Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurfadilah
"Resiliensi bukanlah suatu hal yang bersifat magis (Masten, 2006) dan dapat dipelajari serta dikembangkan oleh setiap orang, meliputi tingkah laku, pikiran, dan tindakan (APA, 2004). Dalam penelitian ini, resiliensi didefinisikan sebagai proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk renghadapi, mengatasi, memperkuat, dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif.
Situasi sulit yang dimaksud tidak terbatas pada kesulitan yang luar biasa saja, seperti trauma akibat tindak kejahatan atau bencana alam, tetapi juga mencakup kesulitan yang ditemui ketika menghadapi tekanan dan tuntutan hid up sehari - hari. Individu dikatakan memiliki adaptasi yang positif jika dapat memenuhi harapan sosial yang dikaitkan dengan tahapan tugas perkembangan.
Resiliensi akan lebih mudah untuk ditingkatkan jika dilihat sebagai fondasi dari pertumbuhan dan perkembangan (Grotberg, 2003). Fondasi resiliensi ini membentuk suatu paradigma yang mencakup tiga sumber resiliensi ketika individu menghadapi situasi sulit (Grotberg, 1999b), yaitu AKU PUNYA (I have), AKU ADALAH (I am), fondasi inisiatif dan AKU MAMPU (I can). Tiga komponen sumber resiliensi tersebut dapat membantu individu untuk menjadi resilien (dalam Grotberg, 1999b).
Resiliensi pada anak berhubungan dengan sumber-sumber faktor pelindung dan peningkatan kesehatan yang mencakup kesempatan yang dimiliki oleh individu, hubungan kekerabatan keluarga yang erat, dan kesempatan individu dan orangtua dalam mendapatkan dukungan dari lingkungan niasyarakat (Mash, 2005). Shonkoff dan Meisels (2000) mengatakan bahwa resiliensi pada anak tidak dapat dipaksakan begitu saja meskipun orangtua sudah memberikan pola asuh yang baik.
Masten (2005) berpendapat bahwa resiliensi dapat ditingkatkan melalui suatu program intervensi. Program intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat mengarahkan subyek menuju pencapaian adaptasi yang positif dengan segala faktor resiko dan pelindung yang dimilikinya. Program intervensi tersebut berupa pelatihan keterampilan sosial.
Penelitian ini merupakan action research dengan pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran proses subyek dalam mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimiliki subyek. Penelitian ini menggunakan satu orang subyek yang dipilih berdasarkan kesesuaian teori atau konstruk operasional, yakni yang memilki lima faktor resiko dan lima faktor pelindung. Subyek merupakan klien Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI yang berusia 8 tahun dan sekarang sedang duduk di kelas 3 SD.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi langsung, dan dokumen tertulis. Adapun tahapan persiapan penelitiannya meliputi persiapan program intervensi dan alat ukur.
Sebelum pelatihan, peneliti membina rapport dan menjalin rasa percaya dengan subyek dalam dua kali pertemuan. Selanjutnya, pelatihan dilaksanakan dalam lima kali pertemuan.
Hasil pelatihan menunjukkan bahwa subyek dapat dilatih untuk mengidentifikasi mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Hal tersebut dapat dicapai melalui proses membentuk rasa percaya, mengidentifikasi perasaan da-i pikiran, gambaran situasi sulit, dan kemudian subyek bare dapat mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya.
Hasil penelitian tersebut disampaikan kepada ibu subyek sehingga kaiak ibu dapat membantu subyek untuk menggunakan sumber-sumber resiliensi yang dimilikinya. Dalam pertemuan tersebut peneliti memberikan saran praktis dan melakukan diskusi bersama ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Herlina Magdalena
"Penelitian ini berfokus pada pemahaman mengenai gambaran resiliensi yang remaja yang memiliki adik penyandang autis. Mengingat dampak dari faktor risiko pada remaja yang memiliki adik penyandang autis ini dapat berbeda-beda, maka dibutuhkan penelitian yang dapat menggali subyektifitas penghayatan, variasi serta kedalaman resiliensi yang dimiliki oleh partisipan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif.
