Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zainal Adhim
"Indonesia sebagai negara berkembang banyak menggunakan pesawat sebagai alat transportasi maupun pertahanan udara. Kegiatan penerbangan oleh berbagai jenis pesawat, khususnya yang bermesin jet, menghasilkan bidding dengan intensitas tinggi. Hal ini merupakan bahaya potensial bagi orang yang berada di sekitarnya.
Menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration), batas aman pajanan bising tergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Pemerintah melalui Depnaker, di dalam Keppres no 2/1993, mencantumkan penurunan pendengaran sebagai salah satu jenis penyakit akibat kerja. Daerah kerja dengan basil pengukuran di atas 85 dBA merupakan daerah kerja yang menjadi prioritas di dalam program perlindungan pendengaran. Pemerintah Indonesia menentukan nilai ambang bising di dalam KepMenaker no 51/1999 sebesar 85 dBA, dengan waktu kerja selama 8 jam. Pajanan bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 dBA selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Gangguan pendengaran akibat pajanan bising, sering dijumpai pada pekerja industri penerbangan di negara maju maupun negara berkembang, terutama yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik. Penelitian tentang tuli akibat bising (TAB) di Indonesia telah banyak dilakukan sejak lama. Survey yang dilakukan Hendarmin pada tahun 1971 di Manufacturing Plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta diperoleh adanya gangguan pendengaran pada 50% karyawan, disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB yang dialami karyawan yang telah bekerja terus menerus selama 5-10 tahun. Adenan melakukan penelitian pada 43 orang penduduk yang bertempat tinggal di sekitar lebih kurang 500 meter dari ujung landasan Bandara Polonia Medan, dengan lama hunian lebih dari 5 tahun dan rentang usia 20-42 tahun. Dari basil penelitian tersebut ditemukan sebanyak 50% menderita tuli sensorineural akibat bising pada penduduk dengan lama tinggal rata-rata 17 tahun dan waktu papar rata-rata 22 jamlhari. Hasil survei kebisingan di Lanud Halim Perdanakusuma tahun 2003, menunjukkan 23,8 % penerbang TNI Angkatan Udara menderita tuli akibat bising.
Pada penelitian TAB terdahulu, audiometer nada murni digunakan sebagai alat untuk mendeteksi gangguan pendengaran. Hall (2000) menyatakan bahwa audiometer nada murni ini memberikan gambaran abnormal setelah terjadi kerusakan koklea lebih dari 25 %. Karena gangguan pendengaran akibat bising ini bersifat irreversibel dan tidak dapat dilakukan operasi maupun pengobatan, program konservasi pendengaran terutama diagnosis dini sebelum terjadi gangguan pendengaran menjadi sangat penting.
Sejak ditemukan emisi otoakustik (OAE) oleh Kemp, banyak penelitian dilakukan untuk mendeteksi kerusakan sel rambut luar koklea akibat pajanan bising. Dari berbagai penelitian, temyata alat ini mampu mendeteksi kerusakan tersebut yang tidak tampak pada gambaran audiometer nada murni 56 . Lutman. et al, menggunakan OAE untuk memilah (screening) pendengaran pada pasien dengan risiko tinggi terpajan bising. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TEOAE (Transient Evoked Ottoacouslic Emission) and DPOAE (Distorsion Product Otoacoustic Emission) mempunyai sensitivitas dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan audiometer nada murni untuk mendeteksi kelainan koklea.
Audiometer nada murni dapat menilai ambang dengar secara umum tetapi tidak spesifik menunjukkan letak kerusakan. OAE dapat memeriksa fungsi sel rambut luar dari koklea yang mudah mengalami kerusakan bila terpajan bising, tetapi tidak dapat menilai ambang dengar seseorang. Pemeriksaan dengan OAE, dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, mudah, tidak invasif dan obyektif bila dibandingkan dengan pemeriksaan audiometer nada murni.
Di Indonesia, penelitian mengenai OAE pada gangguan pendengaran akibat terpajan bising belum pernah dilakukan, padahal alat ini mempunyai sejumlah keuntungan sebagai alat deteksi dini kerusakan sel rambut luar koklea. Dalam penelitian ini diperkenalkan OAE sebagai alat untuk mendeteksi kerusakan sel rambut luar koklea pada penerbang yang terpajan bising dengan harapan dapat digunakan secara luas di bidang kesehatan kerja, serta menambah wawasan dan perhatian terhadap gangguan pendengaran akibat bising yang selama ini belum disosialisasikan secara luas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ipak Ismi Ridha
"
Latar Belakang
Keterlambatan bicara adalah kondisi di mana perkembangan bicara anak tertinggal dibanding anak seusianya. Proporsi globalnya bervariasi dari 2,3% hingga 19%. Gangguan pendengaran sering menjadi penyebab utama, namun faktor lain juga berperan. Penelitian mengenai proporsi dan faktor yang memengaruhi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal masih terbatas sehingga penelitian ini dilakukan untuk menilai proporsi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain observasional deskriptif cross-sectional untuk menilai proporsi keterlambatan bicara dengan ambang pendengaran normal pada anak usia 12-35 bulan di Poli THT RSCM periode Januari 2022-April 2024. Sampel dipilih menggunakan metode whole sampling dari rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan diagnosis terlambat bicara dan ambang pendengaran normal (<25 dB) berdasarkan pemeriksaan BERA click. Data dianalisis menggunakan program SPSS versi 26.
Hasil
Dari 881 anak 12-35 bulan yang datang ke Poli THT RSCM pada Januari 2022 – April 2024, didapatkan 96 anak (10,9%) terlambat bicara dengan ambang pendengaran normal sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 96 anak, didapatkan 74 anak (77,1%) laki-laki, 12 anak (12,5%) berat badan lahir rendah, 4 anak (4,2%) sumbing bibir/langit-langit, 15 anak (15,6%) prematuritas, 68 anak (70,8%) gangguan motorik, 6 anak (6,3%) hipotiroid kongenital, 14 anak (14,6%) sindrom, 13 anak (13,5%) autisme, dan 29 anak (30,2%) hiperbilirubinemia.
Kesimpulan
Karakteristik dan faktor yang paling banyak ditemukan pada anak 12-35 bulan yang terlambat bicara dengan ambang pendengaran normal di Poli THT RSCM periode Januari 2022 – April 2024 adalah jenis kelamin laki-laki dan gangguan motorik.

