Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Muhammad Abdullah
"ABSTRACT
The desertation uses two manuscripts as the object of research. The first manuscript is Durrat Al-Fara'id Bi Syarh Al-Aqa'id. It is put away in The National Library and has number Ml. 792. The second manuscript is put in the personal collected in Aceh.
There are Three reasons for choosing those manuscripts. First, they concists of an Asy?ariyah theology wich is -followed by most of the Moslems in the world. Second the theology has not been thought to the Moslem societies in a comprehensive way. Third, there is a school of inclusive and pluralist Islam with the freedom of having a religion as one of its principles.
I uses two methods, those are philological method and thematic method. The philological method has an aim to get text that is far from error. The thematic method, on the other hand, aims to study the main topic of the text. The last method is used the analyze the traits of Allah such as al-Qadim, al-baqa?, ru'yatullah; to answer whether the Quran is qadim or jaded; and analyze the traits of Allah that is tanzih or tasybih.
The results of the analyzes are as follows : by comparing the two manuscripts I conclude that the tirst manuscript (A) is chosen to be text adition. The choice has two reasons, ie (1) the first manuscript is older, and (2) it is more complete. The content of Asy?ariyah theology is about the doctrine of Islamic ?Aqidah, such as (1) the traits of Allah, (2) Quran as a qadim or jaded (3) the human being action, (4) qada ? and qadar; (5) ru'yatullah problems, (6) heaven and hell, and so on.
In order to moderate Jabariyah and Qadariyalr, Al-Asy?ari uses the Kasb concept that refers to the acquisition of the goodness and wickedness of human being as the result of his act. The power of Asy?ariyah theology is on its critical ability in balancing dalil naqly with dalil aqly . If Mu'tazilah theology aql is used for interpreting texts and nash of Quran, Asy?ariyah theology aql is used for helping human being in understanding the traits of Allah based on Quran. Theology of Asy?ariyah is also known as mazhab wasathan (middle of the road) between Jabariyah and Qadariyah, between Mu?tazilah and Murji?ah. The weakness of the theology is in its perception of that human mind is powerless. Therefore humans being, according to the theology, should surrender to the wishes of Allah."
Depok: 2007
D827
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oman Fathurahman, 1969-
"ABSTRAK
Penelitian yang mencoba menggabungkan pendekatan filologis dari pendekatan sejarah social intelektual- ini memfokuskan telaahnya pada upaya pemaknaan terhadap naskah-naskah keagamaan, dalam hal ini naskah tentang tarekat Syattariyyah yang muncul di Sumatra Barat. Naskah-naskah Syattariyyah yang menjadi sumber primer penelitian ini berjumlah 10 judul, karangan atau tulisan dari tiga orang ulama Syattariyyah di Sumatra Barat, yakni Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), dari Tuanku Bagindo Abbas Ulakan.
Selain 10 naskah versi Sumatra Barat tersebut, untuk mengukur sejauhmana dinamika yang terjadi dalam ajaran tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat- dalam penelitian ini juga disertakan 2 sumber Arab yang berkaitan dengan tarekat Syattariyyah, dari dianggap sebagai sumber rujukan ajaran tarekat Syattariyyah di dunia Islam Melayu-Indonesia. Sumber pertama adalah al-Simf al-Majid, sebuah kitab tasawuf karangan Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, dan Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Karani.
Melalui analisis intertekstual dengan naskah-naskah Syattariyyah yang muncul sebelumnya, diketahui bahwa naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat ini jelas terhubungkan terutama melalui hubungan intelektual di antara para penulisnya, mulai dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-Kurani, Syaikh Abdurrauf al-Sinkilii, sampai kepada para penulis di Sumatra Barat yang terhubungkan melalui salah satu murid utama, al-Sinkili, yakni Syaikh Burhanuddin Ulakan.
Adapun menyangkut ajaran tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, seperti tampak dalam naskah-naskahnya, secara umum masih melanjutkan apa yang sudah dirumuskan sebelumnya, baik oleh tokoh Syattariyyah di Haramayn, yang dalam hal ini diwakili oleh al-Qusyasyi, maupun oleh ulama Syattariyyah di Aceh, dalam hal ini diwakili oleh Abdurrauf al-Sinkili. Ajaran yang dimaksud terutama berkaitan dengan tatacara zikir, adab dan sopan santun zikir, serta formulasi zikir.
