Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Latar Belakang. Hiperglikemia pada perawatan pasien kritis merupakan faktor risiko yang dapat ditatalaksana dengan optimal untuk menurunkan mortalitas. Hubungan variabilitas glukosa dengan mortalitas telah diteliti menggunakan indikator yang bervariasi.
Tujuan. Mengkaji hubungan variabilitas glukosa yaitu rerata perubahan glukosa absolut (mean absolute glucose change, MAG) dan simpang baku glukosa terhadap mortalitas pasien kritis.
Metode. Penelitian kohort retrospektif terhadap 280 pasien yang dirawat di Unit Perawatan Intensif RSCM pada periode Januari 2012-Agustus 2013. Variabel MAG dan simpang baku glukosa dibagi menjadi 4 kuartil. Analisis hubungan antara MAG dan simpang baku glukosa dengan mortalitas dilakukan dengan uji X2. Untuk mengeluarkan faktor perancu (skor MSOFA, indeks komorbiditas Charlson, hipoglikemia, dan hiperglikemia) dilakukan uji regresi logistik.
Hasil. Nilai median MAG adalah 3,3 mg/dL/jam dan nilai median simpang baku glukosa adalah 38,3 mg/dL Insiden mortalitas lebih tinggi didapatkan pada kuartil atas MAG dan simpang baku glukosa dibandingkan kuartil bawah. Dari uji Chi Square didapatkan hasil OR MAG kuartil atas terhadap mortalitas OR 4,26 (IK 95% 1,98-9,15) dan OR simpang baku glukosa kuartil atas terhadap mortalitas OR 2,78 (IK 95% 1,35-5,71). Setelah dilakukan uji regresi logistik didapatkan fully adjusted OR 3,34 (IK 95% 1,08-10,31) untuk MAG dan 0,90 (IK 95% 0,28-2,88) untuk simpang baku glukosa.
Simpulan. Insiden mortalitas pasien dengan MAG tinggi lebih besar daripada pasien dengan MAG paling rendah. Proporsi mortalitas simpang baku glukosa tinggi (>59 mg/dL) lebih besar daripada pasien dengan simpang baku glukosa paling rendah, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.

Background. Hyperglycemia in critically-ill patient is a risk factor that can be managed in order to reduce mortality. Inspite of hyperglycemia, glucose variability also brings negative outcome to cells. Studies about glucose variability effect to mortality had been studied using many variables of glucose variability.
Objective. Analyze association between glucose variability (mean absolute glucose change [MAG] and glucose standard deviation) with mortality in critically-ill patients.
Methods. Retrospective cohort study is done to 280 critical ill patient in ICU and HCU in Cipto Mangunkusumo Hospital who admitted to critical care between January 2012-August 2013. MAG change and glucose standard deviation are divided into 4 quartiles. Association between MAG change and glucose standard deviation are analyzed using X2 test. To control the confounders (MSOFA score, Charlson comorbidities index, hypoglycemia, and hyperglycemia), logistic regression is done.
Result. Median of MAG change is 3.3 mg/dL/hour and median of glucose standard deviation is 37.63 mg/dL. Mortality incidence is higher in upper quartile of MAG change and glucose standard deviation compared to lower quartile. OR of upper quartile MAG change to ICU mortality is OR 4.26 (95% CI 1.98-9.15) and OR of upper quartile glucose standard deviation to ICU mortality is OR 2.78 (95% CI 1.35-5.71). These results are adjusted to MSOFA score, hypoglycemia, and hyperglycemia. In logistic regression test, fully adjusted OR are 3.34 (95% CI 1.08-10.31) and 0.90 (95% CI 0.28-2.88) for MAG change and glucose standard deviation, respectively.
