Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heri I. Budiyanto
"Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian dari kebijaksanaan modernisasi Cina pada saat ini. Kebijaksanaan modernisasi Cina diharapkan dapat membentuk Cina sebagai negara yang kuat dan modern. Kebijaksanaan ini diambil juga untuk memperbaiki sistem ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa Mao Cina sebenarnya telah mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi sangat dipengaruhi oleh keputusan politik dari pemerintah Cina."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13029
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryati
"
ABSTRAK
Sejak berakhirnya perang saudara Cina antara pihak Komunis Cina (Gongchandang) dengan pihak Nasionalis (Kuomintang) pada tahun 1945-1949, maka Taiwan yang dikuasai pihak Nasionalis memisahkan diri dari kekuasaan Cina daratan yang dikuasai pihak Komunis. Akibatnya muncul dua pemerintahan Cina yang menguasai wilayah yang berbeda, yaitu Republik Cina (Zhonghua Minguo) di Taiwan, dan Republik Rakyat Cina (Zhonghua Renmin Gongheguo) di Cina daratan.
Dari keadaan tersebut, antara kedua negara Cina itu selalu terjadi konflik dan pertikaian mengenai siapa yang merupakan pemerintah Cina yang sah dan siapa yang merupakan wakil Cina di dunia internasional,hal tersebut Menimbulkan persaingan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan bagi masing-masing pihak dari negara-negara lain.
Setelah melewati beberapa dekade hubungan yang semula membeku, berlahan-lahan mulai mencair dengan dibukanya hubungan dan dialog dalam bidang ekonomi dan sosial. Hubungan tersebut semakin meningkat dan berkembang, dan ditandai dengan dibangunnya dua badan non pemerintahan yang mengurus hubungan secara tak resmi dari kedua negara, yaitu SEF (Straits Exchange Foundation) dari pihak Taiwan dan ARATS (Association for Relations Across the Taiwan Straits) dari pihak RRC.
Masalah yang terjadi antara RRC-Taiwan juga tidak terlepas dari peran dan pengaruh Amerika Serikat yang sejak awal terlibat dalam pertikaian di Selat Taiwan tersebut. Sejak normalisasi hubungan AS-RRC dibuka, usulan mengenai reunifikasi damai mulai ditawarkan RRC pada Taiwan, sebagai upaya RRC mendapatkan Taiwan kembali ke pangkuannya. Tapi usulan tersebut ternyata menghadapi berbagai hambatan, terutama dari pihak Taiwan yang tidak menyetujui usulan tersebut yang dianggap merupakan usaha aneksasi dari pihak RRC. Kemudian RRC menawarkan formula satu negara dua sistem (yi guo Liang zhi) dan pemberian status SAR (Special Administration Region) bagi kembalinya Hong Kong, Macao, dan Taiwan ke pangkuan Cina daratan.
Perkembangan usaha reunifikasi Cina-Taiwan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkembang di dalam negeri masing-masing dan situasi internasional, serta perkembangan hubungan kedua negara baik di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Setelah Hong Kong kembali ke pangkuan RRC pada tahun 1997, dan menyusul Macao pada tahun 1999, akankah pembicaraan mengenai reunifikasi Cina-Taiwan akan diwujudkan di masa mendatang, semua ini tergantung pada perkembangan situasi yang ada sekarang baik di dalam negeri Cina dan Taiwan, serta situasi dunia internasional yang sedang mengarah kepada tatanan global.
