Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Narendra Jatna
Abstrak :
Indonesia adalah negara keempat terbesar pengguna aktif smartphone di dunia dengan pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta jiwa. Namun demikian, masih belum ada Undang-Undang Data Pribadi untuk menjamin perlindungan data pribadi di Indonesia secara komprehensif. Hal ini membuat pelanggaran data pribadi kerap terjadi di Indonesia, terutama oleh Penyelenggara Sistem Elektronik. Menurut teori keadilan interaktif, Penyelenggara Sistem Elektronik memiliki kewajiban untuk melindungi dan bertanggung jawab atas data pribadi Pengguna. Namun demikian, lemahnya peraturan dan penegakan hukum di Indonesia membuat Penyelenggara Sistem Elektronik dengan mudah melanggar kaedah-kaedah keamanan data. Pada keadaan seperti ini, teori negara kesejahteraaan menyarankan adanya intervensi dari negara untuk melindungi dan mewakilkan para Pengguna yang berada di posisi lemah tersebut. Disertasi ini menyarankan pembentukan peraturan pelaksanaan yang lebih detail dalam Undang-Undang Kejaksaan sehingga dimungkinkan pemberdayaan Jaksa Pengacara Negara guna memberikan perlindungan data pribadi. Hasil dari penelitian disertasi juga mendorong optimalisasi penyelenggaraan perlindungan hukum terhadap data pribadi yang dikelola oleh Penyelenggara Sistem Elektronik di Indonesia melalui pembentukan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia dan pemanfaatan peran dan fungsi Jaksa Pengacara Negara. Penulis juga menyarankan penyusunan Undang-Undang Data Pribadi yang dapat memberdayakan peran dan fungsi Jaksa Pengacara negara terhadap pengelolaan data pribadi dalam Penyelenggara Sistem Elektronik di Indonesia. Penulis telah merumuskan dalam bentuk time frame waktu. Dalam jangka pendek antara lain melalui pembentukan Tim Terpadu penanganan pengaduan/laporan terkait penyalahgunaan data pribadi, jangka menengah berupa percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan memberdayakan lembaga yang sudah ada, sedangkan jangka panjang melalui pembentukan suatu lembaga independen berupa Komisi Perlindungan Data pribadi di Indonesia yang tugas dan fungsinya mengadopsi konsep CNIL di Perancis dengan berdasarkan prinsip denasionalisasi. ......Indonesia is the fourth largest country with active smartphone users in the world after China, India and United State. In 2020, internet users in Indonesia has reached 202,6 millions people with most of them are the active users of social media such as Facebook, Instagram, Twitter, and Youtube. However with such interesting facts, there is still no all-encompassing Personal Data Law that ensures the protection of data in Indonesia. It leads to the numerous of personal data breach in Indonesia, with most of cases are being conducted by Electronic System Operators. In accordance to the Theory of Interactive Justice, Electronic System Operators has obligations to protect the personal data of its User. With the lack of regulations and enforcement in Indonesia, however, Electronic System Operators can easily violate the security data rules. In such situation, Welfare State Theory suggests the intervention from the State to protect and represent the customers who is in weaker and unfortunate position. This dissertation suggests more detailed implementing regulations in the Prosecutor's Act so it is possible empowering State Attorneys to provide protection for personal data. The results of the dissertation research also encourage the optimization of the implementation of legal protection for personal data managed by Electronic System Operators in Indonesia through the establishment of the Personal Data Protection Law in Indonesia and the utilization of the roles and functions of State Attorneys. The author also suggests the Personal Data Law to empower the role and function of state attorneys in managing personal data in Electronic System Operators in Indonesia which in short term through the establishment of an Integrated Team for handling complaints/reports related to personal data breaches, in the medium term by accelerating the ratification of the Personal Data Protection Bill and empowering existing institution, and in the long term through an independent institution in the form of the Personal Data Protection Commission in Indonesia whose duties and functions are to adopt the CNIL concept in France based on the principle of denationalization.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermanto Fahamsyah
Abstrak :
