Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harefa, Mandala
"Usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi yang telah lama menjadi bagian dari pembangunan ekonomi nasional. Dampak dari krisis moneter dan ekonomi. yang mana meruntuhkan sendi-sendi perekonomian nasional, termasuk rontoknya fungsi bank sebagai lembaga intermediasi penyaluran dana kemasyarakat menjadi tersendat. Tidak terkecuali dalam hal ini kredit bagi usaha kecil yang turut terpengaruh.
Dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh usaha kecil perlu disikapi secara tepat dengan melihat kondisi yang dihadapi, karakteristik kegiatan dan masalah-masalah sesuai prioritas kebijakan. Secara politis keberadaan usaha kecil dalam perekonomian nasional memang telah mendapat dukungan, antara lain melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil, serta paket kebijakan bagi usaha kecil sejak tahun 1978, Paket Januari tahun 1990, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang; Perbankan yang diubah dalam UU No.10 Tahun 1998 hal dalam fasilitas kredit seperti kredit usaha Kecil (KUK) yang tertuang datum SK DIR. 3014, tahun 1990 -1997 dari Bank Indonesia yang mengatur secara rind mengenai penyaluran KUK each seluruh lembaga perbankan nasional. Tetapi.dalam realitanya usaha kecil seringkali menghadapi masalah dalam mengaplikasikan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Dalam proses permohonan kredit usaha kecil misalnya, agar dapat dikabulkan oleh bank, apabila usaha tersebut dinilai layak oleh bank, selain memenuhi syarat-syarat yang sangat rumit dan berat yakni 5 C atau K yaitu Karakter (Character), Kemampuan (Capacity) ,Kapital atau modal (Capital), Kondisi dan prospek (Conditions) dan Kolateral atau agunan (Collateral)
Dari kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam penyaluran KUK, masih menghadapi permasalahan yang timbul dalam masalah kebijakan kredit bagi usaha kecil dimana perlu penjelasan dalam pelaksanaan penyaluran KUK. Implikasi dari pelaksanaan kebijakan tersebut semua bank diwajibkan menyediakan kredit dengan dana sendiri minimal sebesar 20% dari total portfolio kredit bank disalurkan untuk pengusaha kecil dalam bentuk KUK. Dalam implementasi program KUK yang merupakan kewajiban, karena hal ini merupakan salah satu faktor penting dalam penilaian kesehatan oleh Bank Indonesia.
Dalam implementasinya khususnya dalam menetapkan besaran target maupun jangka waktu yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank-Bank, baik itu Bank BUMN, BUSN, BPD, Bank Asing dan Campuran, sulit mencapai target. Pada tahun 1998 dan 1999 penyaluran KUK oleh Bank Pemerintah mengalami penurunan masing- masing Rp. 27,255 miliar dan Rp. 25,375 miliar atau terjadi pertumbuhan negatif yakni sebesar (- 17,11) dan (- 6,89) persen. Dari implementasi kebijakan Bank Indonesia tersebut , Bank Pemerintah Daerah, memiliki tingkat keberhasilan merealisasikan KUK. Dari tahun 1996 telah mencapai realisasi 56,99 persen dariseluruh kreditnya untuk KUK. Bahkan pada tahun 1997 mencapai 60,75 persen dan pada tahun 1998 dan 1999 penyaluran KUK nya sebesar 52,0 persen dan 60,90 persen. Hal ini merupakan kondisi BPD yang di daerah-daerah, lebih banyak melayani nasabahnya yang sebagian besar usaha kecil serta kondisi ekonominya masih kecil. Namun, kondisi ini memperlihatkan, bahwa masing-masing perbankan memiliki karakteristik dan spesilisasi dalam melihat kearah mana kredit akan disalurkan. Dalam hal ini BPD atau BRI memiliki jaringan yang kuat dalam implementasi kebijakan dalam penyaluran KUK, namun masih belum efektif karena kurangnya sosialisasi kebijakan-kebijakan tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T10685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iswara Laksmana
"Pupuk adalah sarana produksi dalam sektor pertanian yang mempunyai peranan penting untuk meningkatkan produktifitas dan produksi komoditas pertanian, dan karenanya pupuk, khususnya Urea, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka mensukseskan program swasembada pangan (beras), meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kesejahteraan petani itu sendiri.
