Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hisar Daniel
Abstrak :
Azitromisin, terapi alternatif dari terapi triplet standar yang memiliki berbagai efek samping, belum diketahui pasti apakah konsentrasi intraokular sudah cukup untuk mencegah replikasi maupun eradikasi toksoplasmosis. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kadar azitromisin pada darah vena, vitreus, dan koroid/retina hewan coba kelinci pasca pemberian azitromisin oral setara dosis manusia. Sebanyak masing-masing empat kelinci albino New Zealand White diberikan tiga regimen perlakuan pada penelitian utama: pemberian azitromisin 26mg/kgBB setara dengan azitromisin 500 mg dosis manusia pada kelompok I setiap hari, 26mg/kgBB setiap dua hari, dan 50 mg/kgBB kgBB setara dengan azitromisin 1000 mg dosis manusia 1 kali dalam 1 minggu selama 2 minggu pemantauan. Preparat retina, koroid dan vitreous diperiksa dengan kromatografi cair ndash; spektrometri massa untuk menentukan kadar azitromisin. Rasio Kmaks/KHM berada jauh diatas batas peningkatan yang menjadi kriteria antibiotik concentration dependent Kmaks/KHM > 10 kali . Kelompok pertama, kedua dan ketiga meningkat lebih dari 100, 74 dan 79 kali, berturut-turut. Rerata kadar azitromisin di vitreus tetap lebih tinggi dari pada KHM pada kelompok 1 68,15 42,95 ng/ml dan kelompok 2 7,73 2,31 ng/ml .
Azithromicyn, an alternative for standard triplet therapy which the later has deleterious side effects, is not precisely known whether intraocular concentration is sufficient to halt replication and promote toxoplasmosis eradication. This study aimed to evaluate azithromicyn level in venous blood, vitreous, and choroid/retinal tissues in rabbits after oral azithromicyn administration equivalent to human doses. Four New Zealand albino rabbits each were given one of the following treatments: administration of azithromycin 26mg / kgBW equivalent to azithromycin 500 mg human dose daily group 1 , 26mg / kgBB every two days group 2 and 50 mg / kgBB kgBB equivalent to azithromycin 1000 mg human dose 1 time in 1 week group 3 for 2 weeks of monitoring. Retinal, choroid and vitreous preparations were examined by liquid chromatography - mass spectrometry to determine azithromycin levels. Cmax/MHC ratio was far above criterion for concentration dependent antibiotics Cmaks / MHC ratio > 10 times Cmax/MHC ratio in group 1,2 and 3 were increased by more than 100, 74 and 79 times, respectively. Mean azithromycin levels in vitreous remained higher than MHC: group 1 68.15 42.95 ng / ml and group 2 7.73 2.31 ng / ml . The azithromycin level in the retina-choroid was higher than that of venous blood after 14 days of oral azithromycin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Hartomuljono
Abstrak :
Latar Belakang: Kelainan soket mengerut merupakan salah satu kasus rekonstruksi mata yang sering dijumpai. Kelainan ini menyebabkan protesa mata tidak dapat dipasang sehingga dapat menyebabkan penurunan produktivitas yang berdampak pada kualitas hidup pasien. Rekonstruksi soket mengerut dapat dilakukan menggunakan berbagai materi autogenous graft, namun graft kartilago aurikular dinilai lebih kuat dan lebih tahan lama. Tujuan: Menilai peran penggunaan graft kartilago aurikular pada rekonstruksi soket mengerut derajat ringan - sedang, baik secara objektif maupun subjektif. Metode: Penelitian prospektif ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan membandingkan sampel sebelum dan sesudah perlakuan. Pasien dengan kelainan soket mengerut derajat ringan-sedang dengan riwayat protesa mata terlepas akan dilakukan rekonstruksi menggunakan graft kartilago aurikular. Dilakukan pemeriksaan soket secara