Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
C Yekti Praptiningsih
"Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau ISPA mengakibatkan sekitar 4 juta kematian balita di negara berkembang. Di Indonesia ISPA bawwb, khususnya pneumonia mengakibatkan kematian sekitar 150.000 balita per tahun. Namun sesuai dengan hasil penelitian di Indramayu pula bahwa upaya penurunan mortalitas karena ISPA khususnya pneumonia dapat dicapai sebesar 25% jika program memberi masukan secara memadai kepada ibu. Yang dimaksud dengan memberi masukan kepada ibu adalah melakukan komunikasi dan pemberian informasi dengan ibu sebagai sasaran.
Dalam Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA untuk penanggulangan pneumonia balita, bentuk komunikasi antar pribadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penatalaksanaan kasus ISPA yang tepat dan benar. Efektifitas tatalaksana kasus ISPA sangat ditentukan oleh dilaksanakannya pesan yang disampaikan oleh petugas kesehatan kepada ibu secara tepat dan benar. Agar ibu dapat melaksanakan pengobatan dan perawatan penunjang di rumah secara benar, maka petugas kesehatan harus mampu berkomunikasi secara efektif.
Untuk itu perlu kiranya dilihat sejauh mana kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan komunikasi sebagai bagian dari pelaksanaan tugas tenaga kesehatan di Puskesmas yang merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini akan melihat sejauh mana kemampuan petugas poliklinik puskesmas dalam komunikasi dengan ibu balita yang menderita ISPA yang datang ke Puskesmas, serta melakukan telaah faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan komunikasi petugas kesehatan khususnya kepada ibu balita yang menderita ISPA.
Jenis desain penelitian ini adalah Cross Sectional. Populasi penelitian sekaligus merupakan sampel penelitian adalah petugas poliklinik puskesmas yang berada di seluruh Kabupaten Bogor yang berjumlah 202 petugas.
Data dikumpulkan dengan cara observasi petugas pada waktu melakukan pelayanan kepada pasien balita ISPA dan wawancara dengan petugas tersebut, kemudian dianalisa menggunakan piranti lunak program EPI INFO versi 6.0 dan program STATA versi 3.1.
Dari hasil penelitian didapatkan proporsi petugas poliklinik puskesmas di kabupaten Bogor yang mampu berkomunikasi dengan ibu balita ISPA sebesar 41,1% petugas. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara variabel umur, lama masa kerja, asal daerah, penguasaan bahasa, sikap terhadap pesan, variabel pendidikan, pelatihan, pengetahuan komunikasi, membaca pedoman, ketersediaan pedoman dan ketersediaan media komunikasi dengan kemampuan komunikasi petugas poliklinik puskesmas di kabupaten Bogor. Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pengetahuan ISPA dan supervisi berperan atau berhubungan erat terhadap kemampuan komunikasi petugas dengan ibu balita ISPA, sehingga hasil ini dapat menjadi pertimbangan dalam membuat kebijaksaan dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi petugas.

Factors Related to Communication Skills of Health Workers Providing Health Services For Mothers of Young Children with Acute Respiratory Infections (ARI) In Bogor District, West Java, year 2000The Acute Respiratory Infection (ARI) disease has caused 4 million deaths of under-fives in developing countries. In Indonesia, as one of developing countries, 150.000 children under-fives die due to pneumonia annually.
Based on a study conducted in Indramayu district, West Java, deaths caused by pneumonia can be reduced to 25% if mothers of the sick child are given appropriate and adequate information about the disease. A good communication needs to be conducted between health personnel and mother of young children whereas the mother is treated as the target of the communication.
In the ARI Control Program, inter-personal communication between health personnel and mothers is an essential part that can not be separated from the implementation of ARI Case Management. The successful way in doing this thing lies when the health personnel can give appropriate and correct information on how to give drugs and home care treatment to mothers effectively so that mothers understand and are able to practice at home.
It is thus necessary to find out how far the health personnel, as the first line of health provider in community, can perform their communication skills which is part of their main responsibilities at health center.
This research is meant to find out skills of health personnel working at the policlinic of Health Center (HC) in communicating with mothers of the sick child with ARI also factors related to skills of health personal in communicating with the mothers.
The study was done in cross-sectional design. The populations studied, which were also a research sample, were those working at the policlinic HC in Bogor district amounting to 202 personnel.
Data were collected by interviewing and observing the health personnel in giving the services to the patient, and then analyzed using EPI INFO software program version 6.0 and STATA program version 3.1.
The result shows that only 41.1% of HC personnel have good communication skills to communicate with mothers of sick young children with ART. The Bivariat analysis there is no significant correlation of age, duration of work, district of origin, language capability, behavior of message, education, training, communication knowledge, guidelines reading, provision of guidelines and communication media with the capabilities or communication skill of health personnel at the HC policlinic in Bogor district.
The final result shows that variable of ART knowledge and supervision have role and close relationship to the communication skills of health personnel. It is hope this result would be a consideration in making future policies to improve health personnel communication skills."