Mengingat peranan pupuk yang sangat strategis tersebut, maka penyediaan pupuk dengan harga yang terjangkau oleh petani merupakan masalah yang krusial. Oleh karena itu, harga pupuk tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar sepenuhnya karena harga pupuk yang tercipta kemungkinan besar tidak terjangkau oleh petani. Sehubungan dengan hal ini, maka pemerintah masih merasa perlu untuk memberikan subsidi harga terhadap penyediaan pupuk melalui penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET), atau dikenal juga dengan istilah "Ceiling Price'.
Untuk mengetahui dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap petani, maka penulis mencoba menghitung besarnya surplus petani, surplus produsen, serta besarnya dead weight loss (DWL). Hal ini dilakukan karena selama ini nilai surplus petani, surplus produsen, dan DWL tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan manfaat pemberian subsidi, sehingga dapat dijadikan sebagai suatu tolok ukur dalam menghitung dampak subsidi pupuk tersebut terhadap petani.
Untuk menunjang hal tersebut di atas, maka metode yang digunakan adalah analisa kuantitatif dengan melakukan persamaan regresi berganda dengan membentuk fungsi permintaan pupuk dan fungsi penawaran pupuk dan kemudian mempertemukan kedua fungsi tersebut dalam suatu keseimbangan pasar (market equilibrium) yang berkaitan dengan topik tesis.
Adapun fungsi permintaan dan penawaran dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
Q D = f(X1, X3)
Qs= f(X2, X4)
Dimana:
QD = Jumlah Permintaan Pupuk Urea oleh Petani.
Qs = Jumlah Penawaran Pupuk Urea oleh Produsen.
X1 = Harga Pupuk Urea (Petani).
X2 = Harga Pupuk Urea (Produsen).
X3 = Luas Sawah.
X4 = Kapasitas Produksi Pabrik Pupuk.
Sedangkan persamaan permintaan dan penawaran Pupuk Urea adalah sebagai berikut:
Log YD = a - b1X1 + b2X3 + e
Log Ys = a + b1X2 + b2X4 + e
Persamaan di atas merupakan persamaan semi-log dikarenakan setelah dilakukan beberapa kali penghitungan dan simulasi didapatkan bentuk permintaan maupun penawaran pupuk Urea tersebut adalah tidak linear.
Di samping itu, juga akan dilakukan uji secara statistik terhadap persamaan di atas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap model persamaan permintaan dan penawaran pupuk.
]ika dilihat dari nilai surplus konsumen dan surplus produsen, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemberian subsidi pupuk yang dikombinasikan dengan kebijakan HET telah memberikan manfaat yang lebih besar kepada petani daripada kepada produsen pupuk karena nilai surplus konsumen jauh lebih besar daripada surplus produsen.
Oleh karena itu, secara teoritis dengan harga pupuk yang lebih rendah daripada harga pasar (harga keseimbangan), maka petani dapat membeli pupuk dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dalam rangka meningkatkan produktifitas dan produksi tanaman padi.
Dan sejalan itu, pendapatan petani meningkat karena dengan harga pupuk Urea yang di bawah harga keseimbangan, maka biaya produksi (production cost) yang dikeluarkan oleh petani relatif berkurang, sehingga petani menjadi lebih sejahtera.
Di samping itu, manfaat pemberian subsidi tersebut sangat tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran masingmasing. Bentuk kurva persamaan permintaan diketahui hampir tegak lurus, artinya permintaan pupuk Urea tersebut bersifat inelastis. Pada permintaan yang inelastis member! gambaran bahwa petani tidak mempunyai bargaining position dalam pasar pupuk (khususnya Urea), sehingga melalui pemberian subsidi dan penetapan HET dapat memberikan dampak signifikan dan positif bagi kesejahteraan petani.
