Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irawan Agung Raharjo
"Tesis ini membahas tentang perselisihan pendapat antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial terkait dengan kewenangannya masing-masing dan pembahasan mengenai pembentukan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 sebagai sarana penguatan sistem pengawasan terhadap hakim. Tesis ini menggunakan metode penulisan hukum normatif, penulis telah menggunakan satu bentuk metode, yakni penelitian library research . Adapun pendekatan penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah pendekatan analisis konflik, yaitu membahas pertentangan pendapat antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dan pembentukan UU Komisi Yudisial Nomor 18 tahun 2011 sebagai solusi atas hubungan tersebut. Hasil tesis ini menyarankan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia, melalui metode pendidikan yang perlu dijadikan prioritas utama oleh pemerintah, termasuk didalamnya pendidikan moral sebagai kurikulum pendidikan sekolah.

This thesis discusses the disagreement between the Supreme Court and the Judicial Commission relating to their respective authorities and a discussion of the formation of Act No. 18 of 2011 as a means of strengthening the system of supervision of the judge. This thesis uses the method of normative legal writing, the author will use one form of the method, the research library research. The research approach taken in this paper is the approach to conflict analysis discusses the disagreement between the Supreme Court and the Judicial Commission and the establishment of the Judicial Commission Law No. 18 of 2011 as a solution to the relationship. The results of this thesis suggest an increase in the quality of human resources through education methods need to be a top priority by the government, including the moral education as the school education curriculum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Muthiara Wasti
"Indonesia mengakui eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Salah satunya adalah lembaga perwakilan masyarakat adat yang memperlihatkan nilai-nilai tradisional yang masih hidup hingga sekarang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa belum sepenuhnya mengakomodir nilai-nilai adat di setiap daerah terutama perwakilan adat di Nagari Minangkabau. Oleh sebab itu, terdapat dua pokok permasalahan: Pertama, kedudukan dan kewenangan lembaga perwakilan adat dalam struktur pemerintahan nagari di Minangkabau dan Undang-Undang tentang Desa dan Kedua, konsep ideal mengenai lembaga perwakilan adat di Indonesia.
Analisis dilakukan dengan menggunakan teori hukum tata negara adat karena memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai ketatanegaraan Indonesia yang diikuti dengan penerimaan terhadap keberadaan adat yang lahir dari sebuah persekutuan hukum dan memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu, dilakukan perbandingan pengaturan masyarakat adat di Amerika Serikat, Australia, Kamerun dan China. Kesimpulan adalah lembaga perwakilan adat nagari belum sepenuhnya terakomodir dalam Undang-Undang tentang Desa sehingga dibutuhkan sebuah pengaturan ideal untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat adat nagari di Minangkabau terutama dalam unsur keanggotaan, metode pemilihan dan kedudukan dan kewenangan dari lembaga perwakilan adat tersebut. Untuk itu, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam hal pengaturan mengenai desa adat yang dapat dibandingkan dengan negara lain yang lebih mempunyai pengaturan dan perlakuan terhadap desa adat di negarannya seperti di AS, Kamerun, RRC dan Australia.

Indonesia acknowledges the existence of indigenous law communities along with their traditional rights in Article 18 of the Indonesian 1945 Constitution. One of these institution is the traditional people representatives that embrace traditional values that lives up to the present. Law Number 6 of 2014 on Villages have not fully accommodated tradition values that exists in the respective regions, particularly the traditional representation in Nagar Minangkabau. As such, there are two issues: the position and authority of traditional representative institutions within the governance structure of nagari in Minangkabau and the Village Law; and, secondly, the ideal regulation on traditional representative institutions in Indonesia.
