Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
Winona Devina
"Skripsi ini menganalisis fakta terkait posisi dominan yang ditimbulkan dari akuisisi Tokopedia oleh Tiktok menurut Hukum Persaingan Usaha di Indonesia serta akibat hukum terhadap posisi dominan dalam big data yang dimiliki Tiktok dalam pasar e-commerce menurut Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, di mana data yang digunakan berasal perundang-undangan, artikel-artikel, beserta buku-buku. Pada faktanya, Tokopedia dan TikTok Shop tidak memenuhi kriteria batasan penguasaan pangsa pasar yang dimaksudkan oleh Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sehingga dugaan penyalahgunaan posisi dominan tidak terbukti. Namun, TikTok diketahui menguasai penetrasi media sosial di Indonesia sebesar 73% yang menunjukkan bahwa TikTok mempunyai posisi dominan dalam pangsa pasar media sosial di Indonesia, walaupun tidak di dalam pangsa pasar e-commerce. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan interaksi data dari media sosial TikTok dengan Tokopedia yang berada di bawah kendali TikTok. Interaksi ini dapat berakibat pada potensi penyalahgunaan dan penguasaan big data, di mana big data tersebut berkaitan erat dengan konsep fasilitas esensial (essential facility). Oleh sebab itu, TikTok memiliki potensi untuk memonopoli pasar dengan memanfaatkan fasilitas esensial berupa big data konsumen Indonesia yang dimilikinya. Agar hukum persaingan usaha yang diimplementasikan dapat relevan dengan teknologi yang semakin berkembang seiring berjalannya waktu, KPPU perlu mempertimbangkan pemanfaatan big data dalam menentukan posisi dominan sehingga persaingan usaha yang tidak sehat dapat dicegah.
This thesis analyzes the facts related to the dominant position that resulted from the acquisition of Tokopedia by Tiktok according to Antitrust Law in Indonesia and the legal consequences of the dominant position in big data owned by Tiktok in the e-commerce market according to Antitrust Law in Indonesia. This thesis is prepared using a normative juridical research method, where the collected data comes from existing laws, articles, and books. In fact, Tokopedia and TikTok Shop do not meet the criteria for market share control limits defined by Article 25 paragraph (2) of Law Number 5 Year 1999 and therefore the presumption of abuse of dominant position is not proven. However, TikTok is known to control social media penetration in Indonesia by 73%, which shows that TikTok has a dominant position in the social media market share in Indonesia, although not in the e-commerce market share. This can be associated with the data interaction from TikTok's social media with Tokopedia, which is under TikTok's control. This interaction may lead to the potential of misuse and control of big data, where big data is closely related to the concept of essential facility. As a result, TikTok has the potential to monopolize the market by exploiting the essential facility of Indonesian consumers' big data. In order to make the implemented antitrust law relevant to the developing technology over time, KPPU needs to consider the utilization of big data in determining the dominant position thus unfair business competition can be prevented."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Matthew Sebastian
"PKPU merupakan upaya hukum untuk mencegah pengadilan menetapkan kepailitan dengan mengajukan rencana perdamaian dan restrukturisasi utang, yang dapat diajukan oleh debitor atau kreditor sebelum putusan pailit diumumkan. Selama proses PKPU, kekayaan debitor dibekukan, kewajiban membayar utang dihentikan, dan tindakan eksekusi ditunda, sementara debitor tidak boleh mengelola asetnya. Penerapan PKPU penting untuk kelangsungan usaha debitor dan kreditor, namun sering terjadi kerancuan dalam penerapan hukum tentang penarikan penjamin sebagai termohon PKPU, seperti yang terlihat dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian analisis-deskriptif untuk menganalisis permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa Pasal 254 UUK-PKPU mengatur bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku bagi keuntungan sesama debitor dan penanggung, namun ketentuan ini menimbulkan kerancuan dalam kasus PKPU yang melibatkan corporate guarantor. Dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, hakim memutuskan untuk mengikutsertakan corporate guarantor sebagai termohon PKPU yang mana telah mencampurkan konsep kepailitan di dalam perkara PKPU. Penulis menyarankan adanya pedoman tambahan, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, untuk memperjelas keikutsertaan personal, corporate, dan bank guarantee dalam proses PKPU demi menciptakan kepastian hukum.