Lebih lanjut, kebijakan subsidi pupuk Urea dan HET yang ditetapkan oleh pemerintah berdampak bagi petani terutama terhadap biaya produksi dan tekanan produsen. Selama ini perubahan harga pupuk Urea tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan pupuk Urea, atau dengan kata lain, petani tetap harus membeli pupuk Urea untuk melanjutkan usaha taninya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T12053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maskum
"Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah mendorong Pemerintah untuk melakukan rekapitalisasi perbankan melalui penerbitan Obligasi Negara. Realisasi penerbitan awal Obligasi Negara yang dilakukan pada tanggal 28 Mei 1999 sampai dengan 31 Oktober 2000 mencapai Rp.430.422 miliar.
Jumlah pokok Obligasi Negara yang sangat besar tersebut telah menimbulkan beban tambahan pada anggaran Pemerintah baik untuk pembayaran kupon maupun pokok obligasi yang jatuh tempo antara tahun 2002 sampai dengan 2009.
Untuk mengatasi masalah dalam pembayaran pokok Obligasi Negara tersebut terdapat beberapa program Pemerintah, yaitu program pertukaran/konversi dari seri FR menjadi seri VR, Asset-Bonds Swap (ABS), reprofiling, buy back, pelunasan dan penerbitan Obligasi Negara baru. Program tersebut ditempuh agar profil jatuh tempo Obligasi Negara lebih merata untuk setiap tahunnya dengan waktu yang lebih lama, sehingga dalam jangka panjang dapat menciptakan debt sustainability yang pada akhirnya akan meringankan beban anggaran Pemerintah.
Dalam penulisan tesis ini akan diteliti pengaruh positif dan signifikan antara reprofiling, buy back, dan penerbitan Obligasi Negara baru terhadap pengelolaan Obligasi Negara dilihat dari sudut pandang pasar/ pelaku pasar. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan jumlah responder 33 orang pakar/pelaku pasar yang dianggap mampu dan memahami persoalan Obligasi Negara; terdiri dari 11orang Pejabat Bank Indonesia, 11 orang Pejabat Departemen Keuangan/Pusat Manajemen Obligasi Negara (PMON) dan 11 prang pakar/pelaku pasar. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebar kuesioner yang merujuk pada skala model Likert dan analisis dilakukan melalui analisis deskriptif dan kuantitatif.
Berdasarkan hasil kajian dan penelitian dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pembayaran pokok dan kupon Obligasi Negara telah membebani anggaran Pemerintah karena jumlahnya yang cukup besar dan menumpuk pada periode tertentu. Untuk mengatasi agar beban kewajiban pembayaran pokok dan bunga Obligasi Negara tersebut tersebar lebib merata, telah diupayakan beberapa program yang dilakukan Pemerintah, yaitu program pertukaran/konversi dari seri FR menjadi seri VR, Asset-Bonds Swap (ABS), reprofiling, buy back, pelunasan dan penerbitan Obligasi Negara baru.
2. Kebijakan pengelolaan Obligasi Negara melalui program-program tersebut telah merubah profil jatuh tempo Obligasi Negara, yaitu yang semula berkisar antara Rp.25.547 miliar sampai dengan Rp.72.001 miliar dan berada pada periode tahun 2002 sampai dengan 2009 berubah menjadi berkisar antara Rp.4.963 miliar sampai dengan Rp.40.632 miliar dengan waktu yang lebih lama antara tahun 2003 sampai dengan 2020.
3. Pengelolaan Obligasi Negara melalui reprofiling, buy back dan penerbitan Obligasi Negara baru direspon positif oleh responden, yaitu dapat mengatasi masalah anggaran Pemerintah, mengurangi resiko gagal bayar utang, menyeimbangkan struktur jatuh tempo Obligasi Negara, mengurangi jumlah beban biaya kupon, mendorong kenaikan PDB, serta menciptakan stabilitas ekonomi dan debt' sustainability dimasa yang akan datang.
