Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ossi Trimayasari
"Trimayasari. Analisa Keramik Temuan Dari Marunda, DKI Jakarta: Kaleksi Museum Sejarah Jakarta (di bawah bimbingan Ronny Siswandi, SS. MA.). Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1993. Analisa keramik dari Marunda meliputi analisa terhadap bentuk, hiasan dan teknologi. Dari analisa tersebut dapat diperoleh pertanggalan dan tempat asal pembuatan keramik. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui keberadaan keramik dari Marunda. Dengan demikian digunakan perbandingan dengan pasar lkan. Dipilihnya Pasar Ikan karena kedekatan wilayah dan merupakan bandar keramik. Analisa temuan keramik dari Marunda yang telah dilakukan menghasilkan pertanggalan dan tempat asal pembuatan yaitu Cina dari masa Ming akhir - Ching akhir abad ke-17 M - 20 M, kemudian Jepang berasal dari abad ke-17 M - 20 M, dan Eropa dari abad ke-19 M - 20 M. Berdasarkan temuan keramik dan didukung beberapa peninggalan sejarah yang masih ada, serta ditunjang oleh data sejarah diperoleh dugaan bahwa Marunda mulai berkembang sejak abad ke-17 M dan meningkat pada abad ke-19 hingga saat ini. Penelitian keramik. Pasar Ikan yang diperoleh dari Laporan HasiI Ekskavasi (1980) menunjukan pertanggalan dan tempat asal pembuatan yaitu Cina dari masa Ming - Ching akhir abad ke-15 M - 20 M. Jepang abad ke-17 M - 18 M, Eropa abad ke-17 M - 19 M. Persia abad ke-17 M - 19 M, Siam abad ke-14 M - 19 M, dan Vietnam abad ke-15 M - 16 M. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penelitian ini adalah, Pasar Ikan telah menjadi bandar utama perdagangan keramik sejak abad ke-17 M dan abad ke-18 M. Sedangkan fase pemukiman yang paling ramai ialah dari abad ke-17 M hingga 19 M. Perbandingan antara keramik dari Marunda dan Pasar Ikan meliputi bentuk, pertanggalan dan tempat asal pembuatan, serta mutu keramik. Berdasarkan hasil analisa keramik dari. Marunda dan Pasar Ikan, diantara keduanya dilakukan perbandingan. Hasil yang diperoleh yaitu: 1.Variabilitas bentuk lebih tinggi di Pasar Ikan daripada di Marunda, hal ini mengingat Pasar Ikan merupakan bandar keramik.. 2.Variabilitas tempat asal pembuatan, lebih tinggi di Pasar Ikan dibanding di Marunda. Hal ini diduna Marunda memiliki selera tertentu. 3.Variabilitas kronologi menunjuk.an Pasar Ikan lebih dulu berkembang daripada Marunda. 4. Populasi keramik terbanyak antara Marunda dan Pasar Ikan berasal dari abad ke-18 M - 19 M sedangkan puncak, perdagangan keramik abad ke-17 M - 18 M. Dugaan yang dapat diajukan, perdagangan keramik lokal justru semakin ramai/ bebas setelah pengaruh monopoli VOC semakin berkurang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11595
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryandini Novita
"ABSTRAK
Penelitin ini membahas tentang perkembangan, tata kota dan hubungan antar bangunan di Betavia pada abad 17 dan 18. Dari pembahasan tersebut kemudian hasilnya akan dibandingkan dengan kota Amsterdam pada masa yang sama pula. Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tata kota Batavia pada abad 17 dan 18 dan seberapa jauh persamaan tata kota dan arsitektur Batavia dengan Amsterdam, serta inventarisasi peta-peta kuno Batavia.
