Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bianca C.Y. Mardikoesno
Abstrak :
Remaja sebagai individu yang sedang berada pada masa transisi menuju ke dewasa, dituntut untuk membentuk ?sense of identity' dan melihat dirinya berbeda dan terpisah dari individu lain. Pencapaian identitas diri pada masa ini penting untuk keberhasilan remaja dalam menjalankan perannya di tahap berikutnya, yaitu tahap isolation vs intimacy (Erikson, 1968). Namun keadaan krisis biasanya mengiringi proses pembentukan identitas diri remaja, dan bila tidak dapat terselesaikan akan menyebabkan remaja terus berada pada kebingungan identitas dan tidak dapat menjalankan perannya sebagai individu yang utuh. Pembentukan identitas diri terjadi melalui pencapaian physical self sexual self vocational self social self dan phylosophic self (Erikson, 1963). Sejalan dengan kompleksnya tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh remaja, keadaan ekonomi dan pendidikan yang rendah dapat menjadi faktor yang menyulitkan remaja dalam membentuk identitas dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Marcia (1989) yang menyatakan bahwa keterbatasan ekonomi dan pendidikan menyulitkan remaja dalam mencapai identitas pada domain vocational. Pernyataan ini dikuatkan pandangan Erikson, yang mementingkan faktor pendidikan dan pekerjaan sebagai pembentuk identitas utama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana gambaran diri remaja miskin yang putus sekolah tercapai dengan melihat pencapaian identitas diri melalui penghayatan dan pemahaman remaja akan dirinya pada 5 domain. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pelaksaan penelitian adalah metode studi kasus melalui wawancara mendalam. Sample yang digunakan dalam penelitian adalah remaja akhir dengan batasan usia antara 18-20 tahun. Alasan penggunaan batasan usia ini karena pada masa remaja akhir diasumsikan sudah dapat berpikir abstrak dalam mengintegrasikan seluruh pengalamannya dan membentuk identitas dirinya. Dari 4 orang subyek yang diwawancara, peneliti memperoleh hasil bahwa pencapaian identitas diri pada remaja miskin yang putus sekolah memiliki kecenderungan yang besar berada pada status diffusion, namun masih ada kemungkinan remaja berada pada status foreclosure. Fenomena ini terjadi karena subyek terbatas dalam dua faktor penting dalam 5 domain pencapaian identitas diri. Melihat hasil yang diperoleh dari penelitian ini, peneliti berpendapat penerimaan diri pada remaja miskin yang putus sekolah cukup baik, dan mereka cukup realistis dalam menentukan tujuan hidupnya. Ketidakberhasilan remaja miskin dalam mencapai salah satu domain identitas diri lebih disebabkan keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan dan minimnya keterampilan pekerjaan sehingga sulit bagi remaja miskin mendapat pilihan-pilihan. Hal lain yang cukup menarik dari penelitian ini adalah ditemukannya persamaan pada semua sample penelitian dalam memilih bidang pekerjaannya. Penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan melihat perbedaan identitas diri antara remaja miskin laki-laki dengan remaja miskin perempuan, dan mengapa remaja miskin cenderung memilih bidang pekerjaan yang sama.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2018
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Widyawati
Abstrak :
ABSTRAK
Manusia selalu merasakan kekurangan pada dirinya sehingga kebutuhan untuk menutupi kekurangannya itu pun selalu mewarnai kehidupannya. Kebutuhan ini dapat distimulasi oleh proses internal, tetapi lebih sering oleh faktor-faktor lingkungan (Murray, 1938, dalam Hall & Lindzey, 1985).

Salah satu faktor lingkungan manusia adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan primer yang di dalamnya terjalin interaksi yang mendalam. Seorang anak perlu mengalami iklim keluarga yang menyenangkan sepanjang masa kanak-kanaknya. Lingkungan keluarga yang menyenangkan adalah lingkungan yang mampu menyediakan kehangatan dan penerimaan terhadap anak. Iklim rumah yang positif biasanya menjalankan disiplin yang konsisten, menimbulkan kompetensi sosial dan emosional, dan responsif terhadap kebutuhan pertumbuhan anak (Turner & Helms, 1995).