objektif pada pasien sebelum dan sesudah dilakukan intervensi hingga 8 minggu pascaoperasi, berupa kedalaman forniks inferior, volume soket, dan epitelisasi konjungtiva. Secara subjektif, kualitas hidup pasien dinilai menggunakan kuesioner WHOQOL-BREF sebelum dan sesudah rekonstruksi. Hasil: Rekonstruksi menggunakan graft kartilago aurikular dilakukan pada 12 pasien (rerata usia 47,7±0,1 tahun). Didapatkan perubahan kedalaman forniks inferior sebelum intervensi 1 - 5 mm (2,75±1,1 mm) menjadi 4 - 9 mm (7,17±1,5 mm) setelah 8 minggu pascaoperasi (p<0,001). Volume soket pada awal kedatangan 0,2-0,6 ml (0,45±0,1 ml) meningkat menjadi 0,7 - 1,1 ml (0,87±0,1 ml) pada minggu ke-8 pascaoperasi (p<0,001). Epitelisasi lengkap terlihat pada seluruh subjek di minggu ke-8. Kualitas hidup pasien dinilai mengalami peningkatan signifikan (p<0,001) pada seluruh domain dengan skor melebihi 65% pasca rekonstruksi. Kesimpulan: Penggunaan graft kartilago aurikular pada rekonstruksi soket mengerut menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan rerata selisih pada kedalaman forniks inferior 4,42±1,2mm dan volume soket 0,42±0,2ml. Epitelisasi konjungtiva terjadi lengkap pada seluruh pasien penelitian di minggu ke-8. Tidak ada morbiditas pada area donor. Secara subjektif, pasien mengalami peningkatan kualitas hidup yang bermakna pada aspek kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. ...... Background: A contracted socket is one of the most common ocular reconstruction cases. This abnormality causes prosthetic eye cannot be attached, leading to decreased productivity which affects the patient's quality of life. Contracted socket reconstruction can be performed with various autogenous graft materials, although auricular cartilage graft provides greater support and longer durability Objective: To assess auricular cartilage graft application in mild to moderate degree of contracted socket reconstruction, both objectively and subjectively. Methods: This prospective study was a quasi-experimental study using a comparison of the sample before and after an intervention. Patients with a contracted socket of mild to moderate degree with a history of prosthetic eye detachment were reconstructed using auricular cartilage graft. Objective assessments, such as inferior fornix depth, socket volume, and epithelization, were done before and after the surgery until eight weeks postoperative. Subjectively, the patient's quality of life was observed using the WHOQOL-BREF questionnaire before and after the reconstruction. Result: Reconstruction using auricular cartilage graft was performed in 12 patients (mean age 47,7 ±. This study found inferior fornix depth changed from 1 - 5 mm (2,75 ± 1,1 mm) pre-operative to 4 - 9 mm (7,17 ± 1,5 mm) 8 weeks after surgery (p<0,001). Socket volume increased from 0,2-0,6 ml (0,45 ± 0,1 ml) in pre-operative assessment to 0,7 - 1,1 ml (0,87 ± 0,1 ml) in 8-week follow up (p<0,001). Complete epithelization was seen in all subjects after 8 weeks period. Patient's quality of life showed significant increase (p<0,001) in all domain with score exceeding 65% after reconstruction. Conclusion: Auricular cartilage graft application in contracted socket showed a significant increase with a mean difference of inferior fornix depth 4,42±1,2mm and socket volume 0,42±0,2ml. Complete conjunctival epithelization was seen in all patients on the eighth week. No morbidity was found in the donor area. Subjectively, patients showed a significant increase in quality of life from physical health, psychological, relationship, and environmental aspects.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lasmida Ruth A.