The analysis is conducted using the theory of traditional constitutional law as it bears close relation to Indonesia's state constitutional values followed by acceptance of the diversity of customs that arise from an amalgamation of laws that have their own characteristics. Additionally, a comparison is carried out as regards regulations that govern indigenous communities in the United State, Australia, Cameroon, and China. The conclusion is that the nagari indigenous representative institution is not fully accommodated in the Village Law and thus an ideal regulatory instrument to accommodate the need of the nagari indigenous community in Minangkabau, among others membership, method of election and the position and authority of the indigenous representative institution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Amelia
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Agung terkait putusan pengujian yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib serta dilakukannya pemanduan sumpah atau janji terhadap pimpinan DPD yang terpilih pada tahun 2017 yang masih menjadi perdebatan. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan utama. Pertama, kewenangan MA dalam pengujian terhadap Peraturan Tata Tertib DPD. Kedua, konsekuensi hukum putusan pengujian peraturan tata tertib DPD terhadap kewenangan pemanduan pengucapan sumpah atau janji pimpinan DPD tahun 2017 oleh MA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan pendekatan sejarah historical approach . Hasil penelitian ini menunjukan bahwaMAdalam melakukan pengujian terhadap peraturan tata tertib DPD adalah menjalankan fungsi peradilan yudisial dalam kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan, MA dalam melakukan pemanduan sumpah/janji pimpinan DPD adalah menjalankan fungsi administratif non-yudisial dalam kewenangan lain yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Secara formal, DPD telah menjalankan putusan MA, tetapi tidak secara substantif. Karena faktanya pemilihan pimpinan DPD yang baru tidak didasarkan pada putusan MA.Ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 Perma No.1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang memberikan jangka waktu selama 90 hari terhadap kekuataan hukum peraturan perundang-undangan yang dibatalkan menjadi salah satu alasan yang menempatkan MA dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, MA telah membatalkan peraturan tata tertib DPD, di sisi lain MA harus melaksanakan tugasnya untuk memandu sumpah/janji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, MA juga tidak memiliki kapasitas untuk menilai keabsahan dari pemilihan pimpinan tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the authority of the Supreme Court regarding the current decisions of judicial review ofthe rules of procedure of DPD Number 1 of 2016 and Number 1 of 2017 as well as guidance of oath or pledge against elected DPD leaders in 2017 which is still a debate. This study raises two main issues. First, the authority of the Supreme Court in the judicial review of the Rules of Procedure of DPD. Secondly, the legal consequences on the authority of scouting oath or promise of DPD leadership in 2017 by MA. This research is using normative juridical method through literature study and historical approach. The results of this study shows that the supreme court in judicial review of law regulation under law against the 1945 Constitution ofthe Republic of Indonesia is implementing judicial functions. Meanwhile, the Supreme Court in conducting the oath of DPD pledge is implementing administrative functions non judicial in other authorities as determined by Law Number 17 of 2014 concerning MPR, DPR, DPD and DPRD juncto Law Number 14 of 1985 regarding Supreme Court. Formally, the DPD has implemented the Supreme Court 39 s decision, but not substantively. Due to the fact that the election of the new DPD leadership was not based on the Supreme Court 39 s Decision. The provisions in Article 8 paragraph 2 of No.1 of 2011 on the Material Test Rights which give a period of 90 days to the legal power of legislation is one of the reasons that put the MA in a dilemmatic position. On the other hand, the Supreme Court has annulment the DPD rules of procedures, the Supreme Court must carry out its duties to guide the oath pledge mandated by the law, the Supreme Court also does not have the capacity to assess the validity of the election of the leader. Keywords The Supreme Court rsquo s Authority, Judicial Review, Swearing Oath, DPD."