Conclusion. Mortality incidence in patient with high MAG is larger than in patient with lowest MAG change. Mortality incidence in patient with high glucose standard deviation is larger than in patient with lowest glucose standard deviation, but the difference is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggilia Stephanie
"ABSTRAK
Sebagai salah satu penyebab terbanyak peningkatan enzim hati, dan sirosis, NAFLD perlu dinilai derajat steatosisnya. Trigliserida sebagai salah satu komponen sindrom metabolik diketahui mempunyai pengaruh terhadap terjadinya nonalcoholic fatty liver disease NAFLD , namun korelasinya dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD belum diketahui. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai Controlled attenuation parameter CAP pada pasien NAFLD, serta mendapatkan nilai titik potong trigliserida yang optimal untuk memprediksi derajat steatosis sedang-berat pada pasien NAFLD. Studi potong lintang dilakukan pada pasien NAFLD dewasa di poliklinik Penyakit Dalam RSCM, yang direkrut secara konsekutif. Pasien dengan sirosis hepatis dieksklusi dari penelitian. Diagnosis NAFLD dilakukan dengan menggunakan USG, sementara derajat steatosis ditentukan dengan metode CAP menggunakan alat Fibroscan. Sampel darah puasa diambil untuk pemeriksaan trigliserida. Korelasi antara kadar trigliserida dengan nilai CAP dianalisis dengan uji Pearson. Sebanyak enam puluh dua subyek, dengan median usia 55 rentang 21 ndash; 78 tahun. Median nilai IMT 26,1 rentang 19-38 kg/m2, lingkar pinggang 96,6 SB: 8,49 cm, kadar trigliserida 160,3 SB: 65,5 mg/dL, kolesterol LDL 147,8 SB: 38,2 mg/dL, kolesterol HDL 48,5 SB:11,1 mg/dL dan nilai CAP 268,5 SB: 46,8 dB/m. Obesitas sentral didapatkan sebanyak 94,8 . Komorbid didapatkan berupa hipertensi 46,8 , DM tipe 2 54,8 , dan sindrom metabolik pada 72,6 . Didapatkan adanya korelasi yang lemah antara TG dengan derajat steatosis r=0,272; p= 0,033 . Dari kurva ROC didapatkan kemampuan TG dalam memprediksi derajat steatosis kurang baik AUC 0,66 IK 95 0,48 ndash; 0,83 , sehingga tidak dilanjutkan untuk mencari titik potong. Didapatkan adanya korelasi lemah antara kadar trigliserida dengan derajat steatosis pada pasien NAFLD. Saat ini kadar trigliserida tunggal tidak dapat digunakan untuk mendeteksi derajat steatosis sedang-berat.ABSTRACT As one of the most common cause of elevated liver enzymes and cirrhosis nowadays, steatosis degree need to be evaluated in NAFLD cases. Triglyceride, one of metabolic syndrome components, is known to be associated with NAFLD. However, correlation between the triglyceride levels and steatosis degree, has not yet understood. This study aim to find correlation between triglyceride level with Controlled Attenuation Parameter CAP value in NAFLD patients, and also gain optimal cut off point of triglyceride for predicting moderate to severe NAFLD. A cross sectional study on adult NAFLD patient in RSCM Internal Medicine Clinic, recruited consecutively in four months. Patients with liver cirrhosis was excluded. Diagnosis of NAFLD using Ultrasound, meanwhile steatosis degree was assessed using CAP in Fibroscan. Blood samples were taken for Triglycerides examination. The correlation between triglyceride levels with CAP values were analyzed by Pearson test. Sixty two NAFLD subjects, with a median age of 55 range 21 78 years. Median value of BMI was 26.1 range 19 38 kg m2, mean for waist circumference, levels of LDL and HDL cholesterol was 96.6 SD 8.49 cm, 147.8 SD 38.2 mg dL, 48.5 SD 11.1 mg dL , respectively. Mean for triglyceride was 160.3 SD 65.5 mg dL, and CAP value 268.5 SD 46.8 dB m. Central obesity found in as many as 94.8 of subject. Comorbidities such as hypertension and type 2 diabetes was found at 46.8 and 54.8 respectively, and metabolic syndrome 72.6 . In this study, we found a weak correlation between triglyceride values and CAP r 0.272 p 0.033 . From the ROC we find the TG capability of predicting steatosis degree was not good enough AUC 0.66, 95 CI 0.48 to 0.83 . Therefore cut off point of TG was not assessed. As a conclusion, there is a weak correlation between triglyceride levels and degree of steatosis in patients with NAFLD. Triglyceride level cannot be used solely for assessment of steatosis degree. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55689
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Walewangko, Olivia Cicilia
"Latar Belakang: Diabetes Melitus tipe 1 DMT1 merupakan penyakit kronis terbanyak yang membutuhkan pindah kelola dari anak ke dewasa. Sementara itu, penyandang DMT1 yang menjalani pindah kelola menunjukkan kendali glukosa darah yang buruk dan peningkatan risiko hospitalisasi. Profil dan faktor-faktor yang memengaruhi kendali glukosa darah penyandang DMT1 usai transisi di Indonesia belum diketahui.
