Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hari S. Soediro
"This research takes a serial drama entitled Orkes Madun (OM-I-IV) written by Arifin C Noer, which consists of four plays as its corpus. They are:
Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun Bagian Satu (OM-I, 1973);
II Orkes Madun 2A/Umang-Umang (OM-II,1976);
III Orkes Madun IIB atawa Sandek Pemuda Pekerja (OM-III, 1979); and
IV Ozone atawa Orkes Madun IV (OM-IV, 1989).
There are two main aspects of text, they are dramatic text and performance text. There are four important elements in every structure of the dramatic text, namely dramatic shape, character, dialogue, and stage directions (Aston, 1991).
The aim of this research is:
1. To find out the characteristic of the dramatic text structure, especially its character element and characterization, as well as its plot of OM-I-IV;
2. To reveal the theme and its message of OM-I-IV; and
3. To unravel the thread which unites those four plays or a single long play (OM-I-IV).
This research is a qualitative research using a structural and semiotic approach. There are three steps to reach the goal. First, analyzing textually the structure of the dramatic text OMI-IV, especially the characteristic of its characters and plot. Second, analyzing semiotically the sign-system of the character and plot, especially to reveal the meaning of the message as well as its characters. Third, analyzing by using the inter-textual approach to find out the difference and the likeness of those four plays, and also to unravel the thread, which unites them.
The conclusion as the outcome of this research can be drawn as follows:
1.1 The dramatic text of OM-I-IV can be classified as a radical dramatic text, tragicomedy drama, drama of idea, or symbolical drama.
1.2 WASKA (WK) as the central character, is able to develop a dramatic plot, so that, he can play the role as the thread that unites those four plays in OM-I-IV.
1.3 The character of SEMAR (SM) has a doubled role, (a) as a director of the performance of OM-I-IV which is performed by KS-RBD; (b) as the leader of KSRBD; (c) as the central character of WK to the whole plays of OM-I-IV; (d) as the narrator, authoritative source, guide, commentator, and evaluator.
1.4 The structure of every play in a serial performance of OM-I-IV is in the structure of every play in OM-I-IV, or theatre in theatre (mise en abyme). It means that the serial play of OM-I-IV directed by SM is performed in the serial play of OM-I-IV
1.5 There are three main plots in OM-I-IV; they are NB plot, BD/SM plot, and WK plot.
1.6 There are four core plots; they are MAD plot, WK-II plot, SD plot, and WK- IV plot. These four core plots are in the frame of the main plot WK.
1.7 The plot characteristic of OM-I IV is loose, double or layers, and progressive linear with variation. The technical plot is flash back and back tracking.
2.1 The central theme of OM-I-IV is poverty while the message talks about the ways to fight against and come out from poverty and hardship.
2.2 The meaning of theme and message conveyed in OM-I-IV is to fight against poverty and hardship by (a) picpocketing or prostituting oneself (OM-1); (b) universal robbing; (c) demanding freedom of speech to be heard by others, striking of silence, eat, and work, also, universal striking (OM-III); and (d) doing trial in many ways to die for the impotence to bear suffering in holding punishment to live in world (OM-IV) in the serial drama of OM-I-IV that, apparently, can not solve the emerged problem.
2.3 The punishment to live beyond human's common sense, capability, and God's will is proved much horrifying to feel and go through rather than the most terrible punishment to die in the universe.
2.4 The destruction of human culture and civilization in the world, sea, and sky, including the ozone holes, is brought by human's misbehavior, mistake, and hard sins. Furthermore, as the balance for such human's mistakes and sins, he fulfils his cultural duty for its solution. There are some urgent examples as shown follows (a) cleaning up the world, sea, sky, and human himself; (b) assisting the mission pioneered by SD in the end of OM-III, and continued by SDM (the next, new generation) with his effort to eliminate all what make the mistakes and sins happened, including the wrong framing system firstly made. If necessary, the old system may be replaced and reformed to be a new, fresh, appropriate system as the current time demands. The new era. The Reformation era.
3.0 The threads which unities these four plays in OM-I-IV are:
3.1 the poverty as the central theme;
3.2 WK who serves as the central character;
3.3 SM who serves as the director of performed theatre in the play of OM-I-IV, and
3.4 the three main plots are the plots of NB, BD or SM, and WK."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
D387
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari S. Soediro
"This research takes a serial drama entitled Orkes Madun (OM-I-Iwritten by Arifin C Noer which consist of four plays as its corpus. They are: i Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun Bagian Satu (OM-1, 1973); ii Orkes Madun 2A/Umang-Umang (OM-II,1976); iii Orkes Madun IIB atawa Sandek Penurda Pekerja (OM-III, 1979); and iv Ozone atawa Orkes Madun IV (OM-IV, 1989). There are two main aspects of text, they are dramatic text and performance text. There are four important elements in every structure of the dramatic text, namely dramatic shape, character, dialogue, and stage directions (Aston, 1991). The aim of this research is : to find out the characteristic of the dramatic text structure, especially its character element and characterization, as well as its plot of OM-I-IV; to reveal the theme and its message of OM-I-IV; andto unravel the thread which unites those four plays or a single long play (OMI-IV).This research is a qualitative research using a structural and semiotic approach. There are three steps to reach the goal. First, analyzing textually the structure of the dramatic text OMJ-IV, especially the characteristic of its characters and plot. Second, a$alyzing semiotically the sign-system of the character and plot, especially to reveal the meaning of the message as well as its characters. Third, analyzing by using the intertextual approach to find out the difference and the likeness of those four plays, and also to unravel the thread which unites them. The conclusion as the outcome of this research can be drawn as follows: 1.1 The dramatic text of OM-I-IV can be classified as a radical dramatic text, tragicomedy drama, drama of idea, or symbolical drama. 1.2 WASKA (WK) as the central character, is able to develop a dramatic plot, so that, he can play the role as the thread which unites those four plays in MI--I-IV.;"
1998
D1633
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeon, Lee
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1829
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wagiono Sunarto
"Soekarno adalah tokoh nasional yang kontroversial yang tak dapat dipisahkan dari sejarah Pergerakan Nasional dan lahirnya Bangsa Indonesia. Pada usia 20an ia telah dikenal karena tulisan-tulisan yang menggugah dan pidatonya yang piawai menuntut kebebasan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Ia menggerakkan berbagai perkumpulan politik untuk kemerdekaan pada akhir usia 20an. Walaupun pada usia 30an ia banyak mendekam di penjara atau pembuangan, mitos dan kharismanya sebagai pahlawan pembebas dan pemimpin `revolusioner berkembang di antara rakyat dan politisi di seluruh Indonesia. Cerita dan sejarah (biografi) Soekarno selalu diliputi mitos tentang kekuatan supernatural dan takdirnya sebagai pembebas bangsa.