Hasil dari penelitian ini diketahui pada awalnya pembangunan fisik Betavia dimulai di sissi timur sungai Ciliwung, sampai tahun 1629 kota Batavia terbagi menjadi dua bagian, yaitu di dalam tembok kota dan diluar tembok kota. Mulai tahun 1632 barulahlah terlihat kota Betavia berkembang ke sisi barat sungai Ciliwung sampai akhirnya kota terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kota bagian timur (oosterstad) di sisi timur sungai Ciliwung; kota bagian depan (voorstad) di sebelah selatan kota bagian timur; dan kota bagian barat (westerstad) di sisi barat sungai Ciliwung.. Dari pengamatan terhadap perkembangan kotanya terlihat bahwa Batavia merupakan kota yang direncanakan. Berdasarkan fungsi-fungsinya, Batavia dapat dibagi menjadi empat kawasan; kawasan pusat kota, kawasan pemukiman, kawasan niaga, dan kawasan militer...

"
1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agi Ginanjar
"Tulisan tentang metalurgi kuno di Banten Lama boleh dikatakan baru dua kali dilakukan. Pertama, Mundardjito yang membahas tentang wadah pelebur logam. Kemudian, Ronny Siswandi yang menulis tentang sisa-sisa pertukangan Iogam. Dalam penelitiannya itu. baik Mundardjito maupun Ronny Siswandi mencoba memperkenalkan metode baru yaitu penerapan metode laboratorium. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh Arkelologi. Hasilnya dapat diandalkan. Dalam kajian ini, peranan metode laboratorium lebih diutamakan dalam membahas metalurgi kuno di Banten Lama. Mulai dari pemeriksaan unsur-unsur artefak dan terak, kekerasan, mikrostruktur, dan akhirnya pengujian titik lebur logam. Dari penerapan metode laboratorium itu dapat dibedakan barang-barang yang diperkirakan berasal dari Banten Lama dan luar Banten Lama. Selain itu juga teknologi pembuatan barang-barang tersebut. Tidak berlebihan bila penggunaan metode laboratorium dapat membantu memecahkan masalah metalurgi kuno di Banten Lama. Tentunya diharapkan penggunaan metode laboratorium ini juga dapat membantu memecahkan masalah arkeologi lainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S11507
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldhy Setiadi
"
ABSTRAK
Batik Teluki/Jupri adalah batik dengan motif burung-burung kecil yang berpadu dengan sulur-suluran daun dan memiliki warna khas merah tua atau yang biasa disebut juga warna merah laseman. Batik yang hampir seluruh permukaan kainnya dipenuhi titik-titik atau cocoan ini sudah dibuat sejak 200 tahun yang lalu di Cirebon, tepatnya di Trusmi, sebuah desa yang hampir seluruh penduduknya membuat batik. Sebagai sebuah kegiatan yang turun-temurun, pembuatan batik Teluki/Jupri ini sangat unik, karena bukan dibuat untuk dipakai atau dikonsumsi oleh orang Cirebon sendiri seperti batik-batik yang dibuat di Cirebon pada umumnya, tetapi dibuat untuk dipasarkan ke Palembang, lebih khusus lagi ke Kayu Agung. Di Kayu Agung batik bermotif burung yang di tempat asalnya sendiri tidak begitu popular ini ternyata mengalami perubahan nilai menjadi benda yang eksklusif. Batik Teluki/Jupri menjadi semacam simbol status, karena yang memiliki batik tersebut pada umumnya adalah orang-orang kaya. Selain itu, batik ini dijadikan sebagai mas kawin dalam upacara pernikahan dan diwariskan secara turun-temurun dan seorang ibu kepada anak perempuannya ketika akan menikah. Pada dasarnya tahapan penelitian mengenai batik Teluki/Jupri ini adalah observasi, deskripsi, dan eksplanasi, tetapi pada tiap tahapan tersebut dilakukan analisis yang konteksnya terus meluas termasuk dengan melakukan studi etnoarkeologi, sehingga akhirnya tujuan penelitian ini dapat dicapai.