Tujuan: Mendapatkan profil pencapaian target HbA1c dan faktor-faktor yang memengaruhinya pada penyandang DMT1 usia transisi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan pada 108 subyek DMT1 berusia 16-30 tahun. Data karakteristik subyek, Pemeriksaan Gula Darah Mandiri PGDM , status depresi dan ketersediaan asuransi kesehatan didapat dari anamnesis. Kadar HbA1c diperiksa dengan metode High Performance Liquid Chromatography HPLC . Hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan HbA1c dianalisis secara bivariat dengan chi square dan multivariat dengan regresi logistik menggunakan Statistical Package for the Social Sciences SPSS versi 21.0
Hasil: Seratus delapan subyek yang direkrut dalam penelitian ini memiliki rerata usia 20,89 SB 4,87 tahun dan rerata HbA1c 9,02 SB 2,13 . Sebanyak 58,35 subjek melakukan PGDM le;60 kali/bulan, 88 subjek telah memiliki asuransi kesehatan dan 70,4 subjek mengalami depresi minimal dengan rerata skor Beck Depression Inventory BDI adalah 11,31 9,32. Proporsi penyandang DMT1 usia transisi yang mencapai target HbA1c pada adalah sebesar 20,4 . Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia p=0,639 , frekuensi PGDM p=0,170 , status depresi p=0,069 , dan asuransi kesehatan p=1,000 dengan pencapaian target HbA1C pada populasi ini.
Simpulan: Proporsi pencapaian target HbA1c pada pasien DMT1 usia transisi cukup rendah. Pada penelitian ini usia, frekuensi PGDM, depresi dan cakupan asuransi kesehatan tidak berhubungan dengan tercapainya target HbA1c.

Backgrounds: Type 1 Diabetes Mellitus T1DM is a chronic disease that requires transfer from pediatric to adult clinic. This group of population who underwent a transfer period experience poor blood glucose control and an increased risk of hospitalization, yet factors contributing to HbA1c target achievement in T1DM adolescent and young person is known.
Objective: To Obtain a profile of HbA1c target achievement and factors correlate to it in adolescent and young person with T1DM.
Methods: It is a cross sectional study including of 108 adolescent and young adults with T1DM, with ranges of age between 16 to 30 years old. Subject's characteristics, frequency of Self Monitoring Blood Glucose SMBG , depression and health insurance data are obtained from anamnesis. HbA1c level is examined by High Performance Liquid Chromatography HPLC method. The correlation between factors related to HbA1c was analysed bivariate with chi square and multivariate with logistic regression.
Results: Out of 108 subjects recruited in this study the median age is 20,89 SB 4,87 years old and HbA1C 9,02 SB 2,13 . Around 58,35 subject do the SMBG le 60 times month, 88 subject have health insurance, the mean Beck Depression Inventory BDI score is 11,31 9,32 in which 70,4 had minimal depression. HbA1c target achievement is 20,4 . Bivariate and multivariate analysis result in no significantly difference between age p 0,639 , SMBG frequency p 0,170 , depression p 0,069 , health insurance p 1,000 and HbA1c target achievement in adolescent and young person with T1DM.
Conclusions: The proportion of HbA1c target achievement in adolescent and young person with T1DM quite low. This study showed no statistically significant correlation between age, SMBG frequency, depression, health insurance and HbA1c target achievement in adolescent and young person with T1DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Ayatika Sadariskar
"First-degree relatives (FDR) dari pasien diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita DMT2 dan penyakit tidak menular lainnya. Selain disebabkan oleh faktor genetik, peningkatan risiko ini juga dapat disebabkan oleh agregasi familial dari berbagai perilaku kesehatan, beberapanya adalah pola diet dan aktivitas fisik.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pola diet dan aktivitas fisik antara FDR dan non-FDR yang normoglikemik dan normotensi di Jakarta, Indonesia. Melalui desain studi potong lintangyang melibatkan 59 FDR dan 59 non-FDR, data poladiet diukur menggunakan 24-hour recall dan data aktivitas fisik menggunakan Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) bahasa Indonesia yang sudah tervalidasi, dan dikelompokkan ke dalam kategori sesuai rekomendasi dan tidak sesuai rekomendasi (rekomendasi AMDR Institute of Medicine untuk pola diet dan WHO untuk aktivitas fisik).
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa terdapat proporsi yang cukup besar pada pola diet yang tidak sesuai rekomendasi pada FDR (50,8%) dan non-FDR (45,8%). Sebagian besar subjek dengan ketidakseimbangan asupan memiliki asupan lemak yang berlebih, baik pada FDR (96,7%) maupun non-FDR (88,9%). Hasil yang serupa didapatkan untuk proporsi aktivitas fisik yang tidak sesuai rekomendasi pada FDR (52%) dan non-FDR (40%). Pada kelompok FDR, subjek perempuan memiliki tingkat aktivitas fisik yang lebih baik dibandingkan subjek laki-laki (OR 0,23; 95% CI 0,06-0,88; p = 0,026). Meski demikian, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada pola diet dan aktivitas fisik antara FDR dan non-FDR.
