Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Euis Supriati
Abstrak :
Remaja merupakan kelompok rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi. Pada masa ini terjadi keinginan besar untuk mencoba dan mengetahui hal baru. Pornografi merupakan media yang dapat mempengaruhi remaja untuk berperilaku seksual berisiko. Paparan pornografi dan efeknya pada remaja merupakan masalah serius karena dapat berdampak pada masalah kesehatan reproduksi remaja seperti kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, penyakit menular seksual dan HIV-AIDS. Penelitian dengan disain potong lintang dilakukan untuk mengetahui jenis paparan pornografi, efek yang terjadi serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efek paparan pornografi pada remaja. Penelitian dilakukan pada 395 responden remaja SMP Negeri dari lima kecamatan di Kota Pontianak yang dilaksanakan pada Desember 2007-Januari 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83,3% remaja SMPN di Kota Pontianak telah terpapar pornografi dan 79,5% sudah mengalami efek paparan. Dari responden yang mengalami efek paparan, 19,8% berada pada tahap adiksi. Dari responden yang adiksi 69,2% berada pada tahap eskalasi, dan dari responden yang eskalasi 61,1% berada pada tahap desensitisasi. Tahap act out telah dialami oleh 31,8% remaja yang berada pada tahap desensitisasi. Faktor dominan yang mempengaruhi efek paparan pornografi adalah jenis kelamin (laki-laki), kelas (tiga), waktu keterpaparan (baru) dan frekuensi paparan (sering). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor paling dominan yang berhubungan dengan efek paparan adalah frekuensi paparan (sering) dengan Odds Ratio 5,02 (95 % CI: 1,39-18,09). Kepada berbagai pihak terkait disarankan agar meningkatkan pemberian informasi secara tepat sasaran dan profesional, meningkatkan upaya pencegahan melalui kerja sama di tingkat sekolah, serta penelitian lebih lanjut agar remaja yang sudah terpapar masih bisa acting out secara sehat.

Adolescent is a vulnerable group in reproductive health area. This period is marked by strong desire to try and explore new things. Pornography is a medium which can influence adolescent toward high risk sexual behaviour. The exposure to pornographic materials is a serious problem among adolescent since it could have negative impacts such as unwanted pregnancy, unsafe abortion, sexually transmitted diseases and HIV-AIDS. This cross-sectional study was conducted to understand various types of pornographic exposures, effects of pornographic exposure, and factors influence the effect. Study was conducted at five state junior high schools in Pontianak District in 2008 with 395 respondents from December 2007 to January 2008. The result shows that 83.3 % adolescence has exposed to pornography and 79.5% of them had experienced the effects of pornographic exposure. 19.8% respondent who experienced the effects of pornography was in the addiction stage. 69.2% respondent of those in addiction stage was in escalation stage. 61.1% respondent of escalation stage was in desensitization stage, and 31.8% respondent of desensitization was in act-out stage. Multivariate analysis shows that there were four variables that have significant relationship to the effect of pornographic exposure, that is gender (male), grade at school (third), length of exposure (recent) and frequency of exposure (often). The analysis also shown that the frequency of pornography (often) is the most dominant factor related to the effect of pornographic exposure among adolescence with Odds Ratio of 5.02 (95% CI: 1.39-18.09). It is suggested to provide information in a professional way and targeted to the right group; to improve preventive efforts through collaboration within school, and to study further as to align positively those in the act-out stage.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat ; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Recommendations on the adequacy of nutrient intake indicate that lactating mothers have higher nutritional needs than do pregnant mothers. High nutrient intake is necessary to help mothers recover after childbirth, produce milk, and maintain the quantity and quality of breast milk. It also prevents maternal malnutrition. Research has shown, however, that the dietary energy consumption of mothers during lactation was significantly lower than that during pregnancy. The current study explored the factors associated with decreased nutritional intake during maternal lactation. The study was conducted in March–April 2013, and the subjects were mothers with infants aged >6 months. Results revealed that the factors causing low dietary energy consumption among breastfeeding mothers were poor nutritional knowledge and attitude toward high energy intake requirements during lactation, lack of time to cook and eat because of infant care, reduced consumption of milk and supplements, dietary restrictions and prohibitions, and suboptimal advice from midwives/health personnel. Beginning from the antenatal care visit, health personnel should conduct effective counseling on the importance of nutrient intake during lactation. Advice should be provided not only to mothers, but also to their families to enable them to thoroughly support the mothers as they breastfeed their infants.