Introduction
Speech delay is a condition where a child's speech development lags behind that of their peers. The global prevalence ranges from 2.3% to 19%. Hearing impairment is often a primary cause, but other factors also contribute. Research on the proportion and factors influencing speech delay in children with normal hearing thresholds is still limited, prompting this study to assess the proportion of speech delay in children with normal hearing.
Method
This study employs a descriptive observational cross-sectional design to evaluate the prevalence of speech delay in children aged 12-35 months with normal hearing thresholds at the ENT Polyclinic of RSCM from January 2022 to April 2024. Samples were selected using whole sampling from medical records of patients who met the inclusion criteria, which are diagnosed with speech delay and normal hearing threshold (<25 dB) based on BERA Click examination. Data were analyzed using SPSS version 26.
Results
Among 881 children aged 1-2 years visiting the ENT Polyclinic of RSCM from January 2022 to April 2024, 96 children (10.9%) were identified as having speech delay with normal hearing according to the inclusion and exclusion criteria. Of these 96 children, 74 (77.1%) were male, 12 (12.5%) had low birth weight, 4 (4.2%) had a cleft lip/palate, 15 (15.6%) were premature, 68 (70.8%) had motor disorders, 6 (6.3%) had congenital hypothyroidism, 14 (14.6%) had syndromes, 13 (13.5%) had autism, and 29 (30.2%) had hyperbilirubinemia.
Conclusion
The most common characteristics and factors found in children aged 12-35 months with speech delay and normal hearing at the ENT Polyclinic of RSCM between January 2022 and April 2024 are male and motor disorders.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggy Puspasari
"Latar belakang: Sterilisasi merupakan proses menghancurkan mikroba yang dapat dilakukan melalui proses fisik atau kimia. Vaporized hydrogen peroxide (VHP) merupakan teknologi sterilisasi cepat dengan menggunakan hidrogen peroxida (H2O2) yang bersifat antimikroba berspektrum luas. Alat ini tidak menghasilkan produk sampingan berbahaya, relatif murah, tersedia secara luas dan mudah digunakan.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas VHP Departemen THT-KL RSCM-FKUI untuk sterilisasi instrumen medis pemeriksaan fisik THT-KL.
Metode: Penelitian eksperimental ini dilakukan di Departemen THT-KL, Departemen Mikrobiologi, dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Sampel pada penelitian ini adalah corong telinga, spekulum hidung, dan spatel lidah yang telah digunakan di unit rawat jalan dan belum disterilisasi. Instrumen medis yang telah berkontak dengan pasien ditempelkan pada media kontak agar dan kemudian disterilisasi dengan VHP dengan durasi 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Selanjutnya, dilakukan penilaian terhadap jumlah mikroorganisme pada pasca sterilisasi. Uji statistik dilakukan untuk melihat perbandingan rerata jumlah koloni pra- dan pasca-sterilisasi, serta hubungan antara durasi sterilisasi dengan efektivitas sterilisasi
Hasil: Terdapat total 27 sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini. Pada durasi sterilisasi 30 menit, 3 dari 9 sampel (33,3%) memiliki sisa mikroorganisme pasca sterilisasi. Pada durasi sterilisasi 60 menit dan 90 menit, seluruh sampel pasca sterilisasi ditemukan steril. Dari hasil analisis statistik, ditemukan perbedaan rerata jumlah koloni yang bermakna antara sebelum dan sesudah sterilisasi pada durasi 30 menit (p=0,000), 60 menit (p=0,008) dan 90 menit (p=0,008). Sementara itu, tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi sterilisasi dengan efektivitas sterilisasi.
Kesimpulan: Metode sterilisasi instrumen medis dengan VHP terbukti efektif pada durasi 30 menit, 60 menit, maupun 90 menit. Jenis mikroorganisme yang belum mati pada sebagian sampel durasi sterilisasi 30 menit adalah Staphylococcus epidermidis dan Bacillus sp.