Hasil penelitian ini mendorong evaluasi program nasional untuk pencegahan DMT2 pada kelompok berisiko dan peningkatan upay promotif dan preventif untuk meningkatkan kesehatan masyarakat pada umumnya.

First-degree relatives (FDR) of patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) have a higher risk of developing T2DM and other non-communicable diseases. Besides genetic factors, this increased risk can also be caused by familial aggregation of various health behaviors, such as dietary patterns and physical activity.
This study compared diet and physical activity between normoglycemic and normotensive FDR and non-FDR in Jakarta, Indonesia. Through a cross-sectional design involving 59 FDR and 59 non-FDR, dietary data were collected using 24-hour recall and physical activity data were gathered using validated Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). These data were grouped into categories fulfilling and not fulfilling recommendations (AMDR Institute of Medicine recommendations for dietary patterns and WHO recommendations for physical activity).
Results showed that a considerable percentage of FDRs(50.8%) and non-FDRs(45.8%)did not consume their diets as recommended by the Institute of Medicine. Most of the subjects with intake imbalance had excessive fat intake, both among FDR (96.7%) and non-FDR (88.9%). The proportion of subjects with physical activity not meeting WHO recommendations was high among both FDR (52%) and non-FDR (40%). In the FDR group, female subjects had better levels of physical activity than male subjects (OR 0.23; 95% CI 0.06-0.88; p = 0.026). Overall, the differencesin dietary pattern and physical activity between FDR and non-FDR were not significant.
The results of this study encourage the evaluation of national programs to address T2DM in at-risk groups and the increase of efforts in health promotion and disease prevention to improve the health of the general public.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Aulia Nurleili
"Latar belakang: Laporan mengenai hubungan obesitas dan GERD semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya pemahaman mengenai mekanisme GERD, diketahui terdapat peran sitokin proinflamasi dan adipositokin yang banyak terdapat di jaringan lemak viseral. Pada beberapa populasi di dunia, ketebalan lemak viseral diketahui berhubungan dengan meningkatnya insiden esofagitis erosif.
Tujuan: Mengetahui profil ketebalan lemak viseral pasien GERD di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 56 subyek GERD. Subyek direkrut secara konsekutif pada bulan April hingga Oktober 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pemilihan subyek GERD berdasarkan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires(GERDQ) dan pengukuran tebal lemak viseral menggunakan ultrasonografi. Erosi esofagus ditegakkan berdasarkan hasil endoskopi saluran cerna bagian atas. Analisis bivariat digunakan untuk menentukan perbedaan ketebalan lemak viseral antara grup esofagitis dan non-esofagitis.
Hasil: Lebih dari separuh subyek penelitian ini menderita erosive reflux disease(ERD) (55,4%), didominasi oleh pasien dengan esofagitis kelas A berdasarkan klasifikasi Los Angeles sebanyak 64,5%. Rerata ketebalan lemak viseral grup NERD sedikit lebih rendah daripada grup ERD (47,9 mm untuk NERD dan 49,0 mm utk ERD). Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis (47,6 mm untuk esofagitis derajat A, 50,0 mm untuk esofagitis derajat B, dan 53,5 mm untuk esofagitis derajat C).
Kesimpulan: Subjek ERD lebih banyak daripada NERD pada populasi GERD di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Rerata ketebalan lemak viseral subjek NERD lebih rendah daripada ERD. Terdapat kecenderungan peningkatan rerata ketebalan lemak viseral seiring dengan peningkatan derajat esofagitis.

Background: Reports about thecorrelation between obesity and GERD had been increasedin the past few years. Along with the increasing understanding of GERD, there are roles of proinflammatory cytokines and adipocytokines which are mostly contained in abdominal fat tissue. In several populations, visceral fat thicknessis associated with the increased incidence of erosive esophagitis.
Objective: To determine visceral fat thickness profile in GERD population in Cipto Mangunkusumo National General Hospital.
Methods: A cross-sectional study of 56 adult patients with GERD symptoms was conducted. The subjects were recruited consecutively between April and Oktober 2018 at Cipto Mangunkusumo National Hospital in Jakarta. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaires (GERDQ) were used to select research subjects and Ultrasonography examination was used to determine visceral fat thickness. Esophageal erosions were diagnosed using upper gastrointestinal endoscopy. Bivariate analysis was used to determine visceral fat thickness difference between esophagitis and non-esophagitis group.
Results: More than half of this research subject were patients who suffer erosive reflux disease(55,4%), which dominated by patient with esophagitis class A, regarding to Los Angeles (LA) classifications, there were 64,5% of all ERD patients. The mean visceral fat thickness in erosive reflux disease (ERD) group slightly higher than in non-erosive reflux disease (NERD) group (49,0 mm vs 47,9 mm respectively). There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses (47.6 mm for grade A, 50.0 mm for grade B, and 53,5 for grade C).
