Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mursal Esten
"Dalam perkembangan sastra Indonesia, terlihat dua kecenderungan yang menarik. Pada periode awal semenjak angkatan dua puluhan sampai dengan angkatan 45, terasa sekali orientasi penciptaan ke sastra barat. Hal itu terlihat tidak saja dalam ragam sastra yang ditulis seperti roman atau novel yang berbentuk soneta, ragam sastra yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi nusantara, akan tetapi juga pada tema-tema yang dipilih. Di dalam roman-roman angkatan Balai Pustaka, tema-tema yang mendapat tempat adalah masalah feodalisme, di dalam novel-novel pujangga baru masalah timur dan barat. Sedang puisi-puisi angkatan 45 tentang kemerdekaan atau kebebasan. Sesudah tahun lima puluhan dan terutama sekali semenjak tahun tujuh-puluhan, di dalam sejumlah karya sastra Indonesia yang penting, akar budaya tradisi dijadikan dasar tolak penciptaan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
D126
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Kutha Ratna
"ABSTRAK
Selama lebih setengah abad Layar Terkembang dan Belenggu telah dibicarakan dalam khazanah kritik sastra. Secara fragmentaris, pada umumnya kedua novel dianalisis berdasarkan ciri-ciri emansipasi wanita, dengan aksentuasi Layar Terkembang sebagai novel bertendensi, yaitu novel ide, Belenggu sebagai novel transenden, yaitu novel arus kesadaran. Popularitas novel tidak dengan sendirinya ber_arti bahwa keseluruhan aspeknya telah dibicarakan. Peneli_tian ini bertujuan untuk mengemukakan aspek-aspek lain yang belum terpecahkan, yang justru menjelaskan mengapa kedua novel populer dalam sastra Indonesia."
1998
D1675
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Th. Sri Rahayu Prihatmi
"ABSTRAK
Cerkan merupakan kependekan dari cerita rekaan, artinya cerita yang direka pengarang (Saad, 1978). Istilah tersebut merupakan terjemahan M. Saleh Saad dari istilah prose fiction (1967, 1978). Dalam sastra modern, cerkan dapat berujud novel atau cerpen, dalam sastra lama dapat berujud dongeng, hikayat, cerita rakyat, legenda dan yang semacam dengan itu.
Novel kadang-kadang disebut roman. Di Indonesia, sebelum tahun 1950-an pada umumnya digunakan istilah roman, sehingga dikenal istilah roman-roman Balai Pustaka misalnya. Baru sesudah tahun 1960-an muncul istilah novel yang kadang-kadang dimaksudkan sebagai cerkan yang panjangnya antara cerpen dan roman (Long short story).
Meskipun Azab dan Sengsara (1921) karangan Merari Siregar sering dianggap sebagai novel pertama dalam dunia sastra Indonesia, akan tetapi kalau ditengok penerbitan di luar Balai Pustaka, ternyata Mas Marco Martodikromo sudah menulis Mata Getap pada tahun 1914 dan menulis Student Nidjo pada tahun 1919 (Damono, 1979: 33).
Lebih-lebih kalau tulisan Cina Peranakan diperhitungkan, pada tahun 1903 beberapa pengarang Cina sudah menulis cerkan, satu di antaranya Thio Tjien Boen yang menulis Oey Se (Salmon, 1985 : 48).
Cerpen merupakan kependekan dari cerita pendek, alih bahasa dari short story. M. Kasim dengan bukunya Teman Duduk (1936) dapat dikatakan seorang perintis dalam penulisan cerpen di Indonesia. Seperti namanya, cerpen ialah cerita rekaan yang pendek (Bdk. Summers melalui Lubis, t.th.: 5-6; Rosidi, 1959: IX; Wisjnu, 1963. 31-34; Jassin, 1965: 64).
Kalau diamati, cerkan-cerkan dalam dunia sastra Indonesia modern dari tahun 1900-an hingga sekarang, memiliki tipe-tipe yang berbeda. Rosemary Jackson dalam bukunya Fantasy: the Literature of Subversion (1981) mengemukakan teori tentang tipe-tipe, yang ia sebut mode. Ia mengartikan mode dalam pengertian Frederic Jameson.

