Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Primamulia Teguh
"Dalam satu dekade terakhir, Kota Depok mengalami pertumbuhan yang signifikan. Lahan terbangun di perkotaan memiliki peran penting dalam memengaruhi kenaikan suhu global melalui apa yang dikenal sebagai efek pulau panas perkotaan atau Urban Heat Island effect. Efek UHI bukan hanya menjadi masalah kenyamanan lokal, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang pada kenaikan suhu global. Suhu yang lebih tinggi di perkotaan dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi energi untuk pendinginan, penurunan kualitas udara, dan dampak pada kesehatan manusia. Local Climate Zone (LCZ) adalah konsep yang digunakan untuk mengklasifikasikan karakteristik morfologi permukaan di area urban dan peri-urban. Setiap LCZ memiliki karakteristik unik dalam hal geometri, bahan bangunan, dan vegetasi yang dapat mempengaruhi distribusi suhu dan dinamika iklim lokal. Hasilnya didapati bahwa morfologi Kota Depok didominasi oleh kelas open low rise (LCZ 6) merepresentasikan area pemukiman penduduk. Karakteristik suhu permukaan tanah Kota Depok secara umum berkisar antara 37,5°C – 54°C, pada tahun 2023 dengan suhu kelas bangunan lebih tinggi dibandingkan kelas tutupan lahan alami. Pola spasial fenomena UHI di Kota Depok secara umum lebih banyak terjadi di area pemukiman penduduk dengan karakteristik bangunan rendah (LCZ3).

In the last decade, Depok City has experienced significant growth. Built-up land in cities has an important role in influencing global temperature rise through what is known as the urban heat island effect. The UHI effect is not only a local comfort issue but has a long-term impact on global temperature rise. Higher temperatures in cities can result in increased energy consumption for cooling, reduced air quality, and impacts on human health. Local Climate Zone (LCZ) is a concept that classifies surface morphological characteristics in urban and peri-urban areas. Each LCZ has unique geometry, building materials, and vegetation characteristics that can influence temperature distribution and local climate dynamics. The results found that the morphology of Depok City is dominated by the open low-rise class (LCZ 6) representing residential areas. The characteristics of the land surface temperature of Depok City generally range between 37.5°C – 54°C, in 2023 with the building class temperature being higher than the natural land cover class. The spatial pattern of the UHI phenomenon in Depok City generally occurs more often in residential areas with low-rise building characteristics (LCZ3)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saffa Nailah Zafirah
"Hotspot sebagai indikator dalam mitigasi kebakaran hutan dan lahan. Khusus pada kawasan gambut, risiko dan urgensi dinilai lebih besar dibanding kebakaran konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabilitas spasiotemporal hotspot, serta mengkaji hubungan antara pola sebaran hotspot dengan faktor alami yang mencakup unsur iklim dan tutupan lahan, serta faktor manusia di lahan gambut. Hotspot didapat dari FIRMS NASA selama periode 2015-2022. Data iklim secara kontinu harian diambil dari TerraClimate dengan resolusi 1/24°. Lalu untuk peta skala tahunan, citra TerraClimate untuk data curah hujan dan kelembaban tanah, MODIS untuk LST. Tutupan lahan didapat dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang kemudian diolah dengan proses reklasifikasi dan penerapan trasition matrix. Faktor manusia mencakup jarak hotspot terhadap jaringan parit, jaringan jalan, dan jaringan sungai dilakukan proses buffer untuk melihat tingkat hubungannya dengan hotspot. Metode Emerging Hotspot Analysis (EHA) diterapkan untuk mengidentifikasi pola dan perilaku kebakaran hutan dan lahan gambut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya korelasi negatif yang kuat antara hotspot dengan salah satu unsur iklim yaitu kelembaban tanah dan curah hujan, lalu tutupan lahan yang sensitif terhadap kemunculan hotspot paling banyak ada di area rawa dan agrikultur. Berdasarkan output dari EHA, didapat 5 pola, antara lain Sporadic Hotspot, Persistent Hotspot, Consecutive Coldspot, Oscillating Coldspot, dan New Coldspot yang berkaitan dengan keberadaan hotspot, peningkatan dan penurunan hotspot, serta seberapa lama suatu hotspot dan coldspot berada di suatu lokasi.