Conclusion: ERD is more common than NERD in Cipto Mangunkusumo General Hospital's GERD population. The mean visceral fat thickness in ERD group is higher than in NERD group. There is an increasing trend in mean visceral fat thickness as the esophageal erosion progresses.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Chandra Bunawan
"Latar Belakang. Malnutrisi rumah sakit masih menjadi masalah global. Menemu-kenali malnutrisi selama perawatan serta faktor-faktor yang memengaruhi sangat penting untuk mencegah luaran yang buruk.
Tujuan. Mengetahui angka kejadian perubahan berat badan selama perawatan dan faktor-faktor yang memengaruhi pada pasien dewasa rawat inap.
Metode. Desain kohort prospektif pada pasien usia 18-59 tahun. Pasien yang memenuhi inklusi dan eksklusi dilakukan pencatatan data demografis, Charlson Commorbidity Index (CCI), Rasio Neutrofil-Limfosit (RNL), Beck Depression Inventory-II (BDI-II), imobilitas, polifarmasi, lama rawat, dan asupan energi. Pengukuran antropometri dilakukan pada awal dan akhir perawatan. Asupan energi diukur dengan metode Food Weighing untuk makanan dari rumah sakit dan Food Record untuk makanan dari luar rumah sakit. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan pada faktor-faktor tersebut.
Hasil. Terdapat 30 pasien yang diamati, dengan rerata usia 40,5 ± 11,6 tahun. Median lama rawat 6 (3 - 14) hari, median CCI 1 (0-7), median BDI 13 (3-35), dan median RNL 5 (1,1 – 19,6). Mayoritas pasien dirawat karena penyakit gastrointestinal akut dengan gejala depresi dan gizi kurang awal rawat didapatkan berturut-turut 33,3% dan 23,3% pasien. Sebanyak 46,7% pasien mengalami polifarmasi, 16,7% pasien mengalami imobilitas, dan 46,7% pasien mengalami penurunan berat badan selama perawatan. Didapatkan penurunan median berat badan 0,15 kg selama perawatan (p = 0,171). Analisis regresi linear berganda memperlihatkan imobilitas dan lama rawat dapat memprediksi 49,9% kejadian perubahan berat badan selama perawatan (Uji F; p ≤ 0,0001).
Kesimpulan. Terdapat kecenderungan penurunan berat badan selama perawatan pada pasien dewasa rawat inap. Imobilitas dan lama rawat memengaruhi perubahan berat badan selama perawatan

Background. Hospital malnutrition still pose a global problem. Identifying hospital malnutrition and related factors is important in order to prevent poor clinical outcome.
Aim. To determine weight change and related factors among adult hospitalized patients.
Method. A prospective cohort study recruited adult hospitalized patients aged 18-59 years. Patients who fulfilled the inclusion and exclusion criteria were assessed on demographic data, Charlson Comorbidity Index (CCI), Neutrophil-Lymphocyte Ratio (NLR), Beck Depression Inventory-II (BDI-II), immobility, polypharmacy, length of stay, and energy intake data. Anthropometric measurement was performed upon admission and discharge. Energy intake was collected using Food Weighing method on hospital meal, and Food Record on non-hospital meal. Bivariate and multivariate analysis were carried out on those factors.
Result. Among 30 patients observed, mean age was 40.5 ± 11.6 years. Median length of stay was 6 (3 - 14) days, median CCI was 1 (0-7), median BDI was 13 (3-35), and median NLR was 5 (1.1 – 19.6). Majority of patients were hospitalized due to acute gastrointestinal disease. Depression and underweight were found among 33.3% and 23.3% patients, respectively. As much as 46.7% patients had polypharmacy, 16.7% patients had immobility, and 46.7% patients had weight loss during hospitalization. There was 0.15 kg weight loss observed (p = 0.171). Multiple linear regression analysis concluded that immobility and length of stay predict 49.9% in-hospital weight change (F test; p ≤ 0.0001).
Conclusion. There is an insignificant weight loss detected among adult hospitalized patients. Immobility and length of stay can affect in-hospital weight change.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Martalena
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE pada SKA telah banyak diteliti, namun belum ada yang memperhatikan kesintasannya. Indonesia (ICCU RSCM khususnya), belum memiliki data epidemiologis mengenai hiperglikemia admisi pada SKA maupun pengaruhnya terhadap MACE dan kesintasannya. Penelitian ini dilakukan agar menjadi landasan untuk stratifikasi risiko selama perawatan.