Mitos dan kharisma Soekarno telah menempatkannya dalam berbagai pusat peristiwa yang menentukan dalam sejarah ayval bangsa Indoensia. Setelah kedaulatan R.I diakui oleh Belanda dan oleh masyarakat internasional, Soekarno tetap terpilih memimpin bangsa Indonesia. Pada waktu ia menjalankan politik Demokrasi terpimpin, ia mencoba mempersatukan tiga kekuatan politik yang sebelumnya tak pemah rukun yaitu kelompok nasionalis, kelompok agama (temtama Islam) dan kelompok komunis. Walaupun selalu mendapat tantangan dari Angkatan Darat yang tak pernah mempercayai PKI, Soekamo tetap mendekatkan din pada PKI dan negara negara Blok Timur penganut ideologi Komunisme dan Sosialisme.
Pada tanggal 30 September 1965, terjadi usaha perebutan kekuasaan oleh sekelompok pemuka PKI dan organisasi massanya serta perwira Angkatan Bersenjata yang didukung beberapa batalion yang kebetulan sedang berada di Jakarta untuk merayakan Hari Ulang Tahun ABRI. Kudeta ini berhasil menculik dan membunuh 6 pimpinan puncak Angkatan Darat, namun tak berhasil melaksanakan tahap berikutnya. Jendral Soeharto yang tidak masuk daftar target penculikan, berhasil melakukan konsolidasi semua kekuatan militer yang ada dan pada hari kedua ia sudah mengamankan ibu kota dan selumh fasilitas telekomunikasi dan infrastruktur kota. Selanjutnya setelah mengamankan kepala negara, tanpa segan-segan ia melarang kegiatan PKI dan menghancurkan kekuatan pemberontak di daerah. Sesudah Itu kelompok-kelompok militer yang dikirim dan dibantu oleh kelompok para-militer Islam, menangkap anggota PKI dan afiliasinya di pelosok-pelosok. Dalam penangkapan-penangkapan ini banyak yang dibunuh tanpa punya kesempatan membela diri. Menurut catatan para peneliti dalam dan luar negeri korban yang terbunuh berjumlah antara 400.000-1.000.000 jiwa.
Sesudah peristiwa naas tersebut, secara perlahan Soeharto mulai dianggap sebagai pemimpin baru, dan secara bertahap naik sampai pada puncak pimpinan tertinggi negara. Soekarno harus menghadapai berbagai pertanyaan dan tututan mengenai keterlibatannya dalam G-30-S dan tanggung jawabnya terhadap kemunduran kehidupan sosial-ekonomi dan buruknya keamanan negara. Dengan tekanan dad DPRGR dan MPRS yang anggotanya sudah diperbarui, dan karena gelombang demonstrasi yang dipelopori KAMI, maka sejak awal 1966 secara bértahap Suekamo kehilangan mitosnya sebagai pemimpin yang tak tergantikan, kharismanya dan haknya untuk membela diri. Akhlmya, setelah Soeharto dikukuhkan sebagai pejabat presiden, Maret 1967. Soekamo tersingkir dari panggung politik dan terisolasi dari kehidupan soslal sampai wafatnya tahun 1970.
Rangkaian gejolak peristiwa yang dinamis ini terekam dalam koran-koran yang terbit 1959. 1967. Dengan cara unik, interpretasi dan opini mengenai peristiwa politik tersebut dituangkan dan diekspresikan dalam karikatur-karikatur yang terhit di koran-koran tersebut. Kumpulan karikatur tersebut merefleksikan emosi-emosi dan persepsi politik yang berkembang pada masyarakat sebagai reaksi atas peristiwa politik yang terjadi. Sebagai peninggalan sejarah, karikatur-karikatur tersebut harus di intepretasikan dan dimaknai sesuai dengan konteks zaman (tempat dan peristiwanya). Karena itu pemahaman mengenai perkembangan politik yang terjadi pada tahun 1959 gampai 1967 di Indonesia merupakan landasan terpenting pemahaman karikaturnya.
Dalam penelitian ini, definisi dan fungsi mitos yang dipakai adalah :
(1) Mitos adalah konsep tentang kebenaran, atau khazanah kepercayaan atau suatu hal luar biasa yang dipercaya sebagai penentu keberlangsungan kehidupan (Spencer 1961).
(2) Mitos berfungsi sebagai pelembagaan sistem tata nilai dan justifikasi sosial dalam suatu masyarakat (Campbell 1988).
(3) Mitos terbentuk karena pergeseran makna dalam proses semiosis berlanjut (Barthes dan de Sausurre, 1956).