Namun demikian, banyak anak yang tidak memperoleh pengalaman berada di lingkungan keluarga yang seharusnya. Mereka harus berpisah dari orangtua dan menjalani masa kanak-kanak dan remaja di panti asuhan. Panti asuhan memang dapat memenuhi banyak kebutuhan remaja, tetapi anak asuh tidak dapat terus menggantungkan hidupnya pada panti asuhan. Begitu menyelesaikan sekolah, anak asuh diharapkan sudah mampu untuk mandiri dan menentukan pilihan hidupnya. Dengan kata Iain tuntutan hidup mereka lebih berat daripada remaja yang bingung dalam di rumah bersama orangtuanya

Remaja, baik yang tingal di panti asuhan maupun di rumah bersama orangtua, dituntut untuk menyesuaikan diri dengan banyak perubahan pada dirinya. Walaupun demikian, tidak mudah bagi remaja untuk merencanakan masa depannya. Sering ditemui remaja bingung dalam menentukan langkah dan kesulitan dalam mengemukakan keinginannya.

Masa remaja juga ditandai dengan adanya kebutuhan. Para ahli sepakat tentang adanya kebutuhan yang khas bagi remaja. Belum ada kesepakatan tentang apa bentuk kebutuhan yang khas itu dan mana kebutuhan yang menonjol. Kalaupun ada ahli yang mengemukakan tentang kebutuhan remaja, kebutuhan-kebutuhan itu tidak pasti dapat diberlakukan bagi seluruh remain.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kebutuhan remaja yang tinggal di panti asuhan. Penelitian dilakukan di Jakarta, yaitu membandingkan kebutuhan antara remaja yang baru tingal di panti asuhan dengan yang lama tinggal di panti asuhan, antara remaja panti asuhan perempuan dengan laki-laki, dan antara remaja panti asuhan dengan remaja non panti asuhan.

Pengambllan subyek dilakukan dengan teknik incidental sampling. Subyek adalah penghuni panti asuhan dan bukan penghuni panti asuhan yang berusia 15 sampai 19 tahun. Subyek sejumlah 35 orang berasal dari Panti Asuhan Tanjung Barat di Tanjung Barat, Panti Asuhan Al-Khairiyah di Terogong, Panti Asuhan Jos Sudarso di Cilandak, dan Panti Asuhan Harapan Remaja di Rawamangun. Subyek yang tinggal bersama keluarga di luar panti asuhan berjumlah 45 orang. Alat pengumpul data yang digunakan adalah Edwards Personal Preference Schedule (EPPS) dan pertanyaan terbuka untuk menambah analisis data. Dalam analisis data digunakan analisis statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan kebutuhan remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tidak tinggal di panti asuhan yang menonjol adalah kebutuhan afiliasi. Kebutuhan remaja yang tinggal di panti asuhan yang paling tidak menonjol adalah kebutuhan dominasi, sementara bagi remaja yang tidak tinggal di panti asuhan adalah kebutuhan untuk patuh (need for deference). Baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-laki yang tinggal di panti asuhan memiliki kebutuhan afiliasi yang menonjol dan kebutuhan dominasi yang sangat tidak menonjol. Begitu pula pada penghuni yang baru maupun yang lama pada panti asuhan.
1999
S2566
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Dyah A
Abstrak :
ABSTRAK
Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk menghayati peristiwa atau kejadian di dalam hidupnya. Ada banyak emosi yang dapat dirasakan oleh manusia, dan salah satunya adalah emosi cinta. Cinta dinilai sebagai salah satu hal esensial dalam kehidupan manusia (Strong & DeVault, 1989). Cinta merupakan dasar bagi terbentuknya bermacam-macam hubungan interpersonal.

Ada banyak bentuk cinta. Dalam kebudayaan Yunani dikenal empat bentuk cinta, yaitu: storge, agape, philia dan eros. Tetapi penelitian ini hanya akan memusatkan perhatian pada salah satu bentuk cinta, yaitu eros. Eros seringkali disebut juga sebagai cinta romantik (romantic love) (Rathus, 1993).