Proses pengambilan data dilakukan dengan metode open ended interview dan metode observasi. Wawancara sendiri akan dilakukan pada tiga partisipan yang memenuhi syarat partisipan pada penelitan ini.
Dari analisis data didapatkan bahwa: 1) Perasaan malu, perhatian orang tua yang berkurang, keterlibatan pengasuhan, kesulitan bergaul, serta tuntutan untuk berakademis adalah dampak yang dialami oleh ketiga partisipan. 2) Partisipan kedua dan ketiga justru menganggap keluarga adalah tekanan. Pada partisipan ketiga, keluarga merupakan faktor protektif. 3)Dimensi regulasi emosi pada ketiga partisipan belum berkembang dengan baik. Sedangkan dimensi empati, efikasi diri dan optimis belum berkembang secara optimal pada partisipan pertama dan ketiga. Sedangkan pada partisipan kedua dapat dilihat bahwa hampir semua dimensi telah berkembang dengan baik.

The study focused on understanding about resiliency in adolescence who have brother with autism. Considering the impact of risk factor happened differently to each participants, this study conducted qualitative method so that researcher can explore the subjectivity, variety, and depth of resiliency each participant.
The information is acquired using open-ended interview and observation methods. The interview is conducted to three adolescence who have brother with Autism.
The study shows theree results : 1) humility, decreasing in parent attention, involving in nurturing, difficulting socializing and high demand for academic achievement are effect of brother with autism in three participants, 2) family are pressure to second and third participants. But are protectif factor to third participant, 3) regulation emotion are still not well developed on each participant. Emphaty, self efficacy, and optimism are not well developed on first and three participants and there is no dimension have already develop in first participant.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Kristianti
"ABSTRAK
Memasuki dunia pekerjaan merupakan tugas terpenting dalam tahap perkembangan di tahapan dewasa muda. Bekeija menjadi guru adalah salah satu jenis pekeijaan yang mungkin ditekuni oleh seseorang. Guru pemula merupakan guru yang masih berada di tahun-tahun awal profesi mengajar. Tahun-tahun awal mengajar merupakan tahun yang penuh perjuangan bagi guru pemula. Di Indonesia, guru pemula hampir bisa dipastikan masih berstatus honorer dan belum menjadi pegawai negeri sipil. Status honorer pada guru pemula menyebabkan guru pemula tidak mendapatkan gaji seperti rekan lain yang telah menjadi pegawai negeri sipil. Sebagai guru honorer, guru pemula tidak bisa memastikan kapan dapat diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Guru honorer juga memiliki kemungkinan untuk diberhentikan secara sepihak oleh sekolah apabila mereka sudah tidak diperlukan lagi. Oleh sebab itu maka seorang guru pemula perlu untuk resilien. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada guru pemula. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang guru yang masih berada di tahun-tahun awal mengajar. Data diambil melalui wawancara, observasi dan percakapan melalui fasilitas chatting di internet. Dari penelitian ditemukan bahwa karakteristik resiliensi pada kedua partisipan telah berkembang dengan baik. Adanya dukungan dari keluarga dan komunitas dapat menurunkan pengaruh negatif dari faktor-faktor risiko yang salah satunya berupa status honorer pada guru pemula.

ABSTRACT
Entering the world of work is the most important task in young adulthood developmental stage. Teaching profession is one of the occupation engaged by young adulthood. Beginning teachers were teachers who still in their early teaching profession (under five years teaching experience). The early years in teaching profession were full of struggles for beginning teachers. In Indonesia, most beginning teachers are in honorarium status and not civil servants yet. Honorarium status result in teachers not gained their rights fully as their civil servant counterparts were. As honorarium, they could not predict when they will be promoted to become civil servant teachers. When necessary, there might still chances that they will be fired by the school. Considering those problems, teachers need to be resilient. This study aim was to gain insight on resiliency in beginning teacher. Qualitative method was used in this study. The participants in this study were two beginning teachers. The data were obtained through interviews, observations, and chatting via internet messenger. The study suggest that the participants has develop good resiliency characteristic. Having support fforn family and communities as protective factors was proven to reduce negative impacts of risk factors, namely honorarium status."
