Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ni Loh Gusti Madewanti
Abstrak :
ABSTRAK
Tahun 1999, adalah kelahiran Portal Kaskus, sejak itu pula Kaskus menjadi sebuah ruang dimana keriuhan kehidupan melalui teks digulirkan oleh member anggotanya yang disebut sebagai Kaskuser. Kaskuser yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya menggunakan teks baik itu simbol, tulisan dan bahkan secara lisan, dengan struktur bahasa yang unik dan slang. Bahasa slang itulah yang kemudian menjadi ciri khas dari Kaskus, yang diklaim oleh para anggotanya dan tertera dalam member counter pada laman Kaskus, sebagai komunitas cyber terbesar di Indonesia.

Sebagai komunitas cyber yang diklaim sebagai yang terbesar di Indonesia dan memiliki anggota sangat banyak, hingga lebih dari empat juta member, hal itu menunjukkan bahwa gejala tersebut bukan hanya tentang inovasi teknologi internet semata, tetapi ini merupakan sebuah perwujudan perkembangan teks terutama bahasa slang, sebagai bahasa pergaulan dan bahasa ‘resmi’ Kaskuser yang sangat mengakar kuat dalam cyber forum tersebut.

Kuatnya bahasa slang sebagai bahasa pergaulan, menjadi penguat rasa solidaritas diantara sesama member yang cenderung anonim, sebagai salah satu dari konsekuensi logis ruang cyber. Namun, ruang cyber yang luas, dan ciri khas Kaskus sebagai member yang anonim, mengutip Karin Barber (2007) tetap meninggalkan jejak serta merefleksikan teks sebagai bentuk kebudayaan yang mereka bangun dan strukturkan. Jejak ini bergerak dan menyebar hingga tidak hanya pada dunia cyber, namun secara luas digunakan oleh banyak kalangan, terutama anak muda di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, sebagai bahasa slang pergaulan mereka.
ABSTRACT
In 1999, Kaskus Website was born, since it is also a space where the hubbub of life through the text rotated by the Kaskus members called Kaskuser. Kaskuser who communicate and interact with each other using either text symbols, writings and even verbally, with the unique structure of the language and slang. Slang is became characteristic of Kaskus, which is claimed by its members and listed in the member Kaskus counter on the page, as the cyber community in Indonesia.

As cyber community who claimed to be the largest in Indonesia and has a lot of members, to more than four million members, it was shown that the symptoms are not just about the internet technological innovation alone, but this is primarily a manifestation of the development of ‘slang’ text, the language socially and linguistically 'official' Kaskuser very deeply entrenched in cyber forum.

The strong language of slang as a lingua franca, a reinforcing solidarity among fellow members who tend to be anonymous, as one of the logical consequences of cyber space. However, the vast cyber space, and as a member of Kaskus typical anonymous, citing Karin Barber (2007) still leaves a trace and reflect the text as a form of culture that they wake up and structurized. This trail is moving and spreading not only in the cyber world, but it is widely used by many people, especially young people in big cities such as Jakarta and Bandung, as their association languange.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qonitah
Abstrak :
Disertasi ini mendiskusikan tentang budaya bersekolah dalam perspektif resistensi kultural. Kurikulum sebagai desain akan jalan yang dilalui setiap penuntut ilmu dalam prosesnya mengalami berbagai perubahan pun mengalami perubahan. Kehadiran Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang digagas kelompok Tarbiyah sejak awal 1990 membawa nuansa kurikulum tersendiri bagi Pendidikan di Indonesia khususnya di wilayah perkotaan. Kurikulum dalam sistem Pendidikan Nasional dianggap tidak mencukupi bagi terbentuknya generasi Muslim yang akan datang. SIT dalam pelaksanaannya menginfusi kurikulum ketarbiyahan dalam kurikulum terselubung yang akhirnya mempengaruhi kehidupan murid, guru, dan orang tua murid. