Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendrianus
"Latar belakang: Elabela merupakan peptida baru yang ditemukan tahun 2013, bersama dengan apelin bertindak sebagai ligan endogen yang mengikat reseptor angiotensin receptor-like 1 (APJ), diekspresikan di berbagai jaringan tubuh terutama pembuluh darah dan memperlihatkan profil kardiovaskular yang mirip dengan apelin. Studi-studi ekperimental dan klinis telah memperlihatkan hubungan elabela dengan hipertensi, namun belum banyak diketahui mengenai peran elabela dalam proses aterosklerosis pada pasien hipertensi. Tujuan: Mengetahui hubungan konsentrasi peptida elabela dalam plasma dengan aterosklerosis subklinis pada populasi hipertensi. Metode: Sebanyak 104 subyek dengan hipertensi diikutkan dalam studi potong lintang. Konsentrasi elabela diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan terlebih dahulu melakukan ekstraksi peptida sesuai protokol. Parameter aterosklerosis subklinis dinilai dengan pemeriksaan ketebalan intima-media (KIM) karotis menggunakan alat ultrasonografi. Hasil: Konsentrasi elabela pada kelompok hipertensi derajat 2 lebih rendah dibandingkan kelompok hipertensi stadium 1 (0.14 [0.09, 0.23] ng/ml vs. 0.23 [0.13, 0.45] ng/ml; P = 0.000). Konsentrasi elabela lebih rendah pada kelompok dengan KIM karotis yang meningkat (0.15 [0.10, 0.23] ng/dl vs. 0.24 [0.13, 0.38] ng/dl; P = 0.005). Elabela memiliki korelasi linier negatif bermakna terhadap tekanan darah sistolik (r = -0.340, P = 0.000) dan KIM karotis (r = -0.213; P = 0.030). Konsentrasi elabela yang rendah (cutoff 0.155 ng/dl) berhubungan dengan subkelompok risiko tinggi kardiovaskular (OR 5.0, IK 95% 1.8-13.5, P <0.001). Kesimpulan: Penelitian ini untuk pertama kalinya memperlihatkan hubungan elabela dengan aterosklerosis subklinis terkait hipertensi. Rendahnya konsentrasi elabela dikaitkan dengan patogenesis aterosklerosis terkait hipertensi sehingga menjadikan elabela sebagai kandidat penanda biologis (biomarker) vaskular yang baru.