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan keputusan pengadilan. Penelitian kepustakaan tersebut dilanjutkan dengan penelitian lapangan melalui wawancara dan peninjauan ke dua desa di Lebak, Banten. Yang menjadi permasalahan dalam disertasi ini adalah apakah perjanjian-perjanjian dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan di Lebak, Banten adil bagi petani peserta? Apakah Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan dapat membawa kesejahteraan yang kontinu kepada petani peserta di Lebak, Banten? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan di Lebak, Banten akhirnya tidak berhasil? Usaha-usaha apakah yang perlu dilakukan agar Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan membawa keuntungan baik untuk perusahaan inti maupun petani peserta di Lebak, Banten? PIR Perkebunan dilaksanakan untuk membangun petani perkebunan yang sejahtera dan mandiri melalui peningkatan pendapatan dan taraf hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan perjanjian. Pola PIR Perkebunan dalam pelaksanaannya mengalami hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan. Di samping ada PIR Perkebunan yang berhasil, tetapi ada pula yang mengalami kegagalan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perjanjian dalam Pola PIR Perkebunan yaitu perjanjian pembelian-pembayaran hasil panen dan kredit petani peserta dibuat dalam bentuk standar dengan tujuan untuk memperhatikan asas keseimbangan, tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu tercapai. Perjanjian mengenai pengelolaan kebun dan kredit petani peserta dibuat dalam bentuk perjanjian standar dan isinya belum sepenuhnya adil bagi petani peserta. Sementara perjanjian kredit dibuat dalam bentuk standar, tetapi dalam perjanjian tidak ditemukan unsur-unsur yang memberatkan petani peserta. Selanjutnya Perjanjian Produksi dan Jual Beli buah kelapa sawit semula dibuat untuk memberikan keuntungan bagi perusahaan inti dan petani peserta, tetapi perjanjian tersebut belum sepenuhnya adil bagi petani peserta. PIR Perkebunan akhirnya tidak dapat membawa kesejahteraan yang kontinu kepada petani peserta di Lebak yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pendapatan petani peserta dan beberapa mengalihkan tanah perkebunan. Pola PIR Perkebunan yang mempunyai tujuan mulia ternyata gagal membawa kesejahteraan kepada petani peserta di Lebak karena tidak berjalannya mekanisme dalam Pola PIR Perkebunan. Usahausaha yang perlu dilakukan agar PIR Perkebunan dapat membawa keuntungan bagi perusahaan inti dan petani peserta di Lebak diantaranya harus dilakukan perbaikan tugas dan peran perusahaan inti serta petani peserta, kelembagaan petani peserta harus dibentuk dan diperkuat, serta kemitraan antara perusahaan inti dan petani peserta harus diperbaiki. ......This research utilizes the legal normative research methodology which is based on legal norms within regulations and courts decision. In addition to that, library research is complemented by field research through interviews and observation to the two villages in The Regency of Lebak, Banten Province. Specifically, the main research questions for this research are whether the agreements within The Nucleus Estate Smallholder Plantations are impartial for its farmer members? Other questions that will be evaluated are whether The Nucleus Estate Smallholder Plantations could bring continuous social prosperity for its farmers in Lebak, Banten? Moreover, which factors are influencing the failures of The Nucleus Estate Smallholder Plantations in Lebak, Banten? More importantly, what efforts need to be made so that The Nucleus Estate Smallholder Plantations could be beneficial for its own good and also the its farmers in Lebak, Banten? Nucleus Estate Smallholder Plantations are designed to create a prosperous and self-sufficient farmers through increasing their wages and living conditions. These objectives are pursued through the establishment of a mechanism which are managed through existing regulations and agreement. During its implementation, the pattern of Nucleus Estate Smallholder Plantations encountered obstacles and difficulties whereas in spite of several successful NES Plantations, there are also those that failed. The result of this research has shown that the agreements within The Nucleus Estate Smallholder Plantations namely, the agreement on the buying-payment of harvest results and farmers credit are made with equality in concept but it failed to achieve its intended goals during its implementation. In addition to that, the agreement on the management of plantations and farmers credit are made in the form of standard agreements in which its contents does not serve the interest of the farmers. At the same time, the credit agreements are created in the standard forms but it is not found to have a negative impact on the farmers. Furthermore, the agreement on production and selling of palm oil are originally designed to benefit for the nucleus estate and its farmers, but as this research has shown it has not created a fair and just impact for its farmers. As a result, The Nucleus Estate Smallholder Plantations could not create continuous social prosperity for the farmers in Lebak as shown by the low income of the farmers and several plantation lands issues. The noble goal of The Nucleus Estate Smallholder Plantations in the end has not been beneficial on the farmers in Lebak due to the failed mechanism within The Nucleus Estate Smallholder Plantations. Therefore, efforts need to be made so that The Nucleus Estate Smallholder Plantations could create a positive output for the nucleus estate and the farmers in Lebak, these reforms can be made in the form of improving the scope of task and roles of nucleus estate and its farmer?s members, the strengthening of the farmer?s institutions and improving the partnership model between nucleus estate and its farmer?s members in the future.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