2018
T51187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lara Sakti Oetomo
"Perkembangan legislasi hukum ekonomi syariah di Indonesia saat ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat, perkembangan tersebut juga merupakan salah satu pengejawantahan dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mendukung penerapan hukum Islam di bidang muamalat (hukum perikatan Islam) di Indonesia dengan telah dimasukkannya ekonomi syariah menjadi kewenangan peradilan agama. Seiring dengan hal tersebut perkembangan legislasi hukum ekonomi syariah juga dibuktikan dengan hadirnya berbagai produk-produk hukum “prosyariah”, seperti Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara, Undang-Undang tentang Perbankan Syariah dan peraturan lainnya. Problematika mendasar dari operasional ekonomi syariah saat ini adalah apakah penyelenggaraan kegiatan usaha baik perbankan, asuransi, pasar modal, obligasi dan praktek ekonomi syariah lainnya telah sesuai dengan perjanjian (akad) dalam fiqh Islam atau hanya sekedar penggantian nama/istilah yang dikenal luas dalam sistem ekonomi konvensional ke dalam istilah Islam. Selain itu, hambatan di bidang kelengkapan fasilitas perundang-undangan yang mendukung kelancaran aktivitas keseharian lembaga-lembaga ekonomi syariah belumlah memenuhi semua kriteria ekonomi syariah. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan atau kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, dan melakukan analisa terhadap norma-norma hukum, khususnya peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis. Hasil penelitian sementara dapat disimpulkan bahwa: 1) Seiring dengan berkembangnya kegiatan praktik ekonomi syariah, maka bertambah banyak pula transaksi-transaksi atau kontrak (akad) syariah yang dilakukan oleh banyak pihak, dan dalam praktiknya kegiatan ekonomi syariah saat ini masih menggunakan cara-cara tranplantasi hukum dalam perikatan (akad) syariah, sehingga menimbulkan keraguan, ketidakpastian dan ketidakadilan. Oleh sebab itu, untuk memenuhi keinginan para pihak yang mengadakan transaksi-transaksi (akad) syariah tersebut sangat dibutuhkan undang-undang yang mengatur tentang transaksi-transaksi syariah di Indonesia. 2). Belum adanya undang-undang khusus yang mengatur transaksi syariah di Indonesia, sehingga Pemerintah maupun DPR perlu mengagendakan dan memberikan prioritas terhadap pembuatan undang-undang tersebut yang sesuai dengan Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Indonesia Program Prioritas 2015 – 2019 yaitu pengarahan pembangunan hukum dibidang hukum perdata, khususnya bidang hukum kontrak dan hukum ekonomi.

The development of sharia economic law legislation in Indonesia is now progressing very rapidly, the development is also one of the manifestations with the hassuance of Law no. 3 of 2006 on Amendment to Law no. 7 of 1989 on Religious Courts, which supports the application of Islamic law in the field of muamalat (law of Islamic engagement) in Indonesia with the inclusion of sharia economy into the authority of religious courts. Along with this, the development of sharia law law legislation is also evidenced by the presence of various legal products "prosyariah", such as the Law on State Sharia Securities, the Law on Sharia Banking and other regulations. The fundamental problematic of the current sharia economic operation is whether the implementation of business activities in banking, insurance, capital markets, bonds and other sharia economic practices has been in accordance with the agreement (akad) in Islamic fiqh or simply merely renaming the term in the economic system conventional into Islamic terms. In addition, obstacles in the field of completeness of legislative facilities that support the fluency of daily activities of sharia economic institutions have not met all the criteria of sharia economy. This research is conducted by normative juridical research method, that is research which is focused to study the application or rules or norms in positive law, and to analyze legal norms, especially certain laws or written law. The results of the interim research can be concluded that: 1) Along with the development of sharia economic practice activities, the more transactions or contracts (akad) sharia is done by many parties, and in practice sharia economic activity is currently still using the ways of transplantation law in the engagement (akad) of sharia, resulting in doubt, uncertainty and injustice. Therefore, to fulfill the wishes of the parties who hold transactions (akad) sharia is very necessary laws that regulate the transactions of sharia in Indonesia. 2). The absence of special laws governing sharia transactions in Indonesia, so that the Government and the House of Representatives need to prioritize and give priority to the drafting of the law in accordance with the National Legal Development Plan (PPHN) Indonesia Priority Program 2015 - 2019 namely the direction of legal development in the field of law civil, especially the field of contract law and economic law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Nanda Eka Dewi