Background: Sterilization is a process of destroying microbes which can be done through physical or chemical means. Vaporized hydrogen peroxide (VHP) is a rapid sterilization method which involves the use of hydrogen peroxide (H2O2) with its broad-spectrum antimicrobial property. This method does not produce harmful side products, is relatively cheap, widely available and easy to use.
Objective: This study was conducted to evaluate the effectivity of VHP for the sterilization of medical instruments in Department of ENT-HNS RSCM-FKUI.
Method: This experimental study was conducted in Department of ENT-HNS and Department of Microbiology RSCM-FKUI. Sample included ear speculum, nose speculum and tongue spatula which have been used in the outpatient clinic and have not been sterilized. Medical instruments that have been in contact with patients were affixed to agar contact medium and were sterilized with VHP in 30 minutes, 60 minutes and 90 minutes. The number of microorganisms post-sterilization was also calculated. Statistical analysis was done with the aim of finding the difference between the number of colonies before and after sterilization and the association between sterilization duration and effectivity.
Results: A total of 27 samples were involved in this research. With sterilization duration of 30 minutes, 3 out of 9 samples (33,3%) had remaining microorganisms after sterilization. With sterilization duration of 60 minutes and 90 minutes, all post-sterilization samples were sterile. From statistical analysis, there were significant differences between the number of colonies after and before sterilization in 30 minutes (p=0,000), 60 minutes (p=0,008) and 90 minutes (p=0,008) duration. Meanwhile, there was no significant association between duration of sterilization and its effectivity.
Conclusion: VHP sterilization method of medical instruments were effective in 30 minutes, 60 minutes and 90 minutes duration. The types of microorganisms remaining in several samples post 30 minutes sterilization were Staphylococcus epidermidis dan Bacillus sp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Gabriela Enneria
"Latar belakang: Gangguan pendengaran merupakan keluhan umum yang sering dirujuk ke spesialis Telinga Hidung Tenggorok (THT), dengan kasus terbanyak di wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Gangguan pendengaran dapat mengganggu kemampuan wicara dan bahasa anak, mengakibatkan kesulitan dalam sosialisasi dan prestasi akademik yang buruk. Implantasi koklea merupakan metode rehabilitasi efektif untuk pasien gangguan pendengaran sensorineural. Terdapat bukti variasi jangkauan komunikasi reseptif pascaimplantasi koklea. Korelasi antara luas penampang nervus koklearis, diameter kanalis auditori interna dan usia saat implantasi terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea diharapkan dapat menjadi parameter kandidat implantasi serta prediktor luaran auditori pascaimplantasi koklea.
Metode: Studi korelasi dengan desain cross-sectional. Terdapat 40 sampel yang telah menjalani implantasi koklea. Dilakukan pengukuran luas penampang nervus koklearis pada MRI koklea dan diameter kanalis auditori interna pada HRCT scan tulang temporal pada masing-masing sampel, kemudian dikorelasikan terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea berdasarkan skor CAP-II
Hasil: Median luas penampang nervus koklearis sampel 0,52 mm2 (+/- 0,14), median diameter kanalis auditori interna sampel 2,14 mm (+/- 0,35), dan median usia sampel saat implantasi koklea 4 tahun (1-11). Tidak terdapat korelasi antara luas penampang nervus koklearis terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea (r = 0,29; p = 0,075). Tidak terdapat korelasi antara diameter KAI terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea (r = - 0,02; p = 0,929). Tidak terdapat korelasi antara usia saat implantasi terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea (r = 0,07; p = 0,687).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara luas penampang nervus koklearis terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea. Tidak terdapat korelasi antara diameter KAI terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea. Tidak terdapat korelasi antara usia saat implantasi terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea. Diperlukan penelitian lanjutan secara prospektif untuk menentukan parameter kandidat implantasi serta prediktor luaran auditori pascaimplantasi koklea.