2010
S3595
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mila Rachmawati
"ABSTRAK
Salah satu bentuk hubungan sosial dalam kehidupan manusia adalah hubungan
intim lawan jenis atau hubungan romantis. Menurut Erikson (1963 dalam Birch &
Malim, 1994), membangun hubungan intim merupakan suatu kebutuhan sekaligus
sebagai salah satu tugas perkembangan yang spesifik bagi individu dewasa muda.
Proses membentuk dan membangun hubungan intim ini dapat berlangsung
melalui apa yang biasa kita sebut sebagai hubungan pacaran. Salah satu penelitian
yang dilakukan oleh Jones, Hansson, dan Smith (1980 dalam Peplau & Perlman,
1982) menunjukkan hasil bahwa mahasiswa.yang belum pernah mempunyai pacar
memiliki tingkat kesepian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa
yang pernah memiliki pacar. Kesepian pada seseorang juga sering dikaitkan
dengan munculnya perasaan-perasaan tidak berarti, tidak kompeten atau tidak
dicintai (Peplau & Perlman, 1982). Perasaan-perasaan seperti ini mengindikasikan
adanya karakteristik harga diri yang rendah. Menurut Peplau & Perlman (1982),
kaitan antara kesepian dengan harga diri rendah memang merupakan salah satu
penemuan yang konsisten dalam lingkup penelitian tentang kesepian Teori dan
penelitian di atas mengindikasikan bahwa individu yang hingga masa dewasa
mudanya belum pernah mempunyai pacar akan menunjukkan karakteristik orang
dengan tingkat kesepian tinggi dan harga diri rendah. Akan tetapi berdasarkan
penelitian dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan oleh Ramayani (2001)
terhadap lima orang subyek, didapatkan fakta tentang karakteristik yang cukup
beragam dan tidak konsisten dengan dugaan sebelumnya. Bertolak dari hal ini
maka penulis hendak menguji dan mengetahui apakah status pacaran pada
individu dewasa muda benar-benar akan membedakan secara signifikan tingkat
kesepian dan harga diri, ketika dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang
lebih besar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab masalah-masalah penelitian.
Masalah-masalah penelitian terbagi ke dalam masalah utama dan masalah
tambahan. Masalah utama penelitian adalah pertama, apakah status pacaran akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan tingkat kesepian
mahasiswa/i subyek penelitian ? Kedua, apakah status pacaran akan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan tingkat harga diri mahasiswa/i
subyek penelitian ? Ketiga, apakah terdapat hubungan yang signifikan antara
harga diri dan kesepian pada mahasiswa/i subyek penelitian ? Sedangkan masalah
tambahan dalam penelitian ini yaitu manakah dari variabel-variabel data kontrol
yang ikut berperan terhadap skor kesepian dan harga diri subyek penelitian ?
Tinjauan kepustakaan yang dijadikan sebagai landasan kerangka berpikir dalam
melaksanakan penelitian ini di antaranya akan membahas mengenai teori-teori
tentang dewasa muda dan tugas-tugas perkembangannya, pengertian pacaran,
fungsi dan arti penting pacaran, implikasi keadaan belum pernah berpacaran bagi
individu, serta teori-teori mengenai kesepian dan harga diri.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Data akan diolah dengan
teknik statistik one-way anova, korelasi Pearson product-moment, independent
sample t-test, dan multivariate anova. Penelitian ini melibatkan partisipasi dari
382 mahasiswa/i yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, berusia 18-26 tahun,
dan didapatkan dengan teknik Occidental / incidental sampling.
Hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Status pacaran tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perbedaan tingkat kesepian pada mahasiswa/i subyek penelitian.
2. Status pacaran tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perbedaan tingkat harga diri pada mahasiswa/i subyek penelitian.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel kesepian dan variabel
harga diri, di mana arah korelasinya adalah negatif. Hal ini berarti bahwa skor
kesepian berbanding terbalik dengan skor harga diri.
4. Variabel jenis kelamin terbukti membedakan secara signifikan tingkat
kesepian pada mahasiswa/i subyek penelitian.
Penelitian-penelitian lanjutan mengenai topik serupa disarankan untuk
menggunakan teknik pengambilan sampel yang lebih baik, misalnya random
sampling, agar diperoleh hasil penelitian yang dapat lebih digeneralisasikan
kepada populasi; melakukan penelitian untuk rentang usia dan latar belakang
subyek yang lebih bervariasi; melakukan pengukuran kesepian dan harga diri pada
domain yang lebih spesifik; serta menyertakan pertanyaan kepada subyek tentang
ada/tidaknya figur-figur yang bisa menjadi sumber kedekatan emosional atau
sumber kepuasan lain bagi subyek."
2003
S3257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti
"ABSTRAK
Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk mencari dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain, misalnya dengan keluarga, saudara,
teman, pasangan, dan sebagainya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah kelekatan
(attachment). Sebagai proses yang penting dalam kehidupan manusia, kelekatan
tidak hanya mendorong berkembangnya kemampuan siirvival pada masa bayi,
tetapi juga mendorong perkembangan yang adaptif sepanjang rentang kehidupan.
Kelekatan yang terbentuk pada masa bayi mempengaruhi perkembangan
kompetensi sosial dan emosional manusia pada perkembangan selanjutnya karena
kelekatan tidak hilang begitu saja ketika individu mencapai usia dewasa. Kelekatan
menjadi sangat penting ketika manusia dewasa karena pada masa inilah manusia
harus memenuhi salah satu tugas perkembangannya yaitu menjalin hubungan yang
intim dengan orang lain.
Kelekatan juga membentuk perbedaan individual yang terlihat dalam
tingkah lakunya ketika berhubungan dengan figur kelekatan atau dalam hubungan
interpersonalnya. Yang menjadi perbedaan individual ini adalah gaya kelekatan
yang memiliki tiga tipe yaitu gaya kelekatan secure, avoidant, dan
arvcious/ambivalent. Penelitian ini ingin melihat pengaruh gaya kelekatan orang
dewasa terhadap tingkat kesepian pada individu dewasa muda yang tidak memiliki
pasangan. Tugas perkembangan individu dewasa muda adalah harus mampu
mengurangi kesepian yang dialaminya karena pada tahap perkembangan inilah
ditemukan adanya tingkat kesepian yang tinggi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif. Peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat ukur, yang terdiri dari
adaptasi Adult Attachment Scale Hazan & Shaver (1987) dan R-UCLA Loneliness
Scale. Subyek dalam penelitian ini adalah individu dewasa muda yang saat ini tidak
memiliki pasangan dan dipilih dengan menggunakan metode incidental sampling. Kriteria subyek adalah berpendidikan minimal SMU, telah menyelesaikan
pendidikannya dan telah bekeija.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: pertama, ditemui
adanya pengaruh yang signifikan gaya kelekatan orang dewasa terhadap tingkat
kesepian pada dewasa muda yang tidak memiliki pasangan. Kedua, gaya kelekatan
secara signifikan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap tingkat kesepian
pada dewasa muda yang tidak memiliki pasangan. Subyek dengan gaya kelekatan
arvcious/ambivalent memiliki tingkat kesepian yang lebih tinggi dibanding subyek
dengan gaya kelekatan secure dan a\>oidant. Ketiga, proporsi penyebaran subyek
berdasarkan gaya kelekatannya sesuai dengan proporsi yang diperoleh pada
penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu persentase terbesar dari seluruh subyek
penelitian adalah subyek yang tergolong secure, diikuti oleh subyek yang tergolong
avoidant dan persentase terkecil adalah subyek yang tergolong gaya kelekatan
arvcious/ambivalent."