Abstrak :
Latar Belakang: Refleks okulokardiak dengan manifestasi bradikardia, aritmia hingga asistol masih sangat potensial terjadi pada operasi strabismus. Operasi dalam anestesi umum saja belum dapat mencegah kejadian tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah injeksi ropivakain 0,75% subtenon dengan kombinasi anestesi umum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kejadian refleks okulokardiak dan nyeri pasca operasi. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dilakukan pada 15 subjek usia 7-60 tahun yang menjalani reseksi rektus medial/lateral dan status fisik sesuai American Society of Anesthesiologists adalah ASA I-II. Randomisasi membagi subjek menjadi dua kelompok yaitu ropivakain dan plasebo. Perubahan laju nadi dan kejadian refleks okulokardiak diukur saat insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot. Nyeri pasca operasi dinilai pada jam ke-1,2,4 dan 6 dengan Visual Analog Score (VAS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan rerata laju nadi pada kelompok intervensi pasca induksi, insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot adalah 70.4, 66.8, 65.4, dan 65.4 secara berurutan, sedangkan plasebo 78, 74.5, 68.8, dan 74.8 kali per menit. Insidens kejadian refleks okulokardiak pada kelompok intervensi adalah 28.5% sedangkan plasebo 50% (p>0.05). Median skor nyeri kelompok intervensi lebih rendah pada jam pertama pasca operasi. Kesimpulan: Walaupun tidak bermakna secara statistik, namun secara klinis, dengan power penelitian 75%, kombinasi anestesi umum dan injeksi subtenon memberi hasil yang lebih baik. ......Background: Squint surgery is associated with oculocardiac reflex with bradycardia, arrhythmia and even asystole case. Surgery in general anesthesia alone could not prevent this reflex. Objective: The aim of this study was to investigate the effects of a sub- Tenon’s block combined with general anesthesia on oculocardiac reflex and postoperative pain. Method: This double blind randomized controlled trial included 15 patients aged 7-60 years scheduled for medial/lateral rectus resection and American Society of Anesthesiologists status were ASA I-II. Patients were randomly allocated to receive either sub-Tenon ropivacaine 0,75% or placebo prior to surgery. Changes in heart rate and incidence of oculocardiac reflex were measured during several stages. Result: The mean heart rate measured at post induction, conjunctival incision, muscle traction and resection in ropivacaine group were 70.4, 66.8, 65.4, and 65.4 bpm, respectively and in placebo group were 78, 74.5, 68.8, and 74.8 bpm. Incidence of oculocardiac reflex in ropivacaine and placebo group were 28,5% and 50% respectively (p>0.05). Median pain scores were lower in ropivacaine group at the first hour postoperative. Conclusion: We conclude that eventhough statistically there was no difference between two groups (power 75%), clinically, combination of ropivacaine 0,75% sub-Tenon block with general anesthesia showed lower incidence of oculocardiac reflex and lower pain score at the first hour after surgery.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossalyn Sandra Andrisa
Abstrak :
Latar Belakang. Meningioma orbita merupakan tumor jinak saraf optik tersering setelah glioma. Walaupun termasuk dalam kelompok tumor jinak, meningioma memiliki perilaku progresif. Sebagian besar pasien datang dalam keadaan lanjut sehingga harus ditangani dengan operasi radikal. Oleh karena tanda dan gejala klinis yang tidak khas serta variabel penilaian histopatologis masih bersifat kualitatif sehingga tidak objektif, maka untuk memprediksi progresivitas, diperlukan faktor prediktor lain di tingkat molekular. Tujuan. Menilai ekspresi Ki-67, Bcl-2, MDM-2, RP, E-kaderin, MMP-2, TIMP-2, dan polimorfisme gen mdm-2 SNP-309 sebagai prediktor progresivitas meningioma orbita. Metode. Sebanyak 27 kasus meningioma orbita di Departemen Ilmu Kesehatan Mata, FKUI-RSCM mulai Juni 2010 sampai dengan Desember 2011, yang blok parafinnya tersedia dan telah dikonfirmasi diagnosisnya secara histopatologis, dikumpulkan data medisnya. Kemudian dilakukan pemeriksaan IHK