D1421
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadapdap, Binoto
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki kemungkinan mengenai penggunaan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara persaingan usaha, khususnya perkara kartel di tengah kesulitan yang dialami oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendapatkan alat bukti langsung. Aparat persaingan usaha di pelbagai belahan dunia mempunyai permasalahan yang relatif sama untuk mendapatkan alat bukti langsung pada saat menangani perkara kartel. Kesulitan mendapatkan alat bukti langsung menjadi persoalan yang global sifatnya dalam penanganan perkara kartel. Praktik kartel karena bersifat menghambat persaingan serta mengakibatkan kerugian terhadap sesama pelaku usaha dan konsumen, tidak dapat dibiarkan bergerak dengan leluasa dengan alasan ada keterbatasan alat bukti menurut undang-undang. Keterbatasan alat bukti yang terdapat dalam undang-undang tidak pada tempatnya untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat memberantas kartel, alat bukti yang diatur dalam undang-undang perlu ditafsirkan lebih luas agar mampu mengatasi praktek kartel. Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan sebagai dasar bagi KPPU untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung (petunjuk atau persangkaan) adalah teori penemuan hukum. Menurut teori penemuan hukum hakim harus berusaha untuk menemukan hukum untuk menangani perkara tertentu walaupun undang-undang tidak mengatur atau undangundangnya tidak jelas. Hakim atau otoritas persaingan usaha perlu mencari dasar hukum penggunaan alat bukti tidak langsung sekalipun undang-undangnya tidak ada. Menolak menangani perkara dengan alasan undang-undang tidak mengaturnya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa tidak mengatur mengenai alat bukti tidak langsung. Upaya Komisi Persaingan Usaha untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel, walaupun tidak diatur dalam undang-undang, upaya Komisi Persaingan Usaha dalam berbagai perkara kartel dapat dibenarkan oleh hakim. Pengadilan mempunyai kesamaan bahasa dengan Komisi Persaingan Usaha mengenai upaya mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel yang tidak diatur dalam undang-undang. Perang terhadap kartel yang menimbulkan kerugian terhadap persaingan usaha yang sehat perlu ditangani dengan cara memperbolehkan penggunaan alat bukti tidak langsung, yaitu berupa alat bukti komunikasi dan alat bukti ekonomi. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang mempergunakan alat bukti tidak langsung ada yang ditolak oleh pengadilan, baik itu oleh Pengadilan Negeri maupun oleh Mahkamah Agung dan ada pula yang dibenarkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung. Dari penelitian diperoleh data bahwa Pengadilan Negeri belum ada yang menerima penggunaan alat bukti tidak langsung, dengan alasan bahwa alat bukti tidak langsung tidak dikenal dalam hukum pembuktian di Indonesia. Pengakuan terhadap penggunaan alat bukti tidak langsung sebagai bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, baru dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, menjadi dasar hukum bagi diperbolehkannya alat bukti tidak langsung sebagai dasar untuk menangani perkara kartel dan perkara persaingan usaha lainnya. Mahkamah Agung sudah membenarkan pengunaan alat bukti tidak langsung dalam hukum pembuktian di Indonesia. ......This study aims to explore the possibility of the use of indirect evidence in processing business competition cases, in particular in cartel cases within the difficulties experienced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) to obtain direct evidence. Business competition authorities in various parts of the world have the same issues to obtain direct evidence when dealing with cartel cases. Difficulty in obtaining direct evidence became global issues in cartel case process. The practice of cartel, because it is hampering competition and result in losses to the other entrepreneurs and consumers, shall not be allowed to move freely because of the limitations of evidence pursuant to the legislation. The limitations of evidence contained in the legislation is not appropriate reason to not eradicate cartels, evidence set out in the legislation need to be interpreted more widely to be able to tackle cartels. In this study the theory used as a basis for the KPPU to use indirect evidence (hint or allegation) is the discovery of the theory of law. According to the theory of legal discovery, judges should strive to find a law to deal with a particular case even though the law does not regulate or it