Tujuan penelitian ini adalah :
(1) Memahami Karikatur sebagai wacana pembentuk mitos dan perombak mitos, melalui telaah contoh karikatur yang dikumpulkan.
(2) Memahami penggunaan karikatur dalam proses pemitosan dan proses perombakan mitos Soekarno (1959-1967)
(3) Mernahami korelasi antara gaya ungkap dan pesan-pesan yang disampaikan dalam karikatur yang diteliti (1_959-1967)
Untuk dapat memahami karikatur tersebut dalam konteks historis melalui telaah akademik maka penelitian ini didahului oleh studi awal mengenai Sejarah Politik Indonesia, Sejarah dan Biografi Soekarno, Sejafah Pers Indonesia, Sejarah dan referensi mengenai Seni Karikatur di Indonesia dan luar negeri serta referensi teoritis ilmu sosial, ilmu sejarah, dan ilmu budaya.
Dari penelitian yang dilakukan akhimya dapat disimpulkan bahwa karikatur yang terbit di Indonesia 1959-1967 memang mencerminkan adanya pemitosan dan perombakan mitos Soekarno dan ideologinya. Pada karikatur tersebut tergambar pelembagaan kekuasaan Soekarno dan kemudian kejatuhan citra Soekamo secara dramatik.
Pada karikatur yang terbit 1959-1965 ditemukan karikatur-karikatur yang mencitrakan Soekarno sebagai tokoh superhuman, penganyom yang bijak, tokoh perkasa dan energetik serta pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Sebaliknya, pada karikatur yang terbit 1966-1967 ditemukan penggambaran Soekamo sebagai manusia biasa yang berseragam kebesaran, ia terlihat tua, lemah, kesepian dan tak punya kekuasaan. Ia tidak lagi digambarkan sebagai orang kuat yang digdaya, tetapi sebagai manusia yang bersalah dan tak berdaya serta tidak bisa mernpertanggung jawabkan perbuatannya. Kontra mitos yang diungkapkan adalah Soekarno tidak pantas lagi memimpin.
Penelitian ini dilakukan dengan menelaah 1444 karikatur yang dipilih dari 14 surat kabar terkernuka Indonesia, yang terbit antara April 1959 sampai 1967. Tahap pertama adalah melakukan pengamatan umum atau 'overview' untuk mendapat kesan dan pesan-pesan yang terkandung dalam koleksi tersebut. Setelah itu terpilih 386 karikatur yang temanya sesuai dengan judul disertasi. Kumpulan karikatur ini ditabulasi untuk menganalisa kandungan tema, mitos, simbol dan ikon yang ada. Selanjutnya dipilih 44 karikatur yang dapat memperlihatkan perubahan terma dan gaya visual, sesuai dengan topik penelitian untuk dianalisa dan dimaknai lebih mendalam mernakai teori Barthes dan de Sausurre mengenai pemitosan melalui proses semiosis berlanjut.
Tahap akhir adalah memakai semua hasil tabulasi dan analisa tersebut untuk membuat kesimpulan akhir yang dapat menjawab pertanyaan penelitian. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah pemahaman Sejarah Nasional, Sejarah Karikatur dan Bidang Studi Seni Komunikasi.
Soekarno is a controversial Indonesian founding father inseparable from the history of freedom movement and the birth of the nation. He was already an outstanding political figure in his 20's, when he published his inspiring writings and delivered moving rhetorical speeches against the Dutch Colonialism. He also led a militant political movement for Indonesian independence in his late 20?s. Spending most of his 30's in prisons or in exile, his myths and charisma as revolutionary hero and messiah continued to grow among ordinary people and politician as well. The story and history (biography) of Soekamo were shrouded with myths of his superhuman power and legitimate destiny to free the country.
Soekarno's myths and charisma has support his leadership and placed him in the center of all decisive historical events during the revolution and after Indonesia has gained international recognition as a new republic. In the era of Guided Democracy, he declared a political decree to impose a balance power between three unlikely united political group in Indonesia which were the nationalist, the religion parties (mostly Moslem?s) and the communist. Despite opposition from the Army which never trusts the Communist party, Soekarno continues to tighten his political relation with the National Communist Party and International Communist-Socialist Block.
In September 30th, 1965 an attempt to take over the country was undertooked by a group of Communist party leader supported by a number of high ranking Armed Force officers and some armed battalions. This coup was successful in the initial stage of kidnapping and killing top Am|y?s officers (6 generals and 1 officers), but failed to brought the movement to the next stages. In a very short time alerted General Soeharto who was not in the target list, was able to consolidate remaining Armed Forces power and in the second day he has thoroughly secure the capital and all strategic telecommunications and other vital infrastmcture of the city. In the next step he secures the president and his aides, and without slight hesitation he banned the communist party activities, cmshed the organization and its affiliations and closed their media. In the following uncontrolled events, platoons of army were sent to the countryside. Supported by Islamic militia-group they search and captured many Communist party member or suspected communist activist throughout the country. In many cases the victim were killed without proper justice and legal process. in many studies, the death toll was estimated between 400.000 to 1.000.000.
After the fateful day, Soeharto was slowly stepping up to higher power and Soekamo was forced to face the growing negative opinion of his involvement in the coup attempt, and his other political an economical failure which bring down the country to continuous social and economic difficulties and instability. Through political pressure of the new Parliament and National Assembly, and because of consistence student demonstration on the streets of Jakarta, Soekamo slowly and painfully was loosing his myths and charisma, and his right to defend himself. Eventually he was ousted from the power and after Soeharto was inaugurated as the Acting President in March 1967, he was isolated from political scene until his death in 1970.