Introduction: Elabela is a newly identified peptide which, alongside apelin, acts as an endogenous ligand that activates the angiotensin receptor-like 1 receptor. Previous studies have shown the association of elabela with hypertension, but information about the role of elabela in hypertension-related subclinical atherosclerosis is scarce. Aim: To determine the elabela level in hypertensive patients and reveal its association with subclinical atherosclerosis. Methods: A total of 104 subjects with hypertension were included in the study. Elabela levels were measured using an enzyme-linked immunosorbent assay, by first extracting the peptide following the manufacturer's instructions. Subclinical atherosclerosis was assessed by measuring the carotid intima-media thickness (IMT) using ultrasound. Results: Compared to stage 1, elabela levels decreased in stage 2 hypertension (0.23 [0.13, 0.45] ng/ml vs. 0.14 [0.09, 0.23] ng/ml; P = 0.000), and in the group with increased carotid IMT compared to normal IMT (0.24 [0.13, 0.38] ng/ml vs. 0.15 [0.10, 0.23] ng/ml; P = 0.005). Additionally, a linear correlation analysis showed that elabela had a significant negative correlation with systolic blood pressure (r = -0.340, P = 0.000) and carotid IMT (r = -0.213; P = 0.030). In multivariate analysis, lower elabela levels were associated with a higher cardiovascular risk group in this study (OR 5.0, 95% CI 1.8-13.5, P < 0.001). Conclusions: This study demonstrated for the first time that circulating elabela declined in a higher stage of hypertension and hypertensive patients with increased carotid IMT, implicating that elabela may be involved in the pathogenesis of hypertension-associated subclinical atherosclerosis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrianus
"Latar belakang: Elabela merupakan peptida baru yang ditemukan tahun 2013, bersama dengan apelin bertindak sebagai ligan endogen yang mengikat reseptor angiotensin receptor-like 1 (APJ), diekspresikan di berbagai jaringan tubuh terutama pembuluh darah dan memperlihatkan profil kardiovaskular yang mirip dengan apelin. Studi-studi ekperimental dan klinis telah memperlihatkan hubungan elabela dengan hipertensi, namun belum banyak diketahui mengenai peran elabela dalam proses aterosklerosis pada pasien hipertensi.
Tujuan: Mengetahui hubungan konsentrasi peptida elabela dalam plasma dengan aterosklerosis subklinis pada populasi hipertensi.
Metode: Sebanyak 104 subyek dengan hipertensi diikutkan dalam studi potong lintang. Konsentrasi elabela diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan terlebih dahulu melakukan ekstraksi peptida sesuai protokol. Parameter aterosklerosis subklinis dinilai dengan pemeriksaan ketebalan intima-media (KIM) karotis menggunakan alat ultrasonografi.
Hasil: Konsentrasi elabela pada kelompok hipertensi derajat 2 lebih rendah dibandingkan kelompok hipertensi stadium 1 (0.14 [0.09, 0.23] ng/ml vs. 0.23 [0.13, 0.45] ng/ml; P = 0.000). Konsentrasi elabela lebih rendah pada kelompok dengan KIM karotis yang meningkat (0.15 [0.10, 0.23] ng/dl vs. 0.24 [0.13, 0.38] ng/dl; P = 0.005). Elabela memiliki korelasi linier negatif bermakna terhadap tekanan darah sistolik (r = -0.340, P = 0.000) dan KIM karotis (r = -0.213; P = 0.030). Konsentrasi elabela yang rendah (cutoff 0.155 ng/dl) berhubungan dengan subkelompok risiko tinggi kardiovaskular (OR 5.0, IK 95% 1.8-13.5, P <0.001).
Kesimpulan: Penelitian ini untuk pertama kalinya memperlihatkan hubungan elabela dengan aterosklerosis subklinis terkait hipertensi. Rendahnya konsentrasi elabela dikaitkan dengan patogenesis aterosklerosis terkait hipertensi sehingga menjadikan elabela sebagai kandidat penanda biologis (biomarker) vaskular yang baru.

Introduction: Elabela is a newly identified peptide which, alongside apelin, acts as an endogenous ligand that activates the angiotensin receptor-like 1 receptor. Previous studies have shown the association of elabela with hypertension, but information about the role of elabela in hypertension-related subclinical atherosclerosis is scarce.
Aim: To determine the elabela level in hypertensive patients and reveal its association with subclinical atherosclerosis.
Methods: A total of 104 subjects with hypertension were included in the study. Elabela levels were measured using an enzyme-linked immunosorbent assay, by first extracting the peptide following the manufacturer's instructions. Subclinical atherosclerosis was assessed by measuring the carotid intima-media thickness (IMT) using ultrasound.
Results: Compared to stage 1, elabela levels decreased in stage 2 hypertension (0.23 [0.13, 0.45] ng/ml vs. 0.14 [0.09, 0.23] ng/ml; P = 0.000), and in the group with increased carotid IMT compared to normal IMT (0.24 [0.13, 0.38] ng/ml vs. 0.15 [0.10, 0.23] ng/ml; P = 0.005). Additionally, a linear correlation analysis showed that elabela had a significant negative correlation with systolic blood pressure (r = -0.340, P = 0.000) and carotid IMT (r = -0.213; P = 0.030). In multivariate analysis, lower elabela levels were associated with a higher cardiovascular risk group in this study (OR 5.0, 95% CI 1.8-13.5, P < 0.001).
Conclusions: This study demonstrated for the first time that circulating elabela declined in a higher stage of hypertension and hypertensive patients with increased carotid IMT, implicating that elabela may be involved in the pathogenesis of hypertension-associated subclinical atherosclerosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Isra Tuasikal
"Latar Belakang: Angka defisiensi besi di negara berkembang sangat tinggi dibandingkan negara maju dan hubungan antara defisiensi besi dengan myocardial blush kuantitatif pada pasien infark miokard akut disertai elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) belum pernah dilakukan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara defisiensi besi dengan myocardial blush kuantitatif pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Metode: Kami mengevaluasi 64 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria untuk dilakuakan penilaian myocardial blush kuantitatif menggunakan program Quantitative Blush Evaluator (QuBE). Penilaian defisiensi besi diukur menggunakan feritin, serum besi, dan total iron binding capacity (TIBC).
Hasil: Pasien dengan defisiensi besi memiliki nilai QuBE yang 7,48 kali lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa defisiensi besi. Analisis multivariat menunjukan bahwa defisiensi besi merupakan prediktor terhadap nilai QuBE yang rendah (OR 7,48, 95% interval kepercayaan 1,78-31,49, p 0,006).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara defisiensi besi dengan nilai QuBE yang lebih buruk pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP

Background: Prevalence of iron deficiency in developing countries is higher than developed country, and association between iron deficiency and quantitative myocardial blush in acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) has not been investigated.
Objective: This study sought to evaluate the association between iron deficiency and quantitative myocardial blush of patient with acute STEMI undergoing primary PCI.
Methods: We enrolled 64 patients with acute STEMI underwent primary PCI who fulfilled the standard criteria for quantitative myocardial blush evaluation using quantitative blush evaluator (QuBE). Iron deficiency were measure by ferritin, serum iron, and total iron binding capacity (TIBC).
Results: Patients with Iron deficiency 7,48 times risk of poor QuBE index than group without iron deficiency. Multivariate logistic analysis showed that iron deficiency was an predictor of a poor QuBE index (OR 7,48, 95% confidence interval 1,78-31,49, p 0,006).
Conclusion: There is association between iron deficiency with poor QuBE index in patients STEMI undergoing primary PCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Baskoro
"Latar belakang: Berdasarkan Riskesdas 2013, salah satu daerah dengan prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia adalah Kepulauan Natuna, sehingga faktor yang berkaitan dengan hipertensi dan hypertension mediated organ damage (HMOD) pada populasi tersebut menarik untuk diinvestigasi. Proses aterosklerosis adalah salah satu HMOD yang dapat dideteksi secara dini dengan pemeriksaan ketebalan intima media karotis (KIMK).
Patofisiologi aterosklerosis pada hipertensi dilaporkan mellibatkan beragam jalur molekular, yang diawali oleh disfungsi endotel, dan diduga melibatkan regulasi MikroRNA (miRNA) pada pembuluh darah. miRNA 214 merupakan non-koding RNA yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular terutama aterosklerosis. Peran MikroRNA 214 dalam proses aterosklerosis yang terjadi pada hipertensi belum diketahui dengan pasti.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan ekspresi miRNA 214 dengan ketebalan intima media karotis pada populasi hipertensi di kepulauan Natuna
Metode : Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dengan data sekunder hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang penderita hipertensi di Kabupaten natuna pada Juli 2019, serta data primer berupa kadar mikroRNA 214 dari sampel darah beku yang tersimpan di laboratorium, Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSPJDHK) pada bulan Juli 2022. KIMK diukur dengan ultrasonografi arteri karotis.
Hasil : Terdapat 47 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak terdapat perbedaan ekspresi miRNA 214 pada KIMK ≥0,9 mm dengan ekspresi miRNA 214 pada KIMK <0.9 mm pada subjek penelitian [(1,4 ± 0,8) vs. (1,4 ± 0,9), p 0,921]. Analisis multivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi miRNA 214 dengan KIMK pada subjek hipertensi di kepulauan Natuna.

Background: Data from Indonesian Basic Health Survey 2013 revealed Natuna Islands as one of area with highest prevalence of hypertension in Indonesia. Hypertension remain major health problem through the presence of hypertension mediated organ damage (HMOD), including atherosclerosis. Carotid ultrasound examination is one of simple method for early detection of atherosclerosis, with carotid intima media thickness (CIMT) reported to represent subclinical atherosclerosis.
Pathophysiology of atherosclerosis in hypertension derived from multiple molecular pathways, including endothelial dysfunction and the involvement of MikroRNA (miRNA). miRNA 214 is associated with cardiovascular disease. However, the role of miRNA 214 in atherosclerosis remains unclear.
Objective : To investigate the association between miRNA 214 plasma expression with carotid intima media thickness (CIMT) in hypertension subject.
Method: This is a cross sectional study using secondary data from hypertension subject in Natuna Island, and measurement of miRNA 214 expression from plasma stored in molecular laboratory of National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. CIMT data were obtained with carotid ultrasonography
Results: Forty seven subject included in this study. We observed no significant difference in miRNA 214 plasma expression in subject with CIMT ≥0,9 mm as compared to CIMT <0.9 mm [(1,4 ± 0,8) vs. (1,4 ± 0,9), p 0,921]. Further multivariate analysis revealed no significant association between miRNA 214 plasma expression with carotid intima media thickness (CIMT) in hypertension subject.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartika Safitri
"