"
1998
S12875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shehan Aulia Ilham
"Artikel ini membahas tentang implementasi konsep Kebangkitan Damai Tiongkok dalam kebijakan luar negeri RRT era kepemimpinan Presiden Hu Jintao (2003—2013). Konsep Kebangkitan Damai Tiongkok ini dikemukakan untuk memberikan visi yang kredibel mengenai masa depan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan dunia internasional pasca muncul dan berkembangnya berbagai opini hingga teori tentang Ancaman Tiongkok pada tahun 1990-an. Metode penelitian yang digunakan pada artikel ini adalah metode penelitian sejarah, yang mencakup proses heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Artikel ini juga membahas sejauh mana peran konsep Kebangkitan Damai Tiongkok mampu menekan stigma yang muncul dari teori Ancaman Tiongkok dan bentuk implementasinya pada kebijakan luar negeri RRT era pemerintahan Hu Jintao. Hasil analisis atas perkembangan politik Luar Negeri RRT era 2003—2013 menunjukan bahwa keputusan Hu Jintao untuk mengimplementasikan konsep Kebangkitan Damai Tiongkok dalam kebijakan luar negeri terbukti efektif untuk meredam teori Ancaman Tiongkok dan meyakinkan banyak negara untuk menaruh kepercayaan terhadap RRT. Hal itu antara lain terbukti dari meningkatnya kerja sama antara RRT dengan organisasi internasional maupun negara-negara di dunia.

This article discuss about the implementation of China Peaceful Rise Concept on People’s Republic of China foreign policy under Hu Jintao (2003-2013). The concept of China peaceful rise was proposed to provide a credible vision on the People's Republic of China's future relations with the international world after a large number of opinions to theory about China Threat that emerged and developed in the 1990s. The research method used in this article is the historical research method, which includes the process of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. This article also discusses the role of this concept in suppressing the stigma formed by Chinese threat theory and it’s implementation on China’s foreign policy under Hu Jintao. The results analysis on the development of Chinese foreign policy in the 2003-2013 era showed that Hu Jintao's decision to implement the concept of China Peaceful Rise on China foreign policy proved to be effective in suppressing the Chinese Threat theory and convincing many countries to put their trust in China. This was proved by the increased cooperation between China and international organizations and many countries all over the world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Amalia Lestari
"Sejak tahun 1949, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Republik Tiongkok (RT) menganut prinsip "Satu Tiongkok" yaitu di dunia ini hanya ada satu negara yang menggunakan nama "Tiongkok", namun siapa yang diakui sebagai Tiongkok, hal itu kembali kepada interprestasi masing-masing. Prinsip ini terus dipegang oleh kedua belah pihak sampai akhir tahun 1999. Kemenangan Chen Shuibian dan Partai Progresif Demokratik (PPD) yang memperjuangkan kemerdekaan Taiwan menimbulkan sebuah permasalahan besar dalam hubungan Tiongkok - Taiwan maupun bagi perkembangan sosial politik di dalam negeri masing-masing. Melalui pendekatan historis yang digunakan dalam penelitian ini terungkap fakta tentang ide atau cita-cita Chen Shuibian dalam memperjuangkan kemerdekaan Taiwan.

Since 1949, People`s Republic of China (PRC) and Republic of China (ROC) supports the "One China" policy/ principle. Based on this policy, there is only one state called "China", but each side has their own interpretation. Both side keep adhere to the policy until the end of 1999. After Chen Shuibian and his Democratic Progressive Party`s victory in Taiwan has created new problem to China Taiwan`s relationship and to domestic politic`s development in each state. The historical approach that used in this research has revealed some facts about Chen's idea or ambition of Taiwan`s independence."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64810
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frederick Martinus