Background: Hearing loss is a common complaint that is often referred to an Ear Nose Throat (ENT) specialist, with the most cases occurring in the West Pacific and Southeast Asia regions. Hearing loss can interfere with a child's speech and language skills, resulting in difficulties in socialization and poor academic performance. Cochlear implantation is an effective rehabilitation method for sensorineural hearing loss patients. There is evidence of variation in the range of receptive communication after cochlear implantation. The correlation between cochlear nerve cross-sectional area (CSA), internal auditory canal diameter and age at implantation with postcochlear implantation auditory outcome is expected to be a candidate parameter for implantation as well as a predictor of postcochlear implantation auditory outcome.
Methods: Correlation study with cross-sectional design. There were 40 samples that had undergone cochlear implantation. The cross-sectional area of ​​the cochlear nerve was measured on cochlear MRI and the diameter of the internal auditory canal on the HRCT scan of the temporal bone in each sample, then correlated with the postcochlear implantation auditory outcome based on the CAP-II score.
Results: The median CSA of ​​the cochlear nerve sample was 0,52 mm2 (+/- 0,14), the median diameter of the internal auditory canal sample was 2,14 mm (+/- 0,35), and the median age of the sample at cochlear implantation was 4 years (1- 11). There was no correlation between the cross-sectional area of​​the cochlear nerve and the auditory output after cochlear implantation (r = 0,29; p = 0,075). There was no correlation between KAI diameter and postcochlear implantation auditory output (r = -0,02; p = 0,929). There was no correlation between age at implantation and postcochlear implantation auditory outcomes (r = 0,07; p = 0,687).
Conclusion: There is no correlation between the cross-sectional area of ​​the cochlear nerve and the auditory output after cochlear implantation. There is no correlation between KAI diameter and postcochlear implantation auditory output. There is no correlation between age at implantation and postcochlear implantation auditory outcomes. Further research is needed prospectively to determine the parameters of implantation candidates and predictors of postcochlear implantation auditory outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Ukhrowiyah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas gambaran gelombang P300 auditorik pada pengguna amfetamin di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan Rumah Tahanan Pondok Bambu dan bukan pengguna NAPZA di poliklinik THT RSUPN-CM. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode potong lintang untuk melihat perbedaan nilai rerata masa laten dan amplitudo gelombang P300 pada subjek pengguna amfetamin dan bukan pengguna NAPZA. Hasil penelitian mendapatkan tidak terdapat perbedaan nilai rerata masa laten gelombang P300 auditorik pada kelompok pengguna amfetamin dan bukan pengguna NAPZA dengan nilai p=0,411 (>0,05), nilai rerata masa laten gelombang P300 auditorik pada kelompok pengguna amfetamin sebesar 319,49 milidetik, kelompok bukan pengguna NAPZA yaitu 308,70 milidetik yang masih termasuk dalam rentang normal. Tidak terdapat perbedaan nilai rerata amplitudo gelombang P300 auditorik pada kelompok pengguna amfetamin dan bukan pengguna NAPZA dengan nilai p=0,41 (>0,05). Nilai amplitudo P300 auditorik pada kedua kelompok termasuk dalam rentang normal yaitu 6,58 μvolt pada pengguna amfetamin dan 8,11 μvolt pada bukan pengguna NAPZA. Serta diperoleh hasil 62,5% pengguna amfetamin mengalami gangguan fungsi kognitif.