All the dramatic and dynamic successive political events was reported and recorded in the national newspaper published between 1959-1967. In a very specific and interesting way the historic events also captured and expressed in political caricatures published in the newspapers. These caricatures were form of communication which convey the messages of the time, shared- by the creator and the spectator alike. They were statement of emotions and opinions growed and developed in particular community about particular political and social events that happened in the history of the society.§They can serve as authentic historical artifacts for academic research.
The focus of this research was caricatures that conveyed messages which were related to the process of the myth making and the myth breaking of Soekamo. As a historic reminiscence, these caricatures has to be interpreted and understood in context with political background occurred in the time of the publication. Knowledge and reference of historical developments that happened in 1959-1967 were very important in the process of collecting, verifying and understanding of the research materials.
The definitions and fuction of myth used in this research are:
(1 ) Myth is a concept of truth and; a body of belief (Spencer, 1961).
(2) Myths functioned as a value system to established social justification system in a society (Campbell, 1988)
(3) As a form of communication, myth was formed through continuous process of switch of meaning that happened in a community because of semiotic process (Barthes and de Saussure, 1956)
The objective of the research were:
(1) To understand the way a caricature works in building a myth or breaking a myth, through example collected in the research.
(2) To understand the use of caricatures in the process of Soekarno's myth building and myth-breaking (process of creating his myths and his counter-myths).
(3) To understand the correlation between the pictorial style (visual language) and the message conveyed in the caricatures published between 1959-1967.
To be able to understand and describe these caricatures in historical contexts, the research was conducted based on studies of Indonesian Political History; History and Biography of Soekarno; History of Indonesian Joumalism and Historical reference about Indonesian and intemational caricatures.
The conclusion of this research is in depth understanding of the phenomena of myth-malring and myth-breaking in the history of tI1e rise and fall of Soekamo, observed through Caricatures which were published in 1959-1967. Between 1959-1965, while Soekarno is in the height of his power, he was often pictured as a superhuman, wise, powerful, affectionate and energetic leader loved by all. In these caricatures he also often appeared as a healthy and powerful leader younger than his real age. In the caricatures published between 1966(1967 Soekamo was often pictured as ordinary man in uniform, old, weak, helpless and lonely. He was no longer visualized as invincible leader, but as vulnerable human being, not free form mistakes and weakness and incapable to lead the country. His myths and charisma had gone and he was sized down to powerless person who lost his right to command.
The research was based on selected 1444 caricatures from 14 leading Indonesian newspaper published between April 1959 and March 1967. The first step of the research was a general overview of the 1444 caricatures, followed by further selection of 368 caricatures which more clearly related to the title of the research. The result was a tabulation of the myths, the symbols and the icons recognized in the caricatures. The next step was further selection of 44 caricatures, which were then analyzed and interpreted according to Barthes Theory of reading and deciphering myth through semiotic process. The final step was drawing conclusion and reflection by further analyzing and evaluating all the result of the research. It was hoped that the findings will contribute new insight to further understanding of Indonesian political history, the history of caricatures and the study of communication arts.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D852
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yeon, Lee
"Dalam khazanah sastra Indonesia Nh. Dini dikenal sebagai pengarang sastra feminis dan dianggap sebagai seorang pelopor dalam mendobrak suatu wilayah yang sejauh ini belum pernah disentuh oleh para wanita pengarang lainnya. Hal ilu disebabkan karena tema-tema yang disajikan secara gamblang dalam karya-karyanya sangat bertentangan dengan konvensi atau norma yang berlaku dalam masyarakat, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut persoalan wanita. Akan tetapi, dalam karya-karyanya khususnya dalam rangkaian cerita kenangannya, ditemukan bahwa dia juga mengungkapkan penghargaan terhadap budaya Jawa tradisional yang melekat pada kepriyayian Jawa.
Dari latar belangkang permasalahan tersebut, disertasi ini membahas kaitan kepriyayian dan perspektif wanita Serta memulainya dengan sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana Nh. Dini memaparkan sejumlah persoalan wanita yang pada saat bersamaan juga mengungkapkan nilai budaya tradisional, yaitu budaya kepriyayian Jawa dalam kelima cerita kenangannya. Dipilihnya kelima cerita kenangan sebagai bahan penelitian ini adalah karena kelima cerita kenangan tersebut berkaitan erat dengan sosialisi nilai tradisional serta nilai gender wanita priyayi Jawa di masa kanak-kanak, yang semua ini merupakan konsep utama dalam penelitian ini.
Dari hasil pembahasan mengenai ungkapan-ungkapan Nh. Dini terhadap kepriyayian dan persepktif wanita dalam kelima cerita kenangan, diperoleh sebuah gambaran yang boleh dianggap sebagai kunci jawaban terhadap permasalahan di atas. Hasil pembahasan tersebut, terlebih dahulu menjelaskan bahwa cara dan sikap Nh. Dini dalam mengungkapkan kepriyaian dan perspektif wanita terlihat pada tataran yang berbeda tanpa terjadi ketegangan antar kedua aspek tersebut. Dari hasil analisis diketahui bahwa ungkapan Nh. Dini mengenai nilai kepriyayian terlihat sangat mencolok pada penokohan dan idenya terhadap kepriyayian telah larut secara menyeluruh dalam karya-karyanya. Sementara itu cara dan sikapnya dalam mengungkapkan perspektif wanita diwujudkan atau embodied dengan maksud ingin mempengaruhi para pembaca. Selain itu, hasil pembahasan juga memberikan gambaran bahwa ide Nh. Dini mengenai kepriyayian telah terinternalisasi pada dirinya sendiri hingga pada akhirnya mewarnai perspektif wanita yang dimilikinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, disertasi ini menyimpulkan bahwa Nh. Dini bersikap menghargai dan menganut nilai-nilai kepriyayian khususnya yang berkenaan dengan ke'alus 'an, pengendalian emosi dan tata susila. Kelima cerita kenangan menunjukkan bahwa pada dasarnya Nh. Dini tidak menentang bahkan menerima nilai-nilai kepriyayian sebagai sesuatu yang positif bukan sebagai sebagai sesuatu yang patriarkis. Adapun pada kelima cerita kenangan terlihat perspektif wanita yang dalam hal ini adalah tanggapan Nh. Dini terhadap nilai kepriyayian yang berkenaan dengan wanita. Pada tanggapan tersebut diungkapkan bahwa yang dipermasalahkan Nh. Dini adalah diskriminasi antara wanita dan pria dalam menerapkan nilai-nilai kepriyayian dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu menjelaskan bahwa Nh. Dini bersikap menerima tatanan nilai kepriyayian, tetapi yang dituntutnya adalah bahwa tatanan tersebut semestinya juga ditujukan pada pria bukan hanya pada wanita saja. Dengan hal tersebut disertasi ini menyajikan sosok baru Nh. Dini, yaitu sebagai priyayi feminis atau sebagai feminis yang menganut nilai-nilai kepriyayian.
Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa Nh. Dini merepresentasikan dan mengangkat soal priyayi Jawa bukan sebagai suatu status sosial atau suatu gelar yang terpandang dalam masyarakat, melainkan kepriyayian sebagai suatu acuan nilai yang harus terus-menerus dibangun dalam perilaku dan sikap seseorang. Mengingat bahwa kepriyayian masih melekat dalam kehidupan bermasyarakat sebagai semacam gelar kehormatan dan masih tetap diinginkan oleh sebagian anggota masyarakat untuk diterapkan pada zaman sekarang, cerita kenangan Nh. Dini memperlihatkan sebuah gambaran yang bermakna sebagai bahan pertimbangan dalam menginterpretasi kepriyayian Jawa.
Nh. Dini, a well-known literary author in the Indonesian literature, has been regarded as the pioneer in feminism, as the themes of her works convey her opinions about women?s issue in a society, a subject which had never been brought up by any other author before. Although she is likely to take side in her novels and often stands against social conventions and nouns, she has shown appreciation toward the Javanese traditional cultural values, cultural values of the priyayi in her memoirs.
This dissertation is an attempt to show the way Nh. Dini draws a line between two contrary aspects, the cultural values of the priyayi and the women?s perspectives, by analyzing the five selected memoirs of Nh. Dini. The reason for choosing the memoirs as the subject of this dissertation was because they are closely related to the childhood socialization of gender values as well as the traditional values which has become one of the important concerns in this dissertation.
The dissertation begins by interpreting Nh. Dini?s expression about both the priyayfs and women?s perspectives. It indicates that Nh. Dini?s thoughts and attitude toward these two different values are expressed in different ways which do not conflict between one and the other. The analysis has also resulted in a conclusion that Nh. Dini?s thoughts and attitude toward the priyayi have distinctively exposed through the characters in her memoirs, the priyayi replaces with and dissolves deeply in her memoirs. Compared with her more internalized priyayi values, Nh. Dini?s thoughts and attitude about women?s issues are expressed more bluntly with the aim of influencing her readers. Through her memoirs Nh. Dini shows how her thoughts about the priyayi has naturally blended with her own life that in the end resulted in giving her new perspectives as a woman.
Based on the analysis, the dissertation has proven that basically Nh. Dini respects and accepts the values of priyayi, especially those which are related to the realm of morals, manner, self control and decency, as something constructive instead of exposing it as patriarchal system. What has become an issue for Nh. Dini is that the system has discriminated the implementation of the values of priyayi against women. By showing her faith in the values of priyayi and at the same time demanding equality between men and women, Nh. Dini appears with a new image in this dissertation, as a feminist prfyayf or a feminist who has faith in the values of priyayi.
In the end, her memoirs shows that the subject of her works was not to legitimatize the priyayi as a respectable social status, but to represent it as values which should be applied in anybody?s daily life through behavior and attitude. Considering that the values of priyayi still linger in society and that some groups of people are intending to preserve the existence of priyayi in the present era, the memoirs of Nh. Dini give a different perspective of how to interpret the priyayi.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D881
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarwati Kramadibrata Poli
"Latar Belakang Masalah
Pembahasan atau kajian mengenai wanita pada masa kini makin banyak dilakukan dan diterbitkan hasilnya. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan yang dicapai oleh wanita itu sendiri, khususnya pengarang wanita yang berusaha untuk menyuarakan masalah yang selama ini dihadapi kaumnya dalam keberadaannya di dunia.
Pada waktu hak dan kesempatan bagi wanita dan pria mulai menjadi kenyataan, muncul masalah yang justru menghambat masing-masing dalam memanfaatkan kebebasan dan peluang yang ada, yaitu memilih peran yang ingin dijalaninya dan kedudukannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Salah satu alasan yang cukup mendasar dari munculnya masalah ini mungkin merupakan akibat dari kesenjangan yang ada antara aspirasi baru dan gambaran tradisional, yang mau tak mau masih melekat pada diri kita sendiri, baik wanita maupun pria.
Penampilan wanita dalam masyarakat memainkan peranan penting dalam membentuk konsep keberadaan dan citra wanita. Penampilan ini ditentukan oleh gambaran yang dimiliki oleh para anggota masyarakat sendiri. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimanakah gambaran tentang wanita itu sendiri mengingat gambaran itu erat kaitannya dengan peran dan kedudukannya dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat. Konsep citra sendiri mengacu pada beberapa pengertian. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1992:192) mengatakan:
"Citra adalah gambaran yang dimiliki oleh orang banyak mengenai pribadi, orang, atau produk".
