Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratu Meulya Rezeki
Abstrak :
Latar Belakang: Banyak anak menghabiskan waktunya untuk menonton TV lebih lama daripada aktivitas lainnya termasuk untuk belajar. Akhir-akhir ini banyak media visual baru bermunculan seperti internet dan permainan komputer, sehingga waktu yang dihabiskan anak untuk pemanfaatan media visual menjadi lebih banyak. Penelitian yang mempelajari pengaruh media visual terhadap prestasi akademis masih terbatas, terutama di Indonesia. Kebanyakan penelitian yang ada hanya meneliti satu jenis media visual yaitu TV, dan sebagian besar hanya membahas dari segi waktu yang digunakan tanpa memperhatikan segi jenis acara. Tujuan: Mengetahui pola pemanfaatan media visual murid SMPN 115 Jakarta dan hubungannya dengan prestasi akademis, serta faktor apa saja yang memengaruhi prestasi akademis. Metode: Penelitian bersifat potong lintang analitik dengan pengumpulan data menggunakan survei, kuesioner, dan logbook pada bulan Mei hingga Juli 2012. Subjek penelitian adalah 129 murid kelas VII SMPN 115 Jakarta yang dipilih secara consecutive sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mencari faktor yang berhubungan dengan prestasi akademis dengan cara uji kai kuadrat (analisis bivariat) dan uji regresi logistik (analisis multivariat). Hasil: Prevalensi murid SMPN 115 Jakarta yang memanfaatkan media visual selama >2 jam per hari adalah 39,5% pada hari kerja dan 64,3% pada hari libur. Prevalensi murid SMPN 115 Jakarta yang memanfaatkan media visual tidak sesuai dengan usianya adalah 69% pada hari kerja dan 63,6% pada hari libur. Lama pemanfaatan jenis acara media visual pada hari kerja maupun hari libur, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pendapatan per kapita, struktur keluarga, dan pendidikan di luar sekolah tidak memengaruhi prestasi akademis. Faktor yang secara statistik bermakna memengaruhi prestasi akademis murid SMPN 115 Jakarta adalah jenis kelamin (nilai RO 3,264 (IK95% 1,38-7,74; p=0,007)), nilai IQ (nilai RO 4,634 (IK95% 1,66-12,90; p=0,003) untuk perbandingan nilai IQ rata-rata dan superior, nilai RO 5,452 (IK95% 1,51-19,64; p=0,009) untuk perbandingan nilai IQ rata-rata dan sangat superior), motivasi berprestasi dan strategi belajar (nilai RO 4,089 (IK95% 1,14-14,70; p=0,031) untuk perbandingan motivasi rendah dan sedang, nilai RO 61,104 (IK95% 7,42-502,95; p<0,001) untuk perbandingan motivasi rendah dan tinggi), masalah emosi dan perilaku (nilai RO 0,45 (IK95% 0,37-0,54; p=0,01)), serta pola asuh orangtua (nilai RO 0,45 (IK95% 0,37-0,55; p=0,022)). Simpulan: Tidak ada hubungan antara media visual dengan prestasi akademis murid SMPN 115 Jakarta. Faktor yang memengaruhi prestasi akademis murid SMPN 115 Jakarta adalah jenis kelamin, nilai IQ, motivasi berprestasi dan strategi belajar, masalah emosi dan perilaku, serta pola asuh orangtua. ......Background: Many children spend their time watching TV longer than any other activity, including learning. Lately, many emerging screen media such as the internet and computer games due to which the time spent on the child to use screen media is increasing. Study about the impact of screen media on academic performance is still limited, especially in Indonesia. Majority of existing study examined only one type of screen media, ie. TV, and mostly just discussed in terms of the time spent, regardless of the content. Objective: The primary objective was to investigate the pattern of screen media usage by students in junior high school 115 Jakarta and its association with their academic performance. The secondary objective was to reveal factors affecting student's school performance. Method: An analytic cross sectional study using survey, questionnaires, and 12 days logbook, was conducted from May to July 2012. Subjects were 129 grade VII students in junior high school 115 Jakarta and were selected by consecutive sampling. Chi square test and multivariant analyses with logistic regression calculation were used to analyze subjects. Result: The prevalence of subjects using screen media for >2 hours per day were 39.5% in weekday and 64.3% in weekend. The prevalence of subjects using screen media not in accordance with their age was 69% in weekday and 63.6% in weekend. Screen media content and usage period in weekday and weekend, mother's education level, mother's occupation, family income, and out of school education have less impacts on academic