Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfan Fahmi
"ABSTRAK
Perbedaan pandangan yang mencolok di antara berbagai kelompok muslim Indonesia dalam isu-isu kemasyarakatan dan ketatanegaraan sesungguhnya merupakan perbedaan dalam memahami ajaran agama Islam. Perbedaan pemahaman ini kemudian berujung pada perbedaan ideologi atau orientasi politik yang dianut, bahkan pertarungan politik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai moral sebagai predikator dalam orientasi politik yang terbentuk dalam lima nilai moral, yakni nilai kepedulian, keadilan, kesetiaan, hormat pada otoritas dan nilai