Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan , 1992
745 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bintang Knight
"Kawat bronjong adalah kawat dengan struktur anyam yang terbuat dari baja galvanis. Penggunaan kawat bronjong sering diaplikasikan sebagai pondasi ataupun penahan anti korosi untuk mencegah bencana erosi, tanah longsor, dan abrasi. Adapun baja galvanis terdiri dari baja sebagai substrat yang dilindungi oleh lapisan pelindung seng. Akan tetapi performa lapisan seng dalam melindungi baja galvanis bergantung dari beberapa faktor, salah satunya kekasaran permukaan lapisan. Pada penelitian ini akan membahas pengaruh kekasaran permukaan lapisan seng terhadap ketahanan korosi. Variabel yang digunakan terdiri dari tiga sampel (BAL, BAI, dan BJ) dengan masingmasing bentuk heliks dan non-heliks Setiap sampel memiliki nilai kekasaran permukaan masing-masing yaitu BAL (2,185 μm); BAI (2,068 μm); dan BJ (2,775 μm). Proses ketahanan korosi menggunakan metode immersion test dengan larutan korosif HCl 1 M selama 21 hari. Hasil immersion test kemudian ditimbang dan dilakukan karakterisasi menggunakan mikroskop optik (OM) dan mikroskop elektron (SEM-EDS). Berdasarkan immersion test, sampel BJ dengan bentuk heliks menghasilkan laju korosi tertinggi. Kemudian kemampuan mekanis material sebelum dan setelah korosi mengalami perubahan dalam aspek kekerasan. Pengujian kekerasan menggunakan mesin microvickers dengan indentasi 25 gf dan waktu selama 10 detik. Berdasakan hasil kekerasan, didapatkan bahwa sampel BAI dengan kandungan seng tertinggi cenderung paling lunak. Di lain sisi, produk korosi yang terbentuk di permukaan tiap sampel menyebabkan material menjadi lebih keras dan brittle.

Gabion wire is woven wire made of galvanized steel. It is often used as a foundation or corrosion-resistant barrier to prevent erosion, landslides, and abrasion. Galvanized steel consists of steel as the substrate protected by a zinc coating. However, the performance of the zinc coating in protecting the galvanized steel depends on several factors, one of which is the surface roughness of the coating. This study discusses the influence of zinc coating surface roughness on corrosion resistance. The variables used consist of three samples (BAL, BAI, and BJ) with each having both helical and non-helical forms. Each sample has a specific surface roughness: BAL (2.185 μm); BAI (2.068 μm); and BJ (2.775 μm). The corrosion resistance process uses the immersion test method with 1 M HCl corrosive solution for 21 days. The immersion test results were then weighed and characterized using Optical Microscopy (OM) and Scanning Electron Microscopy with Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS). Based on the immersion test, sample BJ with a helical form showed the highest corrosion rate. Subsequently, the mechanical properties of the material before and after corrosion showed changes in hardness. The hardness test used a microvickers machine with a 25 gf indentation and a dwell time of 10 seconds. According to the hardness results, sample BAI, which had a highest zinc content, tended to be the softest. On the other hand, the corrosion products formed on the surface of each sample made the material harder and more brittle."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Febriyanti
"[Permintaan terhadap munisi kaliber besar untuk kebutuhan bidang HanKam di
dalam negeri sangat tinggi. Oleh karena itu, produsen harus mengimpor bahan
baku Cu-Zn 70/30 dari luar negeri dengan harga yang tinggi. Hal ini yang
menyebabkan produsen di dalam negeri berlomba untuk menguasai teknologi
pembuatan selongsong peluru kaliber besar agar dapat meningkatkan kemandirian
di bidang HanKam supaya biaya produksi menjadi lebih rendah. Salah satunya
adalah menggunakan proses thixocasting untuk menghasilkan preform/mangkuk
Cu-Zn 70/30 dari billet yang dilanjutkan dengan ironing. Keberhasilan proses
ironing tergantung dari mampu bentuk dingin material Cu-Zn 70/30 yang
digunakan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipelajari bagaimana
meningkatkan mampu bentuk dingin dengan metode thermomechanical
controlled processed menggunakan teknologi canai hangat. Teknologi canai
hangat dilakukan dengan metode double pass reversible sebanyak 25% x 2, 30%
x 2, dan 35% x 2 dengan variabel temperatur 300oC, 400oC, dan 500oC. Dengan
melakukan pengamatan metalografi baik menggunakan optical microscope
maupun FE-SEM, pengujian mekanik baik uji tarik maupun uji keras mikro
vickers, dan pengujian mampu bentuk dengan swift test menghasilkan kesimpulan
yaitu derajat deformasi aktual canai hangat yang dilakukan tidak sesuai dengan
teoritis, namun dari variabel canai hangat yang dilakukan masih bisa dihasilkan
sifat mampu bentuk terbaik yaitu pada benda uji yang dideformasi canai hangat di
temperatur 500oC dengan derajat deformasi aktual sebesar 38.7%. Sifat mampu
bentuk yang tinggi berhubungan dengan sifat mekanik dan struktur mikro yang
dihasilkan yaitu ukuran butir halus mencapai 29 μm, berbentuk equiaxed dengan
nilai GAR mencapai 1.2, dan nilai kekerasan mikro yang tinggi mencapai 155
HV. Selain itu, kekuatan UTS dan YS tertinggi masing-masing sebesar 533 MPa
dan 435 MPa juga didapatkan dari benda uji yang dilakukan parameter deformasi
canai hangat di temperatur 500oC dengan derajat deformasi aktual 38.7%.