PKPU is a legal measure to prevent the court from declaring bankruptcy by proposing a peace plan and debt restructuring, which can be submitted by the debtor or creditor before the bankruptcy decision is announced. During the PKPU process, the debtor's assets are frozen, debt payment obligations are halted, and execution actions are suspended, while the debtor is not allowed to manage their assets. The implementation of PKPU is crucial for the continuity of the debtor's and creditor's businesses, but legal errors often occur especially in Article 254 UUK-PKPU that explains about involving guarantors as PKPU respondents, as seen in Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. The author uses a juridical-normative method with a qualitative approach in descriptive-analytical research to analyze existing issues based on applicable regulations. The study found that Article 254 of the UUK-PKPU states that the postponement of debt payment obligations does not apply for the benefit of co-debtors and guarantors, but this provision creates confusion in PKPU cases involving corporate guarantors. In Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, the judge decided to include the corporate guarantor as a PKPU respondent, thereby mixing the concept of bankruptcy in the PKPU case. The author suggests additional guidelines, such as a Supreme Court Circular, to clarify the participation of personal, corporate, and bank guarantees in the PKPU process to create legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Tiara Zahra Salsabila
"Tulisan ini membahas mengenai bagaimana pengaturan Chapter 13 U.S. Bankruptcy Code tentang permohonan kebangkrutan bagi debitor kepailitan individu, khususnya bila dibandingkan dengan Hukum Kepailitan di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dengan mengangkat kasus In Re Joshua Richard Ewing, 583 B.R. 252 (Bankr. D. Mont. 2018), diketahui bahwa hukum kepailitan di Indonesia masih belum memberikan perlindungan yang cukup untuk debitor kepailitan, khususnya bagi debitor kepailitan individu. Terdapat banyak ketentuan yang perlu diperbaiki terkait pengesahan rencana perdamaian yang diajukan debitor dan implikasinya apabila rencana tersebut ditolak. Oleh karena itu, dibutuhkan penerapan konsep Individual Debt Adjustment berdasarkan Chapter 13 U.S. Bankruptcy Code yang dinilai lebih efektif dalam memberikan perlindungan yang diperlukan bagi debitor individu. Penulis merasa bahwa U.S. Bankruptcy Code bisa menawarkan perlindungan lebih pada debitor karena memberikan mekanisme seperti Chapter 13 yang memungkinkan mereka untuk merencanakan ulang pembayaran utang selama beberapa tahun ke depan. Hal ini memberikan debitor kesempatan untuk menghindari likuidasi dan menjaga aset-aset mereka dari penyitaan atau eksekusi oleh kreditor.
This paper discusses the application of Chapter 13 of the U.S. Bankruptcy Code, how it regulates bankruptcy petitions for individual debtors, especially when compared to Bankruptcy Law in Indonesia. This paper is written using a normative juridical research method. By examining the case of In Re Joshua Richard Ewing, 583 B.R. 252 (Bankr. D. Mont. 2018), it is evident that Indonesia's bankruptcy law still lacks adequate protection for bankrupt debtors, especially individual debtors. There are many provisions that need improvement regarding the approval of the peace plan submitted by the debtor and its implications if the plan is rejected. Therefore, the implementation of the Individual Debt Adjustment concept based on Chapter 13 of the U.S. Bankruptcy Code is needed, which is considered more effective in providing the necessary protection for individual debtors. The author believes that the U.S. Bankruptcy Code can offer greater protection to debtors by providing mechanisms like Chapter 13 that allow them to reschedule debt payments over several years. This gives debtors the opportunity to avoid liquidation and preserve their assets from creditor foreclosure or execution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Klose Mikhael Ramos
"Skripsi ini menganalisis penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum kepailitan Indonesia, khususnya dalam kasus sengketa kepailitan yang ada. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan prinsip hukum perdata yang berfungsi sebagai pembelaan terhadap klaim wanprestasi, di mana prinsip ini menyatakan bahwa wanprestasi yang dilakukan oleh tergugat terjadi karena penggugat terlebih dahulu melakukan wanprestasi. Namun, dalam praktiknya, prinsip exceptio non adimpleti contractus sering digunakan dalam sengketa kepailitan sebagai instrumen pembelaan oleh debitor yang menjadi termohon dalam permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Penerapan prinsip ini berkaitan langsung dengan eksistensi utang, yang merupakan salah satu syarat PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu sengketa kepailitan di Indonesia yang menerapkan prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah sengketa kepailitan PT Anema Villas & Hotels, dengan nomor kasus: 24/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga Sby.