"
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Prakoso Syahrie
"
ABSTRAK
Asal-mula produksi pangan strategi subsistensi yang berbasis pada domestikasi tumbuhan dan hewan - tak henti-hentinya dikaji secara arkeologis, dan tak habis-habisnya diperdebatkan secara teoretis. Walaupun urutan apa yang terjadi - serta di mana mulai berlangsung tampak agak jelas, tetapi bagaimana dan mengapa hal itu terjadi belum dapat dipastikan. Fokus penelitian ini adalah pemikiran tentang asal-mula produksi pangan di Indonesia - salah satu kawasan terpenting dalarn peneletian-penelitian prasejarah Asia Tenggara. Bagamana perkembangan model-model teori tentang asal-mula produksi pangan di Indonesia?
Ada dua pokok soal yang menjadi maksud penelitian ini. Pertama adalah memperlihatkan perkernbangan pemikiran, dan pendekatan, dalam kajian asal-mula produksi pangan di Indonesia. Dan pokok soal ini akan dihasilkan suatu deskripsi serta analisis tentang model-model asal-mula produksi pangan yang pernah dan sedang berkernbang di Indonesia. Sedang yang kedua adalah menempatkan hasil analisis tersebut dalam konteks global. Pokok soal ini lebih merupakan upaya untuk menilai kembali gagasan-gagasan yang dikembangkan di Indonesia dengan mengacu pada gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh arkeologi tradisi prosesualisme-fungsionalisme Amerika (New Archaeology) maupun arkeologi tradisi strukturalisme Eropa (khususnya generasi baru yang terhimpun dalam mazhab Post-Processual Archaeology) sebagai tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian, secara tersirat, penelitian ini merupakan penelitian evaluatif dengan tinjauan dari segi teori.
Karya-karya yang disigi adalah (1) Sejarah Nasional Indonesia I, disunting oleh tim yang diketuai oleh R.P. Soejano, terbit tahun 1975; (2) Prehistory of the Indo Malaysian Archipelago, karya Peter Stafford Bellwood, terbit tahun 1985; dan (3)Emerging Hierarchies: Processes of Stratification and Early State Formation in the Indonesian Archipelago - Prehistory and the Ethnographic Present, karya Ina E. Slamet-Velsink, terbit tahun 1995.
Sebagai suatu penelitian kepustakaan yang bercorak deskriptif sekaligus evaluatif, maka langkah pertama adalah merumuskan ikhtisar perkembangan model-model asal-mula produksi pangan sebagai kerangka analisis serta tolok ukur penilaian. Langkah kedua adalah menetapkan data (korpus) penelitian. Langkah berikutnya adalah menerapkan kerangka analisis - ikhtisar model-model itu - pada data penelitian dengan pendekatan tekstual, yakni melacak informasi dan ilustrasi teoretis melalui data tekstual yang mengandung informasi dan ilustrasi teoretis yang diperlukan - sesuai dengan kerangka analisis. Penerapan kerangka analisis terhadap datapenelitian, dengan sendirinya akan menghasilkan interpretasi dan penilaian. Semua langkah tersebut diperlukan sebagai cara untuk melacak jejak-jejak perkembangan -- dinamika dan kecenderungan - model asal-mula produksi pangan di Indonesia. Pada bagian _Tinjauan_ penulis mencoba mengemukakan secara ringkas pandangan penulis tentang kemungkinan perlunya suatu model alternatif berupa model terpadu tentang asal-mula produksi pangan di Indonesia. Model terpadu ini memanfaatkan pandangan-_pandangan teori konflik versi neo-Marxis dan neo-Weberian.