performance. Factors that statistically have significance on affecting subjects' academic performance were sex (OR 3,26 (CI95% 1,38-7,74; p=0,007)), IQ grade (OR 4,63 (CI95% 1,66-12,9; p=0,003) as a comparison between average and superior IQ, OR 5,45 (CI95% 1,51-19,64; p=0,009) as a comparison between average and highly superior IQ), achievement motivation and learning strategy (OR 4,09 (CI95% 1,14-14,7; p=0,031) as a comparison between low and intermediate motivation, OR 61,1 (CI95% 7,42-502,95; p<0,001) as a comparison between low and high motivation), emotional and behavioral problem (OR 0,45 (CI95% 0,37-0,54; p=0,01)), and parenting style (OR 0,45 (CI95% 0,37-0,55; p=0,022)). Conclusion: There is no association between screen media usage and academic performance of students in junior high school 115 Jakarta. Factors that influence academic performance of students in junior high school 115 Jakarta are sex, IQ grade, achievement motivation and learning strategy, emotional and behavioral problem, and parenting style.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Waspada
Abstrak :
Latar Belakang. Cairan rehidrasi oral dan zinc telah menjadi terapi standar dalam tata laksana diare akut pada anak. Probiotik sudah digunakan secara luas pada kasus diare akut pada anak meskipun belum direkomendasikan oleh WHO. Penelitian yang membandingkan penambahan probiotik pada terapi standar masih sangat terbatas. Tujuan. Mengetahui efektivitas pemberian suplementasi probiotik pada terapi standar diare akut. Metode. Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada anak usia 6 bulan sampai 36 bulan dengan diare akut tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan sedang, yang dilakukan di kelurahan Kenari, Jakarta Pusat antara bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012. Kelompok perlakuan diberikan terapi standar ditambah probiotik Lactobacillus rhamnosus R0011 1.9 x 109 cfu dan Lactobacillus acidophilus R0052 0.1 x 109 cfu, sedangkan kelompok kontrol diberikan terapi standar dan plasebo. Luaran yang dinilai adalah durasi diare dan frekuensi defekasi. Penelitian ini bersifat intention to treat analysis. Hasil. Total 112 subjek masuk dalam penelitian, terdiri dari 56 subjek mendapat terapi standar ditambah probiotik, dan 56 subjek hanya terapi standar. Median lama durasi diare setelah terapi pada kelompok perlakuan yaitu 68,5 jam sedangkan pada kelompok kontrol 61,5 jam (p=0,596). Median frekuensi defekasi pada kelompok perlakuan yaitu 5 kali, sedangkan pada kelompok kontrol 5,5 kali (p=0,795). Simpulan. Pada penelitian ini tidak ditemukan penurunan durasi diare dengan penambahan probiotik pada terapi standar. Meskipun kelompok perlakuan memiliki frekuensi defekasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun perbedaan tersebut tidak bermakna.
Background. Oral rehydration solution and zinc have been used as standard therapy for treating acute diarrhea in children. Probiotics are widely used in treatment of acute diarrhea in children, although it has not been recommended by WHO. Studies comparing supplementation of probiotics to standard therapy are still limited. Objectives. To know the efficacy of probiotic supplementation to standard therapy in acute diarrhea. Methods. A randomized double blind clinical trial was performed in children aged 6-36 months with acute diarrhea without dehydration or mild to moderate dehydration in Kenari sub district, central Jakarta, between October 2011 until Februari 2012. Supplemented group was given standard therapy and probiotics Lactobacillus rhamnosus R0011 1.9 x 109 cfu and Lactobacillus acidophilus R0052 0.1 x 109 cfu, while control group was given standard therapy and placebo. The outcomes were duration of diarrhea and frequency of defecation. Stool frequency was recorded daily until resolution of diarrhea. The analysis was based on intention to treat. Results. A total of 112 subjects were included in the study, consisted of 56 subjects in supplemented group and 56 subjects in control group. Median duration of diarrhea in supplemented group was 68,5 hours while in the control group was 61,5 hours (p=0,596). Median frequency of defecation in supplemented group was 5 times, while in the control group was 5,5 times (p=0,795). Conclusion. This study did not find shorter duration of diarrhea with supplementation of probiotics to standard therapy. Although supplemented group had lower frequency of defecation compared to control group, the difference was not significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31682