Ki-67, Bcl-2, MDM-2, RP, E-kaderin, MMP-2, TIMP-2. Pemeriksaan gen mdm-2 SNP-309 dilakukan dengan teknik sekuensing DNA. Data yang terkumpul diolah secara statistik. Hasil. Ekspresi MDM-2 sejalan dengan progresivitas meningioma orbita (p < 0,05) IK95 % (1,31;125,71). Ekspresi TIMP-2 memiliki efek protektif terhadap meningioma orbita (p < 0,10) IK95 % (0,01;1,26). Pemeriksaan polimorfisme gen mdm-2 SNP-309 dengan sampel terbatas menunjukkan 9 heterozigot (t/g) dan 2 homozigot (t/t), tetapi tidak bermakna secara statistik. Peningkatan ekspresi biomarker Ki-67, Bcl-2, MMP-2, tidak berhubungan dengan progresivitas meningioma orbita dan penurunan ekspresi E-kaderin dan RP tidak berhubungan dengan progresivitas meningioma orbita. Simpulan. Dari semua faktor prediktor yang telah diperiksa pada penelitian ini, MDM-2 dan TIMP-2 lebih berperan memprediksi progresivitas meningioma orbita dibandingkan dengan pemeriksaan IHK lain dan pemeriksaan polimorfisme gen mdm-2 SNP-309. Pemeriksaan IHK lain dan polimorfisme SNP-309 tidak dapat digunakan sebagai prediktor progresivitas meningioma orbita. Penelitian ini menemukan satu model skoring probabilitas progresivitas meningioma orbita yang dapat digunakan dalam manajemen pasien pascaoperasi meningioma orbita. ......Background. Orbital meningioma is the second most common benign optical nerve tumor. Even though it is considered to be benign, it has progressive characteristics. Most patients were admitted at advance stage so they must be treated with radical surgery. Because clinical signs and symptoms are not specific, and histopathological variables are not objective to determine progressivity, another predicting factors at molecular level are needed. Aim. To determine expression of Ki-67, Bcl-2, MDM-2, PR, E-cadherin, MMP- 2, TIMP-2, and to identify mdm-2 gene SNP-309 polymorphism, as factors to predict progressivity of orbital meningioma. Methods.Twenty seven orbital meningioma cases with available paraffine blocks were collected between June 2010 and December 2011. Afterwards, Immuno- histochemistry (IHC) examinations of Ki-67, Bcl-2, MDM-2, PR, E-cadherin, MMP-2, TIMP-2 were performed. The outcome was subsequently processed with statistical program to determine a scoring model. DNA sequencing technique was used to identify polymorphism of mdm-2 gene SNP-309. Data were analyzed using univariate, bivariate, and multivariate statistical analysis. Result. MDM-2 expression is associated with orbital meningioma progressivity ( p < 0.05) CI95 % (1.31;125.71). TIMP-2 expression has a protective effect against orbital meningioma (p < 0.10) CI 95 % (0.01;1.26). Nine out of eleven cases of orbital meningioma are positive for mdm-2 gene SNP-309 polymorphism with 9 heterozygote (t/g) and 2 homozygote (t/t), the difference, however is not statistically significant. Increase on Ki-67, Bcl-2, MMP-2, expressions and decrease on E-cadherin and RP are not correlated with orbital meningioma progressivity (p < 0.05). Conclusion. Compared with other prediciting factors that have been investigated in this research, MDM-2 and TIMP-2 have larger role in predicting orbital meningioma progressivity. With limited number of samples, we found no association between polymorphism of mdm-2 gene SNP-309 and progressivity of orbital meningioma. One scoring model to predict orbital meningioma?s progressivity is proposed, this model is recommended in the management of orbital meningioma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elyas Aditya Pradana
Abstrak :

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesesuaian antara dacryoscintigraphy dibandingkan dacryocystography sebagai pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi duktus nasolakrimal primer didapat (PANDO). Penelitian ini merupakan suatu studi diagnostik pada pasien tersangka PANDO dengan epiphora yang datang ke poliklinik Plastik dan Rekonstruksi RSCM Kirana. Pasien tersebut selanjutnya dikirim ke Departemen Radiologi untuk pemeriksaan dacryoscintigraphy dan dacryocystography. Selanjutnya dengan observasi dan kuesioner dinilai efek samping dan kenyamanan terhadap kedua pemeriksaan.

