Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daniel Boentoro Hadiwidjaja
Abstrak :
ABSTRAK
Mekanisme pertahanan tubuh diperankan oleh empat sistem besar, setelah melewati perlindungan kulit dan selaput lendir. Keempat sistem itu ialah sistem fagositosis, kamplemen, humoral dan seluler. Perlindungan kulit dan selaput lendir dengan gerak cilia yang aktip, bersama beberapa faktor, merupakan pertahanan nonspesifik. Peranan sistem humoral dan seluler edalah pertahanan yang spesifik. Sedangkan sistem fagositosis dan kamplemen merupakan pertahanan yang nonspesifik, yang mempunyai hubungan dengan pertahanan spesifik.

Tujuan akhir dari mekanisme pertahanan ini, adalah melindungi tubuh dari organisme penyebab infeksi atau penyakit. organisme tersebut dapat berupa virus,bakteri,jamur,protozoa atau Benda lainnya. Kekurangan pada jumlah maupun fungsi, salah satu atau lebih dari ke 4 sistem pertahanan tersebut menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, atau infeksi berulang pada penderita. Keadaan itu, disebut "defisiensi imun".

Defisiensi imun primer terdapat pada satu diantara 2.500 penduduk umum, sedangkan pada penderita yang dirawat di rumah sakit, didapatkan prevalensi kurang lebih 1% . Dua pertiga dari penderita defisiensi imun berusia dibawah 15 tahun, 80% daripadanya adalah pria.

Defisiensi imun dapat terjadi sekunder, karena keganasan, malnutrisi, pemakaian chat sitostatik, penyakit metabolik, bermacam macam keadaan patolcgik dan infeksi sendiri dengan penyebab bermacarn macam. Sebagian besar penduduk dunia sedang dilanda penyakit infeksi,infestasi parasit dan malnutrisi. Diperkirakan prevalensi defisiensi imun sekunder beberapa kali lebih banyak dari yang primer. Kemajuan pengetahuan tentang defisiensi imun primer memungkinkan diterapkannya pola diagnostik yang sama pada defisiensi imun sekunder.

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis defisiensi imun, pada ummnya canggih dan tidak dapat dilakukan di semua rumah sakit. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan penyaring yang dapat dikerjakan di semua rumah sakit dan dapat dilakukan oleh seorang dengan latihan yang minimal, serta efektif dari segi keamanan dan biaya. Pemeriksaan penyaring yang dianjurkan, dapat menyaring kemungkinan diagnosis 75-98% kasus defisiensi imun.

Diabetes melitus adalah penyakit yang menyerang 1% dari penduduk dunia (6). Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan angka prevalensi sebesar 1.53-2.30%. Penyakit ini merupakan salah satu dari 20 penyakit terbesar, yang dirawat di bangsal penyakit dalam RSQ4. Salah satu tujuan pengontrolan penyakit ini adalah mencegah penyulit. Penyulit tersebut akan menjadi beban bagi penderita sendiri maupun petugas kesehatan yang menanganinya. Salah satu penyulit yang menambah beratnya penyakit dan paling banyak menyebabkan kematian penderita adalah infeksi. Infeksi merupakan salah satu faktor terjadi nya gangren diabetis pada kaki, yang memerlukan biaya yang tinggi dan waktu perawatan yang lama.

Hasil penelitian dari Daydade dkk, menyatakan bahwa fungsi fagositosis granulosit menurun pada diabetes tidak terkontrol, dan fungsi itu akan menbaik bila penyakit dapat dikontrol. "Pusat Diabetes Joslin" menganjurkan kriteria dan tujuan jangka pendek serta jangka panjang untuk pengontrolan penyakit diabetes. Salah satu diantaranya adalah mencegah penurunan fungsi fagositosis.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Hardjadinata
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lillah
Abstrak :
ABSTRAK
Pada waktu sekarang VDRL dan TPHA telah direkomendasi oleh WHO sebagai pemeriksaan penyaring penyakit sifilis dan FTA ? Abs sebagai tes konfirmasi.