Fromm (dalam Peele,1988) mengemukakan bahwa cinta merupakan sesuatu yang unik, sehingga penghayatan cinta bagi setiap individu dalam suatu hubungan akan bersifat unik pula. Brehm (1992) mensinyalir perbedaan tersebut mungkin berkaitan dengan tiga faktor, yaitu: perbedaan jenis kelamin, perbedaan lamanya hubungan yang terjalin dan perbedaan kepribadian individu yang terlibat. Di antara ketiganya, perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang paling berpengaruh.

Hubungan pacaran merupakan salah satu bentuk hubungan intim antara pria dan wanila yang didasari oleh rasa cinta yang kuat atau eros. Pada hubungan tersebut masing - masing pihak akan memperlihatkan penghayatan cinta yang berbeda. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan jenis kelamin di antara kedua individu tersebut.

Oleh karena itu penelitian ini hendak melihat adakah perbedaan cinta antara pria dan wanila dalam hubungan pacaran. Untuk menjawab permasalahan tersebut dpilihlah teori Segitiga Cinta dari Stemberg (1988). Teori ini menyatakan bahwa cinta mengandung tiga komponen, yaitu intimacy passion dan commitment. Ketiga komponen ini merupakan pembentuk (building block) cinta dan masing-masing komponen memiliki sifat serta peran yang berbeda. Maka pemasalahan penelitian ini adalah adakah perbedaan komponen- komponen cinta antara pria dan wanita dalam hubungan pacaran?

Dari hasil perhitungan t-test ternyata tidak ditemukan perbedaan antara pria dan wanita untuk ketiga komponen tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal, yaitu: karena pengaruh budaya sebagaimana yang disinyalir oleh Brehm (1992) atau implikasi dan teknik pengambilan sampel, dimana subyek dalam penelitian ini adalah pasangan pria dan wanita yang sedang berpacaran.

Jika dilihat dari harga rata-rata (mean) untuk setiap komponen, kelompok subyek wanita memberikan penilaian yang Iebih tinggi untuk komponen intimacy dibandingkan dua komponen lainnya. Artinya wanita komponen intimacy yang paling tepat menggambarkan diri serta pasangannya dalam hubungan pacaran Sementara komponen commitment dinilai Iebih sesuai/tepat bagi kelompok subyek pria dibandingkan kedua komponen Iainnya.

Dari penelitian ini juga terlihat bahwa hubungan pacaran pada dewasa muda didasari oleh consumate love, yaitu jenis cinta yang merupakan kombinasi antara ketiga komponen cinta, yaitu; komponen intimacy, passion dan commitment (Stemberg, 1988).
1999
S2597
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharina Ariane Judin
Abstrak :
ABSTRAK
Pengasuhan anak seringkah dianggap sebagai tugas ibu, meski banyak penelitian menunjukkan bahwa ayah memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengasuhan anak. Menjalani proses pengasuhan, ayah mempunyai peran sebagai tokoh dimana anak, baik perempuan maupun laki-laki, belajar mengenai peran dan keterampilan sosial. Masalahnya memasuki masa remaja, perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan seringkah melatarbelakangi perubahan perilaku ayah terhadap remaja putri tersebut, seperti menarik diri dari remaja putri. Namun, perubahan perilaku tersebut terjadi seiring dengan timbulnya kesadaran ayah bahwa diperlukan kemandirian diri remaja. Kaitannya dengan perkembangan kemandirian, mendorong remaja untuk membentuk kelekatan dengan teman sebaya. Hal ini menjadi sumber kekhawatiran orangtua. Berbeda dengan pendapat umum, mendukung remaja mengatasi masalah yang dialaminya, berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada aspek biologis, kognitif, serta psikososial yang dialaminya dalam masa transisi ini. Perlakuan ayah dalam pengasuhan remaja putri diukur melalui 3 dimensi, penciptaan kehangatan, penetapan peraturan, serta pembentukan kemandirian psikologis anak, dengan alat ukur yang diisi secara self-rating. Pengukuran melibatkan 86 partisipan yang berdomisili di Jakarta. Selanjutnya untuk kelekatan remaja