Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alif Rizqy Soeratman
"Latar Belakang. Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Di Indonesia penyakit "kusta belsifat errdemis, jumlah endetitanya diperkirakan lebih besar dari yang tercatat di Departemen Kesehatan. Adanya leprofobi dan "stigma ycmg tinggi terbadap "kusta, menjadikan peoyakit ini sangat ditakuti "karena "ka;alalau p1Ida
ekstremitas dan atau wajah, akibat kerusakan saraf motorik: dan sensorik, antara lain ulserasi, mutitasi dan tlefonnitas, bahkan pa:ralms otot. Secara fuik, cacat "kusta dapat meogurangi kemampuan pasien kusta untuk bekerja dengan baik sehingga pasien kusta kurang mampu hidup mandiri dan "berdampak pada perekonomian Stigma dan masalah psikososial dapat dalam menurunnya kualitas. Hidup "pasien kusta.
Tujuan. Mengetahui gambaran kualitas bidup pasien kusta di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. "Ciptomangunkusomo. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan konsekutif sampling dimana subyek -yang tlatang -selama "perimle Mei - Juli 2009 dan "memenuhi kriteriainldusi dilakukan wawancara berdasarkan WHOQOL -BREF untuk melibat gambaran kualitas hidup pasien.
Basil Dari 50 subjek penelitian, didapatkan rata-rata total skor dari WHOQOL BREF yaitu
-66,4. Sementara itu jika Skor tersebut tlijabarkan menurut empcrt -aspek penting kualitas bidup
menurut WHOQOL -BREF yaitu kesehatan fisik 21,62 ; kesehatan psikologis 16,42 ; hubungan
"Sosial -9;04; kesebatan iingkungan 19,32.
Kesimpulan. Stigma yang dialami oleh pasien kusta berdampak kepada kesehatan fisik, psikologis, kehidupan "Sosial, lingkungan dan juga kualitas bitlopnya. "Selain itupenyakit kusta dapat menimbulkan beban pada keluarga dan masyarakat Dari data penelitian ini maka perlunya "penanganan secara komprebensif, yaitu dari aspek medik dan ps.ilroscsial, sehingga stigma yang terjadi dapat terminimalisir."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
S70366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Floera Finalita
"Pendahuluan: Program internship dikenal sebagai fase transisional dari mahasiswa kedokteran menjadi seorang dokter dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi. Proses adaptasi dalam tahapan ini membutuhkan efikasi diri yang baik agar wellbeing tetap terjaga dan mencegah stres ataupun burnout. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi diri dan hubungannya dengan wellbeing mahasiswa kedokteran dalam rangka persiapan internship.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian studi campuran dengan pendekatan sequential explanatory pada mahasiswa kedokteran tahap klinik tahun terakhir. Penelitian dilakukan pada responden dengan membagikan kuesioner yang disesuaikan pada efikasi diri dan wellbeing. Selanjutnya, dilaksanakan serangkaian FGD setelah pemberian kuesioner. Analisis kuantitatif dan tematik dilakukan secara berurutan.
Hasil Penelitian: Total responden yang mengisi kuesioner dengan lengkap adalah 188 orang. Penelitian kuantitatif mendapatkan hasil bahwa terdapat korelasi positif antara efikasi diri dengan wellbeing dan kelima aspek PERMA. Pada penelitian ini dilakukan FGD sebanyak 2 kali dan didapatkan bahwa persiapan yang harus dimiliki sebagai bekal internship adalah komunikasi, keterampilan klinis, mengintegrasikan berbagai ilmu kedokteran, dan kompetensi budaya. Dari berbagai kemampuan tersebut, responden dapat menyadari kemampuan yang sudah maupun belum dikuasai serta cara untuk mencapai kompetensi terkait. Motivasi diri, lingkungan pembelajaran, dukungan teman sejawat, dan staf pengajar yang kompeten dianggap sebagai faktor yang memengaruhi efikasi diri mahasiswa dalam konteks persiapan menghadapi internship.
Kesimpulan: Mahasiswa kedokteran dengan efikasi diri yang baik akan memiliki wellbeing yang baik pula, serta dapat melihat bahwa keterampilan ataupun kemampuan yang dimiliki akan bermanfaat sebagai bekal saat menjadi dokter khususnya saat menjalankan program internship.

Background: The internship program is known as a transitional phase from a medical student to a doctor with various challenges that must be faced. The adaptation process in this stage requires good self-efficacy to maintain wellbeing and prevent stress or burnout. This study aimed to determine self-efficacy and its relationship with wellbeing of medical students in preparation for internship.