ABSTRACT
For when we speak of a mode, what can we mean but that this particular type of Literary discourse is not bound to the convention of given age, nor indissolubly linked to a given type of verbal. artifact, but rather persist as a temptation and a mode of expression across a whole ranee of historical periods, seeming to offer itself, if only interm.ittenLy, as a formal possibilitiy which can be revived and renewed (Jameson melalui Jackson, 1981: 7)
Jackson mengatakan: "The term 'mode' is being employed here to identify structural features underlying various works in different periods of time." (198:17). Jadi istilah mode digunakan untuk mengidentifikasi ciri-ciri struktural dari tipe khusus wacana sastra, tidak terikat pada konvensi-konvensi zaman tertentu, model ekspres,i yang melewati segala mazhab dan zaman yang dapat diulang dan diperbaharui. Karena yang diidentifikasi itu adalah ciri-ciri strukturalnya, padahal struktur dapat juga diterjemahkan sebagai cara pengungkapan, maka mode lebih tepat diterjemahkan dengan 'modus' yang maksudnya 'cara pengungkapan'.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D262
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okke Saleha K. Sumantri Zaimar
1990
D1806
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutarto
"Tengger adalah sebuah dataran tinggi yang bergununggunung dan bertebing curam dengan suhu udara antara 3°-18°C, terletak di ujung timur Pulau Jawa, kira-kira 50 km sebelah timur kota Malang dan 40 km dart dua kota pantai utara Jawa Timur, Pasuruan dan Probolinggo. Ke selatan, berseberangan dengan Gunung Bromo, terletak Gunung Semeru, sebuah gunung suci dalam mitologi Hindu Jawa. Dataran tinggi ini dihuni oleh suku Jawa yang disebut wong Tengger atau orang Tengger, yang secara administratif bertempat tinggal di empat kabupaten, yakni Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Orang Tengger adalah petani tradisional yang masih setia kepada adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Meskipun sejak tahun 1970-an sudah menjadi pemeluk agama Hindu, mereka tidak meninggalkan ritual yang diwarisi dari para pendahulu mereka. Sampai hari ini dukun-dukun Tengger masih mempertahankan tradisi keagamaan mereka, yakni memuja roh-roh leluhur dan dewa yang menjadi penguasa Gunung Berapi Bromo, yang merupakan warisan peribadatan dari nenek moyang mereka, pengungsi dari Majapahit. Pernyataan bahwa nenek moyang orang Tengger pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang karena pernyataan itu bersumber dari legenda tentang asal mula orang Tengger dan bukan dari data historis. Data historis yang ada menyatakan bahwa wilayah yang sekarang disebut Tengger sudah dihuni oleh pengikut sekte Hindu-Budha sejak zaman kejayaan Kerajaan Majapahit. Setiap tahun, pada bulan ke-12 atau Kasada menurut kalender Tengger, beribu-ribu orang Tengger dari keempat kabupaten tersebut di atas berkumpul di Poten, sebuah tam-pat di Laut Pasir atau Dasar, atau Segara Wadi, yang terletak di kaki Gunung Bromo untuk melakukan upacara kurban."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
D386
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sastri Sunarti
"ABSTRAK
Penggunaan konsep "orality" merupakan sebuah terobosan yang besar karena selama ini kelisanan selalu dinilai dari sistem nilai keberaksaraan. Sebelumnya, orang yang melek huruf atau beraksara menganggap orang yang tidak beraksara sebagai buta huruf. Kondisi mereka dianggap sebagai suatu kekurangan, ketiadaan, dan kelemahan. Anggapan begitu dapat diterima dalam masyarakat yang beraksara universal. Padahal situasi dalam masyarakat yang belum tersentuh oleh tulisan sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat beraksara.Meski saat ini amat sulit menemukan masyarakat yang sama sekali niraksara tetapi jejak kelisanan atau orientasi kelisanan itu masih dapat kita temukan dalam masyarakat yang sudah mengenal keberaksaraan tinggi seperti surat kabar awal di Minangkabau.