putri dengan teman sebayanya diukur dengan alat ukur yang merupakan modifikasi dari Inventory of Parent Peer Attachment subscle Peer Attachment (Armsden & Greenberg, 1987). Indikator kelekatan adalah: kualitas komunikasi, tingkat kepercayaan, serta keterasingan dari kelompok. Inventori diberikan kepada 86 remaja putri (dari ayah yang diberi kuesioner di atas),. Terhadap kedua alat penelitian ini dilaksanakan proses uji keterbacaan dengan menggunakan expert judgment. Selanjutnya, juga telah dilakukan uji reliabilitas dengan metode koefisien alpha Cronbach pada program SPSS 10.01. Weiss (1982) menyatakan bahwa kelekatan merupakan faktor yang Uji signifikansi dilakukan dengan metode korelasi product-moment Pearson menggunakan program SPSS 10.01. Serta uji diferensiasi menggunakan metode unrelated t * tes t . Hasil perhitungan menunjukkan perlakuan ayah dalam pengasuhan remaja putri berhubungan positif dengan kelekatan remaja putri dengan teman sebayanya. Dari tiga dimensi pengasuhan yang diukur, dua dimensi yaitu kehangatan dan penetapan peraturan, ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan kelekatan remaja putri dengan teman sebayanya. Pembentukan kemandirian psikologis tidak memiliki hubungan. Dalam perbedaan persepsi antara para ayah dan remaja putri mengenai perlakuan ayah dalam pengasuhan remaja putrinya, dalam 3 dimensi pengasuhan yang diukur, ditemukan perbedaan persepsi dalam 2 dimensi, yaitu : penciptaan kehangatan dan penetapan peraturan. Para ayah mengaku mengasuh dengan gaya otoritatif. Disarankan agar ayah menjajaki hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan remaja putrinya agar lebih terlibat dan menunjukkan kepedulian.
2002
S2918
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Chrisnatalia
Abstrak :
ADHD adalah suatu gangguan perkembangan, dalam bentuk gangguan pemusatan perhatian. Gangguan tersebut memiliki 3 gejala utama, yaitu inattention (ketidakmampuan memperhatikan), impulsivitas, dan hiperaktivitas (Wenar, 2000). Akibat adanya gejala-gejala tersebut, anak ADHD sering mengalami masalah akademis atau kesulitan untuk berprestasi optimal di sekolah, dimana 75 % dari para penyandang ADHD mengalami kesulitan belajar (Mash & Wolfe, 1999). Prestasi akademis mereka cenderung rendah tetapi hal tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan intelegensi mereka, melainkan oleh kesulitan dalam menerapkan kemampuan intelektual tersebut dalam situasi yang mereka hadapi sehari-hari. Beberapa literatur mengutarakan bahwa kondisi ADHD berkaitan erat dengan kurang atau lemahnya kemampuan pengendalian diri. Menurut Sarafino (1996), kemampuan pengendalian diri berfungsi menahan atau menunda pemuasan dorongan-dorongan atau hasrat yang ada di dalam diri seseorang. Kurangnya kemampuan pengendalian diri pada anak ADHD dapat terlihat dalam gejala impulsivitas dan hiperaktif (Flick, 1998). Gejala impulsif menunjukkan bahwa anak ADHD tidak mampu menahan diri untuk menunggu dalam waktu te1tentu sebelum bertindak atau berbicara. Sama seperti gejala impulsif, gejala hiperaktif juga menunjukkan ketidakmampuan anak untuk menahan dorongan dari dalam diri untuk melakukan gerakan-gerakan secara berlebihan. Masalah dalam penguasaan diri dan aktualisasi kemampuan akademis perlu diatasi. Jika dibiarkan terus menerus tanpa ada intervensi, maka anak dapat semakin terpuruk dalam bidang akademis. Mengingat dampak gejala impulsivitas dan hiperaktifitas terhadap perkembangan keterampilan akademis dan kepribadian anak secara umum, maka peneliti tertarik untuk melakukan intervensi kepada anak ADHD dalam bentuk pelatihan kendali diri. Salah satu bentuk pelatihan kendali diri adalah pelatihan kendali diri dengan menggunakan teknik progressive delayed reinforcement dan kegiatan pengalih (Dixon, Binder & Ghezi, 2000). Pelatihan dengan teknik ini berangkat dari definisi kendali diri menurut pendekatan behavioral