 

Penelitian ini merekrut 31 subjek (62 mata). Melalui tes irigasi dan sondase didapatkan 47 mata tersangka PANDO. Sebanyak 87.1% subjek berjenis kelamin perempuan, dengan kelompok umur terbanyak (74.2%) yaitu >40 tahun. Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sakus yaitu 0 menit, duktus (5 menit), dan kavum nasi (12.5 menit). Nilai kesesuaian antara kedua pemeriksaan dalam menentukan ada atau tidaknya obstruksi sebesar 83.8% (strong agreement), sedangkan dalam menentukan letak obstruksi sebesar 70.9% (agreement).

 

Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy tidak ditemukan adanya efek samping, sedangkan pada dacryocystography, terdapat 2 pasien yang menunjukan hiperemis konjungtiva. Terdapat 22 subjek mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryocystography, sedangkan tidak ada subjek yang mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryoscintigraphy (p<0.005). Sebanyak 16 subjek menyatakan dacryoscintigraphy lebih nyaman, 11 subjek menyatakan dacryocystography lebih nyaman, sedangkan 4 subjek menyatakan kedua pemeriksaan sama nyamannya. Dacryoscintigraphy memiliki nilai kesesuaian yang baik dengan dacryocystography dalam menentukan ada atau tidak obstruksi dan menentukan letak obstruksi pada pasien PANDO. Kedua pemeriksaan tersebut mempunyai tingkat kenyamanan yang sama, namun pemeriksaan dacryocystography dirasakan lebih nyeri sewaktu atau durante tindakan dibandingkan dengan dacryoscintigraphy.


This study aims to assess conformity of dacryoscintigraphy compared to dacryocystography as supporting assessment in patient with primary acquired nasolacrimal duct obstruction (PANDO). This diagnostic study performed in PANDO with epiphora complaint whose visiting RSCM Kirana Plastic and Reconstruction Division. Subsequently, subjects were sent to Radiology Department for dacryoscintigraphy and dacryocystography examinations. After the examination, observation and questionnaire assessed the side effects and comfort of both examinations.

This study recruited 31 subjects (62 eyes). Through irrigation and probing, there were 47 eyes found with PANDO. As much as 87.1% subjects were female, with mostly (74.2%) aged >40 years old. With dacryoscintigraph, time needed to reach sac was 0 minutes, duct was 5 minutes, and nasal cavum was 12.5 minutes. Conformity value between the two examinations in detecting obstruction was 83.8%, meanwhile in detecting the location of obstruction was 70.9%.

With dacryoscintigraph, there were no side effects found. Meanwhile with dacryocystograph, there were 2 patients found with conjunctival hyperemia. There were 22 subjects complaining with pain at dacryocystograph examination, while there were none at dacryoscintigraph examination (p<0.005). Sixteen subjects feel dacryoscintigraph examination was more convenient, eleven subjects feel dacryocystohraph examination was more convenient, while 4 subjects feel the two examinations just as convenient.

