Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Untung Sukaedi
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang penelitian didasarkan pada pernyataan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1993 bahwa pembangunan perkotaan pada dasarnya harus dibarengi dengan perlindungan lingkungan. Atas dasar ini masyarakat DKI Jakarta bersama-sama dengan Pemerintah setempat, memandang perlu merencanakan dan melaksanakan pembangunan perkotaan dengan tetap memperhatikan terciptanya lingkungan yang bersih, indah, manusiawi, aman. dan nyaman. Untuk itu pula Pemerintah mencanangkan Rencana Strategi Penelitian 1992-1997 dengan sasaran utama antara lain adalah mengatasi masalah masyarakat dan perumahan kumuh. Hadirnya permukiman kumuh sering kali diikuti oleh kondisi lingkungan yang kotor, tercemari, dan rentan. Hal ini terjadi di wilayah permukiman kumuh kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, di mana ciri yang cukup menonjol adalah merosotnya ndai keindahan, sampah padat yang menumpuk sehingga sangat berpotensi mengganggu kesehatan dan mengurangi keindahan. Berdasarkan pada survai awal pada bulan Januari 1995, keberadaan sampah seperti tersebut diduga disebabkan oleh Cara pengelolaan sampah padat rumah-tangga yang tidak memadai. Kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga di permukiman kumuh Kelurahan Sunter Agung memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara wilayah yang satu dengan lainnya. Beda kualitas ini diduga ada faktor-faktor penentu yang esensial menentukan, yaitu antara lain oleh tingkat pendidikannya; pendapatan; besarnya jumlah anggota keluarga; persepsi yang berbeda-beda.; kebiasaan hidup; peranan wanita; latar permukimannya; dan partisipasi masyarakat setempat. Mengacu pada uraian di atas, tujuan utama penelitian ini adalah ingin mengetahui: 1. Apakah ada hubungan antara kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga yang dilakukan oleh masyarakat permukiman kumuh di Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, dengan (a) tingkat pendidikannya; (b) tingkat pendapatan kel ya; (c) besarnya anggota keluarga; (d) persepsinya terhadap pengelolaan limbah padat rumah-tangga di lingkungannya; (e)kebiasaan hidupnya sehari-hari (sikap); (f) peranan wanitanya; (g) latar permukimannya; dan (h) partisipasinya dalam pembangunan lingkungan di sekitarnya. 2. Faktor-faktor apa saja, dari beberapa variabel di atas, yang menentukan kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga yang dilakukan oleh masyarakat permukiman kumuh tersebut. 3. Berapa proses masing-masing variabel, yang telah terbukti sebagai penentu, menentukan kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga yang dilakukan oleh masyarakat permukiman kumuh di Keluiaban Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Metode penelitian menggunakan pendekatan statistik deskriptif dan inferensial. Statistic deskriptif digunakan untuk menggambarkan tampilan-tampilan karakteristik umum daerah penelitian yaitu dengan menggunakan statistica modus untuk: (1) tingkat pendiddcannya; (2) tingkat pendapatan keluarganya; (3) besarnya jumlah anggota keluarga; (4) persepsi masyarakat; (5) kebiasaan hidupaya sehari-hari (slap); (6) peranan wanita; (7) latar permukimannya; (8) partisipasi dan (9) pengelolaan sampah padat rumah-tangga di lokasi penelitian. Sedangkan statistic inferensial digunakan untuk menguji hipotesis dan m ngambil beberapa kesimmpulan dari hipoteis yang telah diuji. Teknik pengambilan sample digunakan pendekatan "cluster sampling" dengan cara "three stages sampling". Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa wawancara terstruktur, observasi dan studi dokumentasi. Dalam mengolah data digunakan pendekatan prosentase tampilan; ranking; dengan kategorisasi data berpedoman pada nilai persentil 50 (Pm). Adapun analisis data menggunakan modus distri'busi frekuensi, rumus statistic nonparametrik antara lain r Spearman (rho), Khi kuadart (V), koelisien kontingensi (C dan Cmaks) serta ideks determinan (C2). Hasil penelitian yang dipandu selama kurang-lebih lima bulan, mulai bulan Februari sampai dengan Juni 1995, diperoleh beberapa temuan sebagai berikut: 1. Secara umum Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, sampai pada bulan.Tuni 1995 menghadapi masalah akumulasi sampah padat tidak kurang dari 229 m3 setiap harinya atau sekitar 6.870 m3 setiap bulannya. Dari upaya penanggulangan sehari-hari terbukti masih sebanyak 39 m3 per hari atau rata-rata tidak kurang dari 1.170 m3 setiap bulannya yang tidak terangkut karena keterbatasan armada dan personil. Apabila tidak mendapatkan perlakuan yang tepat diramalkan, pada tahun 1997 akan menunrpuk sekitar 62.244 m3 dan sekitar 124.488 m3 pada tahun 2000. Khusus sampah rumah-tangga tidak kurang dari 30rn3, yakni sekitar lima mobil "truck" sampah setiap bulannya, tidak terangkut oleh armada sampan yang tersedia. Akuniula-si sampah tersebut bila dipilah menurut bahannya sekitar 80% adalah sampah plastik, sedangkan sekitar 20% lairmya sampah kertas, daun, kayo, dan lain-lain. 2. Sampah yang tidak terangkut terebut berakumulasi di lahan-lahan kosong, rawarawa, sungai, menyumbat got-got, tertahan sementara di gerobag sampah, di tiang bawah jembatan, berseralcan di mana-mana, sehingga mengganggu keindahan dan tidak jarang menjadi tempat tumbuhnya bibit dan media penyakit. Adapun wilayah yang paling terkena akumulasi sampah tertinggal ini terutama adalah wilayah RW.01; 02, dan 03. 3. Di wilayah RW Kurwh, Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, ternyata tidak setiap tempat adalah kumuh, tetapi beberapa RT tertentu, dan bahkan beberapa rumah tertentu. Dari hasil survai terhadap 108 responden, diperoleh gambaran bahwa (1) tingkat pendidikan masyarakat umumnya adalah SLP ke alas; (2) tingkat pendapatan keluarga sebagian besar antara Rp 200.000,-sampai dengan Rp 400.000,-; (3) besarnya jumlah keluarga umumnya 4 jiwa per KK, (4) persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sampah padat rumah tangga umumnya cukup baik; (5) kebiasaan hidup 'sehari 'sehari-hari relatif cukup baik; (6) peranan wanita dalam pengelolaan sampah padat rumah tangga umumnya baik; (7) latar permukiman umumnya cukup baik, (8) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah padat rumah tangga umumnya baik, namun (9) kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga umumnya kurang balk, karena berbagai faktor. 4. Hasil uji hubungan di antara variabel penelitian menunjukkan, bahwa : a. Tidak semua variabel berkorelasi siginifikan menurut signifikansi 0,05. Ini berarti bahwa adanya kualitas tampilan tertentu tidak selalu diikuti oleh adanya kualitas tampilan lainnya, melainkan sangat tergantung pada karakteristik variabel yang bersangkutan. b. Di antara variabel penelitian yang memuiki koefsien korelasi yang signifikan adalah (1) pendapatan keluarga dengan peranan wanita (2) persepsi masyarakat dengan kebiasaan hidup; partisipasi dan kualitas pengelolaan sampah padat (3) kebiasaan hidup dengan peranan wanita; latar permukiman; partisipasi masyarakat; dan kualitas pengelolaan sampah, (4) peranan wanita dengan kualitas pengelolaan sampah, (5) latar permukiman dengan partisipasi masyarakat dan kualitas pengelolaan sampah, dan (6) partisipasi masyarakat dengan kualitas pengelolaan sampah, dan akhirnya (7) kualitas pengelolaan sampah diketahui, berkorelasi dengan persepsi masyarakat; kebiasaan hidup; peranan wanita; latar permukiman dan partisipasi masyarakat. e. Dengan menggunakan signifikansi 0,05, hipotesis (1) tentang adanya hubungan antara kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga yang dilakukan oleh masyarakat permulciman kumuh di Kelurahan Sunter Agung dengan: (1) Tingkat pendidikannya, tidak terbukti; (2) Tingkat pendapatan keluarganya, tidak terbukti; (3) Besarnya anggota keluarga, tidak terbukti; (4) Persepsfnya terhadap pengelolaan sampah padat rumah-tangga di lingkungannya adalah terbukti; (5) Kebiasaan hidupnya sehari-hari (sikap), terbukti; (6) peranan wanitanya, terbukti; (7) latar permukimannya, terbukti; partisipasinya dalam pembangunan lingkungan di sekitarnya juga terbukti. f. Hasil analisis lanjutan, untuk mengetahui seberapa besar variabel yang memilild hubungan signifikan menentukan kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga dapat diterangkan berturut-turut sebagai berrikut: latar permukiman (21,4%); partisipasinya dalam pembangunan lingkungan sekitar (16,8%); peranan wanita (16,3%); dan kebiasaan hidupnya sehari-hari atau sikap sebanyak (4,3%). Dengan demikian ada sekitar 41,2% ditentukan oleh faktor-faktor lain yang memerlukan penelitian lebih lanjut. 5. Menyimak kembali indeks determinan yang ada, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga di permukiman kumuh kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, akan dapat terus ditingkatkan bila selalu ada upaya-upaya: (1) Peningkatan kualitas latar permukiman mereka, antara lain: dengan jalan pengaturan tata-letak dan peningkatan fungsi tata ruang bagi permukiman penduduk, pembangunan fasilitas "rumah susun" yang dapat diperoleh dengan murah dan murah, penambahan sarana dan fasilitas pembuangan sampah, container, dipo, LPS, kendaraan, personil, dan penyuluhan masyarakat. (2) Peningkatan partisipasi masyaralcat dalam pengelolaan sampah padat rumah-tangga, antara lain: melalui cara insentif, lomba-lomba wilayah yang memberikan penghargaan kepada pemenang, merealisasikan dana kebersihan yang disumbangkan oleh masyarakat secara transparan; (3) Leblh menggalakkan peranan wanita dalam mengelola sampah padat rumah tangga, antra lain melalui peningkatan kader PKK di tiap wilayah RT, meningkatkan kegiatan PKK di tingkat RT (selama ini yang aktif baru tingkat Kelurahan); (4) Pembinaan yang baik mengenai kebiasaan hidup sehari-hari dalam mengelola sampah padat rumah-tangga melalui penyuluban untuk semua umur, kanak-kanatc, remaja, dan jugs pada prang tua. Untuk merealiasai saran-saran dari basil temuan ini diakui cukup sulit, mengingat kesadman masyarakat untuk itu masib perlu peningkatan yang terus menerus. Lebih dari itu karena keadaan ekonomi keluarga sering kali memaksa untuk tidak bisa berbuat lebih baik dari yang sekarang, misalnya: karena tidak ada tempat alternatif untuk membuang sampah kecuali di kali atau di pinggir rel kereta api. Diketahui bahwa ada korelasi sigriifikan terjadi pada (1) keadaan later permukiman dengan kebiasaan hidup sehari-hari; (2) partisipasi masyarakat, berhubungan erat dengan kebiasaan hidup sehari-hari dan latar permukiman; (3) peranan wanita juga berhuban erat dengan kebiasaan hidup sehari-hari; dan (4) kebiasaan hidup seha.ribari berhubungan erat dengan ketiga faktor lainnya Maka temuan tentang "KUNCI" untuk mengatasi permasalahan dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan sampah padat rumah-tangga labia berada pada "kebiasaan hidup sehari-hari mereka dalam mengelola sampah padat rumah tangga". Untuk itu, tekad dan upaya meningkatkan kebiasaan yang lebih baik dalam mengelola sampah padat rumah-tangga, merupakan langkah dan cara yang paling tepat, khususnya di wilayah permukiman kumuh, Kelurahan Sumter Agung, Tanjong Priok, Jakarta Utara.
