Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitepu, Helen
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S22386
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Haryanto
"Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di perusahaan swasta diselesaikan dengan cara negoisasi kemudian dilanjutkan melalui arbitrase atau melalui mediasi, konsiliasi dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan kemudian melalui Peradilan tata Usaha Negara. Untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial di lingkungan perusahaan badan usaha milik negara diselesaikan berdasarkan bentuk dan status pegawai yang ada pada perusahan tersebut. Untuk perusahaan BUMN berbentuk perusahaan jawatan dengan pegawainya yang berstatus Pegawai Negeri Sipil(PNS) tunduk pada undang-undang kepegawaian. Untuk perusahaan berbentuk perusahaan umum yang berstatus PNS tunduk pada undang-undang kepegawaian, sedangkan yang bukan PNS tunduk pada aturan internal yang ada pada perusahaan umum. Untuk perusahaan yang berbentuk persero, tunduk pada peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama antara perusahaan dengan serikat pekerja yang ada pada perusahaan persero. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada PT. SUCOFINDO(PERSERO) tunduk pada kesepakatan kerja bersama antara perusahaan dengan Serikat Pekerja Sucofindo. Yaitu melalui perundingan secara bipartit, dilanjutkan melalui arbitrase atau melalui peradilan tata usaha negara atau peradilan umum. Jika pihak yang berselisih menghendaki dapat menundukkan diri kepada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 jo. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di perusahaan swasta diselesaikan dengan cara negoisasi kemudian dilanjutkan melalui arbitrase atau melalui mediasi, konsiliasi dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan kemudian melalui Peradilan tata Usaha Negara. Untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial di lingkungan perusahaan badan usaha milik negara diselesaikan berdasarkan bentuk dan status pegawai yang ada pada perusahan tersebut. Untuk perusahaan BUMN berbentuk perusahaan jawatan dengan pegawainya yang berstatus Pegawai Negeri Sipil(PNS) tunduk pada undang-undang kepegawaian. Untuk perusahaan berbentuk perusahaan umum yang berstatus PNS tunduk pada undang-undang kepegawaian, sedangkan yang bukan PNS tunduk pada aturan internal yang ada pada perusahaan umum. Untuk perusahaan yang berbentuk persero, tunduk pada peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama antara perusahaan dengan serikat pekerja yang ada pada perusahaan persero. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada PT. SUCOFINDO(PERSERO) tunduk pada kesepakatan kerja bersama antara perusahaan dengan Serikat Pekerja Sucofindo. Yaitu melalui perundingan secara bipartit, dilanjutkan melalui arbitrase atau melalui peradilan tata usaha negara atau peradilan umum. Jika pihak yang berselisih menghendaki dapat menundukkan diri kepada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 jo. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S22002
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidi Melissa
"Kenaikan harga obat-obatan akibat melemahnya Rupiah terhadap dolar mengundang para sindikat pemalsu obat bergerilya untuk membuat produk palsu. Masalah obat palsu di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah tentang Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan beberapa peraturan lain. Untuk menangani peredaran obat palsu di Indonesia, diperlukan keterlibatan pihak pemerintah seperti Departemen Kesehatan, Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan, Kepolisian, dan pihak-pihak lain yang bersangkutan. Dalam Undang-undang Kesehatan, guna melindungi masyarakat dan menegakkan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan obat, maka ditunjuk penyidik selain penyidik pada tindak pidana umumnya. Penyidik yang dimaksud adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Departemen Kesehatan. Akan tetapi dengan timbulnya Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 yang diganti dengan Keputusan Presiden No. 105 Tahun 2001, maka Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan berubah menjadi Badan Pengawas Obat Dan Makanan, yaitu sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung di bawah Presiden dan tidak lagi menjadi bagian dari Departemen Kesehatan. Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pemalsuan obat masih banyak mengalami kesulitan, antara lain kedudukannya yang dianggap tidak memiliki dasar hukum. Masih banyaknya para pelaku pemalsuan obat yang tidak dihukum atau dipidana dengan hukuman yang sangat ringan, juga menjadi penyebab maraknya tindak pidana pemalsuan obat di Indonesia. Oleh karenanya, dalam skripsi ini mencoba membahas bagaimana tugas dan kewenangan pejabat Badan Pengawas Obat Dan Makanan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana pemalsuan obat, dengan contoh kasus tindak pidana pemalsuan obat yang dilakukan oleh terdakwa Doris Leman."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatia Jamilah
"Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi menyebabkan perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa. Hal ini menimbulkan dampak positif yaitu konsumen memiliki kebebasan yang terbuka lebar dalam memilih barang dan/atau jasa, selain itu ada juga dampak negatif yaitu konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat lebih melindungi konsumen dari tindakan pelaku usaha yang merugikan. Berdasarkan hal tersebut timbul beberapa pertanyaan, “Apa perbedaan sengketa perlindungan konsumen dengan sengketa perdata?, Bagaimana beban pembuktian dan alat-alat bukti dalam perlindungan konsumen?, Bagaimana penerapan pembuktian dalam perkara antara Tn. Takasu Masaharu melwan PT coca-cola Indonesia CS dengan No. putusan 211/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Sel.?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah dilakukan penelitian hukum normatif dengan alat pengumpulan data berupa wawancara dan studi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dari penelitian yang dilakukan. Diperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, yaitu perbedaan sengketa perlindungan konsumen dengan sengketa perdata dapat dilihat dari segi subyek, obyek, beban pembuktian dan alat-alat bukti sengketanya. Pembuktian dalam perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksananya. Beban pembuktian dalam hukum perlindungan konsumen merupakan tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam Pasal 22 dan Pasal 28 Undang-undang Perlindungan Konsumen, sedangkan alat-alat bukti diatur dalam Pasal 21 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 350/MPP/Kep/12/2001 yang terdiri dari barang dan/atau jasa; keterangan para pihak yang bersengketa; keterangan saksi dan/atau saksi ahli; surat dan/atau dokumen serta bukti-bukti lain yang mendukung. Dalam penyelesaian sengketa perlindungan konsumen yang diterapkan adalah ketentuan hukum acara perdata, walaupun untuk hal pembuktian telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22168
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahono Suprianto
"Putusan-putusan pengadilan terdahulu yang menyatakan gugatan yang melibatkan sejumlah besar pihak tidak dapat diterima, seperti dalam perkara antara YLKI melawan PLN pada tahun 1996, perkara antara peserta Jamsostek melawan direksi Jamsostek tahun 1994, dan perkara sejenis yang lain yang dimaksudkan sebagai pengajuan perkara dengan menggunakan prosedur class action, menjadi putusan in kracht yang menarik untuk dilihat kembali baik dari segi formil maupun materiil saat beberapa Undang-undang yang membuka pintu bagi diperbolehkannya gugatan class action disyahkan keberlakuannya seperti UU No. 23 Tahun 1997, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2002 yang mengatur tentang tata cara dan syarat-syarat pengajuan gugatan class action. Di Indonesia sendiri yang menganut sistem hukum civil law kemunculan lembaga class action yang berasal dari common law tidaklah dikenal, sehingga dijadikan salah satu alasan bagi hakim-hakim yang memeriksa perkara untuk tidak dapat menerima gugatan itu. Padahal kalau dihadapkan dengan asas-asas yang ada dalam penyelenggaraan peradilan bahwa hakim seharusnya bisa menggali dan menemukan hukum dengan menyerap dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Banyaknya berbagai istilah