Kelisanan sebagai satu medium, memiliki sistem yang sama sekali berbeda dengan sistem yang terdapat dalam keberaksaraan. Kita tidak dapat mellihat keunggulan kelisanan jika kita belum berhasil menorobos hadangan keberaksaraan kita. Surat kabar terbitan awal di Minangkabau memperlihatkan adanya interaksi antara kedua medium ini melalui beberapa ciri kelisanan yang disampaikan oleh Ong dan Sweeney. Ciri-ciri kelisanan yang terdapat dalam surat kabar terbitan awal di Minangkabau inilah yang akan dibahas dalam disertasi ini.

ABSTRACT
The use of the concept ?orality? constitutes an important break-through, because, until recently, the worth of orality has always been assessed from the point of view of literacy and its value system. In the past, people able to read and write, literates, considered those without letters to be illiterate. Their condition was defined as a deficiency, an absence, a weakness. Such a standpoint may be acceptable in a full-fledged literate society. However, in a society that has not yet been touched by literacy, the situation is totally different from that in a literate society. Even though today it is quite difficult to find a society that is without any script whatsoever, we can still find traces of orality, or of oral orientation, in societies such as Minangkabau, which are characterized by high levels of literacy.
Orality as a medium represents a system that differs totally from a literate one. We cannot appreciate the forte of orality if we don?t break through the limitations of our own literacy. Using characteristics of orality as identified by scholars such as Walter Ong and Amin Sweeney, it can be shown that in the earliest newspaper publications in Minangkabau society, there was considerable interaction between orality and literacy. It is the oral characteristics in these early Minangkabau newspaper publications that will be discussed in this PhD thesis."
Depok: 2011
D1175
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Th. Sri Rahayu Prihatmi
"ABSTRAK
Cerkan merupakan kependekan dari cerita rekaan, artinya cerita yang direka pengarang (Saad, 1978). Istilah tersebut merupakan terjemahan M. Saleh Saad dari istilah prose fiction. (1967, 1978). Dalam sastra modern, cerkan dapat berujud novel atau cerpen, dalam sastra lama dapat berujud dongeng, hikayat, cerita rakyat, legenda dan yang semacam dengan itu.Novel kadang-kadang disebut roman.1 Di Indonesia, sebelum tahun 1950-an pada umumnya digunakan istilah roman, sehingga dikenal istilah roman-roman Balai Pustaka misalnya. Baru sesudah tahun 1960-an muncul istilah novel yang kadang-kadang dimaksudkan sebagai cerkan yang panjangnya antara cerpen dan roman (Long short story).Meskipun Azab dan Sengsara (1921) karangan Merari Siregar sering dianggap sebagai novel pertama dalam dunia sastra Indonesia, akan tetapi kalau ditengok penerbitan di luar Balai Pustaka, ternyata Mas Marco Martodikroa :o sudah menu 1. is Hata GeLap pada tahun 1914 dan menu l :is Student Nidjo pada tahun 1919 .(Damono,197933)."
1993
D1811
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shobichatul Aminah
"Realisme grotesk muncul dari gagasan Bakhtin tentang carnivalesque yang menganggap mungkin penyatuan antara hal-hal yang bertentangan: yang ?resmi? dan yang ?takresmi?, yang natural dan yang supra natural, yang biasa dan yang magis, yang faktual dan yang fiktif melalui lelucon dan olok-olok, logika yang terbalik, dan penumbangan hirarki.