ABSTRACT The background of this study was based on the statements in GBHN 1993 (Main State Policy, 1993) that basically an urban development has to be accompanied by environmental protection. On such a basis the people and the government of DKI Jakarta planed and implemented urban sustainable development where the environment is considered as integrated part of the process to achieve a clean, beautiful, humane; safe and comfortable environment for all citizens. The Local Government has launched a "Renstra 1992-1997" (a Plan of Development Strategy) which the main target is to combat the problems of slum settlement and slum communities. Wherever it is, slum areas tend to be an agent of dirty, polluted, and resistant environment. These situations can easily be observed in part of the areas in Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, North Jakarta where the major characteristics indicated that household solid waste disposal accumulated in most part of environmental settings. It , of course, can be the cause of decreasing the quality of aesthetical and environmental health as well. Based on the preliminary study conducted in January 1995, the existing accumulated household solid waste in this area was the result of improper management. The quality of household solid waste management was attended differently in every single areas. It was hypothetically affected by specific determinants, such as level of local people's education, families' income, total families' member, varied perception toward waste management local people's attitude, role of women, its environmental settings, and local people's participation. Referring to the background above, the main objectives of this research was to find out an answer toward a set of research questions as follows: (1) Are there correlations between the quality of household solid waste management conducted by slum area community in Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, North Jakarta with (a) the level of people's education,(b) the families' income, (c) the total famalias' member, (d) the people's perception toward household solid waste management, (e) the people's attitude, (f) the role of women, (g) the environmental settings, and (h) the people's participation? (2) What are the main factors that determine the quality of household solid waste management conducted by shun area community? (3) What percentage of each variables determines the quality of household solid waste management conducted by slum area community in Kelurahan Sunter Agung, Tanjong Priok, North Jakarta ? The research method used a set of statistical approaches: descriptive and inferential analysis. Descriptive analysis was to describe performances of general characteristics of research location, level of local people's education, families' income, total families' member, varied perception toward waste management, people's attitude, role of women, its environmental settings, people's participation and the quality of household solid waste management. Then, inferential statistics was used to verify hypothesis, finding out conclusions referred to the hypothesis. Sampling techniques of this research is "cluster sampling" where a set of samples were taken by "three stages sampling". Data collection facilitated by instruments: systematic interview, observation, and documentation study. Data management was conducted by percentage technique, ranking, and data categorization where which the percentile (P50) was used. Data analysis was carried out by using a set of mathematical approaches such as modus, distribution frequency, and nonparametric statistics such as r Spearman (rho), Chi Square (X2), Coefficient Contingency (C and Cmax), and determinant index (Co). This research was conducted in about five months from February until June 1995, and the findings can be summarized as follows: 1. In general, Kelurahan Smiler Agung, Tanjung Priok, North Jakarta, until the end of June 1995 faced the problem of solid waste disposal accumulation which was never less than 229 m3 per day or around 6.870 m3 per month.The daily waste management conducted, however, left behind around 39 m3 per day or around 1.170 m3 per month solid waste left, due to the insufficient equipments and personnel If there were no changes, it can be predicted that in the year of 1997 there will accumulate around 62.244 m' and will be around 124.488 m' at the end of the year 2000. Specifically toward household solid waste disposal, up to now 30m' per month were left behind (around the capacity of 5 small dump-trucks). Those waste accumulation consist of 80% plastic materials, and around 20% non-plastic such as papers, vegetable, wooden materials, and so on. 2. Such residual wastes which accumulate on areas such as open field, swamp, watershed, drainage, temporary in the garbage, pool carriage, scattered over the places everywhere, the result of which is decreasing the quality of aesthetical aspect, becoming a medium for pests. The locations hit by accumulated solid wastes were actually the area of -- RW.01, 02, and 03. 3. In Kelurahan. Sunter Agung Taajung Priok, North Jakarta not all areas are really a "slum". Only certain RT and even certain families. Based on the survey of 108 respondents, the findings can be described as follows: generally (1) the level of local people education was dominated by Junior High School (SLP upward); (2) the level of families' income was in between Rp200.000; to. Rp 400.000,-; (3) the family' member was four people per family (4) the performance of people's perception toward household solid waste management was not so good; (5) the people's attitude is relatively not so good; (6) the role of women in household solid waste management was relatively good; (7) the quality of environmental settings was not so good, (8) The people's participation in household solid waste management was generally good, but (9) the quality of household solid waste management was generally not quite good. 4. The research findings based on the correlation tests are as follows: a. Not all variables have significant correlations. It means that the quality of specific perforce of variables was not often followed by other factors, but it depends on certain characteristics of the variable in question. b. Some of the variables with significant correlations are as follows: (1) the family income correlated with the people's perception and the role of women; (2) the people's perception is correlated with the people's attitude, participation, and the quality of household solid waste management; (3) the people's attitude is correlated with the role of women, environmental setting, people's participation, and the quality of house bold solid waste management, (4) the role of women is correlated with the quality of household solid waste management, (5) the environmental settings are correlated with the people's participation and the quality of household solid waste management , (6) the people's participation is correlated with the quality of household solid waste management, and finally, (7) the quality of household solid waste management is correlated with the people's perception, attitude, role of women, environmental settings, and people's participation. e. By using the 0,05 significance, the hypothesis on the presence of correlation between the quality of household solid waste management, conducted by slum community in Kelurahan Sunter Agung, with: (1) the level of education is rejected; (2) the level of families' income is rejected; (3) the number of families' member is rejected; (4) the people's perception on the household solid waste management may is accepted; (5) the people's attitude is rejected; (6) the role of women may is accepted; (7) the environmental settings is accepted; (8) the people's participation may is accepted. f. Further analysis in order to know what percentage of each variables, which have significant correlations, determine the quality of household solid waste management, 'and the findings were that: an environmental setting determines about 21,4%; people's participation was about 16,8%; the role of women was 16,3%; and the people's attitude was 4,3%. Thus, it is approximately 41,2% that need to be studied further to find out responsible factors. 5. Reviewing the findings of the determinant factors above, it can be concluded that the quality of household solid waste management of slum community in Kelurahan Sumter Agung will increase if there are efforts such as: (1) Improving the quality of environmental settings, such as: re-arranging the quality of housings; developing a set of public facilities, affordable housings to low income families; additional facilities for garbage, landfill, container, public temporary waste disposal site, dump-truck, water supply, and so on. (2) Developing public participation in the program of household solid waste management through the program of incentive or disincentive, appreciation of a positive competition among the regions, realizing the budget donated by them transparently. (3) Encouraging the role of women in household solid waste management through many kinds of activities, such as the promotion of role of youth in PKK at RT (local) level , and so on. (4) Proper guidance on living habits and to the daily people's attitude in managing household solid waste through the process of education to the children, youth, and also all the parents. It is quite difficult to realize the recommendations proposed as the results of the findings, because the people's awareness is still low and need to be improved continuously. Another factor was the economical conditions of the families. It imposed on the people to do what it was not supposed to do, for instance, there were no alternative to dispose household solid wastes except on river banks or on the side of rail way, and so on. It is known that the significant correlation's exist s, namely: (I) the environmental settings correlated with the daily people attitude in managing household solid waste management; (2) the people participation correlated with the people's attitude and environmental settings, (3) the role of women correlated with the people's attitude in managing household solid waste, and (4) the people's attitude correlated with those environmental settings; people's participation; and the role of women. Referring to those findings, the "key" issue of the specific factor to improve the quality of household solid waste management in slum area of Kehnrahan Sunter Agung is "the people's attitude in managing household solid vste ". Thus, serious efforts addressed to the improved daily people's attitude, in managing household solid waste, is the best solution, especially in the slum area of Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, North Jakarta.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yani Silfariani