Tujuan: Mengkaji hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE dan mengetahui kesintasan
terhadap MACE pada berbagai kelompok hiperglikemia admisi pada SKA selama perawatan.
Metode: Kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan terhadap 442 pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM Januari 2008-Mei 2012, terbagi 3 kelompok berdasarkan gula darah admisi (GD ≤140mg/dl, 141-200mg/dL, >200mg/dL). Kurva Kaplan Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan masing-masing kelompok. Analisis bivariat mengunakan uji log-rank, analisis multivariat menggunakan cox proportional hazard regression. Besarnya hubungan variabel hiperglikemia admisi dengan MACE dinyatakan dengan crude HR dan IK 95% serta adjusted HR dan IK 95% setelah memasukkan variabel perancu.
Hasil dan pembahasan: 63 (14,25%) pasien mengalami MACE dengan kesintasan rata-rata 6,373 hari; SE 0,076 dan IK 95% 6,225-6,522. Analisis bivariat menunjukkan hubungan bermakna antara hiperglikemia admisi dengan kesintasan MACE (p<0,001). MACE tercepat terjadi berturut-turut pada GD admisi >200mg/dL, 141-200mg/dL, dan ≤140mg/dL dengan rata-rata kejadian secara berturut-turut pada hari perawatan ke-5,989; 6,078; 6,632. Analisis multivariat menunjukkan hiperglikemia admisi merupakan prediktor independen MACE selama perawatan (Adjusted HR 2,422; IK 95% 1,049-5,588 untuk GD admisi 141-200mg/dL dan Adjusted HR 3,598; IK 95% 1,038-12,467 untuk GD admisi >200mg/dL).
Simpulan: Kesintasan MACE pada pasien SKA selama 7 hari perawatan di ICCU RSCM adalah 85,7%, dan terdapat perbedaan kesintasan antara berbagai kelompok hiperglikemia admisi terhadap terjadinya MACE. Semakin tinggi kadar gula darah, semakin buruk kesintasannya (semakin tinggi risiko dan semakin cepat pula terjadi MACE)

ABSTRACT
Background: Hyperglycemia on admission as a predictor for MACE in ACS has been studied for several circumstances, but none had seen it’s importance for survival. Cipto Mangunkusumo Hospital’s ICCU, had not have any epidemiological data about hyperglycemia on admission in ACS nor it’s influence to MACE and survival. This study was conducted to provide a platform for risk stratification during hospitalisation
Aim: To evaluate hyperglycemia on admission as a predictor for MACE and, to describe survival according to hyperglycemia on admission status in patients with ACS.
Methods: Retrospective cohort design and survival analysis was used to 442 ACS patients hospitalised at Cipto Mangunkusumo hospital’s ICCU between Januari 2008 and May 2012 that divided into 3 groups according to admission BG (≤140 mg/dL, 141-200 mg/dL and >200 mg/dL). Kaplan Meier curve utilised to evaluate the survival of each group. Bivariate analysis was conducted using Log-rank tes. Multivariate analysis was conducted using Cox proportional hazzard regression. The extend of relation between admission hyperglycemia and MACE was expressed with crude HR with 95% CI and adjusted HR with 95% CI after adjusting for confounders.
Results and discussion: MACE was found to happen to 63 (14.25%) patients with average survival of 6.373 days, SE 0.076 and 95% CI 6.225-6.522. Bivariate analysis found statistically significant relation hyperglycemia on between admission and MACE survival (p<0.001). MACE was significantly earlier in admission BG of >200 mg/dL, 141-200 mg/dL and ≤140 mg/dL respectively, with mean hospitalisation day at 5.989, 6.078 and 6.632 in that order. Multivariate analysis shown that hyperglycemia on admission was an independent predictor for MACE during hospitalisation (Adjusted HR 2.422; 95% CI 1.049-5.588 for BG 141-200 mg/dL and Adjusted HR 3.598; 95% CI 1.038-12.467 for BG >200 mg/dL).
Conclusion: Survival of MACE in ACS patient during 7 days hospitalisation in ICCU RSCM is 85,7%, and there was a survival difference between different admission hyperglycemia groups. The higher the blood glucose level, signify a worse survival and also faster and higher risk for MACE."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Fitriani
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejadian aterosklerosis, dilaporkan lebih sering pada pasien lupus eritematosus sitemik (LES) dibandingkan individu tanpa LES, salah satunya adalah penyakit arteri perifer (PAP). Klorokuin diduga memiliki efek protektif terhadap kejadian PAP melalui penekanan kadar sitokin proinflamasi dan efek menurunkan kadar kolesterol, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa klorokuin meningkatkan kadar sitokin proinflamasi. Hingga saat ini, penelitian mengenai pengaruh klorokuin belum pernah dilakukan pada populasi pasien LES di Indonesia.