4. Hasil analisis kuantitatif dan uji hipotesis baik parsial maupun simultan menghasilkan pengaruh yang positif dan signifikan antara reprofiling, buy back dan penerbitan Obligasi Negara baru dengan pengelolaan Obligasi Negara.
5. Secara parsial dilihat dari nilai korelasi ternyata reprofiling mempunyai kekuatan hubungan paling tinggi dalam rangka pengelolaan Obligasi Negara dibandingkan dengan buy back dan penerbitan Obligasi Negara baru. Hal ini mengindikasikan bahwa responder meyakini alternatif kebijakan pengelolaan Obligasi Negara melalui reprofiling akan lebih baik dalam mengatasi masalah pengelolaan Obligasi Negara."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kama Abdul Hakam
"Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan berdasarkan keputusan Presiden R.I. No. 27 tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 bertujuan untuk menyehatkan perbankan melalui kebijakan restrukturisasi, menyelesaikan kredit bermasalah dan mengupayakan pengembalian hutang negara yang tersalur di sektor perbankan. BPPN dengan kewenangannya yang besar yaitu memiliki sifat lex specialis (berlaku aturan khusus) telah menjalankan program restrukturisasi terhadap bank-bank yang telah direkapitalisasi dengan obligasi pemerintah. Restrukturisasi yang dimaksudkan untuk menyehatkan perbankan nasional tersebut dilakukan dengan memelihara dan merestrukturisasi asset yang dialihkan dan kewajiban dari bank-bank; mengkonsolidasikan dan menggabungkan (merger) atau menjual saham bank yang diambil alih; dan merekapitalisasi bank. Biaya penyehatan perbankan nasional tersebut menghabiskan dana sebesar Rp 794,96 trilyun. Penilaian kinerja perbankan Indonesia dalam pengelolaan restrukturisasi oleh BPPN yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan sebagian tolak ukur CAMELS (capital, asset quality, management, equity, liquidity dan sensitivity to market risks) dengan Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komposit Bank Umum sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tahun 2004 berada pada peringkat 2 (dua) dengan nilai 35,71. Angka ini menunjukkan bahwa perbankan nasional dalam pengelolaan restrukturisai BPPN tahun 1999-2003 tergolong baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan, namun mempunyai kelemahan-kelemahan minor yang dapat segera diatasi oleh tindakan rutin."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Pusporini
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terutama dan sisi penerimaan daerah (dana perimbangan dan pendapatan asli daerah) terhadap pertumbuhan ekonoml daerah di Indonesia, dan untuk mengetahui perbedaan karakteristik antara daerah kabupaten dengan daerah kota, serta untuk mengetahui perbedaan karakteristik antara daerah-daerah di Jawa-Bali dengan daerah-daerah di luar Jawa-Bali.
Selain dipengaruhi oleh dana perimbangan dan pendapatan asli daerah, pertumbuhan ekonomi dikontrol pula dengan variabel pendapatan perkapita dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita menjadi penting dalam sumbangannya terhadap pertumbuhan, ekonomi karena menjadi indikator bagi kesejahteraan penduduknya. Sedangkan jumlah penduduk menjadi penting karena merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan ekonomi sehingga akan besar pengaruhnya terhadap laju dan kecenderungan pertumbuhan ekonomi daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana perimbangan dan pendapatan asli daerah secara signifikan mempunyai hubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi, meskipun pengaruhnya sangat kecil. Nilai koefisien yang diperoleh adalah : pertama, jika perubahan dana perimbangan naik 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik 0,0078%; kedua, jika perubahan pendapatan asli daerah naik 1% maka pertumbuhan. ekonomi akan naik 0,0072%.
Hasil estimasi terhadap variabel kontrol pendapatan perkapita dan jumlah penduduk menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut secara konsisten mempunyai hubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa jika pendapatan perkapita dan jumlah penduduk meningkat maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat.