Sedangkan apabila dilihat dari sifat mampu bentuknya maka benda uji yang
dideformasi canai hangat pada kondisi parameter ini memiliki nilai koefisien
pengerasan regang yang tinggi sebesar 0.00228, nilai anisotropi normal rata-rata
yang tinggi sebesar 0.5452, nilai anisotropi planar (Δr) yang rendah yaitu Δr<1
sebesar -0.42, LDR tinggi sebesar 2.625, dan tinggi mangkuk terbesar yaitu 10.31
mm.;The needs of high calibre munition for Indonesian army is very high. To
fulfill this strategic requirement, the government has to import this munition even
the price is very high. This condition stimulates local industry to obtain the latest
technology to produce high calibre munition, especially on casing. It is expected
that the price will be lower by producing high calibre munition in Indonesia. On
of technology which is used to produce high calibre casing munition is
thixocasting to produce pre-formed cup of Cu-Zn from billet then followed by
ironing process. The quality result of ironoing process is mostly dependent on
cold formability of Cu-Zn 70/30 material used. Therefore, this research focuses to
study how to improve cold formability by implemented thermo mechanical
controlled processed with warm rolling. Warm rolling is conducted on double
pass reversible method with deformation 25% x 2, 30% x 2, and 35% x 2 at
various temperatur 300oC, 400oC, and 500oC. The specimens are then examined
and tested by several method such as metallography using optical microscopy and
FE SEM, tensile test, vickers hardness test and swift test to observed cold
formability. The result indicate that the aktual degree of deformasi of warm
rolling can not be achieved as planned due to some problems with the equipment.
However, the best formability can be measured, where the best formability is
obtained for specimens which were warm rolled at temperatur 500oC with aktual
deformation 38.7%. Formability is strongly related to the mechanical properties
and its microstructure where the best formability obtained for the specimens
which has 29 μm grain size in equiaxed form and has GAR value of 1.2, and
maximmum hardness value is 155 HV. This specimen has UTS and YS
maximum are 533 MPa and 435 MPa, maximum strain hardening coefficient
0.00228, average anisotropic 0.5452, anisotropic planar Δr<1 at -0.42, LDR
maximum 2.625, and the height of cup is 10.31 mm., The needs of high calibre munition for Indonesian army is very high. To
fulfill this strategic requirement, the government has to import this munition even
the price is very high. This condition stimulates local industry to obtain the latest
technology to produce high calibre munition, especially on casing. It is expected
that the price will be lower by producing high calibre munition in Indonesia. On
of technology which is used to produce high calibre casing munition is
thixocasting to produce pre-formed cup of Cu-Zn from billet then followed by
ironing process. The quality result of ironoing process is mostly dependent on
cold formability of Cu-Zn 70/30 material used. Therefore, this research focuses to
study how to improve cold formability by implemented thermo mechanical
controlled processed with warm rolling. Warm rolling is conducted on double
pass reversible method with deformation 25% x 2, 30% x 2, and 35% x 2 at
various temperatur 300oC, 400oC, and 500oC. The specimens are then examined
and tested by several method such as metallography using optical microscopy and
FE SEM, tensile test, vickers hardness test and swift test to observed cold
formability. The result indicate that the aktual degree of deformasi of warm
rolling can not be achieved as planned due to some problems with the equipment.
However, the best formability can be measured, where the best formability is
obtained for specimens which were warm rolled at temperatur 500oC with aktual
deformation 38.7%. Formability is strongly related to the mechanical properties
and its microstructure where the best formability obtained for the specimens
which has 29 μm grain size in equiaxed form and has GAR value of 1.2, and
maximmum hardness value is 155 HV. This specimen has UTS and YS
maximum are 533 MPa and 435 MPa, maximum strain hardening coefficient
0.00228, average anisotropic 0.5452, anisotropic planar Δr<1 at -0.42, LDR
maximum 2.625, and the height of cup is 10.31 mm.]"
2015
T44720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninny Soesanti Tedjowasono
"Langkah pembaharuan yang dilakukan oleh raja Airlangga semenjak ia naik takhta tahun 941 Saka(1019 M) adalah memberi perhatian besar pada aspek perekonomian negara. Perbaikan aspek ekonomi dianggap dapat menjadi dasar dari proses perbaikan ketiga aspek kehidupan bernegara lainnya, yaitu politik, agama dan sosial. Karena itu ia mengembangkan landasan perekonomian pada sektor perdagangan di samping pertanian yang sudah sejak lama dijalankan. Kedua sektor yang merupakan landasan perekonomian negara sangat diperhatikan dan diupayakan berkembang secara maksimal.N Ciri-ciri umum kerajaan-kerajaan kuna di Indonesia tidak banyak berubah dari abad ke abad, yang disebabkan oleh faktor geografi wilayah Indonesia. Kondisi tanah dan iklim dan geografi dianggap sebagai faktor penting yang menentukan landasan pereko_nomian yaitu pertanian dan perdagangan. Di sepanjang Jawa terda_pat sederetan gunung berapi yang berjajar memanjang membentuk tulang punggung dari timur ke barat. Gunung-gunung dan dataran tinggi membantu membentuk wilayah pedalaman menjadi kawasan_kawasan yang kebetulan sangat cocok bagi pengolahan sawah.Jalur perhubungan yang utama di Jawa adalah sungai-sungai yang sebagian besar relatif pendek. Sungai yang paling cocok untuk hubungan transportasi jarak jauh hanya sungai Brantas dan bengawan Solo, sehingga tidak mengherankan apabila lembah-lembah kedua sungai tersebut merupakan pusat-pusat kerajaan besar sejak..."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D1845
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Jakarta: Fakultas Hukum, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library