Situasi dan Permasalahan Asupan Energi Ibu Laktasi. Berbagai rekomendasi menunjukkan angka kecukupan gizi yang lebih tinggi untuk ibu laktasi dibandingkan ibu hamil. Kebutuhan gizi yang tinggi diperlukan untuk pemulihan kesehatan ibu setelah melahirkan, memproduksi ASI, menjaga kuantitas dan kualitas ASI agar pertumbuhan bayi optimal, dan menjaga tubuh ibu dari kekurangan gizi. Namun, penelitian menunjukkan bahwa asupan energi ibu saat laktasi justru signifikan lebih rendah dibandingkan saat hamil. Studi kualitatif ini bertujuan untuk menggali faktor yang berhubungan dengan penurunan asupan energi ibu laktasi. Penelitian dilakukan pada Maret-April 2013 terhadap informan ibu yang mempunyai bayi berusia >6 bulan dan dipilih secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab rendahnya asupan energi ibu laktasi adalah kurangnya pengetahuan dan sikap mengenai tingginya kebutuhan gizi saat laktasi, kesibukan ibu mengurus bayi sehingga membuat ibu merasa terlalu letih untuk masak dan makan, berkurangnya konsumsi susu dan suplemen, adanya pantangan makan, serta kurangnya informasi dari tenaga kesehatan mengenai jumlah kebutuhan gizi ibu laktasi. Diharapkan agar tenaga kesehatan bisa lebih optimal memberikan nasihat akan pentingnya konsumsi zat gizi yang cukup (jenis maupun jumlah), dan tidak adanya pantangan makan selama menyusui sejak kunjungan antenatal. Nasihat agar disampaikan juga kepada keluarga ibu agar mereka dapat membantu memfasilitasi ibu untuk menyusui.
Universitas Indonesia, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI Press, 2012
627.4 BUN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI-Press, 2012
627.4 BUN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syafiq
Abstrak :
Despite recommendation for higher energy intake during lactation than during pregnancy, researches at Jakarta and Depok showed that energy consumption during lactation was lower than during pregnancy. The purpose of this study is to investigate the association between individual characteristics and energy consumption during lactation, and to assess the relationship between energy consumption during lactation to duration of breastfeeding among 60 mothers in the working area of PuskesmasMargajayaBekasi City in 2014. This research used a cross-sectional design; data was collected through primary data collection by questionnaire and Semi-quantitative Food Frequency Questionnaire. Analysis was conducted using chi-square technique. The study found that mothers of sufficient age (>27 years old), multiparous, and had low (<2,100 kcal/day) energy intake during pregnancy had significant higher risk to low energy consumption during lactation. Mothers with low energy consumption during lactation had 4 times higher risk of short duration of breastfeeding. It is recommended to provide information on the importance of higher energy intake during lactation due to the higher need to support breastmilk production and also to shift forward the nutrition recommendation regarding additional energy intake during lactation period from month 6 to month 4 due to higher energy requirement that commences when lactating mothers enter the fourth month of lactation.

Konsumsi Energi Saat Laktasi dan Durasi Menyusui di Wilayah Kerja Puskesmas Margajaya Kota Bekasi Tahun 2014. Kendati rekomendasi angka kecukupan gizi menunjukkan lebih tingginya kebutuhan energy ibu saat laktasi dibandingkan saat hamil namun penelitian di Jakarta dan Depok menunjukkan konsumsi energy ibu laktasi justru lebih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan konsumsi energi ibu laktasi serta hubungan antara konsumsi energy ibu laktasi dengan durasi menyusui di Puskesmas Margajaya Kota Bekasi tahun 2014. Penelitian dilakukan secara cross sectional terhadap 60 orang ibu menggunakan kuesioner termasuk Semiquantitative Food Frequency Questionnaire. Analisis dilakukan menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara umur ibu, paritas, dan konsumsi energy ibu hamil dengan konsumsi energi ibu menyusui. Ibu cukup umur (>27 tahun), multipara dan konsumsi energy hamil rendah (<2.100 Kal/hari) berisiko untuk memiliki konsumsi energy laktasi yang rendah. Selain itu, ditemukan hubungan bermakna antara konsumsi energy ibu laktasi dengan durasi menyusui. Ibu yang konsumsi energinya saat laktasi rendah berpeluang 4 kali lebih besar untuk memiliki durasi menyusui yang singkat. Direkomendasikan perlunya informasi kepada ibu tentang pentingnya konsumsi energi saat laktasi karena kebutuhannya yang tinggi untuk mendukung produksi ASI.Disarankan juga agar peningkatan rekomendasi angka kecukupan energi untuk ibu laktasi bulan ke 6-12 dimajukan menjadi bulan ke-4 mengingat kebutuhan gizi memasuki bulan ke-4 tersebut sudah sangat besar.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Fadjrin
Abstrak :
Dewasa ini angka pertumbuhan penggunaan transportasi udara semakin meningkat setiap tahunnya namun hal tersebut belum diimbangi dengan peningkatan pelayanan oleh badan usaha angkutan udara. Tidak sedikit penumpang yang menggugat badan usaha angkutan udara karena rasa dirugikan akibat pelayanan yang buruk, salah satunya adalah seperti yang akan dibahas dalam skripsi ini mengenai kasus yang terdapat dalam Putusan No. 441/Pdt.G/2013/PN.JKT.PST dimana seorang penumpang menggugat perusahaan Lion Air karena tidak memberitahu mengenai adanya ganti pesawat untuk rute Bali-Lombok, sehingga penumpang tersebut ditinggal oleh pesawat yang seharusnya mengangkutnya, yaitu Wings Air. Penumpang selaku Penggugat mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum karena Penggugat menganggap tindakan Lion Air yang mengganti pesawat tanpa melakukan pemberitahuan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang dan telah mengakibatkan kerugian karena akibat kejadian tersebut, Penggugat batal bertemu dengan calon kliennya. Permasalahannya adalah di antara Penggugat dengan Tergugat terdapat hubungan kontraktual berupa perjanjian pengangkutan yang ditandai dengan adanya tiket penerbangan, sedangkan Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Permasalahan tersebut dibahas dalam penulisan skripsi ini didasarkan pada teori-teori yang ada. ...... The use of air transportation is increasing every year, but it has not been folowed by increase in service by the airlines. Not a few passengers sue the airline because of their service, one of which is will be discussed in this thesis from the cases contained in Court Decision No. 441 / Pdt.G / 2013 / PN.JKT.PST when one of Lion Air?s passenger sued the company for not informing about change of plane for the route Bali-Lombok, caused the passenger?s left by the plane that should carried him, namely Wings Air. The Passenger as the Plaintiff sued Lion Air based on tort because the Plaintiff said that he had never been informed about change of plane and that has brought the Palintiff in loss as the Plaintiff failed to meet with his client. The problem is there is a contractual relationship between the Plaintiff and the Defendant for transport agreement which is proofed by the ticket, but the Plaintiff sued Lion Air based on tort not breach of contract. It will be discussed in this thesis based on theories.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library