ABSTRACT
This thesis discuss the overview of auditory P300 wave on amphetamine users in the Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Rumah Tahanan Pondok Bambu and non-NAPZA users in the Otolaryngology outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo hospital. This research is a descriptive study by using cross sectional methode to identifiy differences between average latency value of auditory P300 wave among the group of amphetamine users and non-NAPZA users. This research shows no differences in latency average value of P300 wave among the group amphetamine users and non-NAPZA users with p value of 0,411 (>0,05), average latency value of P300 auditory wave among group of amphetamine users is 319,49 milisecond, group of non NAPZA users is 308,70 milisecond which is still in normal band. There is no difference in average amplitude value of auditory P300 wave within group of amphetamine users and non-NAPZA users with p value of 0,41 (>0,05). The amplitude value of auditory P300 wave from both group are within the normal band which is 6,58 μvolt on amphetamine users and 8,11 μvolt on non-NAPZA users. It was obsreved that 62,5% of amphetamine users having a cognitive function disorder."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Alia
"ABSTRAK
Latar belakang: Subjek dengan ketergantungan mariyuana cenderung untuk mengalami gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan gelombang P300 auditorik mempuyai peran dalam mendeteksi gangguan fungsi kognitif pada jalur auditorik hingga ke korteks. Gangguan fungsi kognitif dapat dinilai dengan melihat pemanjangan masa laten gelombang P300 dan penurunan amplitudo gelombang P300.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rutan Cipinang dan Pondok Bambu pada bulan Juni-Agustus 2012, melibatkan 68 subjek yang mengalami ketergantungan mariyuana. Gangguan fungsi kognitif ditentukan dengan melakukan pemeriksaan RAVLT (Rey Auditory Verbal Learning Test) dengan menggunakan kuesioner. Kemudian semua subjek dilakukan pemeriksaan P300 auditorik.
Hasil: Sebanyak 40 subjek (58,8%) mengalami gangguan fungsi kognitif. Sebanyak 8 subjek (11,8%) ditemukan masa laten P300 abnormal sedangkan 60 subjek (88,2%) ditemukan amplitudo yang menurun. Terdapat hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan gangguan fungsi kognitif (p<0.001) tetapi tidak ditemukan hubungan bermakna antara masa laten P300 dengan gangguan fungsi kognitif (p=0.565).
Kesimpulan : Mariyuana dapat mengganggu fungsi kognitif terutama gangguan perhatian dan memori yang terlihat pada penurunan amplitudo gelombang P300. Namun masa laten gelombang P300 yang ditemukan tidak menggambarkan gangguan fungsi kognitif. Kelemahan tersebut dapat diakibatkan karena rentang masa laten P300 yang digunakan mengacu pada subjek Amerika. Hasil penelitian ini menunjang ditemukannya fungsi kognitif yang dinilai dari amplitudo gelombang P300 yang menurun. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari rentang masa laten gelombang P300 yang menggunakan subjek anak-anak dan dewasa populasi Indonesia.