Penjelasan Noerhadi mengenai citra dihubungkan pada self concept atau self image. Penanggapan pada diri sendiri (pribadi) bisa terjadi karena intuitif, bisa juga sebagai hasil refleksi. "Citra" adalah suatu abstraksi dari penggambaran yang diwarnai rasa dan penghayatan (Noerhadi, 1981:54-56).
Definisi yang diberikan Noerhadi tidak jauh berbeda dari apa yang diuraikan oleh Lauwe dalam La Femme dans la Societe. Lauwe berpendapat bahwa gambaran tentang wanita harus dikaitkan dengan perilaku, situasi dan status wanita dalam kehidupan sosial. Selain dari pada itu, gambaran tentang wanita erat kaitannya dengan persepsi, representasi diri dan kesadaran diri yang memungkinkan setiap individu menangkap ketiga unsur ini lalu bila diperlukan, mengubahnya. Jadi, gambaran tentang wanita diperoleh dari gabungan unsur-unsur yang berbeda itu (1967:20-40).
Dengan demikian pendapat Lauwe menyiratkan adanya hubungan ketergantungan antara gambaran atau citra wanita dan cara pandang serta cara menampilkan diri di dalam masyarakat, di samping dengan pengalaman dan imajinasi atau bayangan rekaan yang muncul dari pengalaman tersebut.
Selanjutnya Lauwe mengatakan bahwa representasi atau penampilan diri dikondisikan oleh aturan-aturan bersikap yang berlaku dalam lingkungannya, oleh kebutuhan moral dan aspirasi pribadi masing-masing (wanita) (1967:1oc.cit).
Bahwa ada perubahan atau tidak, gambaran mengenai wanita ini tampaknya harus dikaitkan dengan cara memandang masalah tersebut. Ini berarti menyangkut masalah nilai-nilai dan moralitas. Dalam hal ini pengertian nilai-nilai atau values mengacu pada definisi Clyde Kluckhohn yang dikutip N. Reascher dalam bukunya An Introduction to The Theory of Values:
"A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of the desirable which influences the selection from available means and ends of actions"(1969: 2)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
D271
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Ningsih
"Disertasi ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan bagaimana perempuan di dalam novel romance memanifestasikan kesadaran kritisnya dalam memperjuangkan kesetaraan dan membuka ruang gerak bagi dirinya sendiri dalam sistem yang dibangun oleh patriarki. Di samping itu disertasi ini juga bertujuan untuk mendapatkan jawaban bagaimana ideologi patriarki yang dominan mewujudkan diri dalam novel-novel yang diteliti, sehingga terjadi perbenturan dengan kesadaran kritis perempuan. Dan terakhir bertujuan untuk melihat bagaimana unsur-unsur novel tersebut memanifestasikan perbenturan kedua kekuatan tersebut.
Materi disertasi ini ialah novel romance karya Barbara Taylor Bradford, yang cukup tangguh mempertahankan prestasinya sebagai pengarang novel populer perempuan sejak tahun 1979 sampai sekarang. Fenomena yang ditampilkan pada setiap karyanya selalu mengenai perubahan kehidupan perempuan. Uniknya setiap novel bertemakan kesadaran kritis perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dan identitasnya. Perempuan yang menjadi tokoh utamanya selalu bercirikan perempuan yang ulet, tegar, cerdas, cantik dan menarik serta gigih memperjuangkan hak dan kehidupannya. Para tokoh ini umumnya berhasil mencapai posisi subjek dan setara dengan laki-laki. Kekalahan yang mereka hadapi bukanhah karena ketidakmampuannya melainkan oleh faktor dan kondisi yang memposisikan mereka untuk mengalah.
Walaupun masih banyak pakar yang menganggap novel popular terutama romance, sangat simplisitis, penganalisaan ini telah membuktikan bahwa novel populer tidak mengandung makna alternatif, yaitu hitam atau putih tetapi terdiri dan pluralitas makna yang berkontradiksi dan menyelubungi ideologi. Ideologi tidak terkait dengan apa yang disampaikan teks melainkan dengan apa yang tidak disampaikan oleh teks. Symptomatic reading adalah metodologi yang digunakan untuk menggali makna yang terselubung di balik teks. Setiap karya terdiri dari dua teks yakni teks manifes dan teks latent, yang mengandung kekuatan yang bertentangan, dan kedua kekuatan tersebut muncul secara bersamaan. Tanda seperti lapses, silence dan absence yang hadir dalam teks manifes telah membantu membongkar makna yang tersimpan dalam teks latent. Hasil analisa ketiga novel tersebut memperlihatkan kecenderungan kesaman pola, yaitu adanya kontradiksi internal. Ketiga novel ini mengartikulasikan adanya perbenturan kesadaran kritis perempuan dengan ideologi patriarki. Perwujudan patriarki direpresentasikan oleh ayah, suami, adik laki-laki, saudara laki-laki dan anak laki-laki. Ideologi patriarki ini juga menyusup kedalam kesadaran kritis perempuan sehingga tokoh perempuan yang tampil sangat tangguh dan ulet terkesan lebih bersikap ambigu.