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Islam Terpadu Nurul Fikri Depok. Data dari penelitian ini dikumpulkan dengan observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan kajian pustaka. Penelitian ini menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan pada SIT NF Depok adalah bentuk resistensi kultural aktif dari Muslim perkotaan. Kurikulum sekolah tidak hanya ditempatkan sebagai sarana belajar, tetapi menjadi nilai-nilai yang ingin diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. ......This dissertation is aimed to discuss schooling culture in the light of cultural resistance perspective. Curriculum as a design of path that every student through in the process experiencing changes thru times and places for the relations that includes School, parents, and state. The emergence of Integrated Islamic School (IIS) since early 1990s brought a specific curriculum ambience as an alternative for Indonesian Muslims to select for their children, especially those who live in urban area. Tarbiyah community that started in campuses at 1980s and initiated IIS recognized that the curriculum of national education was insufficient for developing the next Muslim generation. They managed to instill the tarbiyah curriculum through ways that are hidden, implisit and demonstrate how their hidden curriculum effecting students’, teachers’, and parents’ lives. This research conducted in Nurul FIkri Integrated Islamic School Depok. The data for this research was collected by participant observation, indepth interview, and literature studies. This study reveals that IIS curriculum is form of active cultural resistance for the urban Muslim that embodied Islamic values that desired to be integrated in Urban Muslim everyday life.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nosa Nurmanda
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini adalah pembahasan sebuah model proyek lokal-pinggiran yang bersifat global yang mendialogkan dan mempertahankan identitas lokal dalam kerangka kerja nasional dan/atau global. Secara spesifik, tesis ini bicara soal komunitas seni di padepokan Tjipta Boedaja, Gunung Merapi, Dusun Tutup Ngisor, Muntilan dan bagaimana cara mereka beradaptasi serta memproduksi seni dari tahun 1937 hingga sekarang dengan memakai sudut pandang globalisme dalam antropologi. Untuk menjawab hal itu tesis ini menghubungkan persepsi identitas partikularitas dalam pertemuannya dan permainannya (dolan) dengan imajinasi global dan proyek-proyek apa saja yang hadir untuk melestarikan identitas lokal tersebut dalam konteks petani gunung di Jawa.
ABSTRACT
This thesis discussed a model of local-marginal project, which communicates and develops local identities in national and/or global framework. Specifically, the thesis explained how a peasant art community in Padepokan Seni Tjipta Boedaja, mount Merapi, Tutup Ngisor Village, Muntilan Central Java, adapt and produce their performing arts from 1937 until today. It connects particular perception on identity and the playful (dolan) interaction with what imagined as global and also the projects in maintaining the local identity in a Highland Javanese peasant context.
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Kunto Wibisono
Abstrak :
Disertasi ini mempertanyakan proses pembentukan subjek neoliberal yang mengidealisasi individu sebagai subjek yang bebas, menjadikan kehidupannya sebagai bagian kepengaturan pasar, berani menempuh resiko dalam ketidakpastian ekonomi. Imperatif neoliberal ini saya tempatkan dalam diskursus ekonomi kreatif yang menarget anak muda sebagai aktor ekonomi baru yang sanggup mengoptimalisasi human kapital, kreativitas, hobi dan passion dalam narasi enterpreneurialisasi masyarakat. Tafsir kerja kreatif sebagai manifestasi perwujudan passion, aktualisasi diri, hidup mandiri, dan kebebasan, saya posisikan untuk memperhatikan kompleksitas makna kerja, rejim kerja, dan idealisasi kerja dalam kepengaturan neoliberal Disertasi ini menempatkan counter-conduct sebagai kerangka analitik untuk memahami proses kontestasi, manipulasi, dan negosiasi dalam subjektifikasi neoliberal pada pekerja kreatif. Ide counter-conduct ini memperluas batasan analisa kepengaturan/governmentality dari Foucault dengan menitikberatkan kapabilitas subjek untuk menafsir kuasa yang diinternalisasi dalam diri (self) sekaligus mengupayakan terjadinya subjektivitas yang berlainan dengan target kuasa atau teks resmi kepengaturan. Disertasi ini mengambil lokasi studi di Kota Manuntung, sebuah kota berbasis ekstraksi sumber daya alam di Kalimantan Timur, dengan durasi waktu riset sepanjang 2016-2018. Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 2014, kota ini melakukan eksperimentasi ekonomi kreatif yang berpusat pada pemanfaatan sumber daya manusia berbasis entrepreneur dengan skill teknologi informasi, perfilman, design grafis dengan tujuan mengembalikan kota ini ke kancah nasional dan merekrut talenta muda yang ada di perkotaan untuk kemudian bisa menjawab problem ketersediaan lapangan kerja. Dengan menggunakan metode etnografi, disertasi ini berfokus pemahaman pekerja kreatif pada diri (self), jalinan sosial, dan lingkungan perkotaan pada konteks imperatif ekonomi baru. Hasil temuan disertasi ini menunjukkan bahwa proses pembentukan neoliberal subjek diwarnai kontradiksi, dilema, dan tensi dalam diri subjek. Subjek dalam disertasi ini memiliki teknik pengaturan lain yang dibangun berdasarkan ikatan personal, keinginan untuk memberi cara menjalani kerja yang baru, serta memberikan alternatif lain pada citra perkotaan. ......This dissertation problematized formation of neoliberal subject that idealizes individual as a free subject, makes human daily life as part of market regulation, and courage to take risks in economic uncertainty. This dissertation situate neoliberal imperative in the context creative economy discourse which targets youth as new economic actors who are able to optimize human capital, creativity, hobbies and passion in the narrative of entrepreneurialization of society. My interpretation of creative work as a manifestation of passion, self-actualization, independent living, and freedom. I will underline to complexity of the meaning of work, the work regime, and the idealization of work in neoliberal settings. This dissertation placed counter-conduct as an analytic framework to understand the process of contestation, manipulation, and negotiation in neoliberal subjectivity to creative workers. This counter-conduct idea expands limitation of Foucault's governmentality analysis by emphasizing the subject capability to interpret the power internalized in him (self) as well as striving for a other subjectivity that different from target power or “official text” of governmentality. This dissertation takes location in Manuntung City, a city based on natural resource extraction in East Kalimantan, within time frame 2016-2018. Since the economic crisis in 2014, the city has began experimentation creative economy centered on entrepreneur-based human resources with skills in information technology, film, graphic design. This skill compatible with the urban appratus goal to return on national scene and recruiting young urban talents to answer the problem of urban labour market. Through ethnographic methods, this dissertation focuses on how creative workers' understand him (self), sociality, and urban millieu in the context of new economic imperatives. The main findings of this dissertation indicate that the process of formation subject's is characterized by contradictions, dilemmas, and tensions within the subject. The subjects in this dissertation have other subjectification techniques that are built on personal ties, the desire to provide new ways of doing work, and provide other alternatives to urban imagery.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siburian, Robert
Abstrak :
ABSTRAK
Hadirnya perusahaan pertambangan batubara dengan metode tambang terbuka, mengakibatkan terjadi kontestasi para pihak untuk menguasai tanah yang di dalamnya terkandung batubara. Kontestasi para pihak itu mendorong akses petani pada tanah pertanian turut terganggu. Dengan demikian, mempertahankan akses pada tanah pertanian dari ekspansi perusahaan pertambangan bukan hal mudah, karena petani transmigran dalam memaknai tanah tidak sama.Untuk menganalisis bagaimana upaya petani transmigran mempertahankan akses terhadap tanah pertanian dari ekspansi perusahaan pertambangan yang berusaha menguasai tanah pertanian milik petani, saya menggunakan teori akses yang dikemukakan oleh Ribot dan Peluso. Merujuk pada teori akses itu, petani transmigran berusaha agar tetap mampu mengambil manfaat dari tanah yang dimilikinya dengan berbagai mekanisme. Saya melihat upaya mempertahankan akses yang dilakukan petani tidak terlepas dari sikap agensi yang ada pada diri petani dan globalisasi yang sedang terjadi, sehingga teori agensi dan globalisasi saya gunakan untuk melengkapi teori akses dimaksud. Teori agensi yang dijelaskan Otner bukan dalam konteks hubungan status dan kekuasaan power , tetapi lebih pada kemampuan individu untuk mengambil inisiatif berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari inisiatif yang diambil ketika mencoba mempertahankan akses pada tanah pertaniannya. Sementara dengan globalisasi, terutama dikaitkan dengan batubara selaku komoditi global, pengambilan keputusan baik yang dilakukan oleh petani, maupun perusahaan pertambangan, tidak lepas dari pengaruh globalisasi seperti dijelaskan Giddens dan Appadurai. Dengan globalisasi, perluasan hubungan sosial sedang terjadi, sehingga kondisi sosial-ekonomi sekelompok masyarakat yang berada dalam satu negara tertentu, termasuk petani transmigran di Desa Kerta Buana, tidak lepas dari pengaruh negara lain.Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme mempertahankan tanah pertanian yang dilakukan petani, dibagi dua kelompok besar, yaitu petani Bali dan petani bukan Bali. Pengklasifikasian itu didasarkan pada mudah dan sulitnya perusahaan membebaskan tanah dari kedua kelompok petani itu. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut: a petani menentukan harga tanah pertanian yang diincar perusahaan pada level tertinggi di luar jangkauan perusahaan, b petani menganulir harga yang sudah disepakati sebelumnya, tetapi pihak perusahaan lalai membayar tepat waktu, c petani menyebut harga yang diajukan perusahaan belum cocok meskipun harga yang diinginkan petani tidak pernah terlontar, d petani melimpahkan isu penjualan tanah pada level kelompok tani, terkait kesepakatan pada anggota kelompok agar menjual tanah pertanian dilakukan pada perusahaan secara serentak.Mekanisme yang dilakukan oleh petani untuk mempertahankan akses pada tanah pertaniannya, sesungguhnya adalah upaya untuk mempertahankan lanskap sosial yang sudah terbentuk di Desa Kerta Buana. Dengan kata lain, tujuan mempertahankan akses tidak sekedar untuk mengambil manfaat dari sesuatu itu, tetapi juga untuk bertahannya suatu lanskap sosial yang sudah membuat petani transmigran merasa Desa Kerta Buana adalah bagian dari hidupnya.
ABSTRACT
The presence of coal mining company with open pit method resulted in contestation of the parties to control the land which contains coal. Contestation of the parties that encourage farmers 39 access to agricultural land is also disrupted. Thus, defending access to agricultural land from the expansion of mining companies is not easy because the understanding of the farmers transmigrant on land is not the same.To analyze how transmigrant peasants 39 efforts to defend access to farmland from the expansion of mining companies seeking control of farmer owned farms, I use the access theory proposed by Ribot and Peluso. Referring to the access theory, transmigrant farmers try to keep the benefits of their land under various mechanisms. I see that defending access by farmers is inseparable from the existing attitude of farmers 39 existing agencies and globalization, so that the agency theory and globalization I use to complete the access theory. The agency theory written by Otner describes is not in the context of the relationship of status and power, but rather to the individual 39 s ability to take initiative on the basis of events that have occurred and be responsible for the consequences of the initiative taken while trying to defend access to his farm. While globalization, especially related to coal as a global commodity, decision making by both farmers and mining companies, can not be separated from the influence of globalization as described by Giddens and Appadurai. With globalization, the expansion of social relations is taking place, so that the socio economic conditions of a group of people within a certain country, including transmigrant farmers in Kerta Buana Village, can not be separated from the influence of other countries, especially after the companies operating in Desa Kerta Buana have sold their shares in the stock exchange.The results showed that the mechanisms by farmers to maintain their farms were divided into two major groups, namely Balinese farmers and non Balinese farmers. The classification was based on the ease and difficulty of the company liberating the land from both groups of farmers. Those mechanisms are as follows a the farmer determines the price of agricultural land that the company is targeting at the highest level outside the reach of the company b the farmer annuls the agreed price but the company neglects to pay on time c Farmers call the price proposed by the company is not suitable but farmers do not mention the desired price, d farmers delegate the issue of land sales at farmer group level, related to agreement on group members to sell agricultural land to the company simultaneously.Mechanisms undertaken by farmers to maintain access to their farms, in fact, are attempts to maintain the already established social landscape in Kerta Buana Village. In other words, the goal of sustaining access is not just to take advantage of it, but also for the survival of a social landscape that has made transmigrant farmers feel that Kerta Buana Village is a part of his life.