Abstrak :
Hutan Angke Kapuk merupakan kawasan hutan mangrove yang berlokasi di DKI Jakarta. Seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk, perkembangan industri yang semakin cepat menimbulkan dampak negatif pada Hutan Angke Kapuk yang merupakan kawasan hijau bagi kehidupan penduduk DKI Jakarta. Melihat kondisi tersebut maka penelitian ini menitikberatkan pada aspek sosial ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada kondisi Hutan Angke Kapuk yang saat ini cukup memprihatinkan keberadaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranserta masyarakat sekitar hutan mangrove dalam menunjang keberadaan kawasan Hutan Angke Kapuk. Selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi penentu kebijakan dalam pengambilan keputusan untuk penkembangan pembangunan yang berwawasan lingkungan Selain itu juga dtharapkan dapat meningkatkan nilai tambah baik bagi Hutan Angke Kapuk itu sendiri maupun masyarakat sekitar. Berdasarkan permasalahan diatas, dapat disusun hipotesis sebagai berikut Ho : Tinggi rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat tidak mempengaruhi tingkat peranserta masyarakat terhadap Hutan Angke Kapuk Ha,: Tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat mempengaruhi tingkat peranserta masyarakat terhadap Hutan Angke Kapuk Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Untuk menguji hipotesis digunakan tes signifikansi Uji Kai Kuadrat dan Analisis Regresi dengan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 10.00. Data dikumpulkan melalui studi literatur, observasi, dan wawancara dengan berpedoman pada kuesioner dengan masyarakat sekitar kawasan Hutan Angke Kapuk. Hasil dari penelitian ini adalah: Pendidikan dan pendapatan ternyata tidak mempengaruhi tingkat peranserta dari masyarakat sekitar Hutan Angke Kapuk, jadi Ho tidak ditolak. Bagi warga sekitar Hutan Angke Kapuk baik yang tingkat pendidikannya tinggi maupun rendah dan tingkat pendapatannya tinggi maupun rendah tidak mempengaruhi mereka untuk melakukan peranserta dalam pengelolaan Hutan Angke Kapuk. Saran-saran dari penelitian ini adalah: Sebaiknya dilakukan penyuluhan yang intensif dengan melibatkan masyarakat sekitar, misalnya anggota Karang Taruna sehingga menimbulkan rasa tanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan di sekitarnya yang kemudian menimbulkan keinginan untuk berperanserta. Tapi semua ini tidak dapat terlepas dari peran pemerintah dan LSM untuk ikut mendorong masyarakat sekitar kawasan Hutan Angke Kapuk dalam berpartisipasi. Daftar Kepustakaan : 31 (1978-2001)
Angke Kapuk Forest is a mangrove forest area which is located in Province of DKI Jakarta. The growth Ievel of population and industry which happen faster nowadays have caused negative impacts to Angke Kapuk Forest which is a green zone for people's live at DKI Jakarta. Because of this forest plays an important role for DKI Jakarta development then there is special emphasis in implementation of policy and regulation/laws between central and local government especially for regional development which balances between local mangrove forest conservation and coastal area developing activity. Based on the statement above, this research is focus on the aspect of social economy from the society surronding Angke Kapuk Forest which influences indirectly to the condition of Angke Kapuk Forest where for nowadays its existence has really been not good. This purpose of this research is to know people participation surrounding Angke Kapuk Forest in order to support the existence of area management of Angke Kapuk Forest. Also, this research can be used as an input for decision makers in deciding to expand sustainable development which has environment perception. Beside that, it is hoped that it can increase added value for this forest itself and people surrounding it. This hypotheses of this research are stated below: Ho : low or high education level and people income will not influence people participation level to Angke Kapuk Forest Ha: low or high education level and people income will influence people participation level to Angke Kapuk Forest Method of this research is descriptive with type of this research is case study. To test the hypotheses above, it is used chi quadrate test signification by using statistical product and service solutions (SPSS) version 10.00. Data are collected from literature study, observation, and deep interview with use questionnaires to people surrounding Angke Kapuk Forest. The results and conclusion of this research are education and income level actullay are not influencing people participation level at surrounding Angke Kapuk Forest, so Ho is accepted. People at surrounding Angke Kapuk Forest both low and high education and income level is not influencing them to participate in Angke Kapuk Forest management. The suggestions of this research are: It is better to do an intensive guidance which involves people at surrounding forest, such as Karang Tanzna so people has responsible feel for environmental preservation and then people desires to participate. But this whole things need government and non-government organization role to support people at surrounding Angke Kapuk Forest to be participated. Number References : 31 (1978-2001
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 8594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Cita
Abstrak :
ABSTRAK
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan R.I. Nomor 756/KPTSII/90 tertanggal 17 Desember 1990. Kelengkapan peraturan seperti tersebut merupakan unsur penting dalam suatu sistem pengelolaan taman nasional. Namun yang lebih penting lagi adalah dukungan dan peranserta masyarakat.

Dukungan dan peranserta masyarakat itu hanya akan diperoleh, apabila di satu pihak taman nasional ini dapat meberikan manfaat nyata bagi masyarakat, dan di pihak yang lain, masyarakat memahami bahwa, eksistensi taman nasional ini penting bagi generasi mendatang sehingga perlu dilestarikan. Akan tetapi di dalam kenyataannya bahwa, taman nasional ini relatif belum dapat mendorong pemanfaatan secara rasional dari kawasan marginal, sementara masyarakat untuk sebagian besar kehidupannya bergantung pada sumberdaya alam yang ada di hutan, yang pada umumnya dimanfaatkan atas dasar hak-hak tradisional. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam yang dibutuhkan oleh masyarakat demi kelangsungan hidupnya, diduga mempunyai dampak terhadap ekosistem Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak aktivitas masyarakat terhadap ekosistem Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, serta pola-pola bagi aktivitas masyarakat yang menimbulkan dampak tersebut. Untuk itu, lokasi penelitian ditetapkan di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan di wilayah pedesaan sekitarnya. Penelitian di dalam kawasan dilakukan dengan cara pengamatan terutama pada unit-unit pengamatan tertentu, yaitu di sepanjang jalan setapak, lintasan satwa, tempat makan satwa, daerah rawa, sungai dan kawasan marginal. Tujuannya adalah untuk mengetahui keadaan fisik kawasan, potensi flora maupun fauna serta tingkat pengelolaan taman nasional ini. Sedangkan penelitian terhadap masyarakat di sekitarnya dilakukan dengan menggunakan schedule terhadap 150 unit sampel yang ditarik secara multiple stage random sampling. Di samping itu dilakukan pula wawancara terhadap sejumlah responden. Tujuannya adalah untuk mengetahui pola-pola bagi aktivitas masyarakat yang diduga menimbulkan dampak terhadap ekosistem Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan
Abstrak :
Indonesia merupakan negara yang mendominasi bahan baku rotan dunia, untuk itu perlu meningkatkan upaya yang dapat melestarikan sumberdaya rotan sehingga tetap dapat diambil manfaatnya bagi masyarakat dan bagi devisa negara. Masalah yang timbul adalah semakin Iangkanya sumberdaya rotan di hutan alam dan bagaimana mengusahakan pengembangannya melalui budidaya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) seberapa besar potensi rotan yang terdapat di hutan alam; (2) jenis bahan baku apa yang diperlukan dan berapa besar drbutuhkan oleh industri rotan; serta (3) mengetahui kelayakan budidaya rotan dilihat dari segi teknis, lingkungan dan sosial ekonomi. Sehubungan dengan itu untuk kawasan hutan KPH Sukabumi diajukan dua hipotesis yaitu (1) potensi rotan alat dapat memenuhi kebutuhan industri rotan Tegalwangi; dan (2) kawasan hutan layak untuk dijadikan kawasan budidaya rotan. Desain penelitian berupa survai analitis, di mana data potensi rotan alam diambil dengan menggunakan sistematik sampling dengan unit contoh berupa jalur dengan intensitas 0,05%, sedangkan data lain diambil melalui pengamatan lapangan, wawancara bebas dengan buruh kerja, data dari sentra industri rotan Tegalwangi serta pustaka.