Novel ini tidak hanya menampilkan perubahan kehidupan perempuan tetapi juga menampilkan perubahan sikap laki-laki. Mereka ditampilkan lebih bersahabat bahkan berusaha memberikan peluang pada perempuan untuk beraktivitas di luar ranah domestik Hal ini merupakan mekanisme baru kekuasaan patriarki yang pada dasamya tetap memanfaatkan perempuan demi kepentingannya. Namun ada sekelompok kecil laki-laki yang mengakui hak, identitas dan kesetaraan yang dicapai perempuan bahkan ikut membantu perempuan dalam melansirkan resistensinya. Manifestasi ini dalam novel sangat samar dan direpresentasikan oleh satu atau dua orang tokoh saja. Perubahan sikap perempuan maupun laki-laki dalam novel merupakan tawaran tentang relasi gender baru."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
D531
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leany Nani Harsa
"ABSTRAK
Disertasi ini memuat penjelasan mengenai identitas budaya Nisei, generasi kedua imigran Jepang di Amerika. Dalam menjelaskan permasalahan identitas etnik ini, saya menyoroti bagaimana kejepangan atau pun keamerikaan digambarkan sebagai alternatif konstruki identitas Nisei. Selain itu juga mengungkapkan bagaimana Nisei mengkonstruksi identitas hibrid mereka sehubungan dengan peristiwa kamp relokasi, penempatan yang memegang peranan utama dalam kehidupan mereka. Ketika mengulas permasalahan identitas budaya ini saya menggunakan istilah yang digunakan Sollors yaitu descent yang mengacu kepada unsur-unsur keturunan dan consent yang mengacu kepada unsur-unsur lain. Dalam menganalisis saya menggunakan teori ilmu budaya yang berhubungan dengan permasalahan identitas etnik yaitu teori Stuart Hall dan Homi Bhabha.
Penelitian dilakukan terhadap dua buah otobiografi hasil karya Nisei yaitu Nisei Daughter (1953) yang ditulis oleh Monica Sone dan Farewell To Manzanar (1973) yang ditulis oleh Jeanne Wakatsuki Houston. Melalui representasi tokoh utama Nisei diungkapkan bahwa identitas budaya bukanlah suatu konstruksi yang mapan. Identitas ini dibangun sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi tokoh utamanya sehingga sejalan dengan pendapat Hall yang mengatakan bahwa identitas budaya bersifat cair sehingga menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi. Sebelum masuk kamp, Nisei menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi orang Amerika seperti yang tampak jelas melalui orientasi budaya mereka yaitu kebudayaan Amerika. Namun diposisikan sebagai ?Yang lain? dan sebagai musuh Amerika ketika Perang Dunia kedua, mereka meredefinisi konsep diri mereka Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066, serta kondisi yang memprihatinkan di dalam kamp menjadi pemicu titik balik orientasi budaya mereka. Setelah keluar dari kamp mereka menegosiasikan identitas budaya mereka menjadi identitas budaya hibrid yaitu sebagai hyphenated American atau orang Amerika yang memiliki karakter oriental. Dengan demikian maka terlihat bahwa identitas budaya Nisei selalu berada dalam proses dan bukanlah merupakan identitas yang esensial.
Melalui sejumlah unsur pembangun cerita seperti ironi, tokoh yang ambigu dan kesenjangan antara tokoh utama dan pengarang tersirat, kedua otobiografi memperlihatkan bagaimana sikap paradoks pemerintah dan perilaku diskriminatif masyarakat Amerika mempengaruhi orientasi budaya Nisei. Kehidupan kamp yang menunjukkan bagaimana Nisei ditempatkan oleh pemerintah Amerika menjadi acuan Nisei untuk memposisikan diri dalam masyarakat multikultur. Dengan demikian maka otobiografi ini mampu mengungkapkan permasalahan kesukubangsaan yang merupakan pengetahuan penting bagi masyarakat yang beragam sehingga ruang interaksi antarsuku bangsa dan antarkebudayaan di dalam masyarakat multicultural dimungkinkan terbentuk.

ABSTRACT
This dissertation examines the continual transformation of cultural identity as shown in the works of Nisei writers, second generation of Japanese immigrant in America. The literary works contributed are two autobiographies, Nisei Daughter (1953) written by Monica Sane and Farewell To Manzanar (1973) by Jeanne Wakatsuki Houston. In explaining the complexities of ethnicities as it functions in American society, I use Sailors' terms of the concept of ethnicity, ?descent? and ?consent?. Descent relations are those defined by ?heredity? while consent relations are those of `law or marriage'. In analyzing ethnicity in America, I spotlight on how Japaneseness or Americanness displays as alternative Nisei's identity construction. Besides, I explain on how Nisei construct their hybrid identity in conjunction with their World War II relocation experience. My analysis of Sone's and Houston's is built around the theories used in cultural studies namely Stuart Hall's and Home Bhabha's.
My interpretation of representations of both major characters reveals that ?positioning? plays an important role in constructing their cultural identity. Identity, as a production, is never complete, and always in process. Hall explains that cultural identity is a matter of becoming as well as of ?being?. Cultural identities come from somewhere; have histories so that they undergo constant transformation. Both autobiographies reveal that before the camp experience, their main characters assert their American identity as a loyal American born citizen. Through vivid description, the cultural orientation of Nisei is American culture. However, positioned as the `Other' and as an enemy during the World War II, they redefine their self-concept. They claim that Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066 (1941), and the poor condition of the camps are triggers of their turning point of their cultural orientation. Being positioned as an alien, they realize that the American law is a paradox. Nisei is American by descent relation while at the same time they are considered as Japanese due to their `blood'. As a reconciliation, when they depart camps, they negotiate their hybrid identity so that they fell no longer pure American but hyphenated American or American with oriental characters. As a conclusion I prove I that the cultural identity of Nisei is not a shared culture. It is not essential and stable but it is considered as fluidity.