This thesis analyzes the application of the principle of exceptio non adimpleti contractus within Indonesian bankruptcy law, specifically in existing bankruptcy dispute cases. This paper is structured using doctrinal legal research methodology. The principle of exceptio non adimpleti contractus is a civil law principle that serves as a defense against a claim of breach of contract, wherein this principle asserts that the breach by the defendant occurred because the claimant first committed a breach of contract. However, in practice, the principle of exceptio non adimpleti contractus is often employed in bankruptcy disputes as a defense instrument by debtors who are respondents to the Bankruptcy Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) petition. The application of this principle is directly related to the existence of debt, which is one of the requirements for PKPU as stipulated in Article 2 paragraph (1) in conjunction with Article 8 paragraph (4) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. One of the bankruptcy disputes in Indonesia where the principle of exceptio non adimpleti contractus was applied is the bankruptcy dispute of PT Anema Villas & Hotels, case number: 24/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga Sby."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hezekiel Melanthon Sumantoro
"Kepailitan terhadap developer apartemen banyak menimbulkan pro dan kontra karena dinilai merugikan konsumen yang hanya menjadi Kreditor konkuren. Pada akhir 2023, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 3/2023 yang mana salah satu isinya adalah menyatakan pembuktian perkara pailit dan PKPU terhadap developer apartemen tidak dapat dibuktikan secara sederhana sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU. Dalam skripsi ini, Penulis membahas mengenai ketentuan pembuktian tidak sederhana pada perkara kepailitan dan PKPU terhadap developer apartemen pada SEMA 3/2023 dengan menganalisisnya dari segi UUKPKPU dan Hukum Kepailitan secara umum serta dikaitkan berdasarkan kasus-kasus kepailitan dan PKPU yang terjadi terhadap developer apartemen. Skripsi ini juga menganalisis SEMA 3/2023 sebagai sebuah peraturan dan keberlakuannya dalam perkara kepailitan dan PKPU. Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang Penulis temukan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa SEMA 3/2023 yang mengatur mengenai pembuktian tidak sederhana pada perkara kepailitan dan PKPU terhadap developer apartemen bertentangan dengan UUKPKPU serta Hukum Kepailitan secara umum. SEMA 3/2023 juga telah melanggar prinsip kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara sebagaimana dalam UUKH dan UUMA. Kehadiran SEMA 3/2023 bukanlah solusi bagi penyelesaian atas kerugian konsumen ketika developer apartemen pailit, melainkan hanya menambah masalah baru akibat upaya hukum bagi Kreditor, baik konsumen maupun non-konsumen, serta Debitor itu sendiri dibatasi. Selain itu, kehadiran SEMA 3/2023 dapat menimbulkan disparitas putusan terhadap developer apartemen yang akan menimbulkan ruang abu-abu atas parameter dari pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan dan PKPU, khususnya terhadap developer apartemen. Penulis berkesimpulan bahwa untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian akibat developer apartemen pailit bukan dengan cara membuat developer apartemen tersebut tidak dapat pailit atau PKPU, melainkan mengatur perihal mekanisme khusus atas permohonan pailit dan PKPU terhadap developer apartemen atau pengaturan mengenai perlindungan konsumen selama proses kepailitan, khususnya dengan memperhatikan hak-hak konsumen sebagaimana dalam UUPK.