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suliantini
Abstrak :
Dengan makin berkembangnya rumah sakit, baik dari segi kualitas maupun kuantitas pelayanan, maka kesiapan pengadaan obat dan alat kesehatan habis pakai merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan pengobatan. Perencanaan pengelolaan sediaan farmasi perlu dibentuk dengan baik. Oleh karena penggunaan sediaan barang farmasi oleh pasien rawat inap memerlukan biaya yang tinggi, dianggap perlu adanya sistem yang tepat dan berorientasi pada kepentingan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan sistem pengelolaan obat dan alat kesehatan habis pakai untuk pasien rawat inap di PKS RSCM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan barang farmasi di PKS RSCM sudah dapat dilaksanakan secara tertib dan lancar, meskipun ditemukan adanya keterbatasan tenaga pelaksana dan sarana kerja, belum adanya standar prosedur secara tertulis, serta belum dibentuknya sistem informasi yang baik. Disimpulkan bahwa dalam pengelolaan obat dan alat kesehatan habis pakai pasien rawat inap di PKS RSCM, peningkatan proses fungsi logistik dan administrasi tergantung pada pengembangan komponen input. Upaya peningkatan yang disarankan meliputi : penambahan satu orang tenaga pelaksana kegiatan administrasi, penyediaan dua buah ruang khusus untuk depo farmasi, penyediaan perangkat komputer untuk pengolah data, pembentukan prosedur kerja tertulis untuk tiap bentuk kegiatan dalam pengelolaan barang farmasi, serta pembentukan sistem informasi yang lebih baik. Diharapkan dengan perbaikan bentuk struktur organisasi PKS RSCM, akan jelas menunjukkan wewenang-tanggungjawab tiap bagian yang ada di PKS; dan pembentukan sistem kerja yang baik, penambahan satu tenaga pelaksana bagian keuangan serta penggunaan sarana komputer, dapat meminimalkan terjadinya 'bad debt'.
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardita Puspitadewi
Abstrak :
Latar Belakang. Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan global. Prevalens obesitas berbeda di setiap negara dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pola hidup dan aktivitas fisik. Resistensi insulin (RI) sebagai dasar utama kelainan metabolik pada obesitas merupakan dasar terjadinya sindrom metabolik (SM) serta komplikasi jangka panjang seperti diabetes melitus (DM) tipe 2 dan penyakit kardiovaskular (PKV). Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya RI seperti jenis kelamin dan riwayat penyakit dalam keluarga, serta petanda akantosis nigrikan (AN) yang merupakan faktor prediktor RI. Tujuan. Mengetahui prevalens RI pada remaja obes serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti jenis kelamin, AN, dan riwayat penyakit dalam keluarga. Selain itu juga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens dan karakteristik remaja dengan SM. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada remaja obes berusia 12-15 tahun di SMP di Jakarta Pusat selama periode Mei-Juni 2012. Dilakukan pemeriksaan darah berupa glukosa puasa, insulin puasa, serta profil lipid. Kriteria obesitas menggunakan IMT ≥P95 berdasarkan usia dan jenis kelamin, definisi RI berdasarkan indeks HOMA-IR ≥3,8 dan diagnosis SM berdasarkan kriteria IDF 2007. Hasil. Sebanyak 92 remaja obes diikutsertakan dalam penelitian. Resistensi insulin terjadi pada 38% subyek, dengan mayoritas perempuan (57,2%), mempunyai AN (71,4%), dan riwayat keluarga (82,8%), seperti obesitas, DM tipe 2, dan hipertensi. Sebanyak 8,6% remaja mengalami prediabetes, namun tidak ditemukan DM tipe 2. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis kelamin, riwayat keluarga, dan AN dengan RI (p>0,05). Angka kejadian SM ditemukan sebesar 19,6% dengan mayoritas perempuan (61,1%), serta adanya riwayat obesitas dalam keluarga. Prevalens komponen SM yaitu hipertensi 34,8%, obesitas sentral 78,3%, glukosa puasa terganggu 8,7%, rendahnya kadar HDL 22,8%, dan tingginya kadar trigliserida 21,7%. Ditemukan adanya korelasi positif antara RI dan glukosa puasa terganggu (p=0,04). Simpulan. Resistensi insulin pada remaja obes ditemukan sebesar 38%, dan tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin, AN, dan riwayat keluarga dengan RI. Sindrom metabolik terdapat pada 19,6% remaja dengan mayoritas perempuan, menderita hipertensi, serta adanya riwayat obesitas dalam keluarga.