"Bangsa Manchuria (满族 Mǎnzú) adalah bangsa non-Han dari kawasan (东北 Dōngběi) yang menjajah Cina dan mendirikan Dinasti Qing pada tahun 1644. Selama berkuasa di Cina, Dinasti Qing menerapkan kebijakan rambut tocang sebagai alat penunjuk superioritas bangsa Man terhadap bangsa Han. Kebijakan ini mengakibatkan rakyat Han merasa terhina, sehingga ingin membalaskan dendam mereka dengan melancarkan gerakan anti tocang di Cina. Gerakan ini menjadi reaksi berbasis identitas kebangsaan yang mempengaruhi perkembangan nasionalisme Cina, terutama pada akhir abad ke-19. Penelitian ini memaparkan karakteristik dan keterkaitan dari gerakan anti tocang yang dilancarkan oleh Kelompok Teratai Putih, Taiping, Reformis, dan Revolusioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun para pemimpin gerakan anti-tocang hidup pada dimensi waktu yang berbeda, mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu menjunjung tinggi nasionalisme dan patriotisme untuk menyelamatkan dan memperkuat bangsa dan negara Cina. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menerapkan 4 tahapan metode penelitian sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Manchus is a non-Han race from 东 北 region who conquered China and established Qing Dynasty in 1644. During its reign in China, Qing Dynasty implemented queue hairstyle policy as symbol of Manchus superiority toward Hans. This policy caused Hans feel humiliated, thus they tried to seek revenge by launching anti-queue hairstyle movement. This movement becomes nation reaction that influences nationalism development in the end of nineteenth century. This research will explain, analyze, and seek links between White Lotus Society, Taiping, Reformist, and Revolutionary anti-queue hairstyle movement. Result shows that these four movement leaders have one same goal, which is to uphold nationalism and patriotism spirit to save and strengthen China country nation. This thesis uses qualitative research methods with 4 historical stages, such as heuristic, critic, interpretation, and historiography.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S66437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Chronika Febrianti
"ABSTRAK
Setelah masa kolonial Portugis di Makau berakhir, sejumlah bangunan, nilai sejarah, dan budaya Portugis yang berkembang di Makau sejak abad 16 masih terpelihara baik sebagai peninggalan berharga yang membentuk identitas Makau saat ini. Pemerintahan Komunis Republik Rakyat Tiongkok tidak hanya memelihara peninggalan tersebut, melainkan juga memanfaatkannya untuk mewujudkan Makau sebagai pusat wisata dan hiburan dunia. Penelitian ini menjelaskan bagaimana peninggalan kolonial Portugis bisa berada di Makau, apa saja peninggalan Portugis, dan bagaimana pemanfaatannya dalam pengembangan pariwisata Makau saat ini melalui metode penelitian pendekatan sejarah yang mengacu pada teori dan konsep pariwisata. Hasilnya antara lain menunjukkan bahwa, peninggalan Portugis dimanfaatkan sebagai ikon penting dalam pengembangan pariwisata Makau yang merupakan sektor perekonomian masyarakat Makau paling utama pada masa ini.

ABSTRACT<>br>
After the Portuguese colonial period in Macau ended, a number of Portuguese buildings, traces of history, and culture that had influenced Macau since the 16th century are well preserved as valuable heritage which had formed Macau 39 s identity today. The Communist Government of the People 39 s Republic of China is not only preserving the relics, but also using them to accomplish their vision making Macau as world 39 s tourism and leisure center. This research explains how Portuguese colonial relics can exist in Macau, what Portuguese relics are, and how they are utilized in the development of Macau tourism nowadays, through historical research methods that refer to the theory and concept of tourism. The results show that Portuguese relics are used as an important icon of Macau 39 s tourism which are giving big impact to Macau 39 s economic sector at this time."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cita Pratiwi Karyadi
"The Great Wall (长城 Chángchéng) adalah film kerja sama antara Cina dan Hollywood yang disutradarai oleh Zhang Yimou. Film ini resmi dirilis pada Desember 2016 di Cina dan Februari 2017 di Amerika Serikat. Film yang mengambil latar waktu pada masa Dinasti Song Utara (960-1127 M) ini menceritakan tentang pedagang dari barat yang melakukan perjalanan ke Cina untuk mencari bubuk mesiu. Ia tidak sengaja terjebak dalam Tembok Besar bersama pasukan rahasia Cina yang sedang bertarung melawan serangan gerombolan monster. Pada akhirnya ia melepaskan tujuan awalnya datang ke Cina setelah berinteraksi dengan pasukan tersebut, khususnya lewat tokoh utama perempuan yang mengenalkannya kepada xinren (信任xìnrèn). Xinren adalah sebuah konsep yang berakar dari Konfusianisme yang memiliki arti percaya. Tulisan ini membahas penjelasan xinren, perbedaan motivasi dua tokoh utama (Jenderal Lin Mei dan William Garin) dalam bertarung, serta pergeseran karakter William melalui adegan-adegan yang berhubungan dengan xinren. Tulisan ini menggunakan metode deskriptif analitis untuk menganalisis data tersebut. Hasil analisis menunjukan bahwa karakter William bergeser dari egois menjadi turut memikirkan kepentingan orang lain berkat xinren.

