Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Loebby Loqman
"Sampai sejauh ini, Indonesia belum mempunyai Hukum Pidana nasional yang dibuat sendiri. Hukum Pidana yang berlaku sekarang adalah Hukum Pidana peninggalan Pemerintah Hindia Belanda, yakni Hukum Pidana yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai berlaku tahun 1915, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dibentuk tahun 1886 oleh Pemerintah Belanda.
Meskipun tidak disebutkan bahwa KUHP tersebut bersifat kolonial, tidak dapat dihindari bahwa didalamnya masih terdapat pasal yang bersifat kolonial, seperti pasal - pasal tentang perbuatan yang merendahkan atau menghina pemerintah dan sebagainya. Terlebih lagi KUHP tersebut masih dalam bahasa Belanda, sehingga bukan tidak mungkin di dalam penerapannya dapat menimbulkan saling beda pendapat.
Kitab Undang - undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disingkat dengan KUHP) tersebut, diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia dan disesuaikan dengan keadaan Indonesia setelah merdeka oleh Undang-undang No: 1 tahun 1946 junto Undang-undang No: 73 tahun 1958.
Seperti yang dikatakan oleh Soedarto, maka setelah berakhirnya perang dunia kedua, banyak negara, baik yang baru merdeka maupun negara-negara yang sudah ada sebelum perang, berusaha untuk memperbaharui hukumnya.Menurut Soedarto, bagi negara - negara yang baru merdeka, usaha pembaharuan tersebut didasarkan pada alasan-alasan politik, sosiologis maupun praktis.
Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukumnya sendiri yang bersifat nasional, demi kebanggaan nasional. Ditambahkan oleh Muladi, bahwa apabila dikaitkan dengan kondisi nasional Indonesia, tidak hanya menyangkut kebanggaan nasional saja, melainkan tercakup di dalamnya pemikiran integrasi sesuai dengan Wawasan Nusantara.
Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai - nilai kebudayaan suatubangsa, sedangkan alasan praktis antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas negara jajahan mewarisi hukum negara yang menjajahnya dengan Bahasa aslinya, yang kemudian tidak banyak difahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka itu.
Ternyata memang perubahan - perubahan yang dilakukan oleh Undang-undang No. 1 tahun 1946 jo. Undang-undang No. 73 tahun 1958 masih menggunakan Bahasa Belanda, sehingga sering kali menimbulkan penafsiran yang saling berbeda dalam penerapan suatu pasal dalam KUHP.
Indonesia pada saat ini sedang berusaha untuk membentuk hukumnya sendiri, termasuk penyusunan Kitab Undang - undang Hukum Pidana nasional. Telah diketahui bahwa untuk Hukum Acara Pidana telah tersusun di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang dibuat oleh pemerintah kita sendiri?"
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D195
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamba, B. I. T.
"Pada umumnya dokter dalam menjalankan tugas mediknya mempunyai alasan yang mulia, yaitu untuk mempertahankan agar tubuh orang itu tetap sehat atau untuk menyehatkan orang sakit atau setidak tidaknya untuk mengurangi penderitan orang sakit. Oleh karena itu umum berpendapat bahwa perbuatan dokter itu layak untuk mendapat perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Hal ini selanjutnya berarti pula bagi dokter bahwa dalam menjalankan tugas perawatannya, sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan, harus mendapat perlindungan hukum sehingga is tidak akan dituntut. Akan tetapi sampai batas manakah perbuatan dokter itu masih dapat dilindungi oleh hukum inilah yang menjadi masalah yang lebih lanjut akan dibahas dalam disertasi ini. Memang mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan bagi dokter menurut hukum, dalam menjalankan tugas perawatannya, akan menjadi sangat penting bukan sajabagi dokter, tetapi jugs bagi para aparat penegak hukum. Karena kalau hal itu tidak diketahui oleh dokter dalam menjalankan tugas mediknya, maka dokter akan selalu menjadi ragu-ragu dalam menjalankan tugas profesionalnya terutama untuk mengadakan diagnosa penyakit pasien dan memberikan terapi terhadap penyakit yang diderita oleh pasien.