Background. Childhood obesity is a global health problem. The prevalence of childhood obesity is differed in each country and this is affected by many factors, such as lifestyle and physical activity. Insulin resistance (IR) as a basic mechanism of several metabolic diseases in obesity, is also a basic of metabolic syndrome with its long term complications, such as type 2 diabetes mellitus (T2DM) and coronary heart disease (CHD). Several factors are known to be associated with IR, such as gender and family history of metabolic diseases, and the presence of acanthosis nigricans (AN)is known as a predicting factor of IR. Objectives. To know the prevalence of IR in obese adolescents and the affecting factors, such as gender, signs of AN, and family history of metabolic diseases. Moreover, to know the prevalence and characteristics of obese adolescents with metabolic syndrome (MetS). Methods. This was a cross-sectional study performed in obese adolescents, aged 12-15 years old, in several junior high schools in Central Jakarta, from May to June 2012. Blood examination was performed, including blood fasting glucose, blood fasting insulin, and lipid profile. Body mass index with the percentile ≥95 according to age and gender was used for obesity criteria; HOMA-IR ≥3.8 was used to define IR; and IDF criteria 2007 for MetS diagnosis. Results. Of 92 obese adolescents in this study, IR was found in 38% subjects, with female predominant (57.2%), had signs of AN (71.4%), and a positive family history of metabolic diseases (82.8%), such as obesity, T2DM, and hypertension. Less than 10% adolescents suffered from prediabetes state as measured with impaired fasting glucose (IFG), but none type 2 DM. There was no statistical significant found between gender, family history, sign of AN and IR (p>0.05). The incidence of MetS was 19.6% with female predominant (61.1%), and had a family history of obesity. The prevalence of each components of MetS was 34.8% for hypertension, 78.3% for central obesity, 8.7% for IFG, 22.8% for low levels of HDL, and 21.7% for high triglyceride level. There was a strong correlation found between IR and IFG (p=0.04). Conclusion. Insulin resistance has a prevalence of 38% in obese adolescent in this study, with no association found between gender, AN, family history and IR. Metabolic syndrome is found in 19.6% with the majority are females, suffered from hypertension, and having obesity in family history.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hayati
Abstrak :
Latar Belakang: Air susu ibu merupakan nutrisi ideal untuk bayi yang direkomendasikan untuk diberikan secara eksklusif hingga usia 4-6 bulan. Air susu ibu mengandung zat bioaktif yang dapat mempercepat proses maturasi dan menjaga integritas mukosa usus. Pemeriksaan yang bersifat mudah, cepat, non-invasif dan terpercaya untuk menilai integritas mukosa usus yaitu alfa-1 antitripsin (AAT), calprotectin, dan IgA sekretorik (sIgA) feses. Tujuan: Mengetahui perbedaan integritas mukosa usus dengan mengukur kadar AAT, calprotectin dan sIgA feses pada subjek bayi ASI dan susu formula eksklusif (SF) dan mengetahui hubungan antara jenis asupan nutrisi dengan integritas mukosa usus bayi pada usia 4-6 bulan. Metode: Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2013. Subjek penelitian adalah bayi sehat berusia 4-6 bulan yang datang ke poliklinik anak RS St Carolus Jakarta dan yang bertempat tinggal di Kecamatan Pasar Minggu dan Cempaka Putih Jakarta. Kadar AAT, calprotectin, dan sIgA feses diukur menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik dilakukan untuk mencari hubungan pemberian ASI eksklusif dengan integritas mukosa usus dengan uji Kai kuadrat atau Fisher (analisis bivariat). Hasil: Penelitian dilakukan pada 80 subjek (ASI n=40, SF n=40). Tidak didapatkan perbedaan karakteristik yang bermakna pada kedua kelompok. Kelompok ASI memiliki nilai rerata kadar AAT feses yang lebih tinggi secara bermakna (p=0,02). Kelompok SF memiliki kadar calprotectin yang lebih tinggi namun tidak berbeda bermakna (p=0,443) dibanding dengan bayi ASI. Kelompok ASI memiliki median kadar sIgA yang lebih tinggi secara tidak signifikan (p=0,104) dibandingkan dengan bayi SF. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian nutrisi dengan peningkatan kadar AAT feses bayi ASI. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis asupan nutrisi dengan penurunan kadar calprotectin (p=0,65) dan peningkatan kadar sIgA feses (p=0,26). Simpulan: Bayi ASI eksklusif menunjukkan integritas mukosa usus yang lebih baik dari bayi SF eksklusif. Kadar AAT lebih tinggi secara signifikan pada bayi ASI eksklusif diduga berkaitan dengan AAT yang diperoleh dari ASI. ......Background: Breastmilk is recognised for its ideal nutritional benefits for babies and has been recommended to be given exclusively for 6 months of life. Breastmilk also known to have bioactive substances that could modulates the gastrointestinal maturation and maintain its mucosal integrity. Markers that are easy, non-invasive and reliable like fecal alpha-1 antitrypsin (AAT), calprotectin, and secretoric imunoglobulin A (sIgA) have been known as marker to asses gut wall integrity. Objective: To determine the difference of gut wall integrity based on fecal AAT, calprotectin, and sIg A level of exclusive breastmilk (BF) and formula feeding (FF) infant at 4-6 month of age. To determine the correlation between feeding type with gut wall integrity. Methods: The study was conducted from June to Oktober 2013. Subjects were babies of 4-6 months old who came to pediatric policlinic at St Carolus hospital, and live in Kecamatan Pasar Minggu and Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta. The fecal markers analized with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) methode. Chi square and Fischer test were used to analyze the correlation between feeding type and gut wall integrity (bivariate analysis). Results: There were 80 babies recruited (BF=40, FF=40). There were no statisticaly difference between the characteristics of two groups. The BF group showed higher fecal AAT level compared to FF group (p=0,02). The FF group showed a higher fecal calprotectin and the BF group had a higher level of fecal sIgA compared to BF group but not statisticaly different (p=0,443, p=0,104). There was significant correlation between fecal AAT level of babies with breastmilk feeding (p=0,02). There were no significant correlation between fecal calprotectin (p=0,65) and sIgA level with the feeding type (p=0,26). Conclusion: The BF babies had better mucosal integrity compared to FF babies. The fecal AAT level were significantly higher in breastmilk feeding babies and related with AAT from breastmilk.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunilasari
Abstrak :
Latar Belakang: Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko kejadian penyakit kardiovaskular. Hipertensi pada remaja dapat terus berlanjut pada usia dewasa dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Faktor risiko hipertensi pada remaja multifaktorial. Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor yang memengaruhi kejadian hipertensi pada remaja siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta Pusat. Metode: Studi potong lintang pada 313 anak usia 12-18 tahun siswa SMP. Data riwayat hipertensi dalam keluarga, ras/suku, berat lahir, aktifitas fisis, merokok dan konsumsi alkohol diperoleh dari kuesioner. Pada subjek penelitian juga dilakukan pemeriksaan berat badan, tinggi badan dan tekanan darah. Kriteria hipertensi berdasarkan The Fourth Report of National High Blood Pressure Education Programme Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescent. Hasil: Di antara 313 remaja dengan rerata usia 13,97±1,02 tahun, prevalens hipertensi adalah sebesar 9,6%. Pada analisis bivariat didapatkan hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi dalam keluarga (ayah hipertensi; p = 0,012, IK 95% = 1,20-6,02) dan berat badan lebih/obesitas (p<0,001; IK 95% = 2,99-14,42) dengan hipertensi. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa berat badan lebih/obesitas mempunyai risiko enam kali mengalami hipertensi dibandingkan remaja dengan berat badan normal. (OR = 6,5; IK 95% = 2,99-14,43). Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin, berat lahir rendah, ras/suku, aktivitas fisis, dan merokok dengan hipertensi. Simpulan: Prevalens hipertensi pada remaja dalam penelitian ini cukup tinggi. Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi dalam keluarga dan berat badan lebih/obesitas dengan hipertensi. Pencegahan berat badan lebih atau obesitas diharapkandapat menurunkan prevalens hipertensi pada remaja. ...... Background: Hypertension in adolescent has been often associated with other cardiovascular risk factors. Contributing factors of hypertension in adolescent are multifactorial. Objectives: To determine the prevalence of hypertension in Junior High School adolescents in Central Jakarta and its potentially associated factors, such as gender, family history of hypertension, race/ethnic, low birth weight, overweight/obesity, physical activity, smoking, and alcohol consumption. Methods: A cross sectional study involved 313 children aged 12-18 years, where were randomly selected from Junior High Schools in Central Jakarta, during March ? May 2014. Information about family history, race/ethnic, birth weight, physical activity levels, smoking and consumption of alcohol was gathered by questionnaire. Body weigth, heigth and blood pressure were measured. Hypertension was defined according to The Fourth Report of National High Blood Pressure Education Programme Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescent. Results: The study included 313 adolescents with mean age 13.97±1.02 years. Prevalence of hypertension was 9.6%. Bivariate