Pengolahan data potensi rotan dilakukan dengan metoda Ratio estimate in stratified sampling (dengan stratum pertama berupa hutan produksi dan stratum kedua berupa hutan lindung). Anallsis finansial diolah dengan menggunakan metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit-Cost (B/C) ratio dan metode Pay Back Period (PBP).

Dari data diperoleh hutan alam KPH Sukabumi terdapat rotan lokal batangan masak tebang sebanyak 11.278.671 batang terdiri dari 8.526-181 batang terdapat di hutan produksi dan 4.750.491 batang terdapat di hutan lindung dengan jenis-jenis sebagai berikut Balukbuk (Plectocomia griffithii), Teretes (Calamus heteroides), Seuti (C. scipionum), Seel (Daemonorops hystrix), Sampay (Korthalsia junghunif), Pelah (C. perokensis), dan Mencek (D. langipes). Sedangkan jenis-jenis yang digunakan industri rotan Tegalwangi pada tahun 1991 yang berjumlah 6.404.010 batang berasal dari jenis Manau (C. manan), Seuti, Mandola, Seel, Tohiti (C. irops), Balukbuk, Teretes dan Semambu (C. scorpionum) dengan laju peningkatan penggunaan rotan batangan 30,07% per tahun. Sedangkan rotan jari masak tebang terdapat sebesar 91.501,74 kg di mana 36.169,46 kg terdapat di hutan produksi dan 58.521,40 kg terdapat di hutan lindung, dengan jenis-jenis berupa Peuteuy (C. ciliaris), Omas (C. oxleiyamus), Leules (C. asperrimus), Kidang (D. grandis) dan Cacing (C. javensis). Adapun bahan baku yang digunakan oleh industri Tegalwangi pada tahun 1991 berjumlah 3.310.000 kg dengan jenis yang dibutuhkan berupa rotan Sega (C. caesius), Irit (C. trachycoleus) dan Pulut, dengan laju peningkatan penggunaan rata-rata sebesar 23,74% per tahun.

Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis pertama ditolak karena rotan alam lokal KPH Sukabumi tidak dapat memenuhi akan jenis yang diminta maupun dari ketersediaan potensi rotan yang terdapat di alum secara terus menerus.

Dengan mempertimbangkan permintaan pasar, kesesuaian tempat tumbuh, kemudahan penyediaan benih, teknik silvikultur, peluang teknologi dan kualitas hasil yang diharapkan maka jenis yang dipilih untuk dibudidayakan adalah rotan Manau, Seel, Seuti, Balukbuk, Pelah dan Teretes.

Dengan analisis finansial pada discounted rate 16% layak dibudidayakan rotan dalam bentuk tanaman pengisi dari jenis rotan lokal maupun rotan Manau. Sedangkan dengan mempertimbangkan permintaan pasar dan kondisi resistensi lingkungan maka sebaiknya dilaksanakan budidaya dalam bentuk tanaman pengisi roman campuran. Kondisi ini juga didukung oleh kondisi sosial masyarakat yang memerlukan penyediaan lapangan kerja, dalam hal mana budidaya rotan dengan sistem ini dapat menyerap 641 orang tenaga kerja, sehingga hipotesis kedua dapat diterima.
Abstract
Indonesia is a country that dominates rattan supply for the worldwide. As of this, Indonesia must make efforts to conserve the resources while at the same takes advantages of its resources and the foreign exchange. The problems here were (1) the concern was that the rattan resource in the natural forest was declining too much that it would soon be endangered; (2) the effort to improve this condition can be made-through planting (cultivation).

These research objectives were to assess the potency of rattan in the natural forest, and to assess the feasibility of each variety of rattan planting that would considering the technical, environmental and social economical aspects. The hypotheses were (1) the potency of natural rattan which should fulfill the demand of Tegalwangi rattan industry; (2) the forest area should be feasible for the rattan planting area. The research design was analytical survey. The sampling technique for the rattan potency data was systematic sampling, with lines sampling units and its intensity was 0,05%. Observation, interview and secondary sources have collected the other data.

The rattan potency data were processed by the ratio estimated in stratified technical sampling method, where the first stratum was production forest and the second stratum was protection forest. Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit-Cost (BC) Ratio and Pay Back Period processed the financial analyses.

In the natural forest of KPH Sukabumi that has been found 13,278,671 pieces mature trees of local rattan which consist of 8,526,181 pieces ?riom production forest and 4,750,491 pieces from protection forest. Those rattan species were Balukbuk (Plectocomia griffithii), Teretes (Calamus heteroides), Seuti (C. scipionum), Seel (Daemonorops hystrix), Sampay (Korthalsia junghunii), Pelah (C. perokensis), and Mencek (D. Iangipes). In 1991 Tegalwangi rattan industry used 6,404,010 pieces rattan, its species were Manau (C. manan), Seuti, Mandela, Seel, Tohiti (C. irops), Balukbuk, Teretes and Semambu (C. scorpionum), with a rattan using growth rate of 30.07% per annum.

The mature finger rattans that have been found were as follows 91,501.74 kg where 36,169.46 kg was in the production forest and 58,521.40 kg was in the protection forest. Those rattan species were Peuteuy (C. ciliaris), Omas (C. oxleiyamus), Leules (C. asperrimus), Kidang (D. grandis) and Cacing (C. javensis). In 1991 Tegalwangi rattan industry used 3,310,000 kg which its species were Sega (C. caesius), Irit (C. trachycoleus) and Pulut, with a rattan using growth rate of 23.74% per annum.

Based on those data, the first hypothesis was rejected, because the local natural rattan from KPH Sukabumi could not fulfill the demand of the species and supply continually.

The selected species for planting were Manau, Seel, Seuti, Balukbuk, Pelah and Teretes. The considering was based on the market demand, habitat suitability, ease of seed supply, silviculture technic, technology and crop quality.

Based on the financial analysis on 16% discounted rate, the rattan should be feasible for planting in inter-planting form, from both local rattan and Mauna rattan. Considering on the market demand and the environment resistance condition, the planting should be done in mixed rattan inter- planting form. This condition should be supported by a societal condition that needs working opportunities. The rattan planting by this system needs 641 workers; thus the second hypothesis was accepted.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T3101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sahri Sutardi
Abstrak :
Spatial Balance Model of Critical Land Alteration Due to Population Pressure Influence in the Years 1983 and 1993 (Case Study in the Regency of Kuningan, Province of West Java)Main life sector in rural area is agriculture. Land is the main natural resource or main production factor for agriculture. The activity of agriculture sector is the activity which consumes wide area or "Space Consumptive" area, although the production of the agriculture is relatively small. The increasing of population growth is followed by the increasing of population needs whether it is quantitative or qualitative. The increasing of population need also push the increasing need of the land. Physical characters and wide of area is relatively static, while the population needs to the extending of agriculture area is relatively high. People are forced to use the uncultivated land including to cultivate the sloping land or clear away the forest whether for a season cultivation or to chop down woods for means of livelihood, firewood and daily consumption. The consequences of these activities create the physical damage of the land including erosion, landslide, damaged forest, vegetation, and the damage of water structure. The erosion will cause the negative effect to original, and to the river water or damp in a mound of mud. To measure the population pressure and the land needs which caused the environmental damage, Otto Soemarwoto (1984:86) creates a formulation of "Population Pressure" with basic calculation is the width of minimal land which support a reasonably comfortable life ( a ) multiplied the number of small farmers and their land width under the minimal land width to support a reasonably comfortable (x ), then divided with the total width of small farmer's land. The objective of this research is to know the application theory of population pressure and analyze the model of the space balance changes in critical land, the context of actual study to the regional fact to environmental study. This research analyzes, particularly, (1) Correlation between population pressure by using space balance change of critical land for two periods in 1983 and 1993 ; (2) The correlation between the condition of space critical land in 1983 and the space condition of Regional Cultivated Land (WTU) ; (3) The correlation between space condition of critical land in 1983 and space condition of critical land in 1993 with sloping area condition. The hypothesis of this research is that there is effect to the arouse of critical land where the spreading of the critical land reached the elevated place (upper end) and sloping land. The operational language as follows : (I) 'The high and the low of critical land is related to the rapidly and slowly population pressure ; (2) It is assumed that the location of critical land widely moved to the upper place of Regional Cultivated Land (WTU) or Regional Cultivated Land for II limited level ; (3) It is assumed that the location of critical land widely move to the sloping land ; (4) It is assumed that the cause of critical land included into Classification A. Based on the evaluation classification , it is included into Scheme I. This research analyzes the regional facts by using space analysis. Research literatures gained from Agriculture Census Year 1983 and 1993 ; Citra Landsat in 1983 and 1993, scale 1 : 250,000 ; Map of Main Regional Cultivated Land, scale 1 : 250,000 and Map of Main Sloping Classification, scale 1 : 250,000. List of Reference : 30 (1951 - 1996).