"Konstitusi Indonesia sudah mengatur tentang sistem ketatanegaraan sebagai dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem pemerintahan presidensial mengonstruksikan adanya saling kontribusi yang dilekatkan pada lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, salah satunya dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan. Sistem Presidensial membawa konsekuensi bahwa kekuasaan Presiden tidak hanya berada dalam wilayah kekuasaan eksekutif saja tetapi juga menyentuh ranah di bidang peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sejatinya menjadi perihal penting sebagai instrumen untuk membangun kesejahteraan ekonomi dan masyarakat. Yang menyita atensi saat ini tren pembentukan peraturan perundang-undangan menemui beragam persoalan. Akar permasalahan yang ditemukan adalah ketiadaan suatu kelembagaan khusus untuk mengelola peraturan secara menyeluruh. Untuk itu, banyak bermunculan gagasan untuk mengatasi permasalahan peraturan perundang-undangan dengan membentuk kelembagaan khusus, dimana hal ini juga tertuang dalam ketentuan Pasal 99A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengakomodir pembentukan kementerian atau lembaga di bidang peraturan perundang-undangan. Metode penelitian dalam penulisan tesis ini yaitu penelitian hukum doktrinal dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan untuk menjawab permasalahan yang kemudian hasilnya akan diharapkan bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan. Berangkat dari pembahasan, kebutuhan pembentukan kementerian di bidang peraturan perundang-undangan untuk menguatkan kelembagaan dan mensentralkan fungsi peraturan perundang-undangan secara satu pintu yang dikontrol langsung oleh Presiden. Solusi yang ditawarkan ialah membentuk Kementerian Koordinator Peraturan Perundang-Undangan sebagai bagian dari kabinet pemerintahan dengan fungsi pengendalian yang melekat kepadanya untuk membantu Presiden melaksanakan kekuasaan di bidang peraturan perundang-undangan melalui koordinasi secara fungsional.

The Indonesian Constitution has regulated the constitutional system as the basis for exercising the state power. The presidential system of government constructs mutual contributions attached to the executive and legislative institutions, one of which is establishing laws and regulations. The presidential system has the consequence that the power of the President is not only within the area of executive power but also touches the realm of laws and regulations. Laws and regulations have a vital role as instruments in building economic and social welfare. What draws attention is that the present trend in formulating laws and regulations encounters various problems. The core of the problem discovered is the lack of a specialized institution to administer rules in their entirety. Thus, many ideas have emerged to address the issues of laws and regulations by establishing specific institutions, as stated in Article 99A of Law Number 15 of 2019, which accommodates the formation of ministries or institutions in the field of laws and regulations. The research method used to write this thesis is doctrinal legal research with literature study data gathering methods to answer problems, with the expectation that the results will provide solutions or suggestions to address problems. Aside from the discussion, there is a need to establish a ministry in the field of laws and regulations to strengthen the institution and centralize the functions of laws and regulations in a one-stop directly overseen by the President. The solution offered is to establish a Coordinating Ministry for laws and regulations as part of the government cabinet with an inherent control function to assist the President in exercising power in the field of laws and regulations through functional coordination."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Artha Debora
"Pandemi Covid-19 telah memaksa pemerintah untuk bersikap dan merespon dengan keputusan yang cepat dan tepat. Keputusan Presiden untuk menerbitkan Perppu untuk penanganan pandemi Covid-19 menuai kontroversi berkaitan dengan materi muatan dan prosedural penerbitan Perppu. Penelitian ini bertujuan meninjau pilihan hukum kedaruratan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 dan implikasi pilihan hukum kedaruratan terhadap pembentukan produk hukum Perppu dengan menggunakan metode yuridis-normatif. Penelitian menemukan bahwa pilihan hukum kedaruratan campuran sebagai pilihan hukum pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 yang menggabungkan pilihan berdasarkan undang-undang yang telah ada dan yang baru dibentuk serta menekankan pentingnya kontrol parlemen terhadap potensi praktik kesewenang-wenangan Presiden. Karena itu diperlukan respon dan sikap DPR RI secara objektif dalam melegitimasi tindakan Presiden yang secara subjektif ditetapkan melalui penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Prosedur pengawasan DPR RI dalam mengesahkan Perppu menjadi undang-undang harus mengedepankan permusyawaratan proporsional berdasarkan hukum tidak hanya mengandalkan kepentingan politik semata. Sebaliknya Presiden perlu mempertimbangkan setiap pilihan kebijakan selama menangani pandemi Covid-19 dan menerima evaluasi serta kritik agar senantiasa berjalan berdasarkan atas hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan hak dan kepentingan rakyat. Melalui penelitian ini diharapkan setiap elemen pemerintahan maupun rakyat dapat bahu-membahu dan memberikan sinyal kekompakan dalam mencari jalan keluar bersama untuk menyelamatkan negeri dari pandemi yang masih tak kunjung menepi.