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa antar daerah yang dilihat berdasarkan perbedaan status administratif antara daerah kabupaten dengan kota menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Dilihat dari perbedaan antar daerah yang dilihat berdasarkan perbedaan pulau yaitu daerah-daerah di Jawa-Bali dengan di luar Jawa-Bali menunjukkan arah hubungan yang positif. Hal ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang berada di Jawa-Bali lebih tinggi daripada daerah-daerah yang berada di luar Jawa-Bali."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17074
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yani Farida Aryani
"Daya serap suatu pinjaman perlu diketahui untuk menilai kemampuan proyek dalam menyerap dana dibandingkan dengan besarnya dana yang tersedia. Daya serap dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam persiapan maupun pelaksanaan. Analisa dilakukan melalui proses perhitungan progress variance kemudian dilakukan regresi logit untuk melihat variabel yang mempengaruhi besarnya daya serap, dilengkapi pula dengan perhitungan commitment fee. Data yang digunakan berupa panel data dengan sampel 18 proyek yang mewakili sektor urban dan sektor rural. Estimasi bahwa proyek di sektor urban atau perkotaan cenderung memiliki probabilitas daya serap yang > 60% ternyata tidak dapat dibuktikan. Antara proyek yang berlokasi di pedesaan dan di perkotaan tidak dapat dibuktikan perbedaan yang cukup berarti dalam hal penyerapan dana pinjaman tetapi pinjaman IBRD pada sektor urban dan sektor rural berisiko memiliki daya serap rendah sebesar 85,46%. Variabel yang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap probabilitas terjadinya daya serap yang 60% adalah besarnya dana yang ditarik (DBT), rasio antara dana yang ditarik dengan dana yang tidak ditarik (RDB), rasio persentase dana yang ditarik dari total pinjaman terhadap tahun penyerapan pinjaman (RST), variabel pengelola proyek (PP), sifat proyek (SP) dan variabel cakupan wilayah (CW). Hampir semua sampel proyek yang diuji mengalami backlog dan mengalami perpanjangan masa penyelesaian proyek. Kedua hal ini menjadi penyebab yang cukup besar pengaruhnya terhadap rendahnya daya serap dan inefisiensi suatu pinjaman. Kondisi ini tentu saja merugikan karena adanya tambahan commitment fee dari yang seharusnya dibayarkan."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17127
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaela Amin Awalimah
"Latar belakang penulisan tesis ini adalah tingginya tingkat hutang Iuar negeri Indonesia yang ternyata tidak dibarengi dengan pengelolaan yang efisien dan efektif. Salah satu penyebab pengelolaan yang kurang efisien tersebut adaiah terjadinya low disbursement yang berakibat pada besarnya dana APBN yang digunakan untuk pembayaran kembali rnelebihi perkiraan pembayaran semula.
Penelitian difokuskan pada kasus Loan IBRD 4290-IND dan Loan IDB IND-0063/64 yang bertujuan untuk:
1. Mengetahui faktor-faktor penyebab low disbursement sekaligus membandingkan kedua lender beserta cara penarikannya untuk mencari mama yang lebih menguntungkan;
2. Memberikan rekomendasi kebijakan terkait dengan masalah low disbursement.
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dalam rangka memperoleh gambaran masalah penyerapan dana pinjaman Iuar negeri dari berbagai sudut pandang, balk dari karakteristik proyek maupun dari indikator lain. Penelusuran dokumen proyek yang dibiayai pinjaman Iuar negeri dilakukan untuk mengetahui faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya low disbursement tersebut.