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanro Yonathan Lekitoo
Abstrak :
Kelompok etnik Kayo Pulau dan kelompok etnik asli lainnya di teluk Humboldt, Kota Jayapura adalah rumpun kelompok etnik yang oleh Keesing disebut sebagai masyarakat tribal, masyarakat tanpa ekonomi sentral dan politik sentral. Kelompok etnik di sana dapat dikategorikan sebagai masyarakat pra-industri oleh Lewellen, dengan tipe masyarakat yang oleh Fried disebut rank society. Sejarah Perang Dunia Kedua membawa kelompok-kelompok etnik di Kota Jayapura segera masuk dalam dunia modern, di mana kehadiran Tentara Jepang 1942 dan Sekutu 1944 membuka berbagai infrastruktur perang di sana. Setelah hengkangnya Pemerintah Belanda, dan Papua kembali ke Pangkuan NKRI 1963, hingga kini Kota Jayapura menjadi salah satu daerah yang lebih maju dan sangat polietnik, oleh karena itu sering disebut sebagai Indonesia mini. Kajian mengenai relasi antar-kelompok etnik dilakukan di Kampung Kayo Pulau kira-kira 3 tahun lamanya, yakni 2015-2018. Penelitan dengan metode etnografi, di mana teknik observasi partisipasi, wawancara, serta studi literatur dari berbagai sumber digunakan. Analisis selain Kampung Kayo Pulau, juga diangkat ke tingkat Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura di mana karakter sosial budaya penduduknya mirip. Konsep utama yang dipakai pada kajian ini adalah konsep etnisitas dari Barth dan Eriksen, di mana relasi antar-etnik bersifat mencair dan konstruktif. Namun demikian penekanan dari Barth lebih pada relasi individu dan keluarga dalam perspektif ekologi dan demografi. Sedangkan Eriksen lebih kepada konteks kesejarahan. Dalam kaitan relasi antar-etnik orang Kayo Pulau dengan kelompok etnik lainnya di Kota Jayapura, saya mencermati empat konteks, yakni kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. Dalam kaitan dengan keempat konteks tersebut, sifat inklusif orang Kayo Pulau dan kelompok-kelompok etnik asli di Kota Jayapura yang mana selalu mencari persamaan dan merangkul kelompok etnik lainnya, merupakan nilai-nilai penting dalam mempertahankan kehidupan yang toleran dan harmonis. Kini penduduk asli Kota Jayapura hanya 3,71 persen dan orang Kayo Pulau di kampungnya hanya 24,6 persen. Namun mereka mampu bertahan dan beradaptasi di tengah pusaran modernisasi, serta dalam konteks masyarakat yang polietnik dan berbagai tuntutan kehidupan dengan mengedepankan relasi antar-kelompok etnik, baik dalam konteks kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. ......The Kayo Pulau ethnic group and other indigenous ethnic groups in the Humboldt bay, Jayapura City are groups of ethnic groups that Keesing refers to as tribal communities, communities without a central economy and central politics. Those ethnic groups can be categorized as pre-industrial societies by Lewellen, with the type of society that Fried calls rank society. The history of the Second World War brought ethnic groups in the city of Jayapura immediately into the modern world, where the presence of the Japanese Army in 1942 and the Allies of 1944 opened various war infrastructures there. After the departure of the Dutch Government and Papua returned to Indonesia in 1963, until now Jayapura has become one of the most developed region and become a highly polyethnical region. The development and the diversity of Jayapura city make this city called Little Indonesia. The study of relations between ethnic groups in Kampung Kayo Pulau is conducted approximately 3 years, between 2015-2018. The research is done using ethnographic methods, with participatory observation techniques, interviews, and literature studies from various sources are used. The analysis proccess is done other than Kampung Kayo Pulau, is also raised to the level of Jayapura City and Jayapura Regency where the socio-cultural character of the population is similar The main concept used in this study is the concept of ethnicity from Barth and Eriksen, where inter-ethnic relations are melting and constructive. However, the emphasis of Barth’s concept is on the relations of individuals and families in an ecological and demographic perspective. Whereas Eriksen’s is more on the