Akan tetapi, khusus menyangkut rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir tarekat Syattariyyah, kecenderungannya tampak berbeda. Dalam hal ini, rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat tersebut cenderung lebih lunak dibanding ajaran al-Qusyasyi maupun al-Sinkili sebelumnya. Jika naskah-naskah Syattariyyah karangan al-Qusyasyi dan al-Sinkili masih mewacanakan konsep fana, yakni peniadaan diri, atau hilangnya batas-batas individual seseorang, dan menjadi satu dengan Allah, bahkan fana'an al-fana atau fana 'an fanaih, yakni fana dari fana itu sendiri, sebagai hakikat dan tujuan akhir zikir, maka naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat menegaskan bahwa hakikat dan tujuan zikir adalah "sekedar" untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan, serta untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan hakikat dan Wujud-Nya.
Kecenderungan melunak ini bahkan lebih jelas lagi dalam hal rumusan ajaran tasawuf filosofisnya. Seperti tampak dalam naskah-naskah karangannya, al-Kurani dan juga al-Sinkili misalnya, masih mengajarkan doktrin wahdat al-wujud, kendati rumusanya sudah lebih disesuaikan dengan dalil-dalil ortodoksi Islam, sehingga doktrin wahdat al-wujud - yang sempat mendapat penentangan keras dari para ulama ortodoks- ini, lebih dapat diterima oleh banyak kalangan. Dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat, ajaran wahdat al-wujud tersebut ternyata bukan saja diperlunak, lebih dari itu bahkan dilucuti dari keseluruhan ajaran tarekat Syattariyyah, karena dianggap bertentangan dengan ajaran ahl al-sunnah wa al-jama?ah, dan menyimpang dari praktek syariat.
Olen karenanya, sepanjang menyangkut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, khususnya yang terjadi sejak akhir abad ke-19, ajaran tarekat Syattariyyah tanpa doktrin wahdat al-wujud ini menjadi salah satu sifat dan kecenderungannya yang khas. Hal ini relatif berbeda dengan kesimpulan sejumlah sarjana sebelumnya, seperti B. J. O. Schrieke, Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessen, dan beberapa sarjana lainnya, yang menegaskan bahwa tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat merupakan kelompok tarekat yang paling giat mengembangkan ajaran wahdat al-wujud, dan berhadap-hadapan dengan tarekat Naqsybandiyyah yang disebut sebagai pengembang doktrin wahdat al-syuhud (kesatuan kesaksian).
Hal lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa setelah bersentuhan dengan berbagai tradisi dan budaya tokal, ekspresi ajaran tarekat Syattariyyah menjadi sarat pula dengan nuansa lokal. Ajaran tentang hubungan antara tubuh lahir dengan tubuh batin misalnya, dirumuskan dalam apa yang disebut sebagai "pengajian tubuh"; demikian halnya dengan teknik penyampaian ajaran-ajaran tarekat Syattariyyah; selain melalui bentuk-bentuk yang konvensional seperti pengajian, ajaran-ajaran tersebut juga disampaikan dalam bentuk-bentuknya yang khas dan bersifat lokal, seperti kesenian salawat dulang. Masih yang bersifat lokal, di kalangan penganut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat ini juga berkembang apa yang disebut sebagai "Basapa", yakai ritual tarekat Syattariyyah setiap bulan Safer di Tanjung Medan Ulakan, yang banyak dipengaruhi budaya lokal.

This research -which takes a philological and intellectual history-social approach- focuses on efforts to reveal meaning in religious manuscripts, in this case the manuscripts about Syattariyyah order that emerged in West Sumatra. Ten Syattariyyah manuscripts, written by three Syattariyyah ulama in West Sumatra - Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), and Tuanku Bagindo Abbas Ulakan- were primary sources for this research.
Aside from the ten manuscripts from West Sumatra mentioned above, in order to measure the dynamics of the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra, two Arabic sources related to Syattariyyah, which are considered to be reference sources for teaching Syattariyyah order in the Malay-Indonesian Islamic world, were consulted. The first source is al-Simf al-Majid, a Islamic mystical book written by Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, and the second is Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Kurani.

ABSTRACT
This research -which takes a philological and intellectual history-social approach- focuses on efforts to reveal meaning in religious manuscripts, in this case the manuscripts about Syattariyyah order that emerged in West Sumatra. Ten Syattariyyah manuscripts, written by three Syattariyyah ulama in West Sumatra - Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), and Tuanku Bagindo Abbas Ulakan- were primary sources for this research.