ABSTRACT
Background: Subject with marijuana addiction tend to have cognitive function impairment. Auditoric P300 wave as one of objective tools in examining cognitive fuction has potential role since it could assess cognitive function in auditoric pathway to cortex.The cognitive function impairment could be assessed in prolong latency and decreasing amplitude.
Method: The cross sectional study held in Cipinang and Pondok Bambu Jail between June to August 2012 involing totally 68 subjects determined by its marijuana addiction. Cognitive function assesment using RAVLT (Rey Auditory Verbal Learning Test). Then subjects are assessed by auditoric P300 wave examination using both latency and amplitude.
Result Fourty (58,8%) subjects have cognitive function impairment. In 8 (11,8%) subjects have abnormal P300 latency while in 60 (88,2%) subjects have decreasing amplitudes. There is significant correlation between P300 amplitudes and cognitive function (p<0.001) but there is no significant correlation between P300 latency and cognitive function (p=0.565).
Conclusion: Marijuana could impair cognitive function especially attention and memory deficit which revealed by decreasing P300 amplitude. Somehow, P300 latency does not describe its abnormality that could conclude cognitive function impairment. This caveat could be arised due to improper range application which refer to American subjects. This study result confirm that cognitive function impairment due to marijuana addiction could be revealed by objective decreasing P300 amplitudes. Further research have to conducted to confirm proper range application based on both adult and pediatric Indonesian population."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handayani
"Latar belakang: Kualitas suara ditentukan oleh karakteristik elastisitas pita suara, resonansi dan struktur di saluran vokal. Produksi suara merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam komunikasi verbal, interaksi sosial serta merupakan identitas dan kepribadian tiap individu yang berkontribusi pada kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang. Pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi tanpa adanya residu dapat mengalami fibrosis pada velofaring dan memicu gangguan penutupan velofaring selama bicara sehingga menimbulkan hipernasal.

Tujuan: Mengetahui karakteristik dan proporsi skor nasalance pada pasien KNF pasca radiasi dengan atau tanpa gangguan persepsi bicara.

Metode: Penelitian ini merupakan studi survei deskriptif dengan teknik cross sectional dan kemudian dilanjutkan pengambilan data retrospektif pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Juli – Agustus 2023. Parameter yang dinilai adalah skor nasalance dengan menggunakan nasometer.

Hasil: Skor nasalance pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi pada uji gajah 1 didapatkan median 14 (7-22), rerata uji hantu 1 39,8% + 4,5, dan rerata uji sengau 62,2 + 6,9, dengan titik potong skor nasalance pada uji gajah 1 antara persepsi bicara normal dengan gangguan persepsi bicara hipernasal adalah 15.5% dan pada uji hantu 1 adalah 42.5%. Jenis kelamin dan dosis radiasi pada otot konstriktor faring memiliki kecenderungan hubungan yang bermakna terhadap gangguan persepsi bicara pada pasien karsinoma nasofaring pasca radiasi.

Kesimpulan: Diperlukan studi prospektif pada pasien karsinoma nasofaring dengan penilaian sebelum dan sesudah radiasi serta evaluasi follow-up untuk menilai efek radiasi yang mencakup semua aspek fungsional suara dan ucapan yang relevan.


Background: Voice quality is determined by the elasticity of the vocal cords, resonance, and structures in the vocal tract. Voice production is a component that plays an important role in verbal communication and social interaction. It is the identity and personality of each individual that contribute to their welfare and quality of life. Post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients without any residue can experience fibrosis in the velopharynx and trigger disruption of the velopharyngeal closure during speech, causing hypernasality.

Objective: To determine the characteristics and proportions of the nasalance score in post-radiation NPC patients with or without impaired speech perception.

Methods: This research is a descriptive study using cross-sectional techniques, followed by retrospective data collection of post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients at CMGH Dr. Cipto Mangunkusumo for the period July–August 2023. The parameter assessed is the nasalance score using a nasometer.

Results: The nasalance score in the Gajah 1 test obtained a median of 14 (7-22), for the mean value of Hantu 1 test was 39.8% + 4.5, and for the mean value of Sengau test was 62.2 + 6.9, with a nasalance score cut point in Gajah 1 test between normal speech perception and hypernasal was 15.5% and in Hantu 1 test was 42.5%. Gender and radiation dose to the pharyngeal constrictor muscle tend to have a significant relationship with impaired speech perception in post-radiation nasopharyngeal carcinoma patients.

