteksi pada 35 pasien retinoblastoma yang berasal dari Divisi Pediatri Departemen Mata RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan 81 kontrol anak sehat dengan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) dan restriction fragment length polymorphism (RFLP) menggunakan enzim restriksi NgoMIV. Aktivitas SOD dinilai dengan menggunakan prinsip perubahan dl-epinefrin menjadi adenokrom yang dapat dibaca dengan spektrofotometer.
Hasil: Pada penelitian ini hanya ditemukan genotip Val/Val dan Ala/Val. Frekuensi polimorfisme gen MnSOD genotip Ala/Val meningkat pada kelompok kasus dibandingkan kontrol meskipun tidak bermakna (OR 2,643 95% CI=0,850-8,217). Frekuensi ale! juga meningkat pada kelompok pasien dibandingkan kontrol (OR=2,46, 95% CI=0,829-7,302). Aktivitas SOD lebih tinggi pada kelompok kasus daripada kontrol (p=0,433). Namun tidak ditemukan perbedaan aktivitas SOD antara kelompok genotip Val/Val dan Ala/Val.
Kesimpulan: Sejauh ini frekuensi polimorfisme gen MnSOD Ala-9 Val genotip Ala/Val meningkat pada pasien retinoblastoma, namun genotip ini belum dapat dikatakan sebagai faktor resiko retinoblastoma. Selain itu tidak ditemukan hubungan bermakna antara polimorfisme gen MnSOD Ala-9 Val dengan retinoblastoma dan aktivitas SOD.

Objectives: In the present study, we investigated the genetic association between a functional polymorphism Ala-9Va1 in the human manganese SOD (MnSOD) gene and retinoblastoma; and the association between this polymorphism and SOD activity.
Methods: This case-control study was examined in 35 retinoblastoma cases and 81 controls. The Ala-9Val polymorphism was detected by PCR and RFLP using NgoMV restriction enzyme. SOD activities was evaluated by the changes of dlepinefrin to adenochrom which measured by spectrofotometry.
Results: No significant differences in the allelic or genotipic distribution between retinoblastoma and controls were observed. Retinoblastoma risk was slightly elevated in Ala/Val genotype (OR: 2,643, 95%CI: 0,85-8,217) as compared with Va JVal genotype. We did not find AlalAla genotype in both groups. There was significant difference in SOD activity between cases and controls (p=0,033). The SOD activity was higher in retinoblastoma than controls.
Conclusions: The MnSOD gene polymorphism Ala-9Val was not found to be associated with retinoblastoma in this case-control study. It seemed that the Ala-9Val polymorphism was not a risk factor for retinoblastoma. There was also no association between MnSOD gene Ala-9VaI polymorphism and SOD activities. Studies with a larger sample size are needed to confirm the findings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Y. Lestari Santoso
"Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi miopia fisiologis (miopia derajat ringan dan sedang) pada siswa pesantren madrasah tsanawiyah berusia 12-15 tahun serta pola amplitude respon akomodasi dan panjang aksis bola mata pada miopia fisiologis dibandingkan dengan emetropia. Ingin pula diketahui hubungan antara amplitude respon akomodasi dengan panjang aksis bola mata pada miopia fisiologis sebagai dasar pemberian kacamata bifokal untuk menghambat progresivitas miopia.
Metode: Penelitian cross-sectional terhadap 325 siswa dengan melakukan pemeriksaan refraksi subyektif dengan dan tanpa koreksi, refraksi sikloplegik, retinoskopi dinamik metode Nott untuk menilai amplitude respon akomodasi dan biometri A-scan untuk menilai panjang aksis bola mata. Semakin besar amplitude respon akomodasi berupa accommodative lag diduga akan mengakibatkan bertambahnya panjang aksis bola mata.
Hasil: Prevalensi miopia fisiologis didapatkan sebesar 23,4% dengan amplitude respon akomodasi pada miopia lebih rendah dan panjang aksis bola mata lebih panjang daripada emetropia. Tidak terdapat hubungan antara amplitude respon akomodasi dengan panjang aksis bola mata. Faktor sosiodemografi tidak mempengaruhi risiko terjadinya miopia.
Kesimpulan: Tidak terdapatnya hubungan antara amplitude respon akomodasi dengan panjang aksis bola mata kemungkinan disebabkan desain penelitian yang bersifat cross-sectional tidak dapat menilai pertambahan panjang aksis bola mata tanpa dipengaruhi faktor genetik. Kemungkinan lain adalah adanya distribusi subyek yang tidak normal dan terdapat faktor lain yang berperan dalam terjadinya miopia.

Purpose: To study the prevalence of physiologic myopia (mild and moderate) in religious boarding junior high school children in Jakarta with age 12-15 years old and to evaluate the accommodative response amplitude and axial length pattern in physiologic myopia compared with emmetropia. To know the correlation between accommodative response amplitude and axial length in physiologic myopia that could lead to the progressive addition lenses therapy in preventing myopia progression.
Methods: Cross-sectional study in 325 school-age children. Measurement methods included subjective uncorrected and best corrected refraction, cycloplegic refraction, Nott dynamic retinoscopy to measure accommodative response amplitude and A-scan biometry for axial length measurement. Larger accommodative response amplitude which means larger accommodative lag refers to increasing axial length in physiologic myopia.
Results: Of these 325 children, 23.4% were myopic (-0.50 D or more) with larger accommodative response amplitude (larger accommodative lag) and longer axial length in myopia compared to emmetropia, but there was no correlation between accommodative response amplitude and axial length. Socio-demographic factor such as age and class, had no correlation with myopia development.
Conclusions: Larger accommodative response amplitude (accommodative lag) in children with more near work activities than ordinary school children had no correlation with longer axial length. It maybe due to the cross sectional data could not measure the axial length only in one session but must be followed to evaluate the axial growth rate. Possibly there was another factor related to the ocular growth in children cause myopia development.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>