Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Sulchan
Abstrak :
Program jangka panjang, dengan "pendekatan berbasis pangan" untuk penanggangan kekurangan vitamin A (KVA) semakin penting peranannya. Telah dilakukan penelitian dalam rangka sistim pemantauan Vitamin A di Jawa Tengah yanig menghubungkan asupan vitamin A dengan kadar serum retinal pada ibu-ibu laktasi dengan Batita (anak bawah tiga tahun) selama krisis. Median asupan vitamin A 319 RE/d buta senja : 0,34%. Kadar serum retinal (rerata 1,23 jMnol/L} berhubungan dengan asupan vitamin A model multiple logistic regresi untuk memprediksikan peluang terjadinya pengaruh berbagai faktor determinant menunjukkan : Asupan vitamin A dari pangan nabati (OR/95% Cl] per quartile, 1 : LOO, 2': 1,63 fO.99-2.80/, 3rd: 1.99 11,58-2,991, dan 4'1': 2.62 [1,68-4,04], dari pangan hewani (V dan T1: 1,00. 3 : 137 [0,89-2,09] dan 4'h: 2,86 [1,59-3,98 j). Kebun gizi (tidak 1.00, ya 1.88 f1,08-2,68J ) dan pendidikan ibu ( sekolah lanjutan: 1,46 /1,00-2.16J ). Kontribusi asupanan vitamin A sumber nabati 16 kali lebih besar dibanding sumber hewani, sama pentingnya dalam mempengaruhi status vitamin A. Kebun gizi dan tingkat pendidikan ibu merefleksikan konsumsi pangan sumber nabati dan hewani dalam jangka panjang. (MedJ Inidones 2006; 15:259-66)
For the Longer term food-based approaches for controlling vitamin A deficiency and its consequences, become increasingly important. A nutrition survailance system in Central-Java, Indonesia assessed vitamin A intake and serum retinal concentration of lactating women with a child <36 mo old during crisis. Median vitamin A intake was 319 RE/d and night blindness 0,34%. Serum retina! concentration (mean : 1,23 jMnol/L] was related to vitamin A intake in a dose-concentration manner. The multiple logistic regression model for predicting the chance far a scrum retinal concentration > observed median of the population (27,27 funol/L) intended determinant factors, vitamin A intake from plant foods (OR/95% Cl) per quarttie, 1" : 1.00, 2"d: 1.63 [0.99-2,80], 3nl: 1.99 [1.58-2,99], and /'': 2,62 [1,68-4,04], from, animal foods (T and 2'"': 1,00. 3"': 1,37 [0,89-2,09] and 4th: 2,86 [1,59-3,98]). Home gardening (no 1,00, yes 1.88 f 1,08-2.68}) and woman's education level (< primary school : 1,00 >secondary school: 1,46 [1,00-2,16]). Tints, although contributing 16 times more to total vitamin A intake plant foods were as important for vitamin A status as animal foods. Home gardening and woman's education level seem to reflect longer-term consumption of plant and animal foods respectively. (Med J Indones 2006; J 5:259-66)
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-259
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fety Kumalasari
Jakarta : Niaga Swadaya, [Date of publication not identified]
628.162 FET t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djarwani Soeharso Soejoko
Abstrak :
ABSTRAK
Sampel kutikula dibuat dari udang galah yang dipelihara dalam akuarium, dengan umur bervariasi dari saat setelah molting sampai dengan molting berikutnya.

Spektra infra merah kutikula yang dipanaskan dengan suhu 600°C dan 900°C selama 6 jam, dan diukur dengan jangkauan frekuensi 4000 - 400 em-x, memberikan informasi bahwa pertumbuhan kristal apatit berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula kristal apatit tumbuh cepat, dalam waktu pendek, kemudian diikuti oleh pertumbuhan yang lebih lambat dalam waktu yang lebih lama, sampai akhirnya berhenti.

Hasil difraksi sinar X memperkuat hasil spektrometer infra merah. Diperoleh pula informasi bahwa kandungan kalsium fosfat dalam kutikula didominasi oleh ACP, termasuk dalam kutikula moltinng.

Spektrometer RSE (Resonansi Spin Elektron) digunakan khusus untuk mengamati apatit karbonat. Pertumbuhan apatit karbonat dalam kutikula sejalan dengan pertumbuhan kristal apatit. Meskipun kutikula mengandung banyak ACP, apatit karbonat, khususnya tipe A ikut dicerna dan dikeluarkan dari kutikula pada saat persiapan molting.
ABSTRACT
The samples of giant prawns cuticle were made with the prawn age variations during one molting cycle.

Infrared spectra of the cuticle after heating with temperature 600°C and 900°C for 6 hours, and measured with the frequency range of 4000 - 400 cm-l, showed that the growth of crystals proceeded into two steps. In the first period, the crystals were produced with high rate, within a few days C4-5 days], then followed by lower rate production for longer period, and finally it stopped.

The X-ray diffraction investigation supported the results of infrared spectroscopy. The X-ray diffraction patterns also informed that the calcium phosphate in the cuticle was dominated by ACP, including in the molting cuticle.