The Great Wall (长城 Chángchéng) is a China-Hollywood coproduction film directed by Zhang Yimou. It was officially released on December 2016 in China and February 2017 in USA. The film, which takes place in the time of the Northern Song Dynasty (960-1127 CE) tells the story of a trader from the west who traveled to China seeking for gunpowder. He was accidentaly trapped in the Great Wall with Chinese secret troops who were fighting against attack from hordes of monsters. In the end he disposed his original purpose of coming to China after interacting with the troops, especially through the main female character, who introduces him to xinren (信任xìnrèn). Xinren is a concept rooted from Confucianism which means trust. This paper discuss xinren explanation, the difference in motivation of the two main characters (General Lin Mei and William Garin) in fighting, as well as William`s character shift through scenes related to xinren. This paper uses descriptive analytical methods to analyze data. The results of the analysis show that William`s character shift from selfish to take part in considering other people`s interest because of xinren.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiani Sarahofia Adji
"Artikel ini membahas tentang perkembangan etnis Han sebagai aspek utama pada integrasi sosial di Taiwan periode Qing (1780-1895). Taiwan yang merupakan wilayah yang dihuni oleh suku Austronesia justru memiliki sejarah yang panjang dan dinamis dengan karakteristik perkembangan masyarakat Han sebagai aspek utama. Hal ini disebabkan oleh aneksasi kekaisaran Qing yang membawa landasan nilai-nilai Tiongkok dalam pemeritahannya di Taiwan. Kebijakan-kebijakan yang dibentuk juga mempengaruhi perkembangan etnis Han di Taiwan seperti kebijakan karantina hingga kebijakan pro-kolonisasi (kaishan fufan). Apabila pada kebijakan karantina etnis Han dipandang berpotensi menjadi pemberontak, pada kebijakan pro-kolonisasi etnis Han dipandang sebagai agen kolonisasi internal yang tidak hanya mampu melawan agresi asing namun juga melakukan upaya sinifikasi terhadap penduduk asli Taiwan. Perkembangan etnis Han di Taiwan juga mempengaruhi kondisi sosial-budaya di Taiwan seperti meningkatnya populasi Han di Taiwan yang menyebabkan meningkatnya konflik sosial dan munculnya kelas sosial baru. Sehingga terbentuklah struktur dan sistem sosial yang condong pada sistem yang dimiliki orang Han, dan etnis Han menjadi etnis dominan di Taiwan.

This article discusses the development of the Han ethnicity as a major aspect of social integration in Taiwan in the Qing period (1780-1895). Taiwan, which is an area inhabited by Austronesian tribes, actually has a long and dynamic history with the characteristics of the development of Han society as the main aspect. This was due to the annexation of the Qing empire which brought the foundation of Chinese values ​​in its rule in Taiwan. The policies formed also influenced the development of Han Chinese in Taiwan, such as quarantine policies to pro-colonization policies (kaishan fufan). If the Han quarantine policy is seen as a potential rebel, the pro-colonization policy of Han ethnicity is seen as an internal colonization agent who is not only able to fight foreign aggression but also to make efforts to cynicize native Taiwanese. The development of the Han ethnicity in Taiwan also affects the socio-cultural conditions in Taiwan, such as the increasing Han population in Taiwan which causes increased social conflict and the emergence of a new social class. So that a social structure and system was formed that was leaning towards the system owned by the Han people, and the Han ethnicity became the dominant ethnicity in Taiwan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Ulkhasanah