is unclear. Judge or competition authorities need to find a legal base of using indirect evidence even though the does not exist. Refusing to handle the case by reason of the law does not exist can be categorized as an action that is contrary to the law. Legislation in the United States, Japan and the European Union do not regulate the indirect evidence. Competition Commission's efforts to use indirect evidence in cartel case, although not regulated by law, can be justified by the judge. The court has the same vision with the Competition Commission regarding attempts to use indirect evidence in cartel case process which are not regulated by law. War against the cartels that cause harm to healthy competition need to be handled by allowing the use of indirect evidence, which is evidence in the form of communication and economic evidence. In Indonesia, the cartel case process that use indirect evidence is rejected by the court, either by the District Court or by the Supreme Court and only some are justified by the Supreme Court. From the study data showed that none of District Court accepted the use of indirect evidence, the reason is that indirect evidence was not known to the laws of evidence in Indonesia. Recognition of the use of indirect evidence as valid evidence in cartel case process, just recently justified by Supreme Court. Supreme Court decision justifying indirect evidence as valid evidence in cartel case process, become the legal basis for the permissibility of indirect evidence for dealing with cases of cartel and other business competition matters. The Supreme Court has confirmed the use of indirect evidence in evidentiary law in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Laksmi Anindita
Abstrak :
Usaha meringankan penderitaan lahir dan batin bagi keluarga korban akibat perbuatan melawan hukum yang berakibat pada kematian atau hilangnya nyawa manusia, sangatlah pantas untuk terus diperjuangkan. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dirasakan belum memberikan definisi yang cukup jelas terhadap istilah kerugian, batasan-batasan kerugian apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai kerugian materil dan kerugian immateril, termasuk metode valuasi kerugian yang timbul dalam perkara perdata, khususnya akibat hilangnya nyawa manusia. Adanya pedoman yang jelas terkait jenis kerugian materil dan immateril serta metode valuasi yang dapat diterapkan untuk menentukan besaran nilai ganti kerugian secara detail, khususnya yang timbul akibat hilangnya nyawa manusia dalam perkara perdata, merupakan alasan utama dilakukannya penelitian disertasi yang berjudul: VALUASI KERUGIAN AKIBAT HILANGNYA NYAWA MANUSIA DALAM PERKARA PERDATA. Penelitian disertasi ini, menerapkan metode penelitian hukum normatif dan metode perbandingan hukum dengan 18 perkara perdata yang disidangkan dalam pengadilan di Indonesia sebagai bahan hukum primer. Perkembangan jenis kerugian, perumusan pengertian kerugian, pengklasifikasian kerugian materil (kerugian nyata dan potential loss) dan kerugian immateril (kehilangan kenyamanan hidup dan tekanan mental) serta metode valuasi yang dapat digunakan untuk menjabarkan, menentukan dan membuktikan besaran nilai kerugian yang harus diganti, khususnya akibat hilangnya nyawa manusia dalam perkara perdata, adalah hasil penelitian yang dijabarkan dalam tulisan ini.
Efforts to alleviate the familys grief due to the death from the unlawful acts is essential to be taken by the surviving family member. The current legislation does not sufficiently provide a clear definition of a loss. It does not explicitly regulate any criteria for both material and immaterial loss. Moreover, there is no valuation method to estimate the value of a dead person in civil case. The main reason for this dissertation research is the need for clear guidelines regarding the types of material and immaterial loss and valuation methods that can be applied to determine the amount of compensation in detail, especially loss from wrongful death in private law cases. The title of this research is the VALUATION OF LOSS FROM WRONGFUL DEATH IN PRIVATE LAW CASES. This dissertation research applies the normative legal research method and legal comparison method. Furthermore, this research uses 18 civil cases that are tried in courts in Indonesia as primary legal resource. This paper suggests a reformulation or revision regarding the definition of loss, the classification of material loss (real and potential loss), immaterial loss (loss of life comfort and mental stress) and the valuation method that can be used to describe, determine and prove the value of loss to be compensated, especially loss from wrongful death in private law cases.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
D2782
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivonne Sheriman
Abstrak :