Tujuan Penelitian. Mengetahui pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah.
Metode Penelitian. Studi kasus kontrol dilakukan terhadap pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah di RS Cipto Mangunkusumo selama Juni-Agustus 2012 yang tidak menderita diabetes melitus ataupun hipertensi sebelum diagnosis LES ditegakkan. Pasien dengan penyakit autoimun selain LES dan gagal ginjal kronik dieksklusi dari penelitian. Pengaruh klorokuin terhadap PAP pada pasien LES dinyatakan dalam odds ratio (OR). Peran variabel perancu dinilai pada analisis regresi logistik berjenjang sehingga didapatkan adjusted OR.
Hasil Penelitian. Dari 18 subjek yang menderita PAP (kelompok kasus), sebanyak 8 (44,4 %) menggunakan klorokuin dan dari 72 subjek yang tidak menderita PAP (kelompok kontrol), 20 (27,8 %) di antaranya menggunakan klorokuin. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu (usia, lama menderita sakit, dislipidemia, dan aktivitas penyakit), tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara penggunaaan klorokuin dengan kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia di bawah 40 tahun (adjusted OR 2,44; IK95 % 0,76 sampai 7,87).
Simpulan. Pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah belum dapat disimpulkan pada penelitian ini.

ABSTRACT
Background. Atherosclerosis is enhanced in systemic lupus erythematosus (SLE) compared to general population, one of which is peripheral arterial disease (PAD). Chloroquine has protective effects in peripheral arterial disease through the suppression of proinflamatory cytokine levels and lipid lowering effect, although other studies have shown the increasing of cytokine levels by chloroquine. To date, no studies have ever been performed to investigate the effect of chloroquine on peripheral arterial disease in Indonesian lupus patients.
Aims. To investigate the effects of chloroquine on peripheral arterial disease in patients with systemic lupus erythematosus aged forty-year-old and below.
Methods. A case control study including female lupus patients aged forty year-old and younger in Cipto Mangunkusumo Hospital between June-August 2012, who do not suffer from diabetes mellitus and/or hypertension before the diagnosis of lupus is confirmed. Patients with other autoimmune disease than lupus and/or with chronic kidney disease were excluded from the study. Effect of chloroquine on peripheral arterial disease in lupus patients is expressed in odds ratio (OR). The role of confounding factors analyzed with multiple logistic regression to estimate the adjusted OR.
Results. Eight (44.4 %) of the total 18 subjects contracting PAD (case group) and 20 (27.8 %) of the total 72 subjects without PAD (control group) were using chloroquine. After adjustments towards confounding factors (age, disease duration, dyslipidemia, and disease activity) were completed, the results showed there was no considerable relation between the use of chloroquine and PAD case in female SLE patients aged below forty-year-old (adjusted OR 2.44; 95 % CI 0.76 to 7.87).
Conclusion. The effect of chloroquine usage on PAD case in female SLE patients aged forty-year-old and below can not be concluded from this study."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tities Anggraeni Indra
"Latar Belakang: Seiiring dengan bertambahnya jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 maka angka kejadian nefropati diabetik juga ikut meningkat. Berbagai faktor telah diidentifikasi turut memperberat kejadian nefropati diabetik salah satunya status vitamin D 25(OH)D. Vitamin D memiliki efek non-kalsemik yang dapat memengaruhi sistem renin-angiotensin sehingga turut berperan dalam kejadian albuminuria. Studi sebelumnya menunjukan tingginya prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 dan defisiensi vitamin D diduga berhubungan dengan kejadian albuminuria.
Tujuan: Mengetahui asosiasi antara status vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Metodologi: Dilakukan studi potong lintang pada 96 pasien diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke poliklinik Metabolik-Endokrin RSUPN-CM. Pemeriksaan kadar vitamin D 25(OH)D menggunakan kit Diasorin dengan metode CLIA dan albuminuria dinilai berdasarkan kadar albumin pada sampel urine sewaktu. Analisis bivariat menggunakan metode chi square dan analisis multivariat menggunakan teknik regresi logistik.
Hasil: Prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 sebesar 49% dengan nilai median kadar vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 adalah 16,35 ng/mL (4,2-41,4 ng/mL). Tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara defisiensi vitamin D dengan albuminuria baik pada analisa bivariat maupun multivariat (OR 0,887;IK95% 0,335-2,296). Faktor perancu seperti kontrol gula darah yang buruk dan berat badan lebih sangat mempengaruhi hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Simpulan: Studi ini belum dapat menyimpulkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

Background: In line with the increasing number of patients with diabetes mellitus type 2, the incidence of diabetic nephropathy is also increased. Various factors aggravating diabetic nephropathy have been identified, among others vitamin D 25(OH)D level. Vitamin D has a non-calcemic effect on renin-angiotensin system, causing albuminuria. Previous studies showed a high prevalence of vitamin D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus and it was related to the incidence of albuminuria.