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hargo Saputro
Abstrak :
Penyebab utama timbulnya lahan kritis, terutama di hulu daerah aliran sungai, adalah manusia. Mereka pada umumnya melakukan usaha tani lahan kering (tegalan) tanpa disertai dengan upaya konservasi. Jumlah lahan kritis itu terus meningkat setiap tahun. Departemen Kehutanan telah menyelenggarakan program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah untuk menanggulanginya. Namun program ini tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dan partisipasi dari masyarakat, khususnya mereka yang mengelola atau menguasai lahan di wilayah hulu daerah aliran sungai. Dalam upaya menggalakkan dukungan dan partisipasi masyarakat itu, pemerintah telah mengadakan gerakan penghijauan, yang kemudian diperkuat dengan tenaga penyuluh kehutanan, dan didukung dengan pembuatan unit percontohan usaha tani pelestari sumber daya alam. Namun semuanya ini belum dapat membuat petani berswadaya dalam melaksanakan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Maka kemudian diciptakan program kredit usaha tani konservasi (KUK), untuk mengatasi kekurangan modal di kalangan para petani lahan kering. Penelitian ini berupaya meninjau pelaksanaan program KUK tersebut, dengan mengambil wilayah penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul. Berdasarkan hasil observasi di Kulonprogo dan survai tanggapan petani di Gunungkidul, dapat diketahui bahwa petani masih belum mungkin berswadaya dalam upaya konservasi tanah, mengingat akan perhatiannya yang masih harus difokuskan pada upaya penanggulangan kehidupan ekonominya yang miskin. Program KUK yang sangat birokratis, dan sangat berorientasi pada kepentingan perbankan semata, justru menambah beban petani yang sudah tidak ringan. Padahal kebutuhan mereka akan modal tidak teratasi dengan KUK. Karenanya, petani terpaksa harus mencari Cara "gali lubang tutup lubang" untuk bisa membayar kembali hutangnya. Berdasarkan basil penelitian ini, disarankan agar konservasi di hulu daerah aliran sungai, diberi subsidi oleh pemerintah. Daftar Kepustakaan : 23 (1982 - 1992) .
ABSTRACT All sorts of reasons bringing about the degradation of land, mainly in the up land of watershed area, is homosapiens. They cultivated the dry land without considering the conservation principle, hence, the amount of critical land is increasing every year. The Department of Forestry has organized a Land ' Rehabilitation and Soil Conservation Program to cope with it. The program, however, will not succeed if the people, particularly the farmers who own and manage the land in the upland watershed area, do not support and actively participating. To encourage support and participation of the people, The Department of Forestry manages greening movement by employing forestry instructor to develop demonstration plots where farmers learn by doing the water and soil conservation practices. Despite of lacking capital, farmers do not have the capacity to carry out land rehabilitation and soil conservation. To help the peasant carrying out the pro-gram, special loan has been given by the bank. This research is trying to study the effect of loan to the conservation program in the Special Province of Yogyakarta, particularly in Kulonprogo District and Gunungkidul District. Observing the implementation of loan program in Kulonprogo, and performing survey on farmer's response to the loan in Gunungkidul, this research finds some facts that farmers are still far from self-supporting in carrying out the land conservation. They still have to struggle for overcoming their poverty. As a matter of fact, the bureaucracy of the loan is oriented only to the benefit of the bank itself, so that the lack of capital among the farmers can not be solved. That is why, farmers must look for any alternative in-come to pay their debt. It is suggested that subsidy should be granted by the government for soil conservation on the up land of the watershed area. Number of References : 28 (1982 to 1992).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrizal Paiman
Abstrak :
ABSTRAK Peningkatan luas penanaman Kopi dan Kulit Manis di Kabupaten Kerinci selama 3 tahun terakhir sangat mengkhawatirkan. Seluas 50.000 ha lahan hutan telah digarap untuk perladangan kopi dan Kulit Manis, dengan ± 14.286 KK peladang Sementara keadaan fisik wilayah sangat rawan terhadap erosi, luas lahan yang memungkinkan untuk pertanian hanya 40% dari luas keseluruhan daerah Kecamatan Gunung Raya (14.560 ha), dan seluas 80.480 ha terdiri dari hutan lebat. Penelitian ini dilakukan dengan metode kasus, cara penetapan sampel ditetapkan secara purposive. Untuk analisis data dilakukan dengan regresi korelasi. Pengukuran erosi dilakukan pada perladangan kopi dan kulit marais milik petani setempat, sesuai dengan kondisi variabel yang ditetapkan dan ditemukan di lapangan. Studi ini bertujuan untuk mengkaji dampak dari perladangan kopi dan kulit marais terhadap intensitas erosi. Dalam studi ini diambil 90 kasus kejadian erosi, selama 30 kali pengamatan. Dari hasil pengamatan harian terlihat pada usia tanaman 1 tahun - 4 tahun intensitas erosi cukup besar (47,92 ton - 14,19 ton pertahun dengan besar lereng 42% - 92 %. Hal ini disebabkan karena sebahagian besar tanah terbuka, tajuk kopi dan kulit marais belum mampu untuk menahan pukulan air hujan, dan pemberaihan lahan intensif sekali. Kemudian pada umur 5 tahun - 6 tahun intensitas erosi mengalami penurunan menjadi (2,23 ton -1,92 ton) dengan keadaan lereng 56 % - 96 %. Hal ini disebabkan oleh tanaman kopi sedang berada pada kondisi pertumbuhan vegetatif yang baik, sehingga tajuk hampir menutupi semua permukaan tanah dan penyiangan tidak dilakukan. Setelah tanaman memasuki umur 7 tahun - 10 tahun intensitas erosi meningkat kembali (4,84 ton --5,27 ton) pada kondisi lereng 24 % - 37 % disisi lain, karena pada usia ini terjadi penyiangan, dan pemangkasan dahan kulit mania, den diikuti dengan melakukan penebangan kopi, sehingga tanah terbuka kembali. Setelah tanaman berumur diatas 10 tahun (20 tahun - 25 tahun) pada kondisi lereng 26% - 40% erosi menurun kembali, hal ini disebabkan tidak adanya penyiangan dan pemangkasan, sehingga mengarah pada pembentukan hutan. Keadaan ini dimakaudkan untuk menjadikan kulit mania sebagai investasi jangka panjang. Erosi yang terjadi hanya (2,59 ton -- 1,45 ton). Jadi tanaman yang berumur muda 1 tahun - 4 tahun dengan melakukan penyiangan mempunyai potensi yang besar dalam menyebabkan terjadinya erosi begitu juga tanaman yang telah berumur 5 tahun - 6 tahun serta berumur tua diatas 10 tahun dapat membantu, menurunkan intensitas erosi. Hasil analisis statistik menunjukkan pada kondisi sebenarnya, erosi yang terjadi cukup besar yaitu 6,7682 kg selama pengamatan. Rata-rata umur vegetasi 8.3167 tahun, rata-rata jumlah vegetasi 40,4889 bataog, rata-rata lereng 33,1667%, rata-rata curah hujan 84,9167 mm, rata-rata indeks pengolahan lahan 0,0963 dan rata-rata aliran permukaan 1300,3078 liter. Bila erosi lahan yang terjadi dikonversikan kedalam Batman ha, maka menjadi 13,77 ton/ha/th di atas erosi yang diperkenankan 13.45 ton/ha/th. Walaupun demikian perladangan kopi dan kulit marais seperti yang dilakukan masyarakat Gunung Raya Kerinci memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh demi kelestarian sumberdaya tanah dan air. Faktor-faktor korelasi (r) yang berpengaruh menimbulkan erosi adalah aliran permukaan 62%; indeks pengolahan lahan 43,5%; curah hujan 33,3%; umur tanaman 29X; jumlah vegetasi 22% dan lereng 12%. Faktor-faktor lain yang juga berperan dalam menimbulkan erosi adalah sosial budaya. Sebahagian besar masyarakat Gunung Raya berpenghasilan dari usaha perkebunan kulit marais. Tingginya harga dan permintaan kulit manis, mudahnya perawatan dan tingkat kesuburan tanah yang relatif tinggi menyebabkan mereka cenderung memperluas lahan. Di samping itu pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dihadapkan dengan luas lahan yang terbatas hanya 40% dari luas daerah yang dapat diusahakan untuk pertanian, menyebabkan perladangan terus bertambah. Bila dilihat dari erosi yang ditimbulkan dan dampak lanjutannya berupa kerusakan lahan baik fisik, biologis maupun kimia, maka sistem pertanian seperti ini kurang menguntungkan. Untuk memperkecil erosi yang ditimbulkan serta meminimalkan dampak negatif yang terjadi, maka perlu dilakukan perencanaan penggunaan lahan dengan pertimbangan lingkungan. Jumlah halaman permulaan 18; Jumlah halaman peritems 87; Gambar 10; tabel 18 halaman