2003
S3291
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauza Qurrotu Aini
"Emosi sebagai salah satu faktor yang menentukan perilaku manusia sudah banyak diketahui dari pengalaman sehari-hari, misalnya dengan bergembira maka segala sesuatu yang dikerjakan akan baik hasilnya, dalam kesedihan maka pekerjaan menjadi kacau (Amold dalam Markam, 1992). Namun apabila seorang remaja akhir mempunyai kecerdasan pada dimensi emosionalnya, maka ia akan mampu mengendalikan reaksi atau perilakunya (Epstein dalam Achir, 1988). Menurut Goleman (1995) kecerdasan emosi yang baik akan mengontrol agresivitas remaja.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja akhir, hubungan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas, pengaruh dari dimensi-dimensi kecerdasan emosi terhadap agresivitas, serta perbedaan kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja akhir laki-laki dan perempuan. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan tehnik incidental sampling, jumlah subyek 92 orang siswa-siswi SMA yang berada pada tahapan perkembangan remaja akhir.
Alat ukur yang digunakan adalah Emotional Intelligence Inventory (Eli) dan Aggnession Questionnaire (AQ). Pengujian validitas alat ukur dilakukan dengan expert judgement dap Pearson Product-Moment Correlation, sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan Coefficient Alpha dengan indeks reliabilitas Eli sebesar .9191 dan AQ sebesar .8333.
Hasil penelitian secara umum ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, artinya semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka agresivitasnya akan semakin rendah, serta ditemukan adanya pengaruh dimensi-dimensi kecerdasan emosi terhadap agresivitas. Namun hanya dimensi empati (empathy), kesadaran diri (self awareness) dan kontrol diri (self controf) yang mempunyai pengaruh terbesar dalam mengontrol atau mengurangi agresivitas, dengan kata lain peningkatan pada dimensi empati, kesadaran diri dan kontrol diri, sangat berpengaruh dalam mengontrol agresivitas. Sedangkan dimensi motivasi diri dan keterampilan sosial mempunyai pengaruh kecil terhadap agresivitas. Dari analisa tambahan, ada perbedaan kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja laki-laki dengan perempuan.
Saran yang diajukan perlu adanya suatu program pelatihan untuk siswasiswi yang berusaha mengembangkan keterampilan-keterampilan emosi, disesuaikan dengan situasi sekolah, rumah dan masyarakat."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3449
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra
"ABSTRAK
Ketika anak berada dalam tahap middle childhood, seringkali terjadi masalah dalam hubungannya dengan orangtua karena orangtua yang mengalami kesulitan dalam mengubah pola asuh atau berperan sesuai dengan tuntutan perkembangan anak. Pada tahap middle childhood sudah mampu mengembangkan sikap dan persepsi tertentu terhadap tingkah laku dan pola asuh orangtuanya. Pada anak dengan orangtua yang menerapkan pola asuh premisif hal ini menjadi penting. Dalam pemeriksaan psikologis, hal-ha! ini dapat terungkap melaiui alat bantu seperti tes proyeksi. Salah satu tes yang
efektif adalah Children Apperception Test. Penelitian ini berusaha melihat apa saja pandangan, perasaan dan kebutuhan terhadap orangtua yang temngkap melalui CAT pada anak yang mengalami masalah dalam hubungan mereka dengan orangtua, yaitu pola asuh yang permisif.