Dacryoscintigraph has good conformity value with dacryocystograph examination in detecting obstruction and defining the location in PANDO patients. Both examinations have high convenience level, even though dacryocystograph was more painful at the examination than dacryoscintigraph.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Hayyu Isfiati
Abstrak :
Iskemia makula merupakan penyebab penurunan penglihatan pada retinopati yang berhubungan dengan progresi retinopati diabetik dan dapat terjadi sebelum mikroaneurisma terlihat secara klinis. Fovea avascular zone (FAZ) merupakan area di makula yang mencerminkan kondisi mikrokapiler makula dan sensitif terhadap iskemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan parameter area dan sirkularitas FAZ pleksus kapiler superfisial (PKS) dan pleksus kapiler dalam (PKD) yang diukur menggunakan Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) pada pasien diabetes melitus (DM) dengan dan tanpa retinopati diabetik. Penelitian potong lintang dilakukan pada 90 mata pasien diabetes yang terbagi menjadi lima kelompok yaitu DM tanpa retinopati diabetik , non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) ringan, NPDR sedang, NPDR berat, dan proliferative diabetic retinopathy (PDR). Area dan sirkularitas FAZ PKS dan PKD pada OCTA makula 3x3 mm diukur menggunakan ImageJ. Area FAZ PKS pada NPDR ringan, NPDR berat, dan PDR secara bermakna lebih lebar dibandingkan dengan DM tanpa retinopati diabetik (p=0,026). Sirkularitas FAZ PKD secara bermakna lebih rendah pada kelompok NPDR sedang dan berat dibandingkan dengan NPDR ringan (p=0,003). Pelebaran dan perubahan bentuk FAZ PKS dan PKD pada retinopati diabetik dapat dideteksi dengan OCTA. Pelebaran FAZ PKS dan penurunan sirkulasi FAZ PKD terjadi mulai dari retinopati derajad awal. ......Macular ischemia is cause of decreased vision in diabetic retinopathy (DR) associated with the progression of retinopathy and can occur before microaneurysms are detected clinically. Fovea avascular zone (FAZ) is an area in macula that reflects the condition of macular microcapillaries and sensitive to ischemia. This study aims to compare area and circularity of superficial capillary plexus (SCP) and deep capillary plexus (DCP) FAZ as measured using Optical Coherence Tomography Angiography (OCTA) in diabetic patient with and without DR. A cross-sectional study was conducted on 90 eyes of diabetic patients divided into five groups, namely DM with no DR, mild non-proliferative DR (NPDR), moderate NPDR, severe NPDR, and proliferative DR (PDR). Area and circularity of SCP and DCP FAZ in 3×3 mm macular OCTA was measured using ImageJ. The SCP FAZ area was significantly larger in mild NPDR, severe NPDR, and PDR compared to no DR (p=0.026). DCP FAZ circularity was significantly lower in moderate and severe NPDR compared to the mild NPDR (p=0.003). Enlargement and irregularity of SCP and DCP FAZ in DR can be detected by OCTA. Enlargement of SCP FAZ area and decrease in DCP FAZ circularity occurs from early degree of DR.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Brenda Hayatulhaya
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan: Mengevaluasi efek injeksi anti-VEGF intravitreal, bevacizumab, terhadap kadar cystatin C plasma dan VEGF plasma dan meninjau korelasi antara kedua faktor tersebut. Metodologi: Penelitian ini merupakan studi eksperimental satu kelompok dengan sampel dipilih secara konsekutif dari populasi terjangkau. Pemeriksaan oftalmologi lengkap, tekanan darah, laboratorium darah perifer lengkap, dan pemeriksaan kadar cystatin C plasma dan VEGF plasma dilakukan pada subjek sebelum injeksi dan 14 hari pasca injeksi bevacizumab intravitreal dosis 1,25 mg (0,05 cc). Hasil: 33 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek, 63,6% adalah perempuan dan 36,4% adalah laki-laki dengan usia rata-rata 66,4 ± 8,3 tahun. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kadar VEGF plasma pre dan pasca injeksi (p=0,339). Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kadar cystatin C plasma pre dan pasca injeksi (p=0,709). Uji korelasi antara perubahan VEGF plasma dengan perubahan cystatin C plasma pre dan pasca injeksi menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p=0,142). Kesimpulan: Kadar cystatin C plasma tidak berubah secara signifikan pre dan pasca injeksi bevacizumab pada injeksi satu kali. Tidak ditemukan adanya korelasi antara penurunan kadar VEGF plasma dengan peningkatan kadar cystatin C pada pasien AMD neovaskuler pasca injeksi bevacizumab.