"Film The Wings of Songs 2021 diproduseri oleh Gao Huanggang dan disutradarai oleh Abdukerim Abliz. Film ini dirilis pada 28 Maret 2021, berkisah tentang perjalanan tiga musisi muda dari tiga etnis minoritas Cina yang berbeda. Jiang Han, Jarhen, dan Dili melakukan perjalanan di kampung halaman mereka, Xinjiang, untuk mendapatkan inspirasi dalam bermusik. Dalam film ini tergambarkan kondisi beberapa suku minoritas di Xinjiang yang hidup bersama secara harmonis dan damai, menari dengan gembira dengan budaya mereka yang kental. Film ini terinspirasi oleh musik dan budaya tari di Xinjiang. Xinjiang sendiri dikenal sebagai The Hometown of Singing and Dancing. Film ini diambil di 7 (tujuh) prefektur berbeda mulai dari Tacheng hingga Tashkurgan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali budaya-budaya etnis minoritas Xinjiang di dalam film, yaitu bagaimana sisi lain Cina yang muncul dalam film dan bagaimana representasi budaya tari dan instrumen musik suku minoritas di Xinjiang yang muncul dan tergambar dalam film The Wings of Songs 2021. Melalui metode kualitatif dan analisis semiotika Charles Sanders Peirce, peneliti menemukan bahwa dalam film ini terdapat beberapa budaya tari dan instrumen musik yang menonjol yang merepresentasikan etnis minoritas di Xinjiang.

The Wings of Songs 2021 movie was produced by Gao Huanggang and directed by Abdukerim Abliz. This movie, released on March 28, 2021, tells the journey of three young musicians from three different Chinese ethnic minorities.  Jiang Han, Jarhen, and Dili travel to their hometown, Xinjiang, to find musical inspiration.  This film shows the condition of several ethnic minorities in Xinjiang living side by side in harmony and peace, dancing happily with their strong culture.  This movie is inspired by music and dance culture in Xinjiang.  Xinjiang itself is known as “The Hometown of Singing and Dancing”.  This movie was shot in seven different prefectures, from Tacheng to Taxkorgan.  This study aims to explore the cultures of the ethnic minorities of Xinjiang in the movie, namely how the other side of China appears in the movie and how the representation of Xinjiang ethnic minorities’ dance cultures and musical instruments is shown and depicted in the 2021 movie The Wings of Songs. Using qualitative methods and Charles Sanders Peirce's semiotic analysis, this study found there are several prominent dance cultures and musical instruments that represent ethnic minorities of Xinjiang in this movie."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Fathya
"Film To Live《活着》merupakan film drama karya Zhang Yimou yang dirilis pada tahun 1994. Film ini mengisahkan tentang sebuah keluarga di sebuah kota kecil di Tiongkok Utara yang menyesuaikan diri dengan peran baru mereka di masyarakat Komunis dan melewati berbagai asam garam kehidupan di bawah gejolak rezim Partai Komunis Tiongkok. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa aspek Pemikiran Mao Zedong yang terepresentasi dalam film. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik yang berfokus pada aspek Pemikiran Mao Zedong yang muncul dalam alur cerita film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa film To Live merupakan bentuk kritik terhadap dampak Pemikiran Mao Zedong yang pada masa itu dianggap sebagai ‘pedoman revolusioner untuk mendirikan Tiongkok Baru’, namun pada prakteknya masyarakat Tiongkok harus melewati berbagai macam kesulitan dan menemui nasib yang tragis hanya demi idealisme semata.

To Live《活着》is a drama film by Zhang Yimou released in 1994. This film tells the story of a family in a small town in North China adjusting to their new role in Communist society and going through various ups and downs of life under the turmoil the Chinese Communist Party regime. This study aims to analyze the aspects of Mao Zedong's thoughts that are represented in the film. This study uses a qualitative research method with an intrinsic and extrinsic approach that focuses on aspects of Mao Zedong's thoughts that appear in the storyline of the film. The results of the study show that the film To Live is a form of criticism of the impact of Mao Zedong's Thought which at that time was considered a 'revolutionary guide to establishing a New China', but in practice the Chinese people had to go through various difficulties and meet a tragic fate just for the sake of idealism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>