Aim: To know the association between vitamin D 25(OH)D level with albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 96 patients with type 2 diabetes mellitus at outpatient clinic of Metabolic-Endocrine Cipto Mangunkusumo Hospital. Serum vitamin D level was assessed using Diasorin kit with CLIA method. Albuminuria was assessed using random urine sample. For bivariate analysis using chi square and multivariate analysis using regression logistic method.
Results: The prevalence of vitamin D 25(OH)D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus was 49% with a median value 16,35 ng / mL (4,2 - 41,4 ng /mL). There was no significant correlation between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria (OR 0,887; 95% CI 0,335 to 2,296). Confounding factors such as poor blood glucose control and overweight strongly influenced the association between vitamin D deficiency with the incidence of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus.
Conclusion: The results of this study have not been able to show an association between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saprita Aliance N.
"Pendahuluan : Di Indonesia, menurut Biro Pusat Statistik, persentase penggunaan benzena terhadap seluruh bahan kimia yang digunakan oleh sektor Industri diperkirakan sebesar 20-40%. Pada industri minyak dan gas, para pekerja terpajan benzena dalam waktu yang lama, sehingga ada kemungkinan menderita efek toksik benzena berupa gangguan metabolisme lemak, dalam hal ini trigliserida pada pekerja terpajan benzena rendah dengan dan tanpa patahan kromosom limfosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar trigliserida pada pekerja terpajan benzena rendah dengan dan tanpa patahan kromosom limfosit dalam kurun waktu 1 tahun (2011-2012, serta pengaruhnya terhadap faktor sosiodemografi dan pekerjaan.
Metode : Penelitian ini menggunakan disain kohort retrospektif. Tempat penelitian dilakukan di sebuah industri migas X. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi den eksklusi adalah 99 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu data kepegawaian dari bagian SDM dan data pemeriksaan kesehatan berkala pekerja tahun 2011 dan 2012. Analisis bivariat dengan uji kemaknaan chi square.
Hasil : Rata-rata perubahan kadar trigliserida dengan patahan kromosom limfosit tahun 2011-2012 yaitu 2,52 sedangkan rata-rata perubahan kadar trigliserida tanpa patahan kromosom limfosit tahun 2011-2012 yaitu 7,08.
Kesimpulan dan Saran : Hipotesis diterima karena : rerata perubahan perbedaan kadar trigliserida dengan patahan kromosom limfosit lebih rendah dibandingkan rerata perubahan perbedaan kadar trigliserida tanpa patahan kromosom limfosit pada tahun 2011 dan 2012. Pada pekerja dengan patahan kromosom limfosit dengan kadar rata-rata trigliserida tinggi atau normal perusahaan melakukan pemeriksaan kadar trigliserida minimal 6 bulan sekali.

Introduction: In Indonesia, pursuant to Central Statistics Bureau, percentage of benzene utilization upon all chemical material used by Industrial sector was estimated at 20-40%. In oil and gas industry, workers exposed to benzene for a long time, thereby there is a possibility to suffer benzene toxic effect in form of fat metabolism disorder, in this regard triglycerides in workers exposed to low benzene with and without lymphocyte chromosome breakage. The purpose of this research is to understand the different of average levels of triglycerides in workers exposed to low benzene with and without lymphocyte chromosome breakage in period of 1 year (2011-2012), and its affect to socio demographic and work.
Method: This research is using retrospective cohort design. Place of research is in oil and gas industry of X. The amount of sample that comply with inclusion and exclusion criteria is 99 peoples. Data collection was conducted by using secondary data, that is employment data form the Human Resources division and workers? periodic health examination in year of 2011 and 2012. Bivariate analysis with chi square significant test.
Results: Average level change of triglyceride with lymphocyte chromosome breakage in year of 2011-2012 is 2.52 while average level change of triglyceride without lymphocyte chromosome breakage in year of 2011-2012 is 7.08.
Conclusion and Recommendation: Hypothesis is accepted due to: different average change of triglyceride levels with lymphocyte chromosome breakage is lower than the average change of triglyceride levels without lymphocyte chromosome breakage in year of 2011 and 2012. For workers with lymphocyte chromosome breakage with high average levels of triglyceride or normal, a company performs examination of triglyceride levels at least every 6 months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>