Indikator yang digunakan untuk mengukur low disbursement adalah : Progress Varian, yaitu selisih persentase waktu terpakai dan persentase penyerapan kumulatif; backlog, yaitu besarnya dana terpakai yang belum diisi kembali (replenished) oleh pihak lender; dan realisasi disbursement terhadap target disbursement pada tahun anggaran berjalan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor rendahnya daya serap penarikan dana PLN adalah sebagai berikut:
1. Kekurangsiapan proyek dalam desain dan manajemen proyek;
2. Keterlambatan penyelesaian dokumen anggaran proyek akibat perubahan sistem maupun faktor manusia;
3. Perubahan kondisi/politik didaerah;
4. Rendahnya kualitas sumber daya manusia sebagai pelaksana proyek;
5. Faktor yang berasal dart lender;
6. Terjadinya backlog.
Karena tidak adanya metode yang compatible untuk membandingkan kedua lender yang berbeda karakteristik, penulis tidak dapat menentukan secara pasti lender mana yang lebih balk, namun dapat diambil beberapa kesimpulan perbedaan antara kedua lender tersebut sebagai berikut :
1. Lender IBRD menghitung cost of borrowing sejak effective date dan dikenakan pada dana yang sudah dan belum ditarik sehingga semakin lama low disbursement terjadi, makin besar kerugian yang harus dibayar. Pada lender IDB, cost of borrowing baru diperhitungkan jika sudah ada penarikan dan tidak dikenakan pada dana yang belum ditarik;
2. Jenis kegiatan proyek IDB lebih fieksibel karena borrower driven dan bukan lender driven seperti pada IBRD;
3. Porsi kegiatan 100% pada IDB lebih menguntungkan dibandingkan dengan sharing kegiatan seperti pada IBRD;
4. IDB memerlukan waktu pengusulan proyek yang rata-rata lebih lama dibanding IBRD;
5. Cara penarikan dengan pembayaran langsung yang umumnya digunakan IDB, cenderung lebih aman karena tidak ada backlog dibandingkan Reksus yang umum dikenakan IBRD.
Dan temuan-temuan di atas, penulis menyarankan beberapa kebijakan antara lain :
A. Kebijakan untuk mengatasi low disbursement :
1. Agar pemerintah lebih memperketat kriteria readiness filter dalam pengusulan proyek baru;
2. Agar Bappenas dan Depkeu dapat duduk bersama untuk mengatasi keterlambatan penerbitan dokumen anggaran;
3. Agar lebih meningkatkan koordinasi antar instansi terkait untuk menghindari kesalahpahaman;
4. Peningkatan kualitas SDM;
5. Perlunya diadakan kesepakatan dengan lender yang dapat mengikat untuk mengantisipasi kerugian sepihak;
6. Agar Depkeu dan proyek lebih intensif dalam melakukan replenishment.
B. Kiranya pemerintah perlu melakukan pemilihan lender termasuk Cara pembayaran yang lebih menguntungkan dan memiliki resiko yang lebih kecil atas keterlambatan proyek."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarsip
"Sesuai dengan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah diijinkan untuk melakukan pinjaman daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan di daerahnya masing-masing. Pinjaman Daerah ini dapat ditempuh melalui pinjaman dan Pemerintah Pusat (mekanisme Subsidiary Loan Agreement/51,4 dan/atau Rekening Pembangunan Daerah/RPD); Pemerintah Daerah lain; lembaga keuangan bank; lembaga keuangan bukan bank; dan masyarakat melalui penerbitan Obligasi Daerah. Pinjaman Daerah sendiri sesungguhnya telah diatur sejak lama, namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami persoalan, seperti rendahnya kualitas pinjaman daerah sebagaimana yang ditunjukkan oleh tingginya jumlah tunggakan pinjaman daerah kepada Pemerintah Pusat, dan sering terjadinya ketidakkonsistenan dalam implernentasi peraturan mengenai pinjaman daerah.
Berdasarkan simulasi perhitungan debt service coverage ratio (DSCR), ternyata sebagian besar Pemerintah Daerah di Indonesia memiliki kapasitas (borrowing capacity) untuk melakukan pinjaman. Dalam konteks penerbitan Obligasi Daerah (municipal bonds), yang sekarang menjadi isu yang banyak dibicarakan, ini berarti terdapat potensi bahwa Obligasi Daerah akan menjadi instrumen yang banyak digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk mendapatkan dana bagi pembangunan di daerahnya masing-masing. Terlebih lagi setelah melihat berbagai kelemahan yang terjadi dalam skema pinjaman daerah yang selama ini berlangsung.