Conclusion: A prospective study is needed in nasopharyngeal carcinoma patients with pre- and post-radiation assessment and follow-up evaluation to assess radiation's effects, including all relevant functional aspects of voice and speech."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aryanti
"Latar belakang. Proses mendengar sangat mempengaruhi proses berbahasa dan berkomunikasi. Gangguan pendengaran memberikan efek negatif pada perkembangan kognitif anak. Perlunya penilaian fungsi kognitif pada anak dengan gangguan pendengaran adalah untuk mengevaluasi fungsi kognitif normal atau abnormal, dan memberikan informasi untuk menentukan intervensi dan target yang sesuai. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif secara objektif. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh gangguan pendengaran sensorineural terhadap fungsi kognitif anak usia 7-15 tahun yang dinilai dengan gelombang P300. Metode. Studi potong lintang ini terdiri dari 15 subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dan 15 subjek dengan pendengaran normal yang memenuhi kriteria inklusi. Masa laten dan amplitudo gelombang P300 yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisis. Hasil. Rerata masa laten gelombang P300 tidak didapatkan berbeda bermakna antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p=0,578). Selain itu, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada nilai amplitudo gelombang P300 antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p = 0,885). Selain itu tidak didapatkan hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan kejadian gangguan pendengaran sensorineural (p = 0,403). Kesimpulan. Gangguan pendengaran sensorineural tidak berhubungan dengan kelainan fungsi kognitif yang dinilai dengan gelombang P300. Penggunaan alat bantu dengar yang lebih awal pada subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dapat mempengaruhi hasil pada studi ini.