Through the use of literary devices such as irony, ambiguous characters as well as a distance between implied author and the main character, the autobiographies reveal the concept of ethnicity plays a paradoxical role in American society. Along with American society's racial discrimination, the harsh treatment has an impact on Nisei? cultural orientation. The World War II relocation experience is a reference for the Nisei on how the American government positions them in multicultural society. By all means, both autobiographies are successfully able to reveal the ethnicity's problem. This condition stimulates the society to open a space for ethnic interaction in multicultural society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D496
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilawati Kurnia
"Perjalanan telah dilakukan manusia sejak dahulu kala, baik ketika manusia sudah mengenal peradaban, maupun jauh sebelumnya. Perjalanan yang telah menjadi bagian dari hidup manusia, terlebih bagi manusia di abad modern kini. Dengan demikian, perjalanan tersebut seolah-olah tidak dapat dilepaskan dari eksistensi manusia. Orang tidak dapat membayangkan, bagaimana kehidupan manusia masa kini tanpa adanya suatu perjalanan. Pada abad pertengahan di dalam sistem pendidikan informal di Jerman, yaitu sistem magang, seorang Geselle diharuskan mengadakan perjalanan untuk mengumpulkan pengalaman. Pengalaman tersebut akan berguna baginya pada ujian untuk menjadi seorang Meister, seorang ahli dalam bidangnya. Di tanah air kita pun dikenal adat-istiadat yang mengharuskan seorang pemuda untuk mengembara. Jika ia pulang ke kampungnya di kemudian hari, ia dapat diterima sebagai anggota masyarakat yang dihormati.
Ketika orang melakukan perjalanan, orang sering menemukan pengalaman-pengalaman yang unik, mengasyikkan, menegangkan, dan menyedihkan. Di samping itu, di dalam perjalanan, orang juga bertemu dengan berbagai suku bangsa asing maupun bangsa-bangsa asing. Bagi mereka yang mempunyai kepiawaian menulis, semua itu dapat menjadi suatu bahan tulisan yang menarik.
Oleh karena itu, di dalam khazanah kesusastraan, kisah-kisah perjalanan merupakan salah satu genre yang tertua. Di Eropa, dimulai oleh Homer (Homerus) yang menulis Iliad (Illias) dan Ulysses (Odyssee). Tulisan mengenai suatu perjalanan itu sangat menarik dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak tulisan lainnya .
Pada abad ketiga belas, Marco Polo melakukan sebuah perjalanan sensasional ke negeri jauh, Cina, yang pada waktu itu hampir tidak dapat dilakukan oleh masyarakat Eropa. Pengalaman Marco Polo di negeri asing yang hampir tak dikenal di Eropa itu, ditulis dalam bukunya Il Millone.
Selanjutnya, tulisan maupun laporan perjalanan tidak luput dari pengaruh fantasi pengarang. Akibatnya, timbul berbagai jenis cerita fiksi mengenai negeri asing beserta penduduknya dan, tentu saja, kebudayaannya. Kemudian, di dunia sastra muncul bentuk-bentuk roman perjalanan, atau yang lebih dikenal sebagai sastra perjalanan (Reiseliteratur).
Di dalam sastra perjalanan ini, tercermin pengalaman pertemuan antara bangsa Eropa dengan bangsa di filar Eropa. Misalnya, pada Odysseeditemukan berbagai gambaran atau citra mengenai bangsa dan suku bangsa yang hidup jauh dari Yunani. Suku bangsa Laistrygon, misalnya, digambarkan sebagai suku bangsa yang sangat agresif. Kebudayaan suku bangsa ini sangat berbeda dari kebudayaan Yunani yang dianggap sebagai kebudayaan yang beradab pada waktu itu. Oleh karena itu, suku bangsa Laistrygon dianggap berbahaya bagi bangsa Yunani.
Lain pula penggambaran citra suku bangsa Lotophagon yang sangat lemah lembut, tetapi dapat mengecoh orang. Atau, suku bangsa Kyklope yang sangat tidak ramah. Ada pula penggambaran suku bangsa Phaiake yang kebudayaannya mirip dengan kebudayaan Yunani sehingga citranya digambarkan dengan baik.
Pada masa itu, Homer telah mengatakan bahwa jarak peradaban asing terhadap peradaban Yunani yang tinggi dapat digunakan untuk menggambarkan citra bangsa primitif sebagai edle Wilde. Artinya, bangsa primitif yang mulia berdasarkan sifat-sifat alami yang dimilikinya. Di dalam Ilias, Homer menyebut orang-orang yang hidup di selatan Ethiopia sebagai bangsa peminum susu yang masih "murni". Orang-orang yang hidup di bagian utara disebutnya sebagai bangsa yang "adil". Bangsa peminum susu ini, seperti yang dijelaskan dalam beberapa buku tentang eksotisme, disamakan dengan bangsa Scyth. Persamaan in merupakan suatu kekeliruan. Namun, persamaan ini telah menjadi motif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
D184
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilawati Kurnia
"ABSTRAK
Data das Fremde sangat populer dan dipakai dalam berbagai bidang penelitian di Jerman dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Namun pengertian kata ini dalam hubungannya dengan hermeneutik interkultural dapat dipahami melalui metode yang dikembangkan oleh Wierlacher, Krusche, Michel, dan banyak lagi. Disertasi ini menggunakan dikotomi pengertian das Fremde dan das Eigene dalam menganalisis keempat novel Jerman yang dijadikan materi penelitian. Konflik-konflik yang dibangun dalam novel-novel ini diteliti berdasarkan dikotomi das Fremde dan das Eigene yang bersifat komplementer. Melalui analisis didapatkan gambaran citra-citra yang terbentuk. The Other atau das Fremde sudah menjadi konsep heuristis yang dikembangkan dan dipakai di luar Jerman dalam menginterpretasi fenomena-fenomena budaya yang terolah dalam diri the Self atau das."
2000
D1816
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>