Fungsi Asuransi tanggung jawab hukum profesi dokter tidak hanya sebatas untuk mengalihkan resiko, tetapi juga membantu dokter dalam hal litigasi. Dengan demikian, melalui asuransi, ganti rugi sebagai tanggung jawab dokter akibat tindakan malpraktik dapat dialihkan menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi, sekaligus dokter dapat terhindar dari stress proses litigasi, yang dapat berdampak pada malpraktek lainnya. Namun sayangnya, sementara dokter-dokter di Amerika (AS), menyambut baik manfaat tersebut, sebaliknya, dokter-dokter di Indonesia cenderung mengabaikannya. Kondisi ini terkait erat dengan konsep tanggung jawab hukum profesi dokter yang diterapkan di Indonesia. Untuk memecahkan masalah diatas, adalah penting untuk mengetahui 1) Bagaimana dampak perkembangan pemahaman Perbuatan Melawan Hukum (PMH/Civil Law),dan Tort (Common law) terhadap tanggung jawabperdata. 2) Bagaimana konsep dasar tanggung jawab hukum profesi dokter di Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS), dan New Zealand (NZ). 3) Bagaimana peran asuransi tanggung jawab hukum profesi dokter dalam melindungi dokter dan pasien di Indonesia dibandingkan dengan AS, NZ. 4) Bagaimana sistem asuransi tanggung jawab hukum profesi dokter di Indonesia, dibandingkan dengan AS. Dengan berpatokan pada teori Corrective justice dengan metode analisa normatif dan di dukung oleh beberapa pendekatan seperti UU, perbandingan hukum, sejarah, konsep, kasus, ditemukan bahwa 1) Perkembangan pemahaman PMH berdampak pada meluasnya tanggung jawab perdata, meliputi perbuatan karena lalai/kelalaian, demikian juga yang terjadi pada Tort. 2) Meskipun dalam kasus-kasus khusus, AS menerapkan kebijakan yang berbeda dengan Indonesia, namun konsep tanggung jawab hukumnya tidak berbeda. Sedangkan NZ, menerapkan konsep yang berbeda. 3) Baik di AS maupun Indonesia, manfaat asuransi, berdampak positip terhadap perlindungan baik bagi dokter maupun pasien. Sedangkan, NZ, tidak menggunakan asuransi, melainkan kebijakan pajak. 4) Selain ditemukan beberapa perbedaan dalam sistem asuransi AS dan Indonesia, ditemukan juga dampak dari perbedaan tersebut terhadap dokter dan pasien. Berdasarkan temuan di atas, penilitian ini mengemukan beberapa saran untuk meningkatkan minat dokterdokter Indonesia, terhadap Asuransi tanggung jawab hukum profesi dokter, demi perlindungan dokter dan pasien.
The aim of physician Liability Insurance is not only to shift the risk, but also provides a litigation support to Doctors. Through insurance, all indemnities caused by medical malpractices that should be borne by Doctors could be shifted to Insurance Company while Doctors is free from stress of a litigation process that can impact into another malpractice action. However, in fact that this insurance is warmly welcome by Doctors in United States of America (USA), Doctors in Indonesia tend to ignore the benefits or even worse, the existence of this insurance. The condition is associated with the concept of medical malpractice liability that applied in Indonesia. In order to solve this problem, there are several questions that should be answered, such as: 1) How the development of understanding of unlawful act, according to Civil Law and Tort Common Law impact on civil right. 2) How the basic concept of physician liability in Indonesia compared to United States of America (USA) and New Zealand (NZ). 3) How the physician Liability Insurance protects both patient and doctor in Indonesia, compared to USA and NZ. 4) How Indonesia?s physician Liability Insurance system compared to USA. By using Corrective Justice Theory and Normative Analysis Method, supported by several approaches in legislation, comparison, history, concepts and cases, it shows that: 1) The development of unlawful act (civil law) understanding resulted in broader civil liability including the liability caused by negligence, as well as in Tort (common law). 2) In fact that even though on very specific cases, USA has a different policy than Indonesia, but still used the same basic concept. On contrary, NZ, uses a different concept. 3) In Both USA and Indonesia, Physician Liability Insurance has a positive outcome in protecting patient and doctor, while NZ holds tax policy. 4) Beside several differentiates of the insurance system using by Indonesia and USA, the study also found several impact both to patient and doctor are caused by these differentiates. Based on the above findings, there are several suggestions to increase Indonesia?s physician's interest to buy insurance for protection both to doctor and patient.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2234
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cerah Bangun
Abstrak :