historical context. The inter-ethnic relations of the Kayo Pulau people with other ethnic groups in Jayapura City, I look at four contexts, those are kinship, economy, politics and religion. In relation to these four contexts, the inclusive nature of Kayo Pulau and indigenous ethnic groups in Jayapura City which always seek equality and embrace other ethnic groups, are important values ​​in maintaining a tolerant and harmonious life. Today, the native population of Jayapura City is only 3.71 percent and Kayo Pulau is only 24.6 percent. However, they are able to survive and adapt in the midst of a vortex of modernization, multi-ethnic context and various demands of life by prioritizing relations between ethnic groups, both in the context of kinship, economy, politics and religion.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmin Tuwu
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini tentang bagaimana spiritualitas dapat meningkatkan kualitas governance dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di Kota Kendari. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah induktif kualitatif dan strategi penelitiannya adalah studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan proses implementasi PPM berjalan melalui tahapan-tahapan: sosialisasi, pendataan warga kaya dan miskin, penjualan profil, penandatanganan akte, dan tahap persaudaraan madani. Bentuk pemberdayaan utamanya difokuskan pada aspek pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan bimbingan spiritual sehingga PPM dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup (quality of life) dan kondisi kesejahteraan sosial (social welfare) keluarga miskin. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors) keberhasilan PPM di samping disebabkan oleh karena agama dan kepercayaan juga disebabkan oleh nilai-nilai kemanusiaan, kesamaan pekerjaan, sosial kapital, dan budaya tolong menolong. Persaudaraan madani sebagai kekhasan pemerintah merupakan cerminan dari tata kelola pemerintahan yang baik (good spirituality governance) sehingga terbuka kemungkinan PPM direplikasi di daerah/kota lain.
ABSTRACT
This research is about how spirituality can improve the quality of governance in the implementation of poverty reduction programs in Kendari city. The research approach used is qualitative-inductive and research strategy is case study. The results showed that the process of implementation program goes through the stages: socialization, data collection rich and poor citizens, the sales profile, the signing certificate, and the stage of Madani Brotherhood. Forms of empowerment mainly focused on aspects of employment, housing, education, and spiritual guidance so that the BMP can contribute to enhancing the quality of life and the condition of social welfare poor family. Enabling factors the success of the BMP beside caused by religion and faith are also caused by the values of humanity, similarity jobs, social capital, and culture of mutual help. Madani brotherhood as typical of the government is a reflection of the ?good spirituality governance? so that brotherhood madani program can be replicated in other town or cities
2016
D2183
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis situasi sosial masyarakat Sibolga sejak awal berdirinya Kota Sibolga sampai pada pemilihan Walikota Sibolga periode 2015-2020. Dengan judul penelitian “ORANG BATAK DAN URANG PASISI DI SIBOLGA; Suatu Kajian Tentang Politik Identitas Pada Pemilihan Walikota Sibolga Periode 2015-2020.” Penelitian ini mendapat realita perubahan situasi sosial masyarakat Kota Sibolga terkini berdialektika dengan kondisi politik dan religi yang aktif, secara internal, masyarakat Kota Sibolga terbagi atas tiga kelompok etnik, yakni: etnis Batak Toba, Urang Pasisi dan etnis migratif lainnya. Ketiga kelompok etnik ini turut membawa pengaruh religi pada praktik kehidupan yang berimbas pada perilaku politik masyarakat Kota Sibolga. Sibolga secara geografis merupakan kota administratif yang berada dibawah naungan Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan sudut pandang sejarah untuk dapat mengungkapkan latar belakang terjadinya fragmentasi etnik