The Covid-19 pandemic has forced the government to act and respond quickly with appropriate decision. The President's decision to issue a lieu of law for handling the Covid-19 pandemic has sparked controversy regarding the substantive and procedural lieu of law issuance. This research intends to observe the government's emergency law option in dealing with the Covid-19 pandemic and the implications of emergency law options on the formation of the lieu of law using the juridical-normative method. This research found that the mixture of mixed emergency option combines options based on existing laws and newly formed and emphasizes the importance of parliamentary control over the President arbitrary power potential. Therefore, it requires an objective response and attitude from the House of Representatives is needed to legitimate the President's actions subjectively determined through the issuance Lieu of Law Number 1 of 2020 and Lieu of Law Number 2 of 2020. The House of Representatives oversight procedure in ratifying lieu of law must prioritize proportional deliberation based on the law not rely solely on political interests. On the other hand, the President needs to consider his decision consequences and accept evaluations and criticisms that always walk according by law without compromising the rights and interests of the people. Through this research, it is hoped that every element of the government and the people can work together and give a signal of solidarity in finding a way out together to save the country from the pandemic that is still not over."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathudin
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang pembatasan hak prerogatif presiden dalam pengangkatan pejabat publik khusunya kepala kepolisian negara republik Indonesia dan Panglima TNI. Pembatasan tersebut berupa hak konfirmasi DPR dalam proses pengangkatan pejabat publik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yuridis dengan pendekatan pendekatan undang-undang (statuta approach). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa meskipun intitusi Polri dan TNI merupakan institusi pelaksana fungsi pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan yang kedudukannya berada dalam ruang lingkup kekuasaan eksekutif yakni di bawah Presiden serta jabatan Kepala Polri dan Panglima TNI merupakan jabatan karir, namun karena kedua institusi tersebut merupakan alat negara bukan alat pemerintahan maka perlu adanya pengawasan dari DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Pada konteks ini jika semula pengangkatan Kapolri dan TNI merupakan kewenangan mandiri (hak prerogatif) seorang presiden, kini menjadi hak prerogatif dengan pembatasan. Di masa yang akan datang perlu pengaturan secara tegas oleh konstitusi tentang pembatasan hak prerogatif presiden dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI. Karena, pembatasan atas hak prerogatif presiden semestinya hanya dapat dilakukan jika secara tegas diatur oleh konstitusi itu sendiri.

ABSTRACT
This thesis focuses on the study of the restrictions on the Presidential Prerogative in the Appointment of Public Officials especially Chief of the Indonesian National Police and Commander of The Indonesian National Armed Forces. That Restrictions is the right of confirmation of the House of Representatives (DPR) in the process of appointment of public officials. This research is a normative research that use statuta approach. The results of this research is indicate that although the police and military institutions are the implementing agencies of government functions in the field of defense and security whose position is within the scope of executive power under the President, and the Chief of the Indonesian National Police and the Commander of The Indonesian National Armed Forces are career positions, but because these institutions are the state apparatus not government apparatus, so the supervision or control of the Parliament (DPR) as an institution that represents the interests of the people is needed. In this context, the appointment of Chief of the Indonesian National Police and the Commander of The Indonesian National Armed Forces is still prerogative of president but by the restrictions.The reseacher sugests that in the future, there should be regulation expressly by the constitution for the restriction of the presidential prerogative in the appointment of Chief of the Indonesian National Police and the Commander of The Indonesian National Armed Forces. Because, restriction on the prerogative of the president should only be performed if expressly provided by the Constitution itself.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library