Background. Hearing disorder negatively impacts cognitive development. Cognitive assessment in children with sensorineural hearing loss is necessary to administer appropriate intervention. P300 is one of the auditory event-related potentials commonly used in neurophysiological examination to objectively assess cognitive function. Aim. To identify the effect of sensorineural hearing loss on cognitive function in children aged 7 to 15 years old by evaluating P300 waveform. Methods. This cross-sectional study consisted of 15 subjects with sensorineural hearing loss and 15 subjects with normal hearing function who met the inclusion criteria. P300 latency and amplitudes were recorded and analyzed. Results. The mean P300 latency between the study group and the control group was not statistically significant (p = 0.578). There was no significant difference in the amplitude of the P300 wave between the study group and the control group (p = 0.885). In addition, there were no significant association between P300 amplitude and sensorineural hearing loss (p = 0.403). Conclusion. In this study, sensorineural hearing loss is not associated with cognitive disorders as measured by P300. Early diagnosis and early hearing aid use were thought to mediate the association between sensorineural hearing loss and cognitive disorder in this study."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jarot Kunto Wibowo
"ABSTRAK
Latar belakang: Keganasan merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Salah satu modalitas pengobatan kasus keganasanadalah kemoterapi. Carboplatin cis-diammine-cyclobutanedicarboxylato platinum adalah senyawa platinum generasi kedua yang sering digunakan dalam tata laksana kasus keganasan seperti neuroblastoma, retinoblastoma, hepatoblastoma, tumor otak dan tumor sel germ. Efek samping pemberian obat sitotoksik perlu dipertimbangkan, khususnya ototoksik, yaitu gangguan fungsi dan kerusakan struktur telinga dalam yang dapat disebabkan oleh obat atau bahan kimia tertentu. Tujuan: Menilai efek ototoksisitas akibat pengaruh Carboplatin pada anak dengan kasus keganasan. Metode: Penelitian ini menggunakan desain serial cross sectional untuk mengetahui perubahan signal to noise ratio SNR pada OAE sebagai akibat efek ototoksik dan faktor-faktor risiko yang ikut berperan pada kejadian ototoksik akibat pemakaian Carboplatin di Divisi Hematologi Onkologi IKA FKUI-RSCM. Hasil: terdapat dua dari 52 subyek penelitian yang mengalami kejadian ototoksik. Kesimpulan: didapatkan dua 5 dari 40 subyek mengalami kejadian ototoksik pada kelompok yang mendapat kemoterapi, sedangkan pada kelompok yang belum mendapat terapi tidak ditemukan adanya nilai SNR kurang dari enam. Faktor risiko berupa jenis kelamin, usia, siklus kemoterapi dan dosis Carboplatin tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik p>0,05 . Kata kunci: Carboplatin, ototoksik, otoacoustic emission OAE
ABSTRACT
Background Malignancy is one of the non contagious diseases are a public health problem, both globally and Indonesia. Chemotherapy is one of modality in malignancy cases. Carboplatin cis platinum diammine cyclobutanedicarboxylato is a second generation platinum compound that is often used in the management of cases of malignancies such as neuroblastoma, retinoblastoma, hepatoblastoma, brain tumors and germ cell tumors. Side effects of cytotoxic drugs need to be considered, especially ototoxic. Ototoxic is disfunction and damage to the structure of the inner ear that can be caused by drugs or other certain chemicals. Objective Assess the effects of ototoxicity due to the influence of Carboplatin in children with malignancy cases. Methods This study uses a serial cross sectional design to assess changes in signal to noise ratio SNR at the OAE as a result of ototoxic effects and risk factors that come into play in the event due to the use of ototoxic Carboplatin in the Hematology Oncology of pediatric Department Cipto Mangunkusumo General Hospital. Results There are two of 52 study subjects, who experienced ototoxic. Conclusion we obtained two 5 of the 40 subjects experienced ototoxic events in the group receiving chemotherapy, whereas in the group that had not received therapy was not found SNR value less than six. The risk factors such as gender, age, Carboplatin dose cycles of chemotherapy and did not have a statistically significant relationship p 0.05 . "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Mega Rinindra
"Tumor di Cerebellopontine Angle CPA terjadi sekitar 5-10 dari seluruh tumor intrakranial. Gejala yang muncul bervariasi sesuai ukuran dan lokasi lesi. Keluhan yang paling sering terjadi adalah ganggguan pendengaran dan tinitus. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data gambaran gangguan pendengaran sensorineural pada pasien tumor CPA di poli THT RSCM berdasarkan audiometri nada murni dan Brainstem Evoked Response Audiometry BERA serta mengetahui gambaran tumor CPA pada MRI di RSCM. Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan studi potong lintang cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Subjek penelitian diambil semua total sampling yaitu sebanyak 104 pasien, berasal dari data sekunder pada periode Juli 2012 hingga November 2016 dan 30 pasien di antaranya memenuhi kriteria penerimaan. Karakteristik pasien tumor CPA di poli THT FKUI RSCM sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dengan usia rerata dewasa tua 41-60 tahun dan keluhan paling banyak berupa tinitus dan gangguan pendengaran asimetri berupa gangguan pendengaran sensorineural sangat berat pada 10 subjek. Hasil BERA ipsilateral terganggu pada 29 subjek dan BERA kontralateral terganggu pada 17 subjek. Terdapat 24 dari 30 subjek memberi gambaran tumor berukuran besar, dan lokasi tumor telah meluas di intrakanal hingga ekstrakanal pada 19 subjek.

Tumors in cerebellopontine angle CPA occurs approximately about 5 10 of all intracranial tumors. Symptoms are varies according to the size and location of the lesion. Unilateral hearing loss and tinnitus are the most frequent symptoms. The aim of the is study is to obtain data of sensorineural hearing loss in CPA tumor patients in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital CMH using pure tone audiometry and BERA, also to obtain data of tumor imaging in MRI. This is a cross sectional study descriptive analytic. Subjects of this study was collected using total sampling method from secondary data from July 2012 to November 2016. Thirty patient from 104 patients met the inclusion criteria. Characteristics of the CPA tumor patients in the ENT CMH outpatients clinic mostly female, with a mean age of middle age patients 41 60 years and most clinical presentation is tinnitus and severe assymmetry sensorineural hearing loss in 10 subjects. From 30 subjects, 29 subjects had impaired BERA in ipsilateral and contralateral BERA impaired in 17 subjects. There are 24 from 30 subjects had a large sized tumor and location of the tumor has spread in intracanal until extracanal in 19 subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>