Batak di daerah Pesisir Sibolgga dan mengkombinasikannya dengan realita kultural masa kini; sosial media untuk mendapatkan data penelitian yang bersifat sinkronik dan diakronik. Pengungkapan kontestasi politik yang terjadi dengan pertautan sejarah dengan realita sosial media berupaya memberikan gambaran etnografi yang bersifat holistik dan menjelaskan perjumpaan dimensi sejarah migratif, politik, kultural dan religi dalam fenomena etnisitas. Pada mulanya masuknya religi dari luar ke tanah Batak menyebabkan terjadinya fragmentasi kultural, religi dan politik; masuknya agama Islam ke tanah Batak dan meninggalkan nilai budaya Batak dengan alasan utama praktik keagamaan yang menolak bentuk praktik budaya leluhur Batak, begitupun dengan masuknya agama Kristen ke tanah Batak yang turut menanggalkan nilai budaya Batak karena alasanalasan keagamaan, terdapat bagian ketiga kelompok masyarakat yang tetap mempertahankan nilai budaya Batak hingga ruang dan waktu masa kini. Pada perkembangannya, etnik Batak bermigrasi ke wilayah pesisir Sibolga dengan turut membawa fragmentasi perspektif terhadap nilai-nilai religi yang kemudian turut menjadi dimensi kontestasi pada ranah politik pemilihan walikota Sibolga tahun 2015- 2020. Kontestasi politik yang terjadi adalah bias dari larutnya nilai religi dalam kehidupan masyarakat Sibolga dan turut meminggirkan nilai-nilai kultural sebagai nilai yang awalnya diadopsi pada praktik kehidupan sehingga memunculkan ruang rekonstruksi etnik pada kehidupan masyarakat pesisir Sibolga yang adaptif terhadap kehidupan keseharian masa kini. ......This study analyzes the social situation of the Sibolga since the inception of the Sibolga until the election of the Mayor of Sibolga for the 2015-2020 period. With the title of research ORANG BATAK AND URANG PASISI; A Study of Identity Politics in the Election of the Mayor of Sibolga 2015-2020. This study found the reality of changes in the social situation of the Sibolga in a current dialectic with political and religious conditions, internally, the Sibolga people was divided into three ethnic groups, namely: Toba Batak, Pesisir and other migrative ethnicities. These three ethnic groups also have a religious influence on the practices of life which have an impact on the political behavior of the people of Sibolga. Sibolga is geographically an administrative city under the auspices of the Province of North Sumatra. At first the entry of religions from outside into the Batak land caused cultural, religious and political fragmentation; the entry of Islam into the Batak land and leaving the cultural values of the Batak with the main reasons of religious practices that reject the forms of cultural practices of the Batak ancestors, as well as the entry of Christianity into the Batak land which helped strip the Batak cultural values for religious reasons, there is a third part of the community while maintaining the value of the Batak culture up to the present time and space. In its development, the Batak ethnic group migrated to the Sibolga coast by contributing to the fragmentation of perspectives on religious values which later became a dimension of contestation in the political realm of the election of the mayor of Sibolga in 2015-2020. The political contestation that occurred was a bias from the dissolution of religious values in the lives of Sibolga people and helped marginalize cultural values as values originally adopted in life practices so as to bring up ethnic reconstruction space in the lives of Pesisir Sibolga peoples which are adaptive to today's daily life. This study uses a historical perspective to reveal the background of ethnic fragmentation in the Sibolga coastal area and combine it with current cultural realities; social media to get research data that is synchronous and diachronic. Disclosure of political contestation that occurs with the linking of history with the reality of social media seeks to provide a holistic ethnographic picture and explains the encounter of migratory, political, cultural and religious historical dimensions in the phenomenon of ethnicity.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library