Lengkap +
Universitas Indonesia, 2000
T5756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandipinta
"Keberhasilan penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) tidak hanya tergantung pada mutu pelayanan, tetapi juga tergantung pada faktor manusianya terutama perilaku pencegahan dan perilaku pencarian pengobatan. Salah satu faktor yang panting diperhatikan adalah perilaku pencarian pengobatan, karena kegiatan penanggulangan PMS terutama adalah penemuan penderita secara dini dan segera diobati. Hal ini disebabkan karena PMS dapat bersifat merusak kesehatan dan dapat berakibat fatal serta komplikasi. Selain itu PMS mempermudah penularan virus HIV dari seorang ke orang lain. Sebaliknya infeksi HIV menyebabkan seseorang lebih mudah` terserang PMS dan lebih sukar diobati.
Dari beberapa hasil survei menunjukkan bahwa banyak penderita PMS yang tidak mencari pengobatan sehingga meinungkinkan terjadinya penularan kepada orang lain atau kepada pasangan mereka. Selain itu penderita yang tidak berobat memungkinkan terjadinya peningkatan kasus HIV. Penderita PMS yang mencari pengobatan sendiri memungkinkan terjadinya resistensi penyakit tersebut terhadap obat antibiotik yang digunakan secara tidak teratur, atau obat yang digunakan hanya antiseptik dan jamu diragukan kesembuhannya.
Tujuan penelitian untuk menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan pada penderita PMS di Kabupaten Indramayu. Penelitian ini menggunakan jenis desain potong lintang (cross sectional), dengan sampel adalah sebagian dari pria/klien yang menderita penyakit menular seksual dalam 1 (sate) tahun. terakhir yang berkunjung ke lokalisasi/tempat prostitusi yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu.
Dari basil penelitian diperoleh bahwa dari 384 responden yang pernah mengalami PMS dalam 1 (satu) tabu' terakhir sewaktu dilaksanakan penelitian, sebanyak 22 responden (5,7%) tidak mencari pengobatan dan 362 responden (94,3%) mencari pengobatan. Dari 362 responden tersebut pengobatan pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan pengobatan sendiri 121 responden (33,4%) dan yang ke pelayanan kesehatan 241 responden (66,6%).
Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang tidak mencari pengobatan dan yang mencari pengobatan adalah variabel persepsi sakit (OR 14,40; 95%CI 3,77-55,01) dan biaya pengobatan (OR 19,71; 95% CI 6,17-62,95). Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang mengobati sendiri dan yang ke pelayananan kesehatan adalah variabel-variabel status perkawinan (OR 2,27; 95 CI 1,11-4,64), persepsi sakit (OR 6,24; 95% CI 3,30 - 11,79), dan anjuran berobat (OR 2,11 ; 95% CI 1,30 -3,41).
Disarankan untuk meningkatkan pengetahuan penderita PMS dengan memberikan penyuluhan, terutama dalam meningkatkan pemahaman bahwa pengobatan dengan antiseptik dan jamu bukanlah obat yang tepat untuk pengobatan PMS. Selain itu perlu ditingkatkan penyuluhan tentang bahaya PMS dan upaya-upaya pencegahan yang mungkin dilakukan untuk mengurangi risiko penularan PMS. Melalui upaya pencegahan seperti menggunakan kondom, diharapkan dapat mengurangi biaya pengobatan.

Related Factors to Health Seeking Behavior on Sexual Transmitted Disease Clients That Visited to Prostitution Area in Indramayu District in Year 2000The successful prevention of sexual transmitted disease (STD) does not only depend on quality of services but also depends an human factors in particular health seeking behavior and prevention. One of the most important factors is health seeking behavior, because the most important STD prevention activity is to find patients and to cure them immediately. This is because STD could damage person health and could be fatal and complicated. Beside that, STD facilitate HIV including complication and fatal outcome. In contrary, HIV infection easily contracted to infected STD but difficult to cure.
Several surveys, show that many STD patients do not seek for treatment, and will infect to other person including their spouses. Beside that, untreated STD patients will increase the number of HIV cases. Patients who is seek self treatment will cause resistance STD drugs due to irregular intake. The patients only use antiseptic drugs and traditional medicine of which the efficacy is questionable.
The objective of this research is to analysis related factors to health seeking behavior in STD patients in Indramayu District. This research is based on cross sectional design method of patients with sexual transmitted disease that visited existing prostitution area in Indramayu District during one year.
In the study was found that 384 respondents has suffered from STD during the year 362 respondents (94.3%) did seek treatment and 22 did not (5.7%). 121 respondents (33.4%) preferred self-treatment initially and, 241 respondents (66.6%) went to health facilities.
Factors that significantly influence health seeking behavior (treatment or non treatment) are disease perception variable (OR 14.40; 95%CI 3.77-55.01) and treatment cost (OR 19.81; 95%CI 6.17-62.95). Related factors influencing the choice between and seeking treatment at health facilities are marital status variables (OR 2.27; 95%CI 1.11-4.64), disease perception (OR 6.24; 95%CI 3.30-11.79), and advice by others to take treatment (OR 2.11; 95%CI 1.30-3.41).
In conclusion, it is recommended to increase knowledge to STD patients by giving health education in particular to increase their understanding that antiseptic treatment and traditional medicine is not an appropriate method for STD treatment. Beside that it is necessary to increase knowledge on dangers of STD and intensify efforts to decrease the risk of STD infection (by condom use). These efforts will lower treatment costs.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T5170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library