Dari Sejarah Nasional Indonesia I diperoleh kesimpulan bahwa pada dasawarsa 1970-an model yang berkembang tidak cukup sahih (valid) karena antara teori dan observasi tidak saling mendukung. Model dibangun dengan menggunakan analisis (bukan pendekatan) ekologis pada tingkat observasi data, namun mengikuti nalar difusionisme pada tingkat abstraksi teori. Buku kedua, Prehistory of the IndoMalaysian Archipelago,menyajikan model yang Iebih kokoh karena ditopang oleh observasi data yang relatif memadai. Model dari dasawarsa 1980-an ini mengajukan penjelasan migrasionis. Model ketiga, dari Emerging Hierarchies, menghadirkan penjelasan strukturalis-Manxia (neo-Marxis). Model dari dasawarsa 1990-an ini secara konsisten menitikberatkan penjelasannya pada faktor-faktor internal - berbagai dinamika dan konflik dalam suatu masyarakat - sebagai unit analisisnya.
Model alternatif yang penulis rekomendasikan melalui penelitian ini adalah model berperspektif neo-Marxis yang dikembangkan oleh Brian Hayden - Competitive Feasting Model. Berbagai model yang bermuara pada paradigma sejarah budaya penulis kritik sebagai terlampau menyederhanakan komponen-komponen dasar sistem sosiokultural serta bagaimana komponen-komponen itu berinteraksi satu sama lain. Paradigma prosesual-fungsional dikritik karena kecenderungannya untuk mereduksi aspek historisitas dan simbolisme kultural data arkeologi (material culture). Paradigma struktural - strukturalisme klasik Levi-Straussian -- juga dikritik karena mencari jawaban cuma dalam alam pemikiran dan jaringan makna budaya yang diciptakan manusia, dan mengabaikan kenyataan bahwa budaya dihasilkan dalam sistem sosial.
Paradigma prosesual sulit untuk mewarnai perkembangan model-model teori asal-mula produksi pangan di Indonesia sebab metodologinya sulit diaplikasikan untuk sifat data arkeologi daerah tropis seperti Indonesia. Perspektif neo-Marxis tidak mengikuti strategi teoretis materialisme budaya a la prosesualisme, pun bukan idealisms budaya a la strukturalisme, karena ia mendasarkan analisisnya pada struktur sosial - sistem ekonomi dan bentuk teknologi - suatu masyarakat.
Ada dua alasan yang penulis kemukakan sebagai argumen kenapa model yang berperspektif neo-Marxis - seperti competitive feasting model ini - merupakan model yang lebih handal untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa asal-mula produksi pangan di Indonesia. Sa1ah satu alasan adalah karena model neo-Marxis memiliki perspektif paling multidimensional - dan sebab itu memberi jawaban yang lebih lengkap, lebih utuh, dan lebih 'cerdas'. Alasan lain adalah karena secara metodologis model ini lebih sesuai dengan sifat data arkeologi di Indonesia - banyak kemungkinan untuk merancang-bangun model melalui bukti-bukti tidak langsung.
"
1998
S12057
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mundardjito
"ABSTRAK
Majapahit dikenal sebagai kerajaan Hindu-Budha terbesar yang pernah berperan dalam abad 13-15 di wilayah Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Namun kebesaran tersebut umumnya dikaitkan dengan aspek sejarah, geo-politik, agama maupun kesenian, sedangkan gambaran tentang permukimannya masih sedikit sekali diketahui. Padahal sebagaimana dikemukakan Gordon R. Willey:
"....settlement patterns are, to a large extent, directly shaped by widely
held cultural needs, they offer a strategic starting point for the functional interpretation of archaeological cultures.... " (Willey 1953)
Dengan ungkapan tokoh arkeologi permukiman tersebut jelaslah bahwa pola permukiman merupakan awal yang strategis untuk memahami berbagai aspek budaya dari masyarakat pendukungnya, meliputi sistem teknologi, sistem sosial, dan sistem ideologi. Pala permukiman merupakan wilayah kajian yang diteliti oleh berbagai disiplin selain arkeologi, seperti: antropologi, sejarah, sosiologi, dan arsitektur. Dengan kata lain kajian permukiman merupakan tempat bertemunya berbagai peniikiran dari sejumlah disiplin. Sifat multidisipliner inilah yang mengharuskan arkeologi menggali dan menjajikan data dari kebudayaan mesa lalu untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh berbagai disiplin lain.