ABSTRACT The increasing of plantation area during the last three years in the district of Kerinci has occured in such a way that has a major caused concern. About 50,000 ha area of the forest have been cleared for coffee and Cassia vera Plantations, and approximately 14,286 families of farmers have moved in. The physical condition of the area is very susceptible to erosion, and only 40% of the total land area of the Gunung Raya subdistrict (141.560 ha) is arable, 80,845 ha consists of heavy forests, and 29,750 ha of the region produces cassia vera. The survey is done by case method; the sampling method is purposive random sau ling. Regression correlation is used for data analysis. Measuring erosion toward coffee and cassia vera plantations of the local farmers was in accordance with the variable, conditions established and found in the field. The study is intended to investigate the impact of coffee and cassia vera culture in regards to erosion intensity; that is, how much erosion occurred. when coffee and cassia vera were grown. This study observed 90 cases of erosion during 30'days. Out of daily observation it can be seen that in a plant 1 to 4 years old, the annual erosion intensity is quite high (47,92 ton-14,19 ton). This is due to the fact that most of the ground is open and the coffee and cassia vera. are not able to hold rainfall. Thus, cleansing of land is very rapid. Then, of the age of 5 to 6 years, the annual erosion intensity decreases (2,23 ton --1,92 ton). This is due to the vegetative growth of the crown of the coffee plant, which in turn protects more land surface. Also at 5 6 years, weeding is not done. At the age of 7 to 10 years the average annual erosion intensity increases again (4,84 ton.-5,27 ton), because at this age there is weeding activity, chopping of the cassia vera branches, and cutting of the coffee plants, so that the land is open again. After the plants are over 10 years old the erosion decreases again, and the formation of wood begins because there is no more weeding and cutting. The purpose of no more weeding and cutting after 10 years is to make cassis. vera a long term investment. The erosion that occurs after 10 years is only (2,59 ton- 1, 45 ton ). Thus, plants 1 to 4 years old as well as 7 to 10 years, because of weeding, have a great potential to cause erosion in the land. While plants at the age of 5 to 6 as well as over 10 years can help in decreasing erosion. The result of the statistical analysis indicates that in actuality condition the erosion occurring is quite large (approximately 6,7682 kg). The average age of the vegetation is 8.3167 years. The amount of vegetable stalks is 40,4889. Rainfall 84,9167 mm. Land cultivation is 0,0963 and the surface current is 1300,3078 liters. If the erosion .is converted into hectares, there is 13.171 tons/ha/year which is far above the amount of erosion allowed. Thus, the community of Gunung Raya Kerinci must give some real attention to its agricultural system, if they are to conserve their land and water resources. The factors which influence the erosion are: surface current 62%; land cultivation 43,5%; rainfall 33,3%; plant age 29%; amount of vegetation 22$; and slope 121. Other factors which also play certain roles in erosion are social and cultural. Most of the Gunung Raya community earn their income from cassiavera. The high demand and price of the cassiavera, the easy maintenance; and the relatively high soil fertility all cause the farmers to tend to increase their cultivation areas. Also the ever increasing population growth rate vis a vis limited land area (of which only 30% is erable) also contribute to the problem. In terms of the erosion and its sustaining impacts such as physical, biological, as well as chemical deteroration this type of agriculture is not advantageous. In order to decrease the erosion and its negative impact a land use plan is needed that considers the environment holistically. Number of initial pages 18 + number of thesis content 86; Pictures 10; Tables 18 pages.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Soedarsono
Abstrak :
ABSTRAK Cita-cita dan tujuan dibentuknya pemerintah negara Republik Indonesia secara normatif ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945, di mana dinyatakan bahwa pemerintah dibentuk antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari norma tersebut terkandung makna kewajiban negara untuk melaksanakan perlindungan (proteksi) terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup rakyat dan wilayah Indonesia, dan makna perlindungan tersebut secara umum juga meliputi perlindungan terhadap ancaman dan gangguan yang mempengaruhi keberadaan sumberdaya alam serta ekosistemnya, sehingga untuk mewujudkan norma tersebut dihadapkan tiga faktor penentu yang harus diperhatikan, yakni bumi tempat berpijak, jiwa manusia yang hidup di atasnya serta lingkungan hidup yang berpengaruh. Kebijakan untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup diwujudkan dengan diberlakukannya beberapa Undang-undang, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri yang merupakan petunjuk pelaksanaannya, di mana semuaketentuan tersebut akan bermakna bila norma dan kaedahnya mampu diterapkan dan dilaksanakan sesuai maksud dan tujuannya, sehingga untuk mewujudkan keadaan tersebut diperlukan peran aktif setiap pihak dalam keberadaan, fungsi dan tugasnya. Sesuai ketentuan Undang-undang Nomer 20/Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Nomer 8/Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dinyatakan bahwa POLRI bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan keamanan dan ketertiban umum serta bertindak sebagai aparat negara penegak hukum yang bertugas menegakkan dan melaksanakan semua ketentuan perundang-undangan yang diberlakukan, oleh karenanya POLRES Pandeglang sebagai salah satu Kesatuan Operasi Dasar POLRI wajib melaksanakan peran dan fungsinya sebagai unsur pelindung dan pengamanan sumberdaya alam serta ekosistem alam lingkungan di daerah hukumnya, yang bertugas antara lain melakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangan terhadap kasus kerusakan kawasan Ujungkulon sesuai dengan konsep pengelolaannya yang beerbentuk Taman Nasional. Pengelolaan konservasi kawasan dengan konsep Taman Nasional mempunyai makna pengelolaan yang di dalamnya terdapat "aspek pengelolaan obyek yang menyangkut kepentingan umum", sehingga dalam pengelolaannya harus selalu mengarah kepada upaya untuk mewujudkan keadaan yang tertib, tentraman, dan aman, yang mengarah terhadap upaya terbentuknya kesatuan bangsa, kemakmuran hidup masyarakat di sekitarnya, dan perlindungan terhadap nilai kemanusiaan dan kehidupan sosial masyarakatnya. Manusia penyebab kerusakan lingkungan hidup dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu yang pertama adalah golongan manusia yang menjadikan kerusakan karena ketidaktahuannya bahwa segala kegiatan yang dilakukan dapat merusak lingkungannya, yang kedua adalah golongan manusia yang merusak karena dorongan kebutuhan hidup yang sangat mendesak, dan yang ketiga adalah golongan manusia yang menjadikan kerusakan karena dorongan nafsu untuk pemenuhan kepuasan diri dan/atau kelompoknya. Secara faktual terlihat telah terjadi penurunan kualitas tanah di beberapa lokasi, di mana terlihat air laut terinterusi dan terabsorbsi ke area terestrialnya, dari keadaan tersebut telah mempengaruhi keseimbangan sumberdaya dan ekosistemnya dengan dibuktikan semakin sulitnya kehidupan beberapa spesis vegetasi yang biasanya tumbuh di kawasan tersebut, dan bahkan beberapa habitat dari kehidupan satwa langka sudah sulit diketemukan lagi, oleh karena itu untuk mengantisipasi keadaan tersebut diperlukan suatu upaya nyata dari semua pihak, khususnya dalam pencegahan dan penanggulangannya. Dengan ruang lingkup kajian yang berkisar pada upaya penanggulangan kasus perusakan kawasan lindung Ujungkulon, khususnya terhadap pelaksanaan tugas POLRES Pandeglang dalam upaya dukungannya terhadap pengelolaan TN Ujungkulon tersebut, maka topik bahasannya menyangkut keadaan sosial masyarakat penduduk yang bermukim di sekitar kawasan lindung Ujungkulon, berbagai kebijakan dalam upaya pengelolaan TN Ujungkulon, dan konsep operasional kepolisian yang diterapkan dalam mendukung upaya pengelolaan TN Ujungkulon. Dengan topik bahasan tersebut di atas dilakukan penelitian terhadap hasil pengelolaan kawasan lindung tersebut, yang dilakukan melalui pengamatan langsung di lokasi kerusakan, menggunakan kuesioner dan acuan kepustakaan, dilakukan evaluasi terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan TN Ujungkulon dan pelaksanaan peran serta tugas POLRI setempat dalam mendukung upaya pengelolaan kawasan lindung tersebut, selain itu juga dievaluasi tingkat persepsi masyarakatnya terhadap kebijakan dan kegiatan pengelolaan kawasan lindung tersebut. Untuk mengevaluasi tingkat persepsi masyarakat menyangkut faktor-faktor tingkat pengetahuan, tanggapan, adaptasi dan partisipasi sosial masyarakat terhadap obyek, sehingga dengan mengetahui keadaannya tersebut dapat diketahui juga tingkat keberhasilan dalam pengelolaan kawasan lindung tersebut, dan dari hasil evaluasi tersebut dapat diasosiasikan dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap keberhasilan pihak pengelola kawasan tersebut. Dengan menggunakan beberapa variabel dan indikator yang telah ditentukan, dan dengan mendasari pada acuan teori mengenai adaptasi dan partisipasi sosial, dilakukan pengukuran terhadap tingkat persepsi masyarakat terhadap obyek tersebut. Kuesioner ditujukan kepada warga masyarakat di sekitar kawasan lindung, terutama yang dalam keberadaannya masih menyandarkan kebutuhan hidupnya pada keberadaan kawasan tersebut, sehingga dengan memperhatikan derajat keragaman dan normalitas populasinya maka kuesioner disebarkan secara non random untuk 100 responden, di mana sampel respondennya ditentukan dengan cara penjatahan yang dilakukan dengan perincian : a. Untuk sampel dari masyarakat umum ditentukan 73 % dari seluruh jumlah responden, yang