Namun, di tengah euforia penerbitan Obligasi Daerah tersebut, ternyata infrastruktur bagi penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia belum menunjukkan adanya kesiapan. Infrastuktur tersebut adalah (i) kesiapan kelembagaan yang meliputi regulator (BAPEPAM, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Bank Indonesia, Bappenas, dan Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara), Penerbit (issuer, dalam hal ini Pemerintah Daerah), pembeli (investor) dan institusi pendukung yang dibutuhkan; (ii) kesiapan dari aspek legal (yang berupa ketidaksinkronan antara ketentuan pasar modal dengan kebutuhan menurut UU No. 33/2004); (iii) aspek perpajakan. Padahal, mengacu pada praktek penerbitan Obligasi Daerah di berbagai negara seperti: Argentina, Brasil, Rusia, Polandia, Korea Selatan, lepang, China, India, Philipina, dan Amerika Serikat, kesiapan berbagai infrastruktur ini sangat menentukan bagi sukses tidaknya penerbitan Obligasi Daerah.
Sementara itu, dalam rangka pengembangan Obligasi Daerah di Indonesia, diperlukan sejumlah strategi sebagai persyaratan keberhasilan. Berbagal strategi tersebut adalah (i) pengembangan pasar, baik pasar perdana dan sekunder serta (ii) penerbitan Obligasi Daerah secara rite! (Retail Municipal Bonds/RMB).
Sehubungan dengan ini, maka studi ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (i) law enforcement terhadap peraturan tentang sanksi bagi Pemerintah Daerah yang tidak taat memenuhi kewajibannya dalam pembayaran pinjaman; (ii) batas minimal DSCR perlu ditingkatkan; (iii) sinkronisasi peraturan tentang Obligasi Daerah melalui (a) revisi atas UU No.8/1995 tentang Pasar Modal dan/atau (b) adanya peraturan khusus tentang penerbitan dan perdagangan Obligasi Daerah, yang terpisah dari ketentuan mengenai penerbitan dan perdagangan obligasi yang telah ada; (iv) adanya insentif perpajakan tertentu yang melekat pada Obligasi Daerah sehingga Obligasi Daerah tersebut menarik; (v) penting bagi Pemerintah Daerah segera memiliki debt management units (DMU) yang pembentukannya dapat mengadopsi sistem yang telah berlaku di Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara; (vi) penerbitan secara rite) menjadi pilihan utama bagi Pemerintah Daerah yang hendak menerbitkan Obligasi Daerah; dan (vii) segera dipersiapkan pasar perdana dan pasar sekunder bagi penerbitan Obligasi Daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunawan Agung Saksono
"The latest research about factors that effected to the implementation of unified budget is to unite the recurrent budget and development budget to become the unified budget, but to estimating whether the unified budget has a less or advantages is not the purpose of this research. The main of this research is to knowing is it the implementation policy of unified budget already use in effectively, through the implementation policy measure using coordination and communication, bureaucracy, manpower, supporting attitude and the conflict preferences as the variable. Thus at the end the research also find and conclude what is the obstacle that appears as the unified budget implementation obstruct.
The direct parties as the policy performer was took as the research object. The function is to knowing how far the obstacles could appear, even in the restricted area like the MPR Rl planner (Finances) party and the DJA and PK discuss party. The goals of both parties appearances as mentioned before as the opposite party of each other is to accomplish the objective conclusion.
Related to the find of research objectivity, the research disposed quantitative description as the prior instruments to get similar to the real research object. The research also disposed the SPSS 12 contribution as the formulation and to maintain the exactness of data preparation result then the research use crossing test with same relativity of output measure, that theoretically applicable.