Hotspot as an indicator in forest and land fire mitigation. Especially in peatland areas, the risk and urgency are considered greater than conventional fires. This research aims to analyze the spatiotemporal variability of hotspots and investigate the relationship between hotspot distribution patterns and natural factors including climate elements and land cover, as well as human factors in peatland areas. Hotspots were obtained from NASA’s FIRMS during the period 2015-2022. Daily continuous climate data was retrieved from TerraClimate at a resolution of 1/24°. For annual scale maps, TerraClimate imagery was used for rainfall and soil moisture data, MODIS for LST data. Land cover data were obtained from the Ministry of Environment and Forestry, which was then processed through reclassification and transition matrix. Human factors include hotspot distance to ditch networks, road networks, and river networks through the buffer process to assess their correlation with hotspots. The Emerging Hotspot Analysis (EHA) method was applied to identify patterns and behaviors of forest and peatland fires. The result of this study indicates a strong negative correlation between hotspots and one climate element, soil moisture and rainfall, with the most hotspot-sensitive land covers predominantly found in swamp and agricultural areas. Based on the EHA output, 5 patterns were identified, including Sporadic Hotspot, Persistent Hotspot, Consecutive Coldspot, Oscillating Coldspot, and New Coldspot related to hotspot presence, increase and decrease of hotspots, and how long a hotspot and coldspot stayed in a location.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Rachmawardani
"Banjir di Jakarta merupakan masalah yang kompleks yang dipengaruhi oleh kombinasi faktor geografis, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Studi ini berfokus pada prediksi banjir dengan membandingkan data stasiun darat Automatic Rain Gauge (ARG) dan data satelit Climate Hazards Group InfraRed Precipitation (CHIRPS) menggunakan Adaptive Neurofuzzy Inference System (ANFIS) yang terintegrasi dengan Principal Component Analysis (PCA). Dataset mencakup pengukuran curah hujan dari ARG dan CHIRPS, serta data ketinggian air dari tahun 2014 hingga 2020. ARG menyediakan data curah hujan lokal yang akurat, sementara CHIRPS menawarkan cakupan curah hujan regional yang luas. Teknik praproses seperti imputasi rata-rata, normalisasi data, dan metode interquartile range (IQR) digunakan untuk meningkatkan kualitas data. Model ANFIS-PCA, yang mengintegrasikan logika fuzzy dan pelatihan jaringan saraf tiruan, diterapkan dengan pembagian data 80:20 untuk pelatihan dan validasi. Ketika dilatih dengan data stasiun darat ARG dan pengukuran ketinggian air, model ANFIS-PCA menunjukkan akurasi yang superior, dengan root mean square error (RMSE) sebesar 0,13, mean absolute error (MAE) sebesar 0,12, dan R² sebesar 0,82. Sebaliknya, model ANFIS tanpa PCA menghasilkan kesalahan yang lebih tinggi, dengan RMSE 6,3, MAE 6,2, dan R² 0,74. Pelatihan dengan data satelit CHIRPS menghasilkan kesalahan yang jauh lebih tinggi (RMSE 30,14, MAE 24,05, R² 0,42). Sedangkan hasil ANFIS – PCA menghasilkan akurasi yang lebih bagus (RMSE 4,8, MAE 2,0 dan R² 0,55) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa ANFIS-PCA memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan model ANFIS tanpa PCA, terutama ketika dilatih dengan data dari stasiun darat. Integrasi PCA berhasil mengurangi dimensi data, meningkatkan efisiensi komputasi dan akurasi model. Selain itu hasil ini juga menegaskan keunggulan pengukuran curah hujan data ground station untuk prediksi banjir, mempunyai angka presisi yang lebih tinggi dan kerentanan yang lebih rendah terhadap kesalahan dibandingkan data satelit. Sementara itu data satelit CHIRPS menawarkan cakupan spasial yang lebih luas.

Flooding in Jakarta is a complex issue influenced by a combination of geographical, social, economic, and environmental factors. This study focuses on flood prediction by comparing ground station data from Automatic Rain Gauges (ARG) and satellite data from the Climate Hazards Group InfraRed Precipitation (CHIRPS) using the Adaptive Neuro-Fuzzy Inference System (ANFIS) integrated with Principal Component Analysis (PCA). The dataset includes rainfall measurements from ARG and CHIRPS, as well as water level data from 2014 to 2020. ARG provides accurate local rainfall data, while CHIRPS offers broad regional precipitation coverage. Preprocessing techniques such as mean imputation, data normalization, and the interquartile range (IQR) method were employed to enhance data quality.
The ANFIS-PCA model, which integrates fuzzy logic and neural network training, was implemented using an 80:20 data split for training and validation. When trained with ARG ground station data and water level measurements, the ANFIS-PCA model demonstrated superior accuracy, achieving a root mean square error (RMSE) of 0.13, mean absolute error (MAE) of 0.12, and R² of 0.82. In contrast, the ANFIS model without PCA yielded higher errors, with RMSE of 6.3, MAE of 6.2, and R² of 0.74. Training with CHIRPS satellite data resulted in significantly higher errors (RMSE 30.14, MAE 24.05, R² 0.42). Meanwhile, the ANFIS-PCA model trained on combined datasets showed improved performance, achieving RMSE of 4.8, MAE of 2.0, and R² of 0.55.
The results indicate that the ANFIS-PCA model outperforms the ANFIS model without PCA, particularly when trained with ground station data. The integration of PCA successfully reduced data dimensionality, improving computational efficiency and model accuracy. Furthermore, the findings reaffirm the superiority of ground-based measurements for flood prediction due to their higher precision and lower susceptibility to errors compared to satellite-derived data, while CHIRPS satellite data offers wider spatial coverage.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library