analysis showed that family history of hypertension (parental hypertension; p = 0.012; CI 95% = 1.20-6.02) and overweight/obesity (p<0.001; CI 95% = 2.99-14.42) were significantly associated with hypertension. The multivariate analysis indicated that overweight/obese adolescents displayed six times more chance of having hypertension than adolescents with light/normal weight (OR = 6.5; CI 95% = 2.99-14.43). Gender, low birth weight, race/ethnic, physical activity, and smoking were not significantly associated with hypertension. Conclusions: The prevalence of hypertension in the sample studied was high. Overweight/obesity and family history of hypertension were significantly associated with hypertension. The prevention of overweight and obesity can decrease the prevalence of hypertension.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sawitri Dhewi
Abstrak :
Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit respiratori kronik utama dengan prevalens yang semakin meningkat di seluruh dunia. Pada anak, masalah health-related quality of life (HRQL) antara lain gangguan belajar, ketidakmampuan bergaul dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Penting untuk mengenali dan menatalaksana RA pada anak sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Tujuan: (1) Mendapatkan karakteristik pasien RA di RSCM. (2) Mengetahui kualitas hidup dan faktor-faktor yang berhubungan pada pasien RA. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 92 anak RA usia 6-17 tahun yang datang ke Klinik Alergi Imunologi Departemen IKA dan THT-KL RSCM, sejak bulan Mei hingga Agustus 2015. Penelitian menggunakan Pediatric Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (PRQLQ) dan Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (ARQLQ) untuk menilai HRQL. Hasil: Proporsi pasien rinitis alergi di RSCM pada anak (6-11 tahun) sebesar 45,7% dan remaja (12-17 tahun) sebesar 54,3% dengan jenis terbanyak pada kedua kelompok tersebut adalah rinitis alergi persisten sedang-berat (39,1%). Rerata skor total kualitas hidup RA anak 1,5 (SB 1,16) dan RA remaja 1,9 (SB 1,28). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah gejala klinis (p = 0,031 pada anak; dan 0,014 pada remaja) dan respons klinis (p = 0,000). Pada analisis multivariat, faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah respons klinis (p = 0,000). Simpulan: Proporsi pasien rinitis alergi di RSCM pada anak lebih sedikit dibanding remaja, dengan jenis terbanyak adalah rinitis alergi persisten sedangberat. Kualitas hidup pada pasien rinitis alergi usia anak lebih baik dibanding remaja dan faktor yang paling berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah respons klinis.
Background: Allergic rhinitis is a major chronic respiratory disease in children, its prevalence is increasing in the world. In children, health-related quality of life (HRQL) issues include learning impairment, inability to integrate with peers, anxiety, and family dysfunction. It is important to recognize and treat AR in children to enhance quality of life. Objectives: (1) To identify the characteristics of AR in children patients at Cipto Mangunkusumo Hospital. (2) To measure quality of life in children with AR and to assess the correlation of contributing factors. Methods: A cross-sectional study was performed among 92 children with AR age 6-to-17-year-old visiting Allergy Immunology Outpatient Clinic Departement of Pediatric and ENT at Cipto Mangunkusumo Hospital from May to August 2015. The Pediatric Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (PRQLQ) and Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (ARQLQ) was used to assess HRQL. Results: The proportion of allergic rhinitis in CM Hospital in children (6-to-12-year-old) and 54.3% in adolescents (12-to-17-year-old) with the most type was the moderate-severe persistent group (39,1%). The mean quality of life score was 1.5 (SD 1.16) in children and 1.9 (SD 1.28) in adolescents. The correlated factors were clinical symptom (p = 0.031 in children; and 0.014 in adolescents) and clinical response (p = 0.000). A multivariate study, the most correlated factor was clinical response (p = 0.000). Conclusions: The proportion of allergic rhinitis in CM Hospital in children was less than that in adolescents with the most type was the moderate-severe persistent group. Quality of life in children with allergic rhinitis was better than adolescents and the most correlated factors was clinical response.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanya Ayu Paramastri