The carbonate apatite was studied by using Electron Spin Resonance spectrometer. The growth of the carbonate apatite crystals followed the same way as the crystals growth. Although the cuticle contains high amount of ACP, however, the carbonate apatite especially type A, was also digested and some of them was reabsorbed out of the cuticle during the molting preparation.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1994
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Djarwani Soeharso Soejoko
Abstrak :
ABSTRAK
Proses fisis klasifikasi kutikula udang galah dan udang windu diselidiki dengan menggunakan spectrometer infra merah., difraksi sinar X, dan resonansi spin elektron. Sampel kutikula dibuat dari udang dengan umur yang bervariasi, selama satu siklus molting.

Spektra infra merah dan profit difraksi sinar X digunakan untuk mengenali kehadiran kalsium karbonat dan kalsium fosfat Dalam kutikula terdapat kalsium karbonat dalam bentuk kalsit, dan kalsium fosfat dalam face ACP (amorphous calcium phosphate ), OCP (octacalcium phosphate ), dan apatit Pemanasan sampel dengan suhu 600"C dan 900°C dilakukan untuk mendeteksi OCP secara tidak langsung.

Ada dua cara klasifikasi. Metoda pertama mengakibatkan kW :Dada grup I mengandung apatit lebih tinggi dibanding dengan kutikula grup II yang klasifikasinya berlangsung dengan metoda kedua. Pada periode segera setelah molting, disamping material amorf, juga dibentuk material kristalin. Umumnya laju pertumbuhan apatit dalam kutikula udang galah lebih lambat dibanding dengan dalam kutikula udang windu.

Dalam kutikula udang galah, kalsit dan ACP tumbuh dominan, dan apatit tumbuh dengan ukuran kecil Kutikula molting selalu berisi apatit lebih rendah dibanding dengan kutikula non molting Berbeda dengan kutikula udang galah, apatit tumbuh lebih dominan dibanding dengan kalsit dalam kutikula udang windu. Kandungan ACP tinggi dalam kutikula non molting, tetapi tidak demikian dalam bra-Lila molting. Kutikula molting selalu berisi apatit lebih banyak dengan ukuran lebih tinggi dibanding dengan kutikula non molting.
ABSTRACT
Physical calcification process of giant and tiger prawn cuticle were investigated by using infrared, X ray diffraction, and electron spin resonance spectroscopy. Samples were prepared from cuticle of the prawns with age variation within one moulting cycle.

Infrared spectra and X my diffraction profiles were used to identify the presence of calcium carbonate and calcium phosphate . The cuticle contains calcium carbonate in the form of calcite, and calcium phosphates in the form of ACP (amorphous calcium phosphate ), 0CP (octacalcium phosphate), and apatites. Undirect identification of OCP was performed by heating the samples at temperature 500°C and 900°C. Electron spin resonance (ESR) spectroscopy was used especially for detecting carbonates in calcites and apatites.

There are two methods of calcification. The first method classify the group I cuticles with higher amount of apatites compare with the second method in the group II cuticles. In the period just after moulting, the crystalline materials are formed besides the amorphous materials in the two groups of cuticles.In general the rate of apatite growth in the giant prawn cuticle is lower than in the tiger prawn cuticle.

In the giant prawn cuticle, calcites and ACP exist dominantly, and apatites form in small size. The moulting cuticle always contains less of apatites than the non moulting cuticle. Differently happened in the tiger prawn cuticle, apatites dominate more than calcites. The amount of ACP is high in the non moulting cuticle, but not in the moulting cuticle. The moulting cuticle always contains much more apatites and in bigger size than in the non moulting cuticle.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Wdiastuti
Abstrak :
Kebersihan pengembangan padi hibrida bergantung pada ketersediaan galur/ mandul jantan ( cytoplasmic male strelity, CMS) dan galur pemulihan kesuburan ( restorer) yang efektif. Teknik molekuler dapat di gunakan untuk membantu pemulia dalam menentukan galur-galur tetua yang tepat untuk perakitan padi hibrida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan genetic tiga tipe sitoplasma padi ( wild abortive/ WA, Kalinga, dan Gambiaca) dan mengidentifikasi keragaman gen yang mengendalikan pemulihan kesuburan. Penelitian ini menggunakan sembilan hibrida F1 dan populasi F2 yang diperoleh dari tiga tipe sitoplasma (IR58025A-WA, IR80156A-Kalinga, dan IR80154A-Gambiaca) yang disilangkan dengan tiga galur pemulih kesuburan (PK90, PK12, dan BPII). Sebanyak 15 marka SSR digunakan untuk menyeleksi daerah genom pada kromosom 1 dan 10 di mana gen Rf3 and RF4 berada. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemulihan kesuburan pada galur CMS-WA dan CMS-Gambiaca didominasi oleh dua gen independen Rf3 and Rf4, sedangkan pada galur CMS-Kalinga oleh gen tunggal. Proses biologi yang mengendalikan pemulihan kesuburan tiga tipe CMS pada semua hibrida F1 adalah sama berdasarkan tingkat fertilitas polen dan spliket, yaitu masing-masing 76,1-78,3% dan 69,1-76,7%. Galur mandul jantan PK12 memilki kemampuan memulihkan kesuburan lebih kuat dibandingkan dengan PK90 dan BPII. Marka SSR RM490 dan RM258 berpotensi menjadi penanda untuk gen Rf3 dan Rf4 untuk memulihkan kesuburan CMS tipe WA. Penggunaan galur mandul jantan tipe WA dianjurkan untuk mengidentifikasi galur R yang mampu memulihkan kesuburan.
Jakarta: Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, 2017
630 IJAS 11:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library