Aside from the ten manuscripts from West Sumatra mentioned above, in order to measure the dynamics of the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra, two Arabic sources related to Syattariyyah, which are considered to be reference sources for teaching Syattariyyah order in the Malay-Indonesian Islamic world, were consulted. The first source is al-Simf al-Majid, a Islamic mystical book written by Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, and the second is Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Kurani.
As a result of an intellectual analysis of the early Syattariyyah manuscripts, we know that the Syattariyyah manuscripts in West Sumatra were an important intellectual link between the writers, starting with Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-Kurani, Syaikh Abdurrauf al Sinkili, and reaching the writers in West Sumatra by way of Syaikh Burhanuddin Ulakan, an eminent student of al-Sinkili.
As can be seen from the manuscripts, the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra generally carried on the traditions that had been previously formulated by prominent figures of Syattariyyah in Hararnayn, represented by al-Qusyasyi, and also by the ulama of Syattariyyah in Aceh, in this instance represented by Abdurrauf al-Sinkili. These teachings are mainly related to the practices of zikir (religious recitation), behavior and good manners in zikir, and the formulation of zikir.
However, there are noticeable differences, particularly in relation to the concepts of hakikat (religious truth) and the ultimate objectives of zikir in Syattariyyah order. In Syattariyyah in West Sumatra, the formulation of these concepts was more moderate than in the earlier teachings of al-Qusyasyi and al-Sinkili. The Syaltariyyah manuscripts of al-Qusyfisyi and al-Sinkili discuss the concept of fana - the negation of self or the loss of individual limitations, and becoming one with Allah, fana'an al fana or fana 'an fanaih, that is fana from fana itself- as religious truth and the ultimate objective of zikir. The Syattariyyah manuscripts of West Sumatra explain that religious truth and zikir are "sufficient" to cleanse the soul, which allows nearness with God, and to produce the feelings that allow for certainty and evidence of religious truth and His Being (Wujud).
This inclination towards moderation is even clearer in the formulation of mystic-philosophy doctrine. As is evident in the manuscripts written by al Kurani and al-Sinkili, they were still teaching the wahdat al-wujud doctrine, though it was adapted to theories of orthodox Islam, and thus this doctrine -which met with strong opposition from the orthodox ulama was more widely accepted. In the Syattariyyah manuscripts of West Sumatra, the teachings of wahdat al-wujud were not just more flexible, they were in fact removed from all the teachings of Syaltariyyah order, as they were considered to be in conflict with the teachings of ahlussunnah wal jama'ah, and a deviation from the practices of syari'at.
As a result, particularly since the 19th century, the teaching of Syaltariyyah order in West Sumatra without the wahdat al-wujud doctrine is just one of this order's unique characteristics and tendencies. This is relatively different from the conclusions drawn by scholars in the past, such as B. J. D. Schrieke, Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessen, and several others, who argued that followers of Syattariyyah order in West Sumatra were the group most active in developing wa'hdat al-wujud, and clashed with _Naqsybandiyyah order adherents who developed the wahdat al-syuhud doctrine.
After having contact with several local traditions and cultures, the teaching style of Syattariyyah order was laden with local nuances. Teachings about the relationship between the external body and the internal self, for example, were formulated in what was known as " pengajian tubuh" (teachings of body). Syattariyyah teachings, apart from via conventional methods such as the recitation of al-Qur'an, were also delivered through traditions that included local characteristics, such as salawat dulang. Followers of Syattariyyah order in West Sumatra also developed what is known as "Basapa", a Syattariyyah order ritual in Ulakan each Safar month (2n, month of the Arabic calendar), a tradition that was strongly influenced by local culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D492
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Pudjiastuti
"ABSTRAK
Warisan budaya lama yang sampai saat ini masih banyak mendapat perhatian para pengamat adalah karya tulisan (Soebadio, 1975: 11) dan salah satu bentuk dari karya tulisan itu adalah sastra sejarah. Hoesein Djajadiningrat (dalam Soedjatrnoko, 1995: 58) menyebutnya sebagai `historiografi tradisional lokal', suatu bentuk karya sastra yang dihasilkan oleh pusat-pusat kekuasaan.