yaitu sebagai kemampuan untuk menunda pemuasan kebutuhan secara (immediate gratification ) atau kemampuan untuk memilih penguat yang lebih besar yang diberikan setelah penundaan (penguat-besar­ tertunda/larger delayed reinforcement ) daripada memilih penguat yang lebih kecil, namun diberikan segera (penguat-kecil-segera/sma/ler immediate reinforcement ) (Ainslie, Rachlin, & Green, dalam Dixon, dkk, 1998). Berdasarkan definisi tersebut, pelatihan dengan teknik tersebut, melatih kemampuan kendali diri dengan cara menghadapkan individu kepada dua pilihan penguat, yaitu penguat-kecil-segera dan penguat-besar­ tertunda. Adanya kebiasaan anak untuk belajar menunda pemuasan kebutuhan, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak dalam menunda pemuasan kebutuhan segera yang pada gilirannya akan menguatkan kemampuan pengendalian dirinya. Jangka waktu penundaan penguat-besar-tertunda ditingkatkan secara bertahap untuk meningkatkan kendali diri anak. Pelatihan kendali diri dalam penelitian ini selain menggunakan teknik progressive delayed reinforcement dan kegiatan pengalih juga menggunakan teknik modelling. Kegiatan pengalih yang digunakan adalah perilaku defisit pada anak yaitu duduk dan menge1jakan tugas. Selain itu kegiatan pengalih yang digunakan adalah self statement rule yang berfungsi sebagai instruksi diii bagi anak untuk mengerjakan tugasnya. Modelling dilakukan untuk mempengaruhi anak untuk tetap menampilkan kendali diri ketika diberikan pilihan penguat. Hasil pelatihan menunjukkan peningkataan kendali diri, yang dilihat dari dua indikator. Pertama, adanya peningkatan kecenderungan anak untuk memilih penguat-besar-te 1iunda. Kedua, adanya peningkatan jangka waktu perilaku duduk dan mengerjakan tugas pada anak ADHD. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peningkatan kendali diri terjadi jika penguat-kecil­ segera diberikan jangka waktu penundaan juga.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian P. Moeliono
1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Norma Linda
Abstrak :
Masuknya wanifa ke dalam dunia kerja membawa berbagai perubahan ke dalam kehidupan perkawinan maupun keluarga. Konsekuensi langsung dari aktivitas kerjanya adalah terjadinya perubahan atau penambahan peran bagi wanita. Wanita pekerja berlambah perannya sebagai pencari nafkah, selain peran tradisional yang dijalankan sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas kelancaran kehidupan rumah langga dan pengasuhan anak. Perubahan/penambahan peran ini lidak hanya berdampak pada wanita, Bagi pasangannya, hal ini berdampak limbulnya kebuluhan atau tuntutan untuk menyesuaikan/mengubah peran sesuai dengan perubahan yang terjadi pada peran wanita pasangannya. Salah salu bidang kehidupan keluarga yang terkena dampak perubahan karena Wanita bekerja adalah pembagian tugas funiah tangga, termasuk pengasuhan anak yang secara tradisional menjadi tanggung jawab wanita. Reran suami sebagai pasangan wanita pekerja dalam hal ini menjadi amat penting. Para suami dituntut untuk mengubah sikapnya menjadi lebih egaliter, bersedia berbagi tugas rumah tangga, bukan semata-mata berdasarkan stereotip peran gender, tapi lebih mempertimbangkan faktor kemampuan dan kesempatan yang tersedia. Dari penelaahan teoritis, maupun hasil penelitlan di negara-negara barat, ditemukan bahwa suami yang berorientasi peran gender egaliter lebih bersedia untuk berpartisipasi nyata dalam melakukan tugas rumah tangga dan pengasuhan anak yang secara tradisional dipandang sebagai tugas wanita. Agar wanita dapat menjalankan fungsi secara lebih efektif dalam dunia kerja, ia perlu mendapat dukungan dari suami berupa kesediaan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan tugas rumah tangga. Mengingat kenyataan bahwa semakin banyak wanita Indonesia memasuki dunia kerja, maka perlu diperoleh gambaran mengenai orientasi peran gender