Bankruptcy against apartment developers has raised many pros and cons because it’s considered detrimental to consumers who are only concurrent Creditors. At the end of 2023. The Supreme Court issued SEMA 3/2023 which one of the contents is to state that the evidentiary of bankruptcy and PKPU cases against apartment developers cannot be proven simply as in Article 8 paragraph (4) UUKPKPU. In this thesis, the author discusses the provision of non-simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases against apartment developers in SEMA 3/2023 by analyzing it in terms of UUKPKPU and Bankruptcy Law in general, and also related based on bankruptcy and PKPU cases that occurred against apartment developers. This thesis also analyzes SEMA 3/2023 as a regulation and its applicability in bankruptcy and PKPU cases. The author employs normative juridical research with descriptive-analytical characteristics to address the issues found. The results research indicate that SEMA 3/2023, which regulates non-simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases against apartment developers contradicts with UUKPKPU and Bankruptcy Law in general. SEMA 3/2023 has also violated the principle of freedom of judges in deciding a case as stipulated in UUKH and UUMA. The presence of SEMA 3/2023 is not a solution to the losses suffered by consumers when an apartment developers goes bankruptcy, rather, it creates new problems by limiting the legal recourse available to Creditors, both consumers and non-consumers, as well as the Debtor it self. Furthermore, the presence of SEMA 3/2023 may lead to disparity in decisions against apartment developers which will create a gray area over the parameters of simple evidentiary in bankruptcy and PKPU cases, especially against apartment developers. The author concludes that to protect consumers who have suffered losses due to bankruptcy of apartment developers is not by making the apartment developer unable to file for bankruptcy or PKPU, but by regulating a special mechanism for bankruptcy and PKPU petition against apartment developers or regulating consumer protection during the bankruptcy process, especially by paying attention to consumer rights as outlined in UUPK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yuliana Greta Elvira Winangun
"Tesis ini membahas tentang kompleksitas tanggung jawab negara dalam mengelola BUMN yang bangkrut dan bagaimana pemerintah memberikan perlindungan terhadap pegawai sebagai kreditor. Tesis ini memberikan penjelasan bagaimana negara mengambil tindakan yang berdampak pada perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan juga terhadap keamanan tenaga kerja. Kenyataannya, peran pemerintah dalam proses kebangkrutan BUMN seringkali mengandung tantangan dan kontradiksi. Tujuan pemerintah adalah menjaga stabilitas perusahaan dan melindungi kepentingan publik, namun dalam praktiknya, intervensi pemerintah sering kali tidak terlihat oleh karyawan. Pembahasan dalam tulisan ini menggali kepentingan masyarakat, intervensi pemerintah masih sering gagal dalam menjaga hak-hak pegawai dan akuntabilitas yang transparan. Analisis ini menjelaskan perlunya mekanisme yang lebih kuat untuk menyeimbangkan intervensi negara dan perlakuan adil terhadap pekerja. Tesis ini menyoroti PT. Istaka Karya, dengan disahkannya Putusan Nomor 67/PUU-XI/2013, pekerja mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen meskipun perusahaan tersebut bangkrut karena beberapa sebab. Namun demikian, implikasi dari permasalahan ini ada dua, yaitu dampak yang menguntungkan dan merugikan. , tesis ini akan menjelaskan seberapa efektif implementasi Keputusan Nomor 67/PUU- XI/2013 dan perlindungannya terhadap pegawai BUMN serta tindakan perbaikannya untuk mengatasi dan memitigasi tantangan yang terkait.
This thesis discusses the complexity of the state's responsibility in managing bankrupt state-owned enterprises and how the government provides protection for employees as creditors. This thesis provides an explanation of how the state takes action that has an impact on companies experiencing bankruptcy and also on workforce security. In reality, the government's role in the BUMN bankruptcy process often contains challenges and contradictions. The government's aim is to maintain company stability and protect the public interest, however, in practice, government intervention often remains imperceptible to employees. The discussion in this paper delves into the public interest, government intervention still often fails to maintain employee rights and transparent accountability. This analysis explains the need for stronger mechanisms to balance state intervention with fair treatment of employees. The thesis sheds light on the PT. Istaka Karya, with the ratification of Decision Number 67/PUU-XI/2013, workers have the position of preferred creditors even if the company goes bankrupt for several reasons, However, the implications of this issue are twofold, encompassing both beneficial and detrimental impacts, this thesis will explain how effective the implementation of Decision Number 67/PUU-XI/2013 is and its protection towards BUMN employees and the remedial action in order to address and mitigate the associated challenges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mohammad Fathan Ramadani
"ulisan ini menganalisis pengaruh keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 (SEMA No. 2/2019) terhadap putusan dari permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan oleh pekerja kepada pemberi kerja atas dasar hak pekerja yang belum dibayar. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. SEMA No. 2/2019 memberikan petunjuk kepada majelis hakim pengadilan niaga dalam hal terdapat permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pekerja kepada pemberi kerja atas dasar hak pekerja yang belum dibayar dan tidak memberikan petunjuk dalam hal pekerja mengajukan permohonan PKPU kepada pemberi kerja atas dasar hak pekerja yang belum dibayar. Dalam praktiknya hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum karena dalam beberapa putusan, permohonan PKPU yang diajukan oleh pekerja kepada pemberi kerja atas dasar hak pekerja yang belum dibayar ditolak dengan alasan SEMA No. 2/2019 tidak mengatur permohonan PKPU yang diajukan pekerja kepada pemberi kerja. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena Undang-Undang tentang Kepailitan dan PKPU tidak melarang pekerja untuk mengajukan permohonan PKPU kepada pemberi kerja atas dasar hak pekerja yang belum dibayar, sehingga penafsiran SEMA No. 2/2019 oleh hakim dalam beberapa putusan bertentangan dengan UU Kepailitan dan PKPU.