ABSTRACT
Objective: To evaluate the effect of intravitreal bevacizumab injection on plasma cystatin C and plasma VEGF levels and the correlation between the two factors. Methodology: This research was a single arm study with samples selected consecutively from an assigned population. Ophthalmology examinations, blood pressure, complete blood count, and assessments of plasma cystatin C and plasma VEGF levels were carried out on subjects before and 14 days after intravitreal bevacizumab injection of 1.25 mg (0.05 cc). Results: 33 subjects were included in this study. Of all subjects, 63.6% were women and 36.4% were men with an average age of 66.4±8.3 years. There was no statistically significant difference between pre and post injection plasma VEGF and plasma cystatin C levels (p=0.339 and 0.709 respectively). Correlation test between changes in plasma VEGF with changes in plasma cystatin C pre and post injection showed no significant correlations (p=0.142). Conclusion: Plasma cystatin C levels did not change significantly before and after injection of bevacizumab on one-time injection. No correlation was found between decreasing plasma VEGF levels and increasing levels of cystatin C in patients with neovascular AMD after bevacizumab injection.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Nindhyatriayu Witjaksono
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menilai validitas dan keandalan / reliability dari analisis hitung piksel untuk penilaian vasokonstriksi pembuluh darah konjungtiva dengan pemberian tetes mata fenilefrin 2,5%. Penelitian ini merupakan studi prospektif analitik berpasangan. Sebanyak 15 subjek dengan kriteria strabismus horizontal murni usia 5 - 35 tahun yang membutuhkan operasi koreksi strabismus dilibatkan pada penelitian ini. Pengambilan data dilakukan melalui foto konjungtiva yang kemudian diolah dan dianalisis menggunakan aplikasi FIJI. Foto dirubah menjadi bentuk binari menggunakan plugin semi-otomatis vessel analysis pada aplikasi FIJI. Modifikasi foto menjadi bentuk binari dapat membuat pembuluh darah dinilai berdasarkan hitung piksel. Pada penelitian ini, analisis hitung piksel dapat mendeteksi perubahan jumlah piksel pasca penetesan fenilefrin 2,5% yang bermakna secara statistik, sehingga bisa disimpulkan sebagai alat yang valid untuk menilai vasokonstriksi pembuluh darah konjungtiva. Keandalan dinilai menggunakan Intraclass Correlation Coefficient, namun didapatkan hasil yang bervariasi, namun nilai keandalan masih dapat ditingkatkan. Penelitian ini juga menunjukkan tetes mata fenilefrin 2,5% aman digunakan tanpa menimbulkan efek samping berdasarkan parameter kardiovaskular.