pasangannya. Lebih jauh ingin diketahui apakah ada kaitan antara peran gender seseorang dengan pilihan tugas rumah tangga yang dilakukannya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran orientasi peran gender para suami yang istrinya bekerja dengan memanfaatkan BSRI, selain itu pilihan pekerjaan rumah tangga diteliti dengan kuesioner yang ditujukan pada 62 responden para suami yang istrinya bekerja yang dipilih secara accidental. Data diolah dengan perhitungan frekuensi dan chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara orientasi peran gender para suami tersebut dan pilihan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan. Hal yang menarik adalah bahwa cukup banyak suami yang berorentasi peran gender androgini (49,1%) sebanding dengan yang berorientasi maskulin (50%). Namun diketahui bahwa tetap ada pemilihan pekerjaan rumah tangga yang menurut subyek seharusnya dilakukan oleh suami, suami dan orang lain, suami istri, istri serta istri dan orang lain, padahal menurut Pogrebin (1983) pemilihan pekerjaan rumah tangga lebih didasarkan pada kemampuan yang dimiliki. Tidak signifikannya kaitan antara orientasi peran gender dan pilihan pekerjaan rumah tangga diperkirakan dapat disebabkan oleh kurang luasnya sampel sehingga skor tersebar dalam rentang yang terlalu sempit. Selain itu, hal ini memberi indikasi bahwa pandangan tradisional mengenai peran wanita masih mengakar pada para suami yang istrinya bekerja. Para suami dapat menerima kegiatan kerja istrinya, tetapi masih berpandangan bahwa urusan rumah tangga dan perawatan anak adalah tugas utama para istri yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian sebagian besar responden berada dalam bentuk perkawinan modern, menurut klasifikasi Dancer and Gilbert (1993).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2676
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana Setyaningrum
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu masalah yang tampaknya dari dahulu sampai sekarang tetap menjadi perhatian dunia adalah masalah perkembangan anak. Masalah ini mendapat perhatlan yang begitu besar karena, anak adalah penerus dari apa yang kita keijakan saat ini. Salah satu syarat yang dibutuhkan anak agar dapat menjadi penerus yang bermutu adalah memiliki tingkah laku adaptif yang balk. Heber, dalam Manual AAMD (1973.1977) mengatakan bahwa tingkah laku adaptif adalah the effectiveness or degree with which an individual meets the standards of personal independence and social responsibility for age and cultural group. Tingkah laku adaptif Ini berkaitan dengan 3 prinsip penting, salah satu dlantaranya adalah usia. Oleh karena itu, untuk penelitian ini diadakan pembatasan usia. Usia yang diambil untuk penelitian ini adalah 1-3 tahun, pada saat anak berada pada pehode toddlerhood (Waechter, 1985). Masa ini amat penting bag! pertumbuhan anak karena pada saat ini ia mulal menemukan dirinya sebagai seseorang yang terlepas dari ibunya, mulai menemukan dirinya dan mempunyai sense of self. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar focfd/er dapat mencapal tingkah laku adaptif yang sesuai. Antara lain adalah dengan lingkungan pengasuhan dan kelekatan . Umumnya, pada usia dini, hal ini dipercleh anak melalui hubungan diadik (dyad) anak dengan ibu kemudian berkembang pada keluarga inti. Tetapi, saat ini ada banyak tuntutan baik dari luar maupun dari diri wanita yang menyebabkan wanita harus memalnkan peran ganda, sebagai ibu dan wanita bekerja. Keadaan ini menimbulkan konflik dari ibu pekerja yang terpaksa meninggalkan anaknya di rumah. Ada beberapa alternatif pengasuhan yang dapat dipilih oleh para ibu ini. Yang pertama adalah dengan menyewa tenaga perigasuh. Plllhan lain, yang sedang berkembang saat ini adalah dengan menitipkan anak pada Tempat Penitipan Anak (TPA). Tampaknya TPA Ini dapat menjadi alternatif lingkungan pengasuhan bagi anak. Cohen & Bagshaw (1973) berkata bahwa anak yang dititipkan di TPA secara umum leblh outgoing, percaya diti, spontan dan socialy competent. Masalahnya, benarkah TPA di Jakarta ini dapat memberikan apa yang dijanjikan. Leblh baik dari apa yang dapat diberikan oleh seorang pengasuh ? Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan dalam tingkah laku adaptif antara anak-anak usia 1-3 tahun yang dititipkan di TPA dan yang diasuh di rumah oleh pengasuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana TPA berpengaruh terhadap perkembangan tingkah laku adaptif anak. Sedangkan manfaatnya adalah untuk membantu para ibu dalam menentukan plllhan pengasuh pengganti. Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mendatangi 6 buah TPA di Jakarta dan keluarga yang mempunyai anak berusia 1-3 tahun dengan ibu bekerja. Pemilihan Subyek dilakukan secara non probability sampling, tipe purposive sampling. Artinya sampel dipilih karena memiliki karakteristik khusus atau dapat menyediakan Informasi yang paling berguna bag! penelitian (Shaughnessy, 1990). Karakteristiknya adalah sebagai berikut; usia anak (1-3 tahun), usia orang tua, pendidikan orang tua (minimal SMA), pekerjaan orang tua dan status sosial ekonomi. Subyek akan dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah anak yang dititipkan di TPA sedangkan kelompok kedua adalah anak-anak yang diasuh di rumah oleh pengasuh. Pada kedua kelompok tad! diberikan 2 macam alat ukur, yaitu Home Observation for Measurement of the Environmet (HOME), yang mengukur stimulasi lingkungan pengasuhan rumah dan Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS), yang mengukur tingkat tingkah laku adaptif anak. Perbandingan dilakukan dengan membandingkan jumlah skor kedua kelompok tersebut. Pengambilan data ini dilakukan dengan observasi dan wawancara semi berstruktur. HOME perlu diberikan karena lingkungan pengasuhan rumah mempunyai peranan penting bagi perkembangan tingkah laku adaptif anak sehingga peranannya tidak dapat diabaikan. Lingkungan pengasuhan ini juga terdiri dari variabel yang besar jumlahnya. Oleh karena itulah, HOME dipakai sebagai kontrol statistik sebagai variabel konkomitan. Secara lebih jelas, variabel-variabel dalam penelitian ini adalah tingkah laku adaptif anak sebagai variabel dependen, keanggotaan anak pada TPA sebagai variabel independen dan stimulasi lingkungan rumah sebagai variabel konkomitan. Hipotesa yang digunakan adalah : HI = Ada perbedaan yang signifikan dalam tingkah laku adaptif anak-anak usia 1-3 tahun yang dititipkan di TPA dengan yang dirawat di rumah. HO = Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkah laku adaptif anak-anak usia 1-3 tahun yang dititipkan di TPA dengan yang dirawat di rumah. Perhitungan statistik yang digunakan adalah Ancovar dan bila HI terbukti, diadakan perhitungan Z score untuk melihat mana dari keempat ranah yang dimiliki VABS yang paling membedakan tingkah laku adaptif anak-anak TPA dengan non TPA. Perhitungan statistik ini dilakukan dengan bantuan program SPSSWin Ver. 6.0 for Windows. Dengan level signifikansi 0.05. Dari hasil perhitungan statistik tersebut ditemukan bahwa memang ada perbedaan yang signifikan dalam tingkah laku adaptif anak-anak usia 1-3 tahun yang dititipkan di TPA dengan yang dirawat di rumah. Berarti H1 diterima dan HO ditolak. Jadi anak TPA mempunyai tingkah laku adaptif yang lebih balk dibandingkan dengan anak non TPA. Ditemukan juga bahwa tidak ada satu kemampuan dari keempat ranah VABS yang lebih menonjol dari yang lainnya. Berarti kemampuan anak TPA dalam keempat ranah ini hampir seimbang, tidak ada satu yang lebih baik dari pada yang lainnya. Sedangkan penawaran penjelasan mengenai hasil yang diperoleh, kelemahan dan kesulitan dalam penelitian ini serta saran-saran yang dapat memperbaiki hasil penelitian ditulis pada bab terakhir, yaitu Kesimpulan, Diskusi dan Saran.