Dengan tujuan untuk mendapatkan prevalensi VDRL reaktif, maka dilakukan pemeriksaan VDRL terhadap 2531 sampel yang berasal dari kelompok risiko tinggi. Kelompok WTS, pramuria dari kelab malam dan panti pijat, serta waria sejumlah 1973 sampel, penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan 509 sampel, serta panti asuhan yang merawat penderita ketergantungan obat 49 sampel.

Persentase VDRL positif terbesar ditemukan pada waria. Terlihat kecenderungan peningkatan VDRL positif pada kelompok WTS. Pada penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan VDRL positif cukup tinggi. Dari penghuni panti asuhan tidak ditemukan hasil reaktif
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2018
616.994 1 IMU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anti Dharmayanti
Abstrak :
In the past couple of years, several studies have demonstrated that T- helper cells play an important role in the induction and reaction process of allergy. The T-helper cell (T-h) is a kind of T lymphocyte. At first, in the year 1921 Praustniz and Kustner, as quoted by Romagnani, stated the concept that allergy is an interaction between allergens and the IgE (Immunoglobulin E) specific antibody that is attached to IgE receptors on mast cells or mastocytes, which would then release its mediators. Other factors that also play a role in the development of allergy is lymphokine, produced by T-cells, which regulate IgE antibody production by the B-cell.1 Lymphokine or cytokine is a hormone-like substance released by T-cells, B-cells, or other cells, that function as intercellular signaling substances in the regulation of immune responses towards outside stimuli.'
2001
AMIN-XXXIII-3-JuliSept2001-107
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yusra
Abstrak :
Human Immunodeficiency Virus (HIV) causes damage to the human immune system and the disease known as Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). This virus is a member of the Lentivirus group of viruses of the Retrovirus subfamily, which has a reverse tran-scriptase enzyme. HIV infects cells which expres CD4, mediated by gp 120. HIV infection changes the lymphocyte migration pattern, the activity of cytotoxic T cells and CD4 T cell count. The T cell CD4+ count is related to the progressivity of the disease. Anti gp 120 is the antibody most abundantly produced during HIV infection. Spesific antibody concentration for the antigens vary among individuals and single individual at different stages of the infection. Expression of the HIV antigen and/or antibody can be used to establishing the diagnosis and determine the stage of the disease. CD4+ cells count can be used to determine the stage of HIV infection, to predict the occurance of opportunistic infection and other complications, and to determine as well as to monitor therapy
2002
AMIN-XXXIV-2-AprJun2002-76
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayuningsih Dharma Setiabudy
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Paul Zakaria DaGomez
Abstrak :
ABSTRAK
Prevalensi rinitis alergi dan asma alergi (RA3) Cukup tingi. Dermatophogoldes pteronysstnus (DP) dan dog dander (DD) sering menimbulkan alergi. Alergi sering dihubungkan dengan peningkamn kadar IgE dan adanya IgE spesifik. Penderita alergi yang diimunoterapi hiposensitisasi dan secara klinis membaik, terjadi penurunan kadar IgE dan peningkatan kadar 1gG4. IgG4 dikenal sebagai blocking antibody yang menghambat reaksi alergi. Dugaan bahwa IgG4 juga berperan sebagai IgE menimbulkan alergi masih kontroversial.