Hasil yang diperoleh adalah anak memandang bahwa hubungan mereka dengan orangtua kurang hangat, dan beberapa subyek memandang tokoh otoritas sebagai tokoh yang tidak berdaya. Anak merasakan kesedihan ketika berpisah dengan orangtua, dan senang ketika bersama orangtua. Kepada tokoh otoritas yang pernah memberikan hukuman kepada mereka, anak mengembangkan dua pilihan perasaan, yaitu merasa takut dan cemas terhadap tokoh tersebut atau merasakan agresi pada tokoh itu Kebutuhan yang terungkap adalah bahwa
sebagian besar subyek menginginkan kedekatan dengan orangtuanya.
Secara umum hasil penelitian ini bersesuaian dengan karakteristik anak middle chilhood. Hal yang menarik adalah anak memandang hubungannya dengan Orangtua cenderung kurang hangat, di mana hal ini sedikit berbeda dengan penjelasan teori bahwa orangtua yang permisif adalah orangtua yang responsif dan tidak menerapkan kendali, bukan orangtua yang tidak responsif. Kedekatan anak dengan orangtua tampak hanya pada hubungan fisik dan bukan emosional."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Tjiunata
"Fokus dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kuantitas perilaku menyelesaikan tugas, termasuk di dalamnya, menurunkan durasi perilaku tidak mengerjakan tugas. Penerapan metode ccrita sosial dan metodc contingency contract (dilcngkapi prompt) menghasilkan peningkatan kuantitas pada perilaku menyelcsaikan tugas, serta penurunan durasi perilaku tidak mengerjakan tugas. Akan tetapi, kualitas dari perubahan pcirlaku belum menunjukkan perbaikan. Hal tcrscbut disebabkan karena komik oerita sosial yang digunakan dalam intervensi belum secara detil menggambarkan perilaku yang diharapkan muncul. Selain itu, pemberian fading yang terlalu cepat juga menyebabkan konsistensi perubahan perilaku belum terlihat.
Dari hasil obsewasi, diketahui juga bahwa pembahan perilaku tersebut, secara tidak langsung, dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan seperti kehadiran guru dan situasi kelas. Akan tetapi, karena singkatnya sesi intervensi dan pemilihan waktu intervensi yang berdekatan dengan jadwal uiangan umum, konsistensi pelubahan perilaku belum terlihat. Oleh karena itu, beberapa saran yang dapat diberikan antara lain: 1) gambar berikut penjelasan pada komik cerita sosial sebaiknya dibuat lebih detil; 2) pemberian prompt dan fading sebaiknya lebih diperhatikan lagi; 3) sesi intervensi dibuat lebih banyak dengan jangka waktu yang lebih panjang; 4) perlu diperhalikan pemilihan waktu intervensi agar tidak berdekatan dengan jadwal ulangan umum; 5) kerjasama antara guru dan teman-tcman di kelas untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif agar pelaksanaan intervensi lebih efektif.

The focus of this training is to increasing the quantitiy of on-task behavior. including, decreasing the duration of off-task behavior. Result of this intervention, using social story method and contingency contract method (also using prompt method), indicated that the quantitiy of on-task behavior is increasing and the duration of ofiltask behavior is decreasing. However, the quality of the alteration of behavior has not improved yet. This is because the comic social story in this intervention has not describe the behavior that is expected, The prompts which have been faded too quickly also make the consistency ofthe behavior’s alteration has not been observed. The environments, such as teacher’s present and class-rooms’s situation, also influence the alteration of behavior.