Methods: This mixed-methods study uses a sequential explanatory approach with final-year clinical-stage medical students. We examine the subjects by administering questionnaires on self-efficacy and wellbeing. We completed a series of FGDs following questionnaire administration. Quantitative and thematic analyses were conducted sequentially.
Results: A total of 188 respondents completed the questionnaire. There is a positive correlation between self-efficacy and wellbeing and the PERMA aspects. We conducted 2 FGDs in total. The results show that internship doctors must have capabilities such as communication, clinical skills, integrating various medical sciences, and cultural competence. From these capabilities, respondents can be aware of their abilities or unmastered abilities and how to achieve these related competencies. Self-motivation, learning environment, peer support, and competent teaching staff are considered factors that influence student’s self-efficacy in preparing for internships.
Conclusion: Medical students with good self-efficacy will also have good wellbeing and can see their skills will be useful as preparations when they become doctors, especially when they enter internship program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anyta Pinasthika
"Pendahuluan: Umpan balik yang efektif menjadi semakin penting dalam pembelajaran tahap klinis. Umpan balik dapat tersedia di berbagai bentuk, isi dan diberikan oleh berbagai pihak untuk perbaikan performa mahasiswa. Umpan balik yang efektif hanya dapat dicapai dengan melibatkan mahasiswa sebagai pemeran aktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana umpan balik dimanfaatkan oleh mahasiswa kedokteran tahap klinik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologi pada mahasiswa kedokteran tahap klinik, staf pengajar klinis dan pengelola modul tahap klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dipilih dengan pendekatan maximum variation sampling. Sebanyak tujuh focus group discussion dan empat in-depth interview dilakukan hingga saturasi data tercapai. Studi dokumen buku rancangan pengajaran dilakukan sebagai triangulasi. Analisis data dilakukan menggunakan analisis tematik.
Hasil Penelitian: Mahasiswa memanfaatkan umpan balik melalui proses identifikasi, penerimaan dan tindak lanjut umpan balik. Performa mahasiswa menjadi indikator untuk identifikasi umpan balik. Proses penerimaan umpan balik diawali dengan reaksi emosi, refleksi konten umpan balik dan refleksi pengalaman, yang dipengaruhi oleh faktor mahasiswa dan staf pengajar. Umpan balik dapat diterima, ditolak, diterima atau dilupakan. Umpan balik yang diterima akan ditindaklanjuti oleh mahasiswa. Keseluruhan proses ini dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, seperti adaptasi pembelajaran klinis saat pandemi, lingkungan pembelajaran (termasuk hubungan antar staf pengajar, budaya, regulasi dan kurikulum modul serta institusi), supervisi dan evaluasi proses pembelajaran. Pencarian umpan balik juga ditemukan sebagai proses umpan balik, namun terbatas akibat faktor budaya.
Kesimpulan: Penelitian ini memberikan gambaran mengenai bagaimana mahasiswa kedokteran tahap klinik memanfaatkan umpan balik yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, yang perlu dipertimbangkan saat memberikan umpan balik dan pengembangan budaya umpan balik di fakultas.
Kata Kunci: pemanfaatan umpan balik, mahasiswa kedokteran, pembelajaran klinis, faktor sosial budaya umpan balik

Background: Effective feedback has become even more important in clinical rotations, as feedback comes in many forms, contents, and providers to aid improvement of performance. This could only be achieved by acknowledging students’ active role in feedback. This study aims to explore how feedback is utilized in undergraduate clinical settings.
Methods: This study is a qualitative phenomenology study involving medical students on their clinical clerkships, clinical teachers, and clinical rotation coordinators in Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Respondents were selected through maximum variation sampling approach. A total of seven focus groups and four in-depth interviews were conducted and data saturation was reached. Document study was conducted as triangulation. Thematic analysis approach was used in data analysis.
Results: Students use feedback by identifying, receiving, and acting on feedback. Performance was used as indicators to identify feedback. Receiving feedback involved a process of emotional reaction, reflection of feedback content and reflection of performance, also influenced by student and teacher factors. Feedback might be accepted, rejected, remembered, or forgotten. Accepted feedback could be acted upon by students. The process of using feedback was influenced by sociocultural factors, such as modified learning opportunities driven by pandemic, learning environment (including relationship between students and supervisors, culture, clinical rotation, and faculty regulations also curriculum), supervision, and evaluation of learning process. Feedback-seeking behavior was found to be limited due to cultural factors.