Latar Belakang : Penyakit insufisiensi vena kronik (PIVK) memiliki prevalensi yang cukup tinggi di seluruh dunia, yaitu sekitar 60-70%. Penyebab paling sering pada penyakit insufisiensi vena kronik adalah kelainan primer dari dinding vena dan katupnya mengakibatkan inkompetensi pada katup vena, reflux dan obstruksi vena. Transforming growth factor-𝛽1 (TGF-𝛽1) adalah  sitokin dengan polipeptida kompleks yang secara signifikan ditemukan pada semua pasien penyakit insufisiensi vena kronik. Waktu refluks yang didapat dari pemeriksaan Ultrasonografi duplex (DUS) menunjukkan derajat keparahan dari insufisiensi katup vena. Akan tetapi, Hubungan kadar TGF-𝛽1 terhadap tingkat keparahan dari penyakit insufisiensi vena kronik belum diketahui.

Tujuan : untuk mengetahui perbedaan kadar TGF-𝛽1 terhadap tingkat keparahan dari penyakit insufisiensi vena kronik pada vena superfisial tungkai bawah.

Metode : Studi menggunakan desain potong lintang pada pasien dengan vena yang sehat dan pasien dengan penyakit insufisiensi vena kronik yang dilakukan oeprasi bedah pintas arteri koroner (BPAK) di Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada April – Mei 2024. Tingkat keparahan penyakit insufisiensi vena kronik dinilai dengan waktu refluks dari pemeriksaan ultrasonografi duplex. TGF-𝛽1 didapat dari pemeriksaan ELISA pada jaringan vena. Luaran primer adalah perbedaan kadar TGF-𝛽1 berdasarkan tingkat keparahan penyakit insufisiensi vena kronik.

Hasil : Sebanyak total 56 subjek berhasil dilakukan analisis akhir. Mayoritas subjek dengan PIVK pada penelitian ini (67,7%) tergolong ke dalam PIVK derajat berat (waktu refluks >1000 ms). Tidak terdapat perbedaan nilai median yang signifikan antara derajat keparahan PIVK dengan kadar TGF-β1 (p>0.05). Namun dapat dilihat bahwa median kadar TGF-β1 lebih meningkat pada vena dengan PIVK ringan-sedang dan berat (14,27 pg/mg dan 14,04 pg/mg) jika dibandingkan dengan vena normal (10,97 pg/mg).

Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kadar TGF-𝛽1 terhadap tingkat keparahan penyakit insufisiensi vena kronik pada vena superfisial tungkai bawah pada pasien yang dilakukan tindakan bedah pintas arteri koroner.

 

Kata kunci: Insufisiensi vena kronik, Transforming growth factor - Beta 1, Waktu refluks

 


Background: Chronic venous insufficiency (PIVK) has a fairly high prevalence throughout the world, around 60-70%. The most common cause of chronic venous insufficiency is primary abnormalities of the venous wall and valve resulting in valve incompetence, reflux, and venous obstruction. Transforming Growth Factor-β1 (TGF-β1) is a complex polypeptide cytokine that is significantly found in all patients with chronic venous insufficiency. Reflux time obtained from Duplex Ultrasonography (DUS) examination indicates the severity of valve insufficiency. However, the relationship between TGF-β1 levels and the severity of CVI has not yet been determined.

Objective: To determine the differences in TGF-β1 levels concerning the severity of chronic venous insufficiency in the superficial veins of the lower limbs.

Method: The study used a cross-sectional design in patients with healthy veins and patients with chronic venous insufficiency who undergoing coronary artery bypass surgery at the Harapan Kita National Cardiovascular Center from April to May 2024. The severity of chronic venous insufficiency was assessed by reflux time from duplex ultrasonography examination. TGF-β1 was obtained from ELISA examination of venous tissue. The primary outcome was the difference in TGF-β1 levels based on the severity of chronic venous insufficiency.            