Tujuan peneiitian ini untuk mengetahui pola reaksi IgG penderita RA3 terhadap DP clan DD dengan alergennya serta kemungkinan ada fraksi antigen(f-Ag) DP dan DD yang sama BMnya dan sama antigenisitasnya. Untuk ini ada tiga kelompok serum yaitu I, senim penderita RA3 dengnn skin prick test,(SPT)+ terhadnp DP dan DD serta mempunyai aktivitas IgE anti-DP (lgmbp) dan Ig; ami-DD (1gE¢DD); II, mm RA; dengan SPT- terhadap DP dan DD serta tanpa IgEotDP dan IgEa.DD; III, serum orang sehat tanpn riwayat alergi.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Purwanti
Abstrak :
Tujuan Pemeriksaan: Melakukan analisis nilai DNA EBV dalam serum penderita KNF Stadium Awal (I/II) dan Stadium Lanjut (III/IV). Material dan Metode: Sebanyak 83 serum darah penderita kanker nasofaring (ICNF) bClj8IliS undWerenzia1e¢ diambil sebelum pcmberian tempi. Sampel dibagi menjadi 2 group berdasarkan sistem TNM (UICC) dan didapatkan: 25 sampel berasal dari sennn pendcrita KNF stadium awal (I/ll) dan 58 dari penderita stadium Ianjut (III/IV). Mcnggtmakan real time pobwmerase chain reaction (PCR) dilakukan pengukuran kadar DNA EBV dengan LMP2 sebagai gen target. Perbedaan kadar DNA EBV ditentukan menggunakan analisa dcskriptif menggunakan test non parametrik antara penderita KNF stadium awal dan stadium lanjut dan terhadap status T,N dan M. Hasil: Pengukuran kadar senun DNA EBV pada penderita KNF stadium awa! (I/Il) sebelum memulai pengobatan, menunjukkan sebanyak I7 dari 25 sampei (66.7%) tidak terdeieksi adanya copy DNA EBV dan 8 sampe] (33.3%) terdeteksi. Pada penderita KNF stadium lanjut (Ill/IV), 37 dari 58 sampel (63.I5%) terdeteksi adanya copy DNA EBV dan 21 sampel (36.84%) tidak terdeteksi. Kadar DNA EBV pada penderim KNF stadium lanjut menunjukkan hasil yang lcbih tinggi dibandingkan dengan hasil penderita KNF stadium awal (median 24.8 copy/ml vs 0 copy/ml), dengan nilai cut off pada 7.15 copy/ml (sensitititas 60.3% dan spcsifisitas 72.0%). Kadar DNA EBV yang lcbih tinggi terdapai pula pada hasil pengukuran serum DNA EBV antara penderita KNF dengan status T3-T4, N2-N3 dan Ml dibandingkan dengan penderita KNF dengan status Tl-'I`2, N0-Nl dan M0. Kesimpulan: Pengukuran kadar serum DNA EBV merupakan cam yang potensial untuk membedakan antara pcnderita IONIF stadium awatl (l/ll) dan Qadium lanjut (III/IV) dengan perkiraaan nilai cut off pads 7.15 copy/ml. Termasuk pula untuk membedakan antara status T,N dan M. Pcngukumn kadar DNA EBV dapat menyempurnakan penggunaan sistem TNM pada tingkst molekuler. ......To analyze the difference of pretreatment serum EBV DNA concentration between early stage (l/II) and advance stage (Ill/IV) nasopharyngeal carcinoma (NPC) patient. Methodes: Eighty-three (83) pretreatment serum of undifferentiated with all stages of NPC were studied and devided into two groups: 25 samples cattle from early stage (I/II) NPCand 58samplesB~omadvancestage(IIl/IV)NPCasbyUlCCTNM staging system. LMP2 was used as target gene and the concentration were quantified by real-time polymerase chain reactant assay. EBV DNA concentration of the two groups were measured and the difference were accessed, including the T,N,M status with non parametric test. Result: Pretreatment EBV DNA serum concentration from early stage (I/ll) NPC patients showed: I7 of 25 sampels (66.7%) were undetectable for copy of EBV DNA, and 8 sampels (33.3%) were detectable. Pretreatment EBV DNA from advance stage NPC showed: 37 of 58 patiens (63.l5%) were detectable for copy of EBV DNA and 21 patients were not. Pretreatment EBV DNA serum consentration ti-om advance stage NPC showed higher senzm concentration than early stage (median 24.8 copylml vs 0 copy/ml), on cuz of point prediction at 7.15 copy/ml. Higher concentration as well, were found among those patients whose had T3-T4, N2-N3 and Ml stages compared with Tl-T2, N0-Ni and M0 stages NPC. Conclusion: EBV DNA semm concentration was found potential to differentiate between early and advance stage NPC, on out ojfpoinr prediction at 7.l5 copy/ml, as well as to differentiate T,N and M stages. EBV DNA measurement was good to improve UICC TNM staging system in clinical practice based, on molecular level.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32046
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manuhutu, Ernst Johannis
1999
D1521
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>