ABSTRACT
This study assessed the validity and reliability of pixel count analysis for evaluating vasoconstriction of conjunctival vessels by administering 2.5% phenylephrine eye drops. This study was a paired analytic prospective study. A total of 15 subjects with horizontal strabismus, aged 5-35 years, whose requiring strabismus correction surgery were included in this study. Data retrieval was done through conjunctival photos which then processed and analysed using the FIJI application. Photos were converted into binary forms using a semi-automatic plugin called vessel analysis in the FIJI application. By transforming blood vessel into binary forms to allow analysis using pixel count. In this study, pixel count analysis can detect changes in the number of pixels after 2.5% phenylephrine administration and were statistically significant, so that it can be concluded that pixel count analysis as a valid tool for assessing conjunctival blood vessel vasoconstriction. The reliability was analysed using Intraclass Correlation Coefficient and the value was obtained varied but can still be improved. This study also found that 2.5% phenylephrine eyedrop is safe with no side effects on cardiovascular parameter.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hielda Afpa Koeswara
Abstrak :
Latar Belakang: Pembelajaran jarak jauh anak sekolah selama pandemi COVID-19 menyebabkan penggunaan perangkat digital sebagai media pembelajaran. Peningkatan pajanan monitor dan aktivitas melihat dekat diduga meningkatkan angka kejadian astenopia. Tujuan: Mendapatkan angka kejadian astenopia subjektif dan menilai faktor yang mempengaruhinya pada anak SMP dan SMA Negeri di Jakarta di era pandemi COVID-19. Metode: Penelitian dengan desain potong lintang menggunakan kuesioner Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) diadaptasi ke dalam Bahasa melalui tahapan validasi. Skoring CISS 16 sebagai batasan keluhan astenopia yang dialami subjek. Hasil: Kuesioner CISS versi Bahasa adalah valid dan reliabel dengan nilai p<0,05 dengan koefisien Cronbach’s ±  sebesar 0,910 dan 0,925. Subjek penelitian sebanyak 901 responden. Angka kejadian astenopia sebesar 36%. Analisis multivariat didapatkan pencahayaan ruangan yang kurang terang di luar PJJ (OR=8,25;p=0,001), durasi screen time >2 jam saat PJJ (OR>3,73;p=0,001), penyakit mata lain (OR=3,72;p=0,002), melakukan aktivitas dekat dengan posisi berbaring (OR=2,45;p=0,014), durasi tidur malam <8 jam (OR=2,29;p<0,001), penggunaan kacamata (OR=2,10;p<0,001), aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV (OR=1,67;p=0,004), dan jarak baca <30 cm saat PJJ (OR=1,47;p=0,016) merupakan faktor risiko independent untuk astenopia pada anak sekolah. Kesimpulan: Kuesioner CISS versi Bahasa merupakan instrumen yang valid dan reliabel untuk mendiagnosis astenopia pada anak sekolah. Angka kejadian astenopia di Jakarta cukup tinggi dengan faktor risiko berupa pencahayaan ruangan kurang terang, durasi daring >2 jam, penyakit mata lain, aktivitas dekat dengan posisi berbaring, durasi tidur malam <8 jam, penggunaan kacamata, aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV, dan jarak baca <30 cm saat PJJ. ......Background: Schoolchildren's distance learning during the COVID-19 pandemic has led to digital devices as learning media. Increased exposure to monitors and near-vision activities is thought to increase asthenopia incidence. Obtain the incidence of subjective asthenopia and assess the factors that influence Jakarta's junior high and high school students during the COVID-19 pandemic. Methods: A cross-sectional design study using the Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) questionnaire was adapted into Indonesian through a validation stage. CISS score 16 as a limitation of asthenopia complaints experienced by the subject. Result: Indonesian version of the CISS questionnaire is valid and reliable with p-value <0.05 with Cronbach's coefficient of 0.910 and 0.925, respectively. The research subjects were 901 respondents. The incidence of asthenopia is 36%. Multivariate analysis showed that the room lighting was not bright when distance learning (OR=8.25; p=0.001), screen time duration >2 hours during distance learning (OR>3.73;p=0.001), other eye diseases (OR=3 ,72;p=0,002), doing activities close to the lying position (OR=2,45;p=0,014), sleep duration <8 hours (OR=2,29;p<0,001), wearing glasses (OR=2 ,10;p<0.001), close activity watching movies with digital devices/TV (OR=1.67;p=0.004), and reading distance <30 cm during distance learning (OR=1.47;p=0.016) were independent risk factors for asthenopia in schoolchildren. Conclusion: Indonesian version of the CISS questionnaire is a valid and reliable instrument for diagnosing asthenopia in school children. The incidence of asthenopia in Jakarta is relatively high with risk factors in the form of poor lighting, online duration >2 hours, other eye diseases, activities close to lying down, sleep duration <8 hours, use of glasses, close activities watching movies with digital devices/ TV, and reading distance <30 cm during distance learning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library