This article analyzes the impact of the Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 (SEMA No. 2/2019) on decisions regarding the application for suspension of payment filed by employees against employers based on unpaid employee rights. This research is composed using doctrinal research methods. SEMA No. 2/2019 provides guidance to commercial court judges in the event of a bankruptcy declaration application filed by employees against employers based on unpaid employee rights and does not provide guidance in cases where employees file a suspension of payment application against employers based on unpaid employee rights. In practice, this has led to legal uncertainty because, in several decisions, the suspension of payment application filed by employees against employers based on unpaid employee rights was rejected on the grounds that SEMA No. 2/2019 does not regulate suspension of payment applications filed by employees against employers. This has caused legal uncertainty because the Bankruptcy and Suspension of Payment Law does not prohibit employees from filing a suspension of payment application against employers based on unpaid employee rights, thus the interpretation of SEMA No. 2/2019 by judges in several decisions contradicts the Bankruptcy and Suspension of Payment Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Roka Hanan Firmansyah
"Skripsi ini dirancang guna menganalisis penerapan actio pauliana berkaitan dengan perkara pada Putusan No. 01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Putusan No. 118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 jo. Putusan No. 74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry yang telah dinyatakan pailit, dianggap telah mengalihkan aset sebanyak 16 tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik. Permasalahan yang akan diteliti adalah penerapan hukum formil dan materiil terhadap gugatan actio pauliana utamanya menekankan pada kapasitas mengajukan suatu gugatan oleh Kurator dan juga akibat hukumnya. Kurator dalam perkara a quo mengajukan gugatan dengan berdasarkan Surat Permohonan Kurator kepada Hakim Pengawas No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 tertanggal 03 September 2013. Dengan menganalisis pertimbangan hakim dan juga bukti dan keberatan yang diajukan dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator dalam perkara ini sepatutnya mendapatkan izin dari Hakim Pengawas terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan yang pada umumnya berbentuk surat penetapan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dalam putusan a quo ditemukan fakta bahwa Majelis Hakim luput terhadap jangka waktu pengalihan aset dimana terdapat pengalihan aset yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, yakni antara Herry dengan Tergugat III melalui AJB No. 192/2011 dan No.193/2011, dimana hal ini tidak sejalan dengan Pasal 42 UUK PKPU. Majelis Hakim juga akan lebih tepat apabila dapat menguraikan mengenai kapasitas Kurator dalam mengajukan gugatan sebagaimana Pasal 69 ayat (5) UUK PKPU.