1997
S2740
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitriani Sumarlis
Abstrak :
ABSTRAK
Menumt Erikson (dalam Hamner & Turner, 1990) krisis perkembangan yang dialami anak pada masa usia sekolah adalah industry vs inferiority. Keberhasilan anak mengatasi krisis in! akan menimbulkan rasa industri yang akan membentuk konsep diri yang posltif. Rasa industri seorang anak pada masa ini sangat ditentukan oleh prestasi belajamya di sekolah (Erikson dalam Hjelle & Ziegler 1991). Prestasi belajar anak di sekolah ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah keluarga karena dalam perkembangan seorang anak tidak ada pengalaman lain yang bisa mempengaruhi anak sebanyak pengaruh hubungan orangtua dan anak (Turner & Helms, 1991). Orangtua melalui interaksinya dengan anak dalam proses pengasuhan dapat berperan dalam upaya pencapaian prestasi' belajar anak. Berkaitan dengan peran orangtua, secara tradisional pengasuhan dalam arti mendidik dan membesarkan anak lebih dibebankan kepada ibu. Peran ayah lebih dikaitkan dengan peran sebagai pendukung ekonomi yang membutuhkan keterampilan dan kemampuan intelektual (Signer, 1994; Hamner & Turner, 1990; Parsons & Bales dalam Signer 1994; Phares, 1996) sehingga keterllbatan ayah dalam pengasuhan anak tidak mendalam. Namun jaman berkembang dan jumlah wanita yang bekerja meningkat. Ayah pun mulai dituntut untuk terlibat dalam pengasuhan anak. Beberapa basil penelitian menunjukkan bahwa ayah memiliki kemampuan yang sama dengan Ibu dalam mengasuh anak. Penelitian lain pun menunjukkan bahwa keteriibatan ayah dalam pengasuhan dapat berpengaruh terhadap keseluruhan perkembangan sosial, emoslonal dan Intelektual anak (Crouter & Jenkins 1987)^ Khususnya bag! anak usia sekolah pengaruh ayah lebih ditekankan pada perkembangan intelektual anak dalam kaltannya dalam pencapaian prestasi belajar. Karakteristik-karakteristik tertentu yang ditampilkan ayah selama proses pengasuhan -hangat atau kontrol- akan berpengaruh bagi pencapaian prestasi belajar anak. Dari beberapa peneiitian yang dilakukan oieh Radin (1981) terhadap ayah anak prasekolah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kehangatan yang diberikan ayah dengan fungsi intelektual dan prestasi belajar anak. Sedangkan kontrol ayah berhubungan negatif dengan prestasi belajar anak. Di Indonesia, peneiitian Yusuf (1996) menunjukkan bahwa kebanyakan orangtua siswa yang berprestasi unggul memiliki pengasuhan yang cenderung demokratis maupun tidak demokratis. Oleh karena itu, peneiitian ini akan melihat bagaimanakah karakteristik pengasuhan ayah anak usia sekolah yang berprestasi belajar tinggi dan rendah. Peneiitian ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk memperoleh gambaran mengenai dua kelompok sampel yaitu para ayah yang memiliki anak usia sekolah berprestasi belajar tinggi dan rendah. Subjek peneiitian ini adalah 65 orang ayah. Mereka memiliki anak yang duduk di kelas Vl sekolah dasar dan tergolong siswa yang berprestasi belajar tinggi dan rendah. Pengambilan sampel akan dilakukan dengan menggunakan metode purposive. Mat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner yang diberikan kepada para ayah dari kedua kelompok ayah tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebanyakan ayah dalam peneiitian ini memiliki tingkat kehangatan dan kontrol yang tinggi dalam pengasuhan. Saran bagi peneiitian yang akan datang adalah menyeimbangkan jumlah item pengasuhan ayah yang hangat dan kontrol serta membandingkan tingkat pendidikan, tingkat pendidikan yang diharapkan maupun yang diharuskan ayah dan ibu. Untuk peneiitian serupa, diharapkan dapat memperbesar jumlah sampel sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang variabelvariabel yang berkaitan dengan pengasuhan ayah seperti faktor budaya, pengalaman bersama ayah atau karakteristik kepribadian ayah.
1997
S2743
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>