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Infeksi saluran kemih ISK berulang adalah ISK yang timbul kembali pasca pengobatan, dengan kejadian 40-50 dari ISK pertama. Kekerapan berulangnya ISK meningkatkan komplikasi gagal ginjal kronik. Salah satu faktor penyebab adalah kolonisasi bakteri patogen feses dari saluran cerna di daerah periuretra. Bakteri saluran cerna terdiri dari 3 kelompok, bakteri patogen, komensal dan bakteri menguntungkan. Penelitian membuktikan disbiosis antara bakteri patogen dan menguntungkan berkaitan dengan kejadian penyakit sistemik, namun belum ada penelitian tentang pengaruh hal tersebut pada ISK berulang.Tujuan : Mengetahui kondisi disbiosis yaitu perbedaan proporsi Escherichia coli dan Bifidobacterium sp. saluran cerna pada anak ISK berulang.Metode : Penelitian uji potong lintang pada anak ISK berulang usia 6 bulan sampai dengan
ABSTRACT
Background Recurrent urinary tract infection UTIr is repeated UTI post antibiotic treatment, with recurrency is 40 50 from the first infection. Recurrency of UTI increases possibility of chronic renal failure as complication. One of the causal factors is colonization of faecal pathogens from gastrointestinal tract in periurethra. Gastrointestinal tract bacteria is divided into 3 groups pathogens, comensal, and beneficial bacteria. Studies proved that imbalance of condition or dysbiosis between pathogens and beneficial bacteria lead to systemic diseases, but there were no studies in UTIr.Objective To know about dysbiosis condition based on proportion differences between gastrointestinal Escherichia coli and Bifidobacterium sp. in UTIr.Methods A cross sectional studies with children with UTIr, aged 6 months old until 18 years old, in Pediatric Departement Cipto Mangunkusumo Hospital as a subject. Healty child which had been matched by sex and age was choosen as a control group. Faecal samples from both groups underwent DNA extractions, using real time PCR method, to look for Escherichia coli and Bifidobacterium sp. amount and proportions.Results There was a total of 25 subjects, 8 32 were classifed as simplex UTI and 17 68 were complex UTI, also 25 healthy children as control. The total amount of Escherichia coli in UTIr compared to control was 1.099.271 vs 453.181 p 0,240. The total amount of Bifidobacterium sp. in UTIr compared to control was 1.091.647 vs 359.336 p 0,148. Escherechia coli proportion in UTIr compared to control was 10,97 vs 4,74 p 0,014 that shown a significant different, while Bifidobacterium sp. 6,54 vs 9,33 p 0,594. In UTIr group, proportion differences beetwen Escherichia coli and Bifidobacterium sp. was 10,97 vs 6,54 p 0,819, while in control group 4,74 vs 9,33 p 0,021 which showed that Bifidobacterium sp. has a significant different. The total amount of Escherichia coli in simplex compared to complex UTIr was 996.004 vs 1.099.271 p 0,798, while amount of Bifidobacterium sp. 835.921 vs 1.196.991 p 0,711. Logarithm of Escherichia coli proportion in simplex and complex UTIr was 5,50 SB 1,45 vs 5,92 SB 0,71 p 0,333, while Bifidobacterium sp. 5,85 SB 0,75 vs 6,04 SB 5,50 p 0,562 showed no significant differences.Conclusions Escherchia coli proportion was higher in UTIr children and Bifidobacterium sp. proportion was higher in healthy children. The proportion of both bacteria was equal in simplex and complex UTIr.
[Jakarta, ]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Sunardi
Abstrak :
Tujuan: Mengoptimalkan tumbuh kembang anak dengan mengetahui hubungan antara pola pemberian ASI dan MP·ASI dengan stunting pada bayi usia 6-12 bulan dan mengkatkan kadar seng serum bayi usia 6-12 bulan. Metode : Penelitian ini menggunakan desain nested case control. Subyek penelitian adalah bayi stunting dan tidak stunting. Hasil: Jumlah subyek 90 bayi usia 6-12 bulan, 30 kasus, 60 kontrol. Kelompok kasus diambil secara purposive, sedangkan kelompok kontrol adalab bayi tidak stunting dengan matching jenis kelamin dan usia dalam rasio satu banding dua yang diambil acak sederhana. Subyek terdiri atas 45 bayi perempuan dan 45 bayi Iaki-laki. Sebagian besar (73,3%) subyek berusu.9-12 bulan. Berat badan lahir <-1 SD ditemukan pada 24,4% subyek dan panjang badan lahir <-1 SD pada 15,9% subyek (n= 44). Responden, yaitu ibu subyek, sebagian besar (87,8%) berusia antara 17-'15 lahun dan 58,9"10 berpendidikan rendah. Hampir seluruh subyek (96,7%) mendapat asupan seng di bawah AKG 2004. Pada penelitian ini didapatkan BB lahir <-1 SD merupakan faktor risiko yang bennakna (OR =1,51; P < 0,001) Untuk stunting. Uji statistik menuujukkan pola pemberian ASI dan MP-ASI kalegori tidak baik meningkatkan risiko stunting (OR = 1,122; 95% CI 0,351-3,581), walaupun seeara statistik tidak bermakna. Dengan analisis tambahan didapatkan tidak dilanjutkanya ASI setelah mendapat MP-ASI merupakan faktor risiko bermakna Untuk stunting (p ~0,039; OR 5,8). Rerata kadar seng serum bayi stunting 12,4 ± 1,7 umoL, yaitu termasuk dalam rentang marjinaI (10,7-<13 umol/L). Sebanyak 56,1% subyek stunting mempunyai kadar seng serum di bawah niIai normal (13 umol/L) dan 20% mempunyai kadar seng serum rendah «10,7 umol/L). Uji kore1asi menunjukan tidak ada hubungan antara kadar seng serum dengan asupan seng dan panjang badan untuk usia. Kesimpulan: Pola pemberian ASI dan