This thesis is created to analyze the implementation of actio pauliana related to case in Decision No.01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Decision No.118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 o.DecisionNo.74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry, who has been declared bankrupt, is deemed to have transferred assets, namely 16 lands and buildings with Freehold Titles. The issue to be examined is the application of formal and material law to actio pauliana lawsuit, mainly focusing on the capacity to file a lawsuit by the Bankruptcy Receiver and the legal consequence. The Bankrupty Receiver in this case filed a lawsuit based on the Bankruptcy Receiver’s Request Letter to the Supervisory Judge No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 dated September 3, 2013. By analyzing the judge's considerations and also the evidence and objections submitted by referring to the provisions of the legislation through Law Number 40 of 2007 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations, the Bankrupty Receiver in this case should obtain permission from the Supervisory Judge before filing a lawsuit, which generally takes the form of a determination letter. The research method used in this study is normative juridical with a descriptive research typology. The author concludes that in this decision, it was found that the Panel of Judges overlooked the timeframe for asset transfer, where there was a transfer of assets made within a period of more than 1 (one) year, between Herry and Defendant III through AJB No. 192/2011 and No.193/2011, which is not in line with Article 42 of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The Panel of Judges would also be more appropriate if they could elaborate on the capacity of the Bankrupty Receiver in filing a lawsuit as stipulated in Article 69 paragraph (5) of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Gulzar Feroze
"Pertumbuhan ekonomi digital yang pesat menimbulkan permasalahan tersendiri bagi para penegak hukum persaingan usaha, yang membutuhkan strategi yang canggih untuk menangani posisi dominan di pasar. Skripsi ini menganalisis kerangka kerja peraturan dan mekanisme penegakan hukum yang mengatur penyalahgunaan posisi dominan di pasar digital di Indonesia dan Inggris dan Upaya KPPU dalam menangani kasus serupa di Indonesia. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. UU No. 5 tahun 1999 adalah undang-undang utama yang mengatur persaingan usaha di Indonesia, yang diimplementasikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Namun demikian, kurangnya unit khusus pasar digital di KPPU menghambat kapasitasnya untuk menangani dinamika ekonomi digital yang rumit. Studi ini menekankan perlunya memiliki keahlian regulasi tertentu untuk menangani persaingan usaha di pasar digital secara efektif. Sebaliknya, strategi Inggris dinilai lebih efektif dikarenakan pendekatan proaktif dan terspesialisasi, yang didukung oleh Undang-Undang Persaingan Usaha 1998 dan diperkuat dengan pembentukan Unit Pasar Digital (DMU) di bawah Otoritas Persaingan Usaha dan Pasar (Competition and Markets Authority/CMA). Alat-alat analisis yang canggih dan inisiatif kolaborasi internasional yang dimiliki oleh DMU memperkuat kapasitas Inggris untuk secara efektif mengontrol perusahaan-perusahaan terkemuka di pasar digital. Skripsi ini mengkaji perbandingan regulasi dalam situasi nyata dengan menganalisis studi kasus Shopee di Indonesia dan Amazon di Inggris. Analisis tersebut menunjukkan bahwa meskipun kedua negara mengakui pentingnya pangsa pasar dan pengaruh ekonomi dalam menentukan dominasi, pendekatan Inggris yang mudah beradaptasi dan klasifikasi perilaku penyalahgunaan yang komprehensif menghadirkan kerangka kerja regulasi yang lebih tangguh. Skripsi ini mengusulkan agar Indonesia memperbaiki kerangka peraturannya dengan membentuk bagian khusus pasar digital di dalam KPPU dan mengimplementasikan alat analisis yang inovatif dan praktik kolaborasi internasional. Indonesia dapat meningkatkan kapasitasnya untuk mendorong persaingan usaha yang adil dalam ekonomi digital dan, sebagai hasilnya, meningkatkan kesejahteraan konsumen dan mendorong inovasi dengan mengambil pelajaran dari pengalaman Inggris. Temuan-temuan utama menyoroti pentingnya badan pengatur khusus dan pendekatan analitis yang canggih dalam mengatasi berbagai kesulitan yang ditimbulkan oleh posisi dominan di pasar digital. Analisis komparatif ini menawarkan wawasan yang berguna bagi para pembuat kebijakan dan regulator yang ingin menyeimbangkan antara kekuatan pasar dan persaingan dalam lingkungan digital yang berubah dengan cepat.