Penyebutan `sastra sejarah' menimbulkan persoalan yang fenomenologis, karena istilah ini mengisyaratkan kesesuaian konsep antara sastra yang merupakan rekaan dan sejarah sebagai proses, perkembangan dari kejadian-kejadian masa lampau. Menurut Ekadjati (1982: 6) obyek studi semacam ini dalam karya tulis masa lampau adalah hal yang biasa, karena di masa lalu kegiatan sastra dapat dikatakan bersatu dengan kegiatan sejarah. Bahkan Taggart (1962: 12) mengatakan bahwa sejarah pada mulanya adalah cabang ilmu sastra. Oleh karena itu, tidak heran apabila Raffles (1817), Hoesein Djajadiningrat (1913), Worsley (1972), De Graaf & Pigeaud (1974), Ras (1986), Ricklefs (1987), dan Abdullah (1987) berpendapat bahwa karya sastra sejarah - dengan bantuan disiplin ilmu filologi dan sejarah kritis - dapat dipandang sebagai sumber atau pencatat sejarah. Namun, pengamat lainnya seperti Onghokham (1981: 2) dan Widja (1991: 7) mengatakannya sebagai karya yang kurang bermutu, karena isinya hanya mengenai uraian tentang asal usul daerah tertentu atau mementingkan pemenuhan rasa cinta kedaerahan yang berlebihan. Sementara itu, Teeuw (1976) dan Soeratno (1991) memandangnya sebagai perwujudan dari kreativitas penciptanya, karena fakta yang hidup dalam reality disesuaikan dengan selera pengarang berdasarkan struktur teksnya. Perbedaan pandangan ini, menurut Cicero yang dikutip Hamilton disebabkan karena prinsip kedua ilmu tersebut berbeda; dalam studi sejarah yang panting adalah kenyataan atau fak-ta, sedangkan dalam ilmu sastra yang panting adalah menyenangkan (Hamilton, 1996: 9).
Selintas sastra sejarah memang mengesankan karya rekaan, karena bangunannya berupa cerita yang rangkaian peristiwanya diramu dengan aspek fiktif dan estetis. Akan tetapi, jikaceritanya dicermati akan tampak bahwa peristiwa-peristiwa yang terkandung di dalamnya merupakan gambaran dari fakta-fakta yang pernah berlangsung. "
2000
D272
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Pudjiastuti
"ABSTRAK
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa meskipun arsip-arsip Banten dan teks-teks SB berada dalam satu konteks, tetapi tidak scmua inforrnasi yang tennuat dalam arsip Banten dapat digunakan untuk menafsirkan teks-teks SB. Banyak hat, terutama yang berkenaan dengan unsur-unsur kehidupan dari zaman ketika teks SB ditulis tidak ditemukan penjelasannya dalam arsip-arsip Banten. Umpamanya, gambaran yang rnencrangkan tang peperangan yang terjadi antara Banten dan Belanda, sehingga menghasilkan damaian yang menguntungkan Banten atau gambaran yang menunjukkan kebesaran item di masa lalu seperti yang tercermin dalam teksnya. mernuat keterangan mengenai silsilah Sultan Banten juga berisi `cerita' yang menjelaskan berdirinya kesultanan Banten oleh Molana i lasanudin. Akan halnya arsip-arsip l3anten yang dapat digunakan untuk menunjukkan kesamaan peritiwa dengan teks-teks SB kelompok SBK cukup hanyak, di antaranya pada arsip Inv 19, 26, 85, 63, 64, 81h, 74, 80, dan CO 77/14. 3 dan 4. Peristiwa-peristiwa yang berisi penggambaran situasi keadaaan negara Banten di mansa pemerintahan Sultan Abu Nassr Abul Kahar (Sultan Haji) terdpat dalarn arsip inv. 19 dan 26, sedangkan peritiwa penting yang menggamharkan situasi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Ahu Nassr Abul Kahar (Sultan I laji), perjanjian antara Ahu Nassr Abul Kahar (Sultan I laji) dan Belanda, dan huhungan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Inggris yang hanya terdapat dalarn teks T dan Dd2 termuat dalarn arsip: 63, 64, 81 b, CO 77/14. . Adapun peristiwa yang menyehutkan pengangkatan Ratu Syarifah (Ratu Sarip) dan Sultan Ishak yang te4ipat dalarn teks T tercatat dalam arsip nomor Inv. 74 dan 80. Adapun cerita rakyat Banten yang menunjukkan unsur kesejarahan seperti yang tercermin dalam teks-teks SB terlihat pada cerita rakyat yang herjudul Tuhuv dan Bunten I6NO. Pada cerita Tubu, peristiwa sejarah yang digambarkan adalah peristiwa pengislaman Banten oleh Molana I lasanuddin, sedangkan peristiwa sejarah yang tergambar dalarn cerita Banteng Banten 1680 adalah peristiwa peperangan antara Sultan Ageng Iirtayasa dan putranya Sultan Abu Nassr Abul Kahar (Sultan Haji)."
2000
D1668
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library