penjatahannya terbagi untuk 10 s warga masyarakat yang bekerja di bidang pemerintahan, 10 % warga masyarakat yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat, 20 % warga masyarakat yang bekerja di bidang pendidikan, 20 % untuk yang bekerja di bidang keagamaan, serta 40 % untuk warga masyarakat awam yang bekerja sebagai petani dan/atau nelayan. b. Untuk sampel dari personil pelaksanaan peran dan tugas PDLRI ditentukan sejumlah 27 % dari keseluruhan jumlah responden, yang terbagi 20 % untuk golongan Perwira sebagai kelompok penentu kebijakan dan 80 % untuk golongan Tamtama dan Bintara sebagai pelaksana tugas di lapangan. Dengan asumsi bahwa keseluruhan sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, maka pengukuran tingkat keberhasilan pengelolaan kawasan lindung yang dilakukan dengan metoda Total quality control, yang pengukuran dan analisisnya mendasari pada Environmental Quality Analysis Method, di mana tingkat kualitas suatu keberhasilan dinyatakan dengan prosentase hasil perbandingan antara "nilai besaran" dengan "Nilai kepentingannya" yang diukur dari nilai modes data kuesioner, yang proses penghitungan statistiknya dilakukan dengan menggunakan program SPSS/PC+ dan yang selanjutnya dalam mengidentifisir dan menganalisis datanya dengan menggunakan Matrik Morfologi atau Tabel dampak silang. Hipotesis dalam tesis ini menggunakan hipotesa kerja, yaitu : a. Tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah akan mempengaruhi cara hidup dalam memanfaatkan sumber daya lingkungannya, dan nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat akan mempengaruhi tingkat kerusakan kawasan di lingkungannya. b. Intensitas bimbingan aparat pengelola akan berpengaruh terhadap kadar kepatuhan masyarakat setempat, karena upaya rekayasa sosialnya dalam menggerakan masyarakat akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam pola pendayagunaan sumberdaya alam, yang sekaligus juga akan memberikan dampak positif bagi terbinanya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat di lingkungannya. c. Oleh karenanya kemampuan dukungan POLRI terhadap upaya pengelolaan kawasan lindung sangat menentukan. Dari hasil analisisnya dapat dibuktikan kebenaran seluruh hipotesis, di mana dalam kesimpulannya dinyatakan juga bahwa pengelolaan kawasan lindung sebagai suatu obyek yang mempunyai aspek kepentingan umum dalam kegiatannya tidak akan dapat dilepaskan dari pelaksanaan peran dan tugas POLRI, sehingga untuk upaya pengelolaan suatu kawasan lindung akan diperlukan kemampuan dukungan POLRI beserta aparat pendukung lainnya.
ABSTRACT The ideal and aims of the establishment of the Government of the Republic of Indonesia wich was normatively decided in the Preamble of the 1945 Constitution, in wich was set forth that the Government was established, inter alia - to protect the whole Indonesian People and the entire Indonesian Archipelago along with improving the general welfare, increasing the people's life and together to take part in the world's order, based on the independence, eternal peace and social justice. From the above said norms - which are containing of significant meaning, there is an obligation of the State to provide protection to the existence and the continuity of the people's way of living and the Indonesian Archipelago, protection which is normally, covering of protection against the influencing threat and disturbing factors toward the natural resources and its ecosystem, so that to realize said norms, three main factors should be taken into account, inter alia - the earth to stand on, the spirit of the human being which is living thereon and its environmental. The protection policy to the living environment as realized in some Laws, Decree of the President an Decision of the Minister which form a Guideline of the implementation, determinations of which should be faithfully obeyed by the whole people in order that its significant meaning and its legal norms can be implemented according the purpose and objective and therefor that everyone is required to take part actively, pursuant to his function and duty. Pursuant to the Law No. 20/1982 concerning the Fundamental Defence and Security of Republic of Indonesia, and Law No. 8/1981 concerning law of criminal procedure, in which is set forth - that POLRI is responsible in performing of law and general order and shal act as the state's apparatus in order to carry out the law enforcement which is in effect, therefor that POLRES of Pandeglang as one of the Task Force's of POLRI's Basic Operational Unit is compulsory to carry out its role aand function as a protection and security factor on natural resources and ecosystem of its natural environment in their territory, and in their capacity to provide prevention and observation against the damages of the National Park of Ujungkulon according to their management concept. Management of concervation territory with its National concept has its special management meaning therein to "handle the management object involving the public interest", sothat, in its process - it should always be directed to any effort to create law and order, security, peaceful condition to enter into the formulation of the National Unity, environmental welfare of the community and protection of humanity value along with its social way of living of the community. The cause of damages of the environmental living by human being can be categorized or classified into three categories, namely, group of human being which has no awareness of, what have been damageg, secondly, doing something wrong to fulfil their needy which is inevitably, and, thirdly, group of human being which is intentionally hunting for obtaining satisfaction and/or to gain any profit for their group. In fact, it can be proved by the decrease of the quality of land occuring at some locations, seawater has been absorbed and polluted to their terrestrial, causing of imbalance of the resources and its ecosystem sothat the existence of some species of vegeterian which are growing in said area, and in fact, it is difficult to find some habitations of fauna, so that, in order to anticipate the said condition, certain effort should be taken in maintaining the preservation/prevention and to cope with its condition. Based on the scope of this case study comprising to the effort to scope with the damaged preserved area of Ujungkulon, especially to the implementation of POLRES of Panndeglang in its effoer to support the management of the Nastional Park of Ujungkulon, its topic is involving the condition of social aspect of the people living surrounding said National Park, several policies of its management and the operational concept of the Police Corp which has been adapted to support said management. With said topic study a research has been conducted on the result of said protected area management, with performing of direct observation at the damaged location, using of questionaire and reference of literature, evaluation has been made to the result of management of Ujungkulon National Park together with all participants and local Police Force in supporting said protected area, and besides, evaluation has also been made to the level of the community's perception of its activity policy. To evaluate the level of its community's perception, involving their knowledge factors, response, adaptation and participation 8of the social living of the obyect, in order to be familiar with the result of the management of said protected area in association with the level of the community's perception. Using of some variable and indicator along with adapting to the theory of pointing at the adaptation and social participation, measurement has been conducted toward the level of community's perception of said object. Questionnairs were directed to all people living around said protected area, mainly, which is inn their existence still relying their necessary of life on said protected area, sothat, the questionnair circulated to the people to notice the degree of its uniformity and normality of population, non-randomly circulated to 100 respondents, sample of the respondence which is determined according the distribution with the following specification : Sample from the general public society is determined to 73 % from total respondents and its distribution is divided into or for 10 % of people working with the Government, 10 % for people working at the private institution of the community, 20 % of people working in the field of Religiuous Movement and 40 % for people living as farmer and/or fishery. Sample for the executive personals and the task of POLRI is determined to 27 % of total respondents, divided into 20 % for the Officers as the policy-maker group, and 20 % for lowrangking and uncommissioned personals as the task executors or fiel implementors. With assumption that the whole samples originated from the population with normal distribution, therefor that, measurement of the level of result of the protected area management using of Total Quality Control Method, based on Environmental Quality Analysis Method, where the quality level of the result is stated with procentage of the comparison result between "larger value" and "interest value" as measured from the value of the questionnair data modes, with