The implementation of the policy had a several signihcant obstruct which could explain, and that is the needed to advance the capacity and quality of harmonizing perception about uniied budget policy. The training related to the implementation of the policy is less. The improvement of the presence guidance or realization instruction has a prior urgency, the negative attitude and also less of implementation policy supporting facilities."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suyadi
"Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) merupakan kebijakan baru dalam sistem penyusunan anggaran di Indonesia. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menghubungkan kebijakan, perencanaan dengan penganggaran, menjaga disiplin fiskal, meningkatkan prediksi dan memperbaiki alokasi dana sektoral.
Sebagai kebijakan baru, tahap implementasi KPJM merupakan tahap yang penting. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan KPJM, perlu dilakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. Evaluasi dilakukan dengan cara menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi KPJM. Dengan menggunakan pendekatan teori implementasi Edwards III, ada empat faktor atau variabel yang dianalisis yaitu faktor komunikasi, sumber daya, sikap aparat pelaksana, dan struktur birokrasi. Metode analisis adalah metode deskriptif-kuantitatif yaitu menilai determinasi setiap faktor/variabel dan mengukur besaran nilai rata-rata tertimbang dari indikator-indikator setiap variabel, kemudian mendeskripsikan secara kualitatif. Sedangkan obyek penelitian adaiah para perencana dan penyusun anggaran di Departemen Pertanian.
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum faktor komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi cukup mendukung implementasi KPJM. Namun masih terdapat beberapa indikator yang bernilai kurang, antara Iain : indikator konsistensi komunikasi dari variabei komunikasi, indikator informasi dan referensi dari variabel sumber daya, dan indikator prosedur operaslonal serta indikator komunikasi antar organisasi dari variabel struktur birokrasi.
Berdasarkan hasil analisis tersebut disimpulkan bahwa kebijakan KPJM akan dapat diimplementasikan dengan baik dalam penyusunan anggaran di Indonesia, karena tidak ditemukan hambatan yang berarti dari faktor-faktor yang mernpengaruhi implementasi KPJM.
Selanjutnya, agar implementasi KPJM lebih berhasil periu dilakukan perbaikan pada berbagai faktor pendukungnya. Karena itu disarankan untuk terus dilakukan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan penyusunan KPJM, peningkatan alokasi anggaran untuk penyusunan KPJM, penyediaan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan aparat pelaksana dalam mengakses informasi dan referensi yang diperlukan, dan memperkuat kedudukan KPJM dengan mengharuskan diadakannya pembahasan KPJM bersama instansi-instansi terkait sebagaimana anggaran tahunan.

Medium Term Expenditure Frameworks (MTEF) is a new policy in the budgeting process in Indonesia. The objectives of an MTEF are lingklng the policy, planning and budgeting, improved fiscal discipline, greater budgetary predictability for line ministries, and better inter-and intra-sectoral resources allocation.
As a new policy, the implementation of MTEF is an important stage. Accordingly, the implementation of MTEF in Indonesia need to be evaluated in order to know how achievement of the implementations of this policy. The evaluation is arranged by analyzing the factors/variables that can influence the achievement of this policy. With reference to policy implementation theory from Edwards III, there are four factors to be analyzed i.e. communication, resources, preference, and bureaucratic. Using a descriptive-quantitative method, this research calculates the rate of the factors determination, and computes the percentage of average portions. Object of research is the planning and budgeting officer in Department of Agriculture.
The analyze result show that, generally, all of the factors support enough to the implementation of MTEF. However, there are some indicators of the implementation factors should be improved to make implementation better. Those are : consistency of communications, information and references, operational procedures, and communication between organizations.
Refer to that result, the conclusion can be taken as follows:
MTEF can be implemented well in the budgeting process in Indonesia, since there is no critically conflict or problem from implementing factors.
As a final point, according to get implementation MTEF better, it is recommended to improve some implementation factors as follows:
- training of MTEF arrangement for budgeting officer must be intensively prepared;
- budget allocation for MTEF reform should be increased;
- access to information and reference should be facilitated;
- Institutional dimensions of MTEF must be explicitly addressed.
Its means that MTEF should be discussed with related agency such as annual budget."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>