Sumber-sumber sejarah seperti karya sastra, prasasti, berita asing dan relief relief pada candi memang telah membantu kita mengetahui sebagian kecil atau beberapa hal mengenai permukiman di Majapahit, tetapi gambaran tersebut hanyalah bersifat umum dan belum tentu terkait dengan pemukiman di situs Trowulan. Oleh sebab itu untuk memperoleh bukti konkret yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable) mengenai permukiman Majapahit di situs Trowulan diperlukan tipe penelitian arkeologi dengan cara ekskavasi (digging research).
Situs Trowulan yang letaknya lebih kurang 10 km di sebelah tenggara Mojokerto adalah sebuah situs yang berdasarkan penelitian regional terakhir (Mundardjito dkk. 1995) memiliki luas lebih kurang 9 x 11 km. Sedemikian luasnya sehingga dapat difahami jika sites ini dikategorikan oleh para peneliti sebagai situskota. Kitab Nagarakertagama memberikan gambaran umum tentang pola perkotaan ibukota Majapahit, tetapi struktur setiap satuan bangunannya atau gugusannya tidak dapat diketahui secara pasti. Relief-relief candi memberi bantuan untuk memahami bentuk umum suatu satuan bangunan, tetapi sifatnya yang terbatas tidak memungkinkannya untuk memberikan rincian dari unsur-unsur bangunan itu.
Selain data sejarah (historical record) kita masih dapat memanfaatkan data lain, yaitu artefak-artefak, untuk memahami secara lebih faktual dan jelas mengenai pola permukiman masyarakat Majapahit. Sebagaimana diketahui Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buda terakhir yang berkuasa sekitar 200 tahun (1293-1478), dan sites Trowulan adalah satu-satunya contoh situs-kota dari masa Hindu-Buda yang sisa-sisa pemukimannya masih dapat kita lihat sekarang (Bandingkan dengan lokasi sejumlah situs-kota yang sampai kinibelum diketahui seperti dari: kerajaan Mulawarman abad 5 di Kalimantan Timur, Tarumanagara abad 6 di Jawa Barat, Sriwijaya abad 7 di Sumatera, Mataram abad 7--10 di Jawa Tengah, Kediri abad I I dan Singhasari abad 12 di Jawa Timur). Di situs Trowulan, yang merupakan wakil utama dari sisa kegiatan manusia Majapahit, ditemukan sejumlah indikator penting yang dapat membantu kita memahami aspek-aspek permukiman dalam skala mikro secara lebih jelas. Indikator tersebut antara lain berupa sisa-sisa struktur, bailk dari sebuah unit bangunan (household) maupun dari gugusan bangunan (household cluster). Sebagai suatu himpunan temuan data tersebut sesungguhnya mencerminkan satu bagian dari suatu sistem yang kompleks, yaitu sistem kehidupan masyarakat kota Majapahit yang lebih menyeluruh. ltulah sebabnya usaha penelitian yang diawali dari data arkeologi yang paling dasar dalam skala mikro, dapat memberikan sumbangan yang sangat penting untuk memberi isi kepada gambaran dari satuan pemukiman yang lebih besar.
Usaha untuk merekonstruksi pola permukiman ibukota Majapahit telah dilakukan. Namun usaha-usaha tersebut dihadapkan pada banyak masalah. Bukti-bukti fisik yang hingga kini diyakini sebagai sisa ibukota Majapahit tidak menunjukkan kesesuaian dengan uraian sumber-sumber tertulis mengenai tempat tersebut. Usaha untuk menjawab masalah-masalah tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan seketika, melainkan memerlukan perencanaan penelitian bertahap dan perlu melibatkan sejumlah disiplin. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library