MP-ASI kategori tidak baik meningkatkan risiko stunting. Rerata kadar seng serum bayi stunting pada peneitian ini berada dalam rentang marjinal. ......Objective: Aim of the study was to optimize child grosth by investigating the relationship between breastfeeding and complementary feeding practice and stunting among 6-12 mo infants, and to examine the zinc status of 6-12 months old stunted infants. Method : A "nested" case-control design was used in this study. Subjects were stunted and nonstunted infants. Results : A total of90 subjects of 6-12 mo infants in Tangerang participated in this study (30 cases and 60 _Is). Purposive sampling was used to obtain cases, while simple random sampling was used among matched controls (by gender and age). Gender were equally distributed in both groups. Mostof1he subjects (733%) were between 9-12 mo. Birth weight <-1 SD were found in 24.4% and length (n = 44) <-I SO in 15.9% subjects. Respondents, the subjects'mothers; mostly (87.8%) were between 17-35 yr and 58.9% were low educated.. Almost all (96.7%) subjects had zinc intake below Indonesian RDA 2004. This study demonstrated that birth weight <-1 SD was a significance risk factor (p<0.001; OR = 7.57) fur stunting. Statistical analysis showed that inappropriate breastfeeding and complementary feeding practice increased 1he risk fur stunting (OR= 1.122; 95% Cl 0351-3587), although statistically not significant. Further analysis showed that not continuing breastfeeding was a significant risk further for stunting (OR = 5.8 and p = 0.039). Mean serum zinc levels of 1he stunted subjects was 12.4 ± 1.7 umol/L (marginal levels 10.7-<13 pmollL). Serum zinc levels of 56.7% stunted subjects were under be normal levels (13 umol/L) and 20% hail low serum zinc levels <10.7 umol/L). Serum zinc levels did not show relationship with zinc in lake and height for age Z-score. Conclusion : inappropriate feeding practice increased 1he risk for stunting. Mean serum zinc levels of stunted subjects in this study were in marginal range.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32010
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Aini
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Deteksi dini aterogenesis diperlukan untuk mencari faktor risiko gangguan kardiovaskular pada neonatus.Tujuan: 1 mengetahui sebaran nilai ketebalan tunika-intima aorta abdominalis aIMT pada bayi baru lahir; 2 mengetahui hubungan antara status nutrisi maternal dan berat lahir bayi terhadap aIMT bayi baru lahir.Metode: Penelitian potong lintang pada 86 bayi usi 2-3 kali nilai aIMT menggunakan ultrasonografi vaskular bertransduser linear 13 MHz dengan piranti lunak automatis, kemudian diambil nilai reratanya. Rerata aIMT kemudian dihubungkan dengan indeks massa tubuh ibu trimester pertama kehamilan dan berat lahir.Hasil: Rerata aIMT bayi baru lahir di Unit Perinatologi RSCM adalah 0,621 mm 0,110 mm. Tidak ditemukan korelasi antara indeks massa tubuh ibu trimester pertama kehamilan dengan aIMT bayi r = 0,137, p = 0,207 . Tidak ditemukan korelasi antara berat lahir bayi dengan aIMT bayi r = 0,036, p = 0,742 .Simpulan: Rerata aIMT bayi baru lahir di Unit Perinatologi RSCM adalah 0,621 mm 0,110 mm. Tidak didapatkan korelasi antara indeks massa tubuh ibu maupun berat lahir bayi terhadap aIMT bayi baru lahir. Deteksi dini risiko kardiovaskular pada neonatus melalui aIMT belum perlu dilakukan dalam praktik sehari-hari.Kata kunci: nutrisi maternal, risiko kardiovaskular, ketebalan tunika intima-media aorta
ABSTRACT
Background Early detection of atherogenesis is needed to evaluate cardiovascular risk factors in newborns.Aim 1 knowing aortic intima media thickness aIMT distribution value in newborns 2 evaluate correlation between maternal nutritional status and birth weight to newborn aIMT.Method A cross sectional study was performed in 86 newborns, aged 0 7 days, with median gestational age of 35 weeks. All aIMT subjects were measured using a 13 MHz linear transducer vascular ultrasound with automatic software. Mean aIMT then correlated with first trimester maternal body mass index and birth weight.Results Newborn mean aIMT in Perinatology division Cipto Mangunkusumo Hospital was 0,621 mm SD 0,110 mm . There was no significant correlation between first trimester maternal body mass index and newborns aIMT r 0,137, p 0,207 . There was no significant correlation between birth weight and newborns aIMT r 0,036, p 0,742 .Conclusions Newborn mean aIMT in Perinatology division Cipto Mangunkusumo Hospital was 0,621 mm SD 0,110 mm . There were no correlations between first trimester maternal body mass index and birth weight to newborns aIMT. Early detection of atherogenesis in newborns through aIMT measurement were not recommended for daily practice yet.Keywords Maternal nutrition, newborns cardiovascular risks, aortic intima media thickness
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>