The rapid growth of the digital economy poses its own problems for competition law enforcers, who need sophisticated strategies to deal with dominant positions in the market. This thesis analyses the regulatory framework and enforcement mechanisms governing abuse of dominant position in the digital market in Indonesia and the UK and KPPU's efforts in handling similar cases in Indonesia. This thesis is analysed using doctrinal research method. Law No. 5 of 1999 is the main law governing business competition in Indonesia, which is implemented by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU). However, the lack of a specialised digital market unit at KPPU hampers its capacity to handle the complex dynamics of the digital economy. This study emphasises the need to have specific regulatory expertise to effectively address competition in the digital market. In contrast, the UK's strategy is considered more effective due to its proactive and specialised approach, which is underpinned by the Competition Act 1998 and reinforced by the establishment of a Digital Markets Unit (DMU) under the Competition and Markets Authority (CMA). The DMU's sophisticated analytical tools and international collaboration initiatives strengthen the UK's capacity to effectively control leading firms in the digital market. This thesis examines the comparison of the regulatory framework in real-life situations by analysing the case studies of Shopee in Indonesia and Amazon in the UK. The analysis shows that while both countries recognise the importance of market share and economic leverage in determining dominance, the UK's adaptable approach and comprehensive classification of abusive behaviour present a more robust regulatory framework. This thesis proposes that Indonesia improve its regulatory framework by establishing a dedicated digital market section within the KPPU and implementing innovative analytical tools and international collaboration practices. Indonesia can enhance its capacity to promote fair competition in the digital economy and, as a result, improve consumer welfare and encourage innovation by drawing lessons from the UK experience. Key findings highlight the importance of specialised regulatory bodies and sophisticated analytical approaches in addressing the difficulties posed by dominant positions in digital markets. This comparative analysis offers useful insights for policymakers and regulators seeking to strike a balance between market power and competition in a rapidly changing digital environment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Agenda Citra Muhammad
"Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris):
Tulisan ini menganalisis pengaturan dan penerapan bukti tidak langsung dalam perkara persekongkolan tender khususnya dalam Putusan KPPU No. 17/KPPU-L/2022. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Bukti tidak langsung adalah salah satu aspek dalam hukum persaingan usaha yang mengandung perdebatan di Indonesia, walaupun dalam praktik internasional telah diakui sejak lama. Putusan pengadilan tidak selalu mengakui bukti tidak langsung, terdapat pula putusan pengadilan yang mengakui tetapi bukti tidak langsung tidak diposisikan sebagai alat bukti pada Pasal 42 UU Persaingan Usaha. Di tengah perdebatan tersebut, KPPU menerbitkan Peraturan Ketua KPPU Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pedoman Larangan Persekongkolan dalam Tender yang mana salah satu isinya menjelaskan tentang bukti tidak langsung termasuk dengan mendasarkan penjelasan bukti tidak langsung pada OECD Policy Brief June 2007. Oleh sebab itu, dinamika pengaturan bukti tidak langsung dalam persekongkolan tender dipandang penting untuk dikaji, termasuk pula penerapannya pada putusan perkara. Terhadap perkembangan dinamika pengaturan, disimpulkan bahwa KPPU telah memperhatikan praktik internasional dari bukti tidak langsung serta memperhatikan perkembangan teknologi terhadap pembuktian persekongkolan tender yang telah diterapkan lebih dulu di negara lain. Terhadap penerapan pengaturan bukti tidak langsung dalam putusan, Putusan Nomor 17/KPPU-L/2022 oleh Majelis Komisi dalam pertimbangannya mengandung tiga kekeliruan. Majelis Komisi merujuk ketentuan bukti tidak langsung pada peraturan terkait penanganan perkara yang belum dapat diterapkan; tidak merujuk penjelasan bukti tidak langsung pada Peraturan Ketua KPPU No. 3 Tahun 2023 yang telah menjelaskan bukti tidak langsung sesuai dengan OECD; serta Majelis Komisi tidak membedakan antara fakta yang merupakan bukti komunikasi dengan yang merupakan bukti ekonomi.
This paper analyzes the regulation and application of indirect evidence in bid rigging cases specifically in KPPU Decision No. 17/KPPU-L/2022. This paper is prepared by using the doctrinal research method. Indirect evidence is one aspect of competition law that is contentious in Indonesia, although in international practice it has been recognized for a long time. Court decisions do not always recognize indirect evidence, there are also court decisions that recognize but indirect evidence is not positioned as evidence in Article 42 of the Competition Law. In the midst of this debate, KPPU recently issued KPPU Chairman's Regulation No. 3 of 2023 concerning Guidelines for the Prohibition of Bid Rigging, one of which explains indirect evidence including by basing the explanation of indirect evidence on the OECD Policy Brief June 2007. Therefore, the dynamics of indirect evidence regulation of bid rigging are considered important to be studied, including its application in case decisions. In regard to the development of regulation, it was concluded that KPPU has paid attention to international practices of indirect evidence as well as paying attention to technological developments in the proof of bid rigging that have been previously applied in other countries. In regard to the application of indirect evidence regulation in the decision, Decision Number 17/KPPU-L/2022 by the Commission Panel, in its consideration contained three errors. The Commission Panel referred to the provisions of indirect evidence in the regulation related to case handling that could not yet be applied; did not refer to the explanation of indirect evidence in the KPPU Chairman Regulation No. 3 of 2023 which had explained indirect evidence in accordance with the OECD; and the Commission Panel did not distinguish between facts that constituted communication evidence and those that constituted economic evidence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library