Unfortunately, because the length ofthe session and the time of intervention wich is too short and too close to the end of school year, the consistency of the behavior’s alteration has not been appeared yet. Therefore, several suggestions should be provided to improve the future study: 1) picture in the comic social story should be made more detail; 2) the use of prompt and fading should be more improved; 3) the session of intervention should be madc in great quantities and in more length duration; 4) the intervention should be held in the middle of school year; 5) the cooperation of teacher and tiiends is needed to make the more supporting classroom environment.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34118
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sani Budiantini
"Menjadi orangtua dari anak tuna grahita merupakan hal yang sulit. Menurut Cumings (1976) orangtua lebih tertekan, lebih merasakan konflik dan lebih disibukan oleh anak mereka yang tuna grahita. Adanya masalah yang berkaitan dengan ke - tuna grahitaan sering rnengakibatkan stres bagi orangtua khususnya ibu. Link & Morrill ( 1989 ) mengatakan bahwa ibu merupakan anggota keluarga yang menghadapi tuntutan dan tekanan yang lebih berat dibandingkan anggota keluarga lainnya. Hal ini yang menyebabkan Holroyd ( 1974 ) bersama rekan - rekannya membuat alat yang mengukur stres pada orangtua yang memiliki anak keterbelakangan mental ( mental retardation ). Alat ini disebut dengan ? the questionnaire on Resources and Stress " [ QRS ); Kemudian alat ini direvisi oleh Frederich ( 1983 ) dan disebut dengan QRS - F.
Keadaan stres yang dirasakan oleh ibu dari anak tuna grahita tsb tidak dapat dibiarkan berlarut - larut. Perlu dilakukan suatu usaha untuk mengatasi keadaan atau situasi yang menekan tersebut. Menurut Lazarus (1976 ), usaha untuk mengatasi tekanan itu biasa disebut sebagai perilaku coping. Folkman dan Lazarus ( 1984 ) membedakan perilaku coping menjadi 2 jenis, yaitu usaha yang bertujuan untuk menyelesaikan rnasalah ( Problem Focused Coping / PFC ) dan usaha yang dilakukan untuk mengurangi perasaan yang tidak menyenangkan yang timbul akibat adanya masalah ( Emotion Focused Coping / EFC ). Dan kedua jenis coping ini kemudian berhasil dikembangkan oleh Folkman, Lazarus, Dunkel-Schetter, DeLongis & Gruen ( 1986 ), menjadi 8 strategi, di mana 3 strategi mengarah pada PFC dan 5 strategi mengarah pada EFC.
Adanya gambaran stres yang khas, yang dialami para ibu dari anak tuna grahita, dapat mengakibatkan tampilnya perilaku coping yang khas pula. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran stres dan perilaku coping yang ditampilkan pada ibu yang memiliki anak tuna grahita. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui kadar stres para ibu yang dikaitkan dengan perilaku coping yang ditampilkan.
Subyek dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak tuna grahita dengan tingkat ringan ( mild ). Pemilihan ini ditentukan berdasarkan karakteristik anak yang khas dalam tingkat inteligensi dan segi psikologisnya. Sehingga stres dan perilaku coping yang ditampilkan dapat diasumsikan akan memberikan gambaran yang khas. Pada penelitian ini, digunalcan dua buah kuesioner yang pengolahannya dibantu dengan perhitungan statistik.
Dari hasil penelitian, diketahui gambaran stres pada ibu yang memiliki anak tuna grahita dari faktor penyebab stres terbesar hingga terkecil, berturut - turut adalah sebagai berikut : [1] pessimism (2) Child characteristic {3] parents and family problem dan (4) physical incapacitation. Dari penelitian juga didapatkan gambaran subyek dalam perilaku coping yang ditampilkan. Secara keseluruhan diketahui bahwa hampir semua strategi coping dipergunakan subyek dalam menghadapi stres, baik pada kelompok subyek dengan stres tinggi maupun pada kelompok subyek dengan stres rendah. Hanya satu strategi coping saja, yaitu escape - avoidance yang jarang dipergunakan oleh kelompok dengan stres tinggi. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenis problem focused coping lebih sering ditampilkan pada subyek dengan kelompok stres tinggi. Sedangkan jenis emotion focused coping cenderung digunakan pada kelornpok berkadar stres rendah.
Dari hasil yang diperoleh tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk penelitian lebih lanjut yaitu, antara lain : 1. mengembangkan metodologi penelitian, 2. mengikutsertakan ayah sebagai subyek penelitian, 3. mengadakan penelitian dengan perbedaan jenis kelainan yang disandang anak dan 4. mengadakan penelitian pada SLB - SLB lain."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2479
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>