a statistical calculation process performed, using of SPPS/PC+ program and which in the identification and data analysis further, using of Morphologic Matrix or Crosss Ref. Table. Hypothesis in this thesis is using the working hyphotesis, namely : a. The degree of knowledge of the community which is low will affect their way of life in benefiting the environmental resources, and the values of the community social way of living will effect the level of the damaged area of the environment. b. The intensity of guidance of the management apparatus will affect the degree of the local community's obedience, because their social effort in activating the community will affect the way of life of the community's conceptional pattern in using of the natural resources and all at once also to provide a positive result to their safety and orderly condition of the environmental community. c. Therefor that the capability of POLRI to support the management effort of the protected area is of most determined. From the result of said analysis. it can be proved the correctness of all the hypothesis, where in its conclusion is stated also that the management of the protected area as an object with public interest in its activity can not be separated from the execution of task and role of POLRI, sothat, to manage certain protected area, special capability and skill is required from the POLRI together with all other supporting apparatus.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi Cokroharjono
Abstrak :
ABSTRAK Tanah longsor sebagai gejala alam merupakan salah satu penyebab yang bisa merusak hutan lindung pada kawasan Taman Nasional gunung Gede-Pangrango (Tamnas GEPANG). Sehingga sangat relevan, suatu penelitian untuk menentukan teknik mengidentifikasi lokasi tanah longsor potensial, agar bisa diambil sikap yang tepat. Tanah longsor berkait erat dengan stabilitas lingkungan alami. Stabilitas lingkungan alami terpengaruh oleh beberapa aspek gejala atau fenomena alami. Maka untuk mengidentifikasi potensi lokasi tanah longsor, perlu diungkap lebih dahulu gejala-gejala alami yang mempengaruhi stabilitas lingkungan. Untuk itu dikembangkan konsep Potensi Kerapuhan Lingkungan Alami (PKLA), yaitu himpunan dalam kesatuan ruang dari kekuatan, sifat, dan keadaan gejala alam yang secara potensial mempunyai daya merusak terhadap lingkungan hidup. Ada empat variabel yang secara potensial mempengaruhi stabilitas lingkungan, yaitu keterjalan lereng (XI), intensitas hujan (X2), tekstur tanah (X3), dan tutupan vegetasi (X4). Da1am rangka menelaah bahwa PKLA merupakan indikator lokasi tanah longsor potensial, dilakukan dengan pendekatan ilmu lingkungan. Pendekatan yang dikembangkan dari kombinasi pendekatan ekologi dengan pendekatan geografi ini, bertumpu pada prinsip interdisiplin, prinsip spatial, serta prinsip orientasi kedepan. Prinsip interdisiplin mengakomodasikan konsep-konsep yang ada pada geografi fisik, geologi, geomorfologi, ilmu tanah, ekologi, dan klimatologi. Prinsip spatial atau prinsip ruang menghendaki digunakannya peta sebagai alat analisis. Prinsip orientasi kedepan menghendaki dilakukannya peramalan wilayah (regional forecasting). Nilai PKLA (pkla) atau nilai kumulatifnya dihitung dengan menggunakan teori himpunan (set theory), yang aplikasinya menggunakan diagram Venn. Dengan teknik tumpang tindih {super impose), nilai-nilai PKLA (pkla) secara hierarkis dikembangkan dari PKLA (pkla) berdimensi satu, menjadi PKLA (pkla) berdimensi dua, lalu meningkat menjadi PKLA (pkla) berdimensi tiga, dan terakhir menjadi PKLA (pkla) berdimensi empat. Dari proses ini akan diperoleh jumlah konstribusi PKLA (pkla) elemen dari masing-masing dimensi terhadap pembentukan PKLA universe. Di samping itu dapat pula dihitung bobot konstribusi relatif pkla masing-masing himpunan bagian (sub-das). Ternyata hanya sub-das yang mempunyai bobot konstribusi surplus yang mempunyai potensi tanah longsor. Tanmnas GEPANG yang terbentuk oleh 40 sub-das, ternyata 26 sub-das diantaranya, mempunyai potensi tanah longsor; sepuluh sub-das mempunyai potensi tanah longsor tinggi, dua belas sub-das nempunyai potensi tanah longsor menengah, empat sub-das mempunyai potensi tanah longsor rendah. Potensi tanah longsor bisa menjadi faktual atau menjadi kenyataan bila rezim hujan menunjukkan sifatnya yang ekstrim. Ini bisa terjadi pada bulan-bulan Desember atau Januari yaitu pada saat terjadi hujan maksimum. Dan lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada bulan-bulan Maret atau April yaitu pada saat hujan maksimum sekunder. Namun ada fakta lingkungan yang menarik, yaitu pada tempat-tempat di mana hujan menunjukkan peranan kuat untuk menjadikan massa tanah tidak stabil yang di satu pihak memungkinkan terjadinya longsoran,maka peranan tutupan vegetasi di tempat itu dalam menjaga kestabilan massa tanah, yang di pihak lain mencegah terjadinya longsoran juga kuat. Ini menunjukkan bahwa lingkungan alami pada hakekatnya selalu menjaga keseimbanganya sendiri. Dalam hal ini sikap mendasar yang perlu diambil adalah minimal menjaga keseimbangan yang ada. Namun lebih bijaksana bila keseirrbangan itu diubah dengan kecenderungan peranan tutupan vegetasi sebagai faktor yang menjaga kestabilan massa tanah diperkuat fungsinya. Ini berarti bahwa. wi.layah hutan lindung perlu diperluas, terutama pada sub-das - sub-das yang mempunyai potensi tanah longsor tinggi.
ABSTRACT Potential Natural Environment Fragility As An Indicator For Potential Landslide Location:The case of Mount Gede-Pangrango National ParkAs a natural phenomenon, landslide is one of the causes which is capable of damaging the protected forest in the area of Mount Gede-Pangrango National Park {Tamnas GEPANG). It is so relevant that a research should be conducted for discover a technique of identifying the potential landslide location in order to be to take correct measures. Landslide is closely related to natural environment stability. Several indicative aspects or natural phenomena influence the natural environment stability. Therefore, in order to identify potential landslide location, it is necessary to reveal the national-phenomena, which influence the environment stability. Therefore, a concept of Potential Natural Environment Fragility - (PNEF), whish is a system of power, character, and a state of natural phenomena having potentially damaging force against environment, is developed. There are four variables viz.; slope steepness (X1), rainfall intensity (X2), soil texture (X3), and vegetation covering (X4). In analyzing that PNEF is used as an indicator for potential landslide location, an approach using environmental science is conducted. The approach, which is developed from ecological a geography cal approach, is based-on interdisciplinary principles, spatial principle, and future-oriented principle. The interdisciplinary principle constitutes concepts prevailing in physical geography, geology, geomorphology, pedology, ecology and climatology. The spatial principle needs the use of maps as means of analysis. The future-oriented principle calls for regional forecasting complementation. M EE' value or its cumulative value is calculated by using a set theory whose application uses Venn's Diagram- By employing superimpose technique, the PNEF values are hierarchically developed from PNEF of one dimension to PNEF of two dimension, then increased to PNEF of three dimension, and finally to PNEF of four dimension. From this process, total contribution of elemental PNEF from respective dimension to the formation of universal PNE will be obtained. Apart from that, the relative contribution quality of PNEF from each sub catchments area can be calculated. It appears that only sub-catchments area having the surplus contribution quality- has landslide potential. GEPANG National Park comprising 40-sub catchments area, 26 out of with have landslide potential. The have high landslide potential; the other twelve have medium, and the other four low landslide potential. The landslide potential may turn into reality when rainfall shows its extreme characteristics. Under the circumstances it can hap pen in the month of December or January when the rainfall reaches its peak. And more likely, it can take place in the month of March or April at the time when the rainfall is at its secondary maxi nun. Nevertheless, there is an-interesting environmental feature, that at places where on the hand rainfall plays an important role in forming unstable mass of land, landslide is likely occur, but on the other hand the vegetation covering at the identical places keeps the stability of the mass of land and thus prevents landslide-probability. This shows that natural environment, properly speaking, always keeps its own equilibrium. For this reason, a fundamental attitude towards this particular case necessarily to be taken is at least to keep the existing equilibrium. However, it will be recommendable if the equilibrium is altered to an inclination that the role of vegetation covering as a functional factor which preserves-the land mass stability is stimulated. Consequently, it means that protected forest areas should be enlarged, especially in the catchments areas which have high landslide potential.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>