atau model gugatan yang mengatasnamakan kepentingan umum seperti: class action, actio popularis, citizen lawsuit, groepacties, dan legal standing ditambah lagi dengan belum banyaknya buku/literatur yang mengupas mengenai hal itu menjadikan gugatan yang diajukan dalam perkara “12-15 Mei Berdarah” ini menjadi obscuur libels, tidak jelas dimaksudkan sebagai pengajuan gugatan seperti apa. Dan majelis hakim dalam pertimbangannya menguraikan terlebih dahulu pengertian dari class action dan legal standing meliputi juga syaratsyaratnya. Karena oleh para pihak dan majelis hakim terdapat penafsiran tentang class action dalam perkara itu, ditambah lagi dengan pernyataan dari Komisi Hukum Nasional bahwa gugatan class action telah lebih dulu dikenal dalam sistem hukum Indonesia, maka peneliti lebih menekankan skripsi ini pada studi kasus gugatan class action saja."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dipo Asto Prayoga
"Berlakunya otonomi daerah telah memberikan perubahan yang besar dalam pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan menjadi lebih besar dan lebih mandiri sesuai prakarsa daerahnya masingmasing. Salah satu urusan pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan daerah adalah urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Guna menjalankan urusan tersebut, pemerintahan daerah melakukannya dengan bentuk kebijakan melalui peraturan daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, guna menegakkan peraturan daerah pemerintah daerah dapat menunjuk penyidik selain penyidik pada tindak pidana umumnya. Di DKI Jakarta, peraturan daerah yang mengatur urusan pemerintaha di bidang lalu lintas adalah Perda DKI Jakarta No.12 Tahun 2003. Dalam peraturan daeran tersebut ditunjuk Dinas Perhubungan DKI Jakarta sebagai penyidik yang disebut dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah (PPNS Daerah). Penunjukan Dinas Perhubungan sebagai PPNS Daerah atas peraturan daerah dalam prakteknya menimbulkan permasalahan sebab Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga bertindak sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan UU No. 14 Tahun 1992 dimana kedudukan tersebut bersumber dari penyerahan kewenangan yang dilakukan pemerintahan pusat dalam hal ini Departemen Perhubungan. Oleh karenanya, dalam skripsi ini mencoba membahas bagaimana pelaksanaan kewenangan penyidikan pelanggaran lalu lintas di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta dengan SK Gubernur DKI Jakarta No. 4104 Tahun 2003 sebagai contoh kasus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Nurhidayat
"Paten adalah Paten adalah hak ekslusif yang diberiakn oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya Nama domain adalah pengalamatan dalam internet. Keberadaan-nya merupakan bagian yang penting dari sebuah website. Pada umumnya nama domain yang dipakai adalah nama–nama yang intuitif dengan indentitas si pendaftar. Misalkan nama dagang, merek dagang maupun nama terkenal. Nama domain baru ada ketika didaftarkan oleh pendaftar pada badan pendaftaran nama domain dengan sistem “first come first serve”. Seiring dengan komersialisasi internet, nama domain menjadi sesuatu yang berharga dan memiliki nilai ekonomis. Tidak semua orang sadar dan tanggap akan hal tersebut. Sementara banyak pihak yang memanfaatkan kondisi tersebut diantaranya Cybersquatter, typosquatting dan domain hijacking. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang menggambil keuntungan dari sistem pendaftaran nama domain secara tidak etis. Hal ini menyebabkan timbulnya konflik. Pada saat timbul konflik maka timbul permasalahan yaitu bagaimana penyelesaian konflik tersebut. Selama ini penyelesaian konflik tersebut diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum perdata, arbitrase maupun secara musyawarah. Indonesia, dalam pe-nyelesaian konflik ini, menggunakan hukum pidana sebagai salah satu alternatif penyelesaiannya. Secara teori hal tersebut dimungkinkan. Tinggal mencari pasal-pasal yang tepat. Hal yang menarik dan harus diperhatikan adalah masalah pembuktikan unsur-unsur dari pasal yang digunakan. Kemudian, akan dibahas juga sepintas diskurus mengenai bukti elektronik. Kasus yang dianalisa adalah kasus “mustikaratu. com” yang merupakan kasus konflik nama domain pertama di Indonesia yang penyelesaiannya dimajukan ke depan persidangan dan menggunakan konteks hukum pidana. Aturan yang digunakan dalam menganalisa kasus ini adalah Pasal 382 bis KUHP tentang persaingan curang, Merek, dan sepintas mengenai persaingan usaha."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rachmawati