Keraguan bertindak bagi seorang dokter tentulah tidak akan menghasilkan suatu penyelesaian yang balk atau setidak-tidaknya tidak akan menghasilkan suatu penemuan baru dalam ilmu pengobatan atau pelayanan kesehatan. Belum lagi kalau misalnya, seorang dokter dipanggil oleh pejabat penegak hukum guna dimintai keterangan mengenai suatu tindakan yang telah diperbuatnya, yang dianggap oleh penegak hukum tersebut perbuatannya itu telah merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Misalnya, mengapa pasien yang tadinya kelihatannya sehat, tetapi setelah dirawat oleh dokter jadi cacat, atau mengapa pasien meninggal setelah menjalani perawatan oleh dokter. Padahal menurut keterangan famili pasien, sebelumnya keadaan pasien adalah cukup baik. Lebih-lebih lagi kalau masalah dokter itu sampaisampai diperiksa didepan sidang pengadilan, yang sifatnya terbuka untuk umum, dimana banyak orang yang menyaksikan jalannya persidangan. Alga dalam persidangan itu yang hadir memberikan reaksi spontan yang bersifat negatif terhadap sikap dan jawaban yang diberikan oleh dokter yang diperiksa itu, biasanya keadaan yang seperti itu dapat menyebabkan jawaban, sikap dan ucapan dokter itu jadi serba salah dan selanjutnya dalam situasi yang sedemikian itu ia jadi serba salah untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Demikian juga bagi para aparat penegak hukum yang menerima suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter haruslah lebih dahulu sudah mempunyai pandangan atau pengetahuan yang cukup mengenai hukum kesehatan untuk dapat mengatakan bahwa perbuatan dokter yang diadukan itu masih dalam ruang lingkup yang diperbolehkan atau tidak, atau dapat dimaafkan atau tidak oleh hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
D390
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Teuku Amir Hamzah
"ABSTRAK
Pertama-tama disertasi ini menguraikan secara deskriptif dan analitis masalah pengaturan kehamilan sebagaimana diatur dalam pasal 283 dan pasal 534 Kitab Undangundang Hukum Pidana (walaupun disebut sebagai pencegahan kehamilan dalam pasal-pasal itu).
Pasal-pasal tersebut dalam zaman pembangunan seperti sekarang ini tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan dianggap menghambat dalam pengaturan kehamilan yang telah merupakan Program Pemerintah sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara. Garis- garis Besar Haluan Negara sebagaimana ditetapkan dalam TAP MPR Nomor : IV/MPR/1978 dan TAP MPR Nomor : II/MPR / 1983 menyatakan bahwa kebijaksanaan kependudukan yang perlu ditangani antara lain adalah mengenai pengendalian kelahiran. Pengendalian kelahiran dimaksudkan agar pertambahanpenduduk tidak ntelebihi kapasitas produksi yang tersedia, sehingga pemenuhan kebutuhan dapat seimbang dengan daya dukung lingkungan.
Pengaturan kehamilan mencakup pencegahan kehamilan dan pengendalian kelahiran. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk tidak terjadinya kelahiran perlu dilakukan pencegahan kehamilan. Jadi, pengaturan kehamilan adalah mengatur kehamilan agar supaya anak yang dilahirkan sesuai dengan keinginan dan perencanaan keluarga.
Pengaturan kehamilan terutama bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia dan penduduk yang mutlak harus dilaksanakan bagi berhasilnya pembangunan demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan tan dang-undang Dasar 1945.
Selanjutnya disertasi ini menganalisa pula masalah pengguguran kandungan yang diatur dalam pasal - pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 Kitab undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan dengan tegas tanpa melihat alasan apapun bahwa barangsiapa memenuhiunsur-unsur ketentuan-ketentuan tersebut diancam dengan hukuman."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
D37
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Teuku Amir Hamzah
1985
D1096
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library