Results: A total of 56 subjects underwent final analysis. The majority of subjects with CVI in this study (67.7%) were classified into severe CVI (reflux time >1000 ms). There were no significant differences in median values between the severity of CVI and TGF-β1 levels (p>0.05). However, it was observed that the median TGF-β1 levels increased in veins with mild-moderate and severe CVI (14.27 pg/mg and 14.04 pg/mg) compared to normal veins (10.97 pg/mg).

Conclusion: There is no significant differences in TGF-β1 levels concerning the severity of chronic venous insufficiency in the superficial veins of the lower limbs in patients undergoing coronary artery bypass graft surgery.

Keywords: Chronic venous insufficiency, Transforming Growth Factor-β1, Reflux time.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Pratiwi
"TOF dengan kriteria risiko tinggi pembedahan membutuhkan tindakan paliatif sebelum menjalani operasi korektif yaitu TOF repair. Pemasangan stent Alur Keluar Ventrikel Kanan (Stenting AKVK) yang merupakan terapi paliatif transkateter invasif beberapa tahun terakhir muncul sebagai alternatif terhadap terapi paliatif pembedahan modified-Blalock-Thomas Taussig Shunt (mBTTS). Akan tetapi, studi mengenai pola pertumbuhan arteri pulmonal pasca stenting AKVK dan mBTTS di Indonesia belum ada. Membandingkan kecepatan pertumbuhan arteri pulmonal pasca stenting AKVK dan mBTTS pada Fisiologi TOF. Studi merupakan uji klinis kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung bawaan dengan fisiologi TOF yang menjalani terapi paliatif di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada Desember 2019-Desember 2023. Pertumbuhan LPA dan RPA pasca terapi paliatif dinilai dengan serial ekokardiogram. Luaran primer yaitu pertumbuhan cabang arteri pulmonal harian menggunakan z-score per hari yang dianalisis dengan mixed-model. Sebanyak total 139 pasien [pasca stenting AKVK (n=35) dan pasca mBTTS(n=104)] dengan total 492 ekokardiogram serial didapatkan median z-score RPA/hari pasca stenting AKVK (2,5 x 10-3) lebih tinggi dibandingkan mBTTS (0,9 x 10-3) bermakna secara statistik (p<0,001). Median z-score LPA/hari pasca stenting AKVK (1,7 x 10-3) lebih tinggi dibandingkan mBTTS (0,7 x 10-3), bermakna secara statistik (p<0,001). Stenting AKVK memiliki rasio distribusi pertumbuhan LPA terhadap RPA secara bermakna yang lebih baik (0,93 (IQR 0,87-1,01) dibandingkan mBTTS [0,91(IQR 0,83-0,98),p<0,01]. Pertumbuhan cabang arteri pulmonal kanan dan kiri secara bermakna lebih cepat pasca stenting AKVK dibandingkan dengan mBTTS serta menghasilkan distribusi pertumbuhan cabang arteri pulmonal yang lebih simetris dibandingkan mBTTS pada pasien dengan TOF Fisiologi.

Right Ventricular Outflow Tract Stenting (RVOT stenting) has emerged as an invasive transcatheter palliative therapy alternative to modified-Blalock-Thomas Taussig Shunt (mBTTS). However, pulmonary artery growth rate comparison after both option is limited. This study aimed to compare pulmonary artery growth rate after RVOT stenting and mBTTS on TOF physiology. The study was a consecutive retrospective cohort of TOF physiology who underwent palliative therapy at the Cardiovascular Center Harapan Kita between December 2019-2023. RPA and LPA growth post palliative therapy assessed by serial echocardiogram. Primary outcome was daily pulmonary artery growth represented by z-score per day and analysed using mixed-model. Total 139 patients [RVOT stenting (n=35); mBTTS (n=104)] were obtained. Results of analysis of a total 492 echocardiograms, median RPA z-score/day after RVOT stenting were higher significantly [(2.5 x 10-3 ) vs (0.9 x 10-3), p<0.001)]. Median LPA z- score/day after RVOT stenting were higher significantly [(1.7 x 10-3) vs (0.7 x 10-3), p<0.001)]. RVOT stenting had better LPA to RPA growth distribution ratio significantly [0.93 (IQR 0.87-1.01) vs 0.91(IQR 0.83-0.98),(p<0.01)]. RVOT stenting significantly promotes faster growth of pulmonary artery branches resulting in a more symmetric distribution of growth than mBTTS in TOF physiology."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library