Conclusion: This study provides insights on how students use feedback in clinical setting influenced by sociocultural factors, which must be considered in feedback provision and development of feedback culture in the faculty.
Keywords: using feedback, medical students, clinical education, sociocultural factors of feedback
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Anita Masniari
"Penyakit TB lebih berkembang pada masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rendah, kelompok terpinggirkan dan populasi rentan lainnya. Salah satu yang termasuk populasi rentan adalah komunitas penderita kusta. Penyakit TB dan kusta banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dengan kelembapan udara tinggi, tingkat sosial ekonomi penduduk yang rendah serta status gizi dan higienitas yang buruk. Infeksi kedua penyakit ini dapat terjadi bersamaan pada satu individu dan biasanya terjadi pada pasien imunokompromais. Koinfeksi TB paru pada penderita kusta dapat meningkatkan mortalitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi TB Paru pada penderita kusta yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui faktor risiko yang dapat memengaruhi. Desain penelitian adalah cross sectional dengan jenis penelitian deskriptif analitik berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, foto toraks dan kuesioner. Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin serta Poliklinik Penyakit Dalam – Pulmonologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2022. Sampel penelitian ini adalah pasien kusta baik sedang dalam pengobatan multi drugs therapy (MDT) maupun telah dinyatakan release from treatment (RFT) yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Besar sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 105 orang. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan perangkat lunak SPSS.
Dari total 109 subjek, terdapat 3 orang (2,75%) yang didiagnosis TB paru yang mencakup 1 orang TB paru bakteriologis terkonfirmasi TCM dan 2 orang TB paru klinis. Mayoritas subjek dengan TB paru berusia kurang dari 40 tahun (66,7%), didominasi laki-laki (66,7%) dan seluruhnya berpendidikan rendah. Dari subjek yang memberikan informasi, sebanyak 50% memiliki pendapatan kurang dari 3,5 juta per bulan. Seluruh subjek dengan TB paru mengaku tidak pernah mendapat vaksinasi BCG dan mayoritas mengaku memiliki riwayat merokok (66,7%). Sebanyak 66,7% mengaku tidak ada riwayat kontak fisis, tidak pernah menggunakan barang dan berbincang dengan penderita TB paru. Hanya 33,3% penderita koinfeksi TB paru pada kusta yang memiliki status gizi kurang. Seluruh penderita TB paru pada kusta didiagnosis kusta tipe multibasiler. Dari hasil analisis bivariat, faktor pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan luaran TB paru. Namun pada analisis multivariat tidak dapat mengeluarkan hasil.

TB disease develops more in communities with low socio-economic status, marginalized groups, and other vulnerable populations. One of the vulnerable populations is the leprae community. TB and leprosy are often found in tropical climates with high air humidity, low socio-economic levels of the population, and poor nutritional and hygiene status. Infection with these two diseases can occur simultaneously in one individual and usually occurs in immunocompromised patients. Pulmonary TB coinfection in leprosy sufferers can increase mortality.This study aims to determine the proportion of pulmonary TB in leprosy sufferers who seek treatment at the Skin and Venereology Polyclinic, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, and the risk factors that can influence it. The research design was cross-sectional with a descriptive analytical research type based on the results of laboratory examinations, chest x-rays, and questionnaires. The research was conducted at the Skin and Venereology Polyclinic and the Internal Medicine- Pulmonology Polyclinic, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, in 2022. The sample for this study was leprosy patients who were either undergoing multidrug therapy (MDT) or had been declared released from treatment (RFT) and who met the research criteria and were willing to participate in the research. The sample size required for this research is 105 people. The data obtained was processed and analyzed univariately, bivariately, and multivariately with SPSS software.Of the total 109 subjects, there were 3 people (2.75%) who were diagnosed with pulmonary TB, including 1 person with bacteriological pulmonary TB confirmed by TCM and 2 people with clinical pulmonary TB. The majority of subjects with pulmonary TB were less than 40 years old (66.7%), dominated by men (66.7%), and all had low education. Of the subjects who provided information, 50% had an income of less than 3.5 million per month. All subjects with pulmonary TB admitted that they had never received BCG vaccination, and the majority admitted to having a history of smoking (66.7%). As many as 66.7% admitted that they had no history of physical contact, had never used items, or talked to pulmonary TB sufferers. Only 33.3% of people with pulmonary TB co-infection with leprosy have poor nutritional status. All patients with pulmonary TB in leprosy were diagnosed with multibacillary-type leprosy. According to the results of the bivariate analysis, educational factors have a significant relationship with pulmonary TB outcomes. However, multivariate analysis could not produce results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library