"Masalah illegal logging adalah masalah yang yang harus dicermati dan diberi perhatian khusus. Selain dampaknya yang luar biasa terhadap lingkungan dan kehidupan manusia dalam jangka panjang, juga keterlibatan pelaku yang sangat banyak. Dampak kerusakan hutan yang terjadi akan menimbulkan kurang tertahannya resapan air tanah oleh pohon-pohon di kawasan hutan sehingga dapat menyebabkan tanah longsor. Dampak lain juga terhadap habitat hutan yang apabila tidak sesuai dengan penggunaannya dapat penghilangkan spesies yang dilindungi. Jika ditinjau dari keterlibatan pelaku, maka yang berkontribusi dalam tindak pidana illegal logging sangatlah banyak, dari penduduk lokal yang menyediakan jasa pemotongan dan pembukaan lahan, penyedia jasa angkutan berupa truk dan kapal sampai indikasi keterlibatan aparat dalam mengeluarkan ijin. Hal itu membuat sulitnya memberantas tindak pidana illegal logging sampai keakar-akarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana hubungan antara penyidik Polri dan penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tindak pidana illegal logging menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini berkaitan dengan fungsi penyidik yang sangat penting dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging. Adanya 2 (dua) aparat yang memiliki kewenangan yang sama dalam melakukan penyidikan membuat adanya kerancuan dalam hal tugas dan kewajiban siapakah untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana illegal logging. Kewenangan khusus yang telah diberikan undang-undang Kehutanan kepada penyidik PPNS ternyata tidak menjadikan penyidik PPNS berperan lebih daripada penyidik Polri. Dalam penanganan proses penyidikan illegal logging, penyidik Polri tetap mendapat porsi besar untuk melakukan penyidikan."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2007
S22419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Kurniawati
"Peradilan sangat diperhatikan oleh berbagai pihak karena bermunculan putusan kontroversial dari hakim. Hakim sendiri berada dalam posisi yang amat sulit sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahkamah Agung, masyarakat, bangsa dan negara, dalam menjatuhkan putusan yang dapat memuaskan rasa keadilan semua pihak. Padahal putusan hakim tersebut belum tentu merupakan hasil kesepakatan mutlak dari seluruh majelis hakim. Namun masyarakat luas tidak mengetahui jika ada perbedaan pendapat antara majelis hakim sehingga muncul kekecewaan terhadap seluruh majelis hakim apabila terdapat putusan yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan. Untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan (justiabelen) inilah disediakan sarana berupa dissenting opinion bagi para hakim untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya dengan majelis hakim lainnya disertai argumentasi yuridisnya dan merupakan kesatuan dengan putusan. Melalui penerapan dissenting opinion ini diharapkan hakim dapat lebih bijaksana dalam memberikan pertimbangan hukum untuk memutus perkara dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberi penilaian secara obyektif terhadap putusan tersebut. Namun, penerapan dissenting opinion dalam sistem hukum Indonesia mengalami hambatan karena baik penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya belum terbiasa dengan prinsip dissenting opinion dan juga dikarenakan masih adanya perasaaan segan pada diri hakim sehingga tidak berani mengungkapkan perbedaan pendapatnya dengan hakim yang lebih senior. Dissenting opinion ini juga sulit diterapkan pada perkara dengan isu tertentu seperti isu SARA dan mengenai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat karena hakim khawatir perbedaan pendapatnya akan menjadi masalah bagi dirinya."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2006
S22358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>