Conflict of interest importir dengan pemerintah dalam penentuan nilai pabean sebagai dasar perhitungan bea masuk menjadi persoalan internasional. Importir cenderung membayar bea masuk sekecil-kecilnya, sedangkan pemerintah cenderung memungut bea masuk sebesar-besarnya. Karena telah menjadi persoalan dunia dan memengaruhi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan perdagangan internasional, the General Agreement on Tariffs and Trade GATT telah membuat Article VII GATT sebagai acuan menghitung nilai pabean dengan tarif advalorem. Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea Cukai DJBC menemukan dan menganggap relatif banyak perhitungan nilai pabean oleh importir secara self assessment tidak tepat sehingga dilakukan koreksi atau penetapan. Sebaliknya, importir menganggap justru DJBC yang tidak tepat dalam menghitung nilai pabean sehingga importir mengajukan keberatan dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. Sekitar 90 permohonan keberatan nilai pabean ditolak oleh lembaga keberatan DJBC dan sebaliknya lebih banyak permohonan banding nilai pabean dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Fakta itu menunjukkan kontradiksi perspektif perhitungan nilai pabean antara importir, DJBC, dan Hakim Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, perlu diteliti faktor penyebabnya dan dicari solusinya melalui pertanyaan penelitian apakah penetapan nilai pabean di Indonesia telah sesuai dengan ketentuan Article VII GATT, bagaimana eksistensi lembaga keberatan beroep sebagai peradilan semu quasi rechtspraak , dan apakah Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa nilai pabean memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa implementasi perhitungan nilai pabean belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan GATT, lembaga keberatan belum berfungsi dengan baik, dan lembaga Pengadilan Pajak belum berperan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan transformasi ketentuan nilai pabean, lembaga keberatan, dan lembaga banding. Di samping itu, perlu dilakukan perbaikan budaya hukum melalui internalisasi ketentuan nilai pabean terhadap importir, pejabat DJBC, dan Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, seyogianya kelembagaan Pengadilan Pajak sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung namun hakimnya harus mempunyai keahlian hukum dan perpajakan. Sebagaimana ruang lingkup perpajakan lebih luas daripada ruang lingkup pajak maka nama Pengadilan Pajak disarankan diganti menjadi Pengadilan Perpajakan. Secara filosofis, perpajakan bukan lagi sebuah kewajiban warga negara, tetapi sebuah hak warga negara berpartisipasi untuk membangun negaranya. ...... Conflict of interest between importers and the government in the determination of customs value as a basis for the calculation of import duty has become an international issue. Importers tend to pay the lowest import duties, while the government tends to collect the maximum import duties. Since it has become a global issue and affects the fairness, certainty, and usefulness of international trade, the General Agreement on Tariffs and Trade GATT has set out Article VII GATT as reference in calculating customs value by ad valorem rates. In Indonesia, the Directorate General of Customs DJBC finds and considers relatively large quantities of customs value reported by importers to be incorrect thus requiring correction or determination. On the other hand, importers consider that DJBC is not appropriate in determining the customs value as a result of which they file objection and/or appeal. Approximately ninety per cent of customs value objection applications are rejected by DGCE objection agencies while on the other hand the Tax Court tends to accept a greater number of customs value appeals. Such fact demonstrates the contradictory perspective in customs value calculation between importers, DJBC, and Tax Court Judges. Therefore, there is a need to examine the causal factors and seek solutions by answering the research questions, namely whether the determination of customs value in Indonesia has been in accordance with the provisions of Article VII GATT; the position of the objection agency beroep as quasi judiciary rechtspraak ; and whether in resolving customs value disputes the Tax Court provides justice, certainty, and expediency. Based on the research results, it has been found that the implementation of customs value calculation is not fully in accordance with the GATT provisions, the objection agencies are yet to be functioning properly, and the Tax Court is yet to fulfill its function properly. Therefore, it is advisable to transform customs value provisions, the objection body, as well as the appeals agency. In addition, it is necessary to improve the legal culture through internalization of customs value provisions among importers, DGCE officials, and Tax Court Judges. As part of its judicial powers, the institution of the Tax Court should be fully under the Supreme Court; however, judges need to possess legal and taxation skills. Considering that the scope of Taxation Perpajakan is broader than that of Taxes Pajak , it is recommended that the name Pengadilan Pajak Tax Court be changed to Pengadilan Perpajakan Taxation Court . Viewed from a philosophical perspective, taxation is no longer a citizen's duty, but rather a citizen's right to participate in developing his/her country.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
D2525
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library