Novel bexjudul M/T to Mori no Fushigi no Monogatari karya Oe Kenzaburo yang berisi kisah tentang legenda atau sejaah sebuah desa di pedalaman hutan Shikoku merupakan karya bergenre realisme grotesk. Realisme grotesk dalam teks M/T diulas melalui imaji realisme gtosek yang muncul dalam penggambaran tokoh, peristiwa, ruang dan waktu. Realisme grotesk juga dilihat dari lapisan-lapisan penceritaan dan bentuk penceritaan beragam yang dapat dikenali dalam teks. Imaji realisme grotesk dalam cerita tampak dari penggambaran fisik, sifat, dan peran tokoh yang ditampilkan sebagai yang memiliki dua sisi yang saling bertentangan dalam dirinya. Tokoh pemimpin pembangunan desa terkenal dengan sebutan sang perusak, pemimpin desa yang berhasil adalah sosok perempuan kejam, dan tokoh pahlawan desa digambarkan sabagai tokoh yang lucu dan tolol. Peristiwa dalam teks digambarkan sangat kontradiktif yaitu menggabungkan antara yang rasional dan yang tak rasional, yang magis dan yang biasa, yang 'resmi' dan yang ?takresmi?, serta masa lalu dan masa depan. Beberapa peristiwa menunjukkan olok-olok, logika terbalik, dan penolakan terhadap kemapanan atau penumbangan hirarki. Ruang dalam teks digambarkan sebagai ruang hibrid yang ?memungkinkan sebuah ruang tertutup bisa sekaligus menjadi ruang terbuka, desa primitif sekaligus berbudaya, dunia sakral sekaligus profan, wilayah ?resmi? sekaligus ?takresmi' Sedangkan waktu dalam teks digambarkan dalam satuan yang tidak pasti dan sangat relatif. Dalam teks, waktu legenda desa juga disejajarkan dengan waktu sejarah beragam 'resmi' Jepang. Imaji realisme grotesk dalam penceritaan tampak melalui lapisan-lapisan penceritaan, yang menggabungkan penceritaan legenda yang mistis dan pengalaman hidup narator yang realistis. Lapisan penceritaan dan bentuk penceritaan dalam teks memungkinkan adanya berbagai macam versi legenda dan koeksistensi antara yang rasional dan yang tidak rasional, yang ?resmi? dan yang ?tak resmi?, Serta yang fiktif dan yang faktual.
Selain itu, disertasi ini juga melihat struktur sosial dan mental masyarakat Jepang yang ambigu atau ambivalen yang memungkinkan novel yang bergenre realisme grotesk ini dihasilkan. Dengan melihat kondisi teks dan kondisi produksi tersebut penelitian ini menggabungkan gagasan Bakhtin tentang realisme grotesk dengan gagasan Jung tentang arkelip, serta melihat pembalikan sejarah 'resmi' Jepang dalam teks sebagai ekspresi dari sesuatu yang sebelumnya disangkal, atau manifestasi dari 'ketaksadaran kolektif' ke dalam 'kesadaran kolektif'.

Grotesque realism appeared from the notion of Bakhtin about carnivalesque that thought perhaps coexistences the conditions which were contradictive; among the official and the unofficial, natural and super natural, ordinary and magical, real and unreal, through laughter, the logic of the ?inside out?, and subversion of established hierarchy. Novel entitled M/T to Mori no Fushigi no Monogatari written by Oe Kenzaburo having the story about the legend or history of a village in the interior of the forest Shikoku, remains a literary Work having the grotesque realism Grotesque realism in the text of M/T has been explained throug hthe image of grotesque realism which has been used to develop character, events, time and space in the story.
Grotesque realism has been also observed through the layers and forms of narrative which can be seen in the text of the novel. The image of grotesque realism appears in the story through the physical development, character, and the role played by the one which shows two sides which are contradictive. Village development authority is famous for his destructiveness, the successful village head is remembered as a hard woman, and the hero of the village has been shown as a joker and foolish. Event of the story remains highly contradictive, as it relates the facts which are and irrational, ordinary and magical, official and unofficial, and also related with the past and present. Some event shows laughter, the logic of 'inside out', and refusal of the ability or the subversion of the established hierarchy. Space has been shown as a hybrid space which shows as a closed space which also denotes as an-open space, primitive village has the face. of a cultured village, sacral world having the profane face, and the factual situation becomes fictional. While the time in the text is shown as a unit which is not consistent and remain strongly relative. In the text, time period of the legend has been equalized with the period in Japan. Grotesque realism picture in the discourse of texts appears through the different parts of the narrative, which unites the legend mites and the life experience of a realistic narrator. The narrative structure in the text makes it possible that there are many versions of the legend and coexistences between the rational and the irrational, and real and unreal, and also the factual and non-factual.
More than this, the dissertation also goes through the social and mental structure of the Japanese ambiguous and ambivalent society which made it possible to be written this grotesque genre novel. By seeing the text condition and production conditions of the mentioned novel, this research presents the Bakhtin's notion about the grotesque realism having the notion of Jung about archetype, and also see the turning point of the real history of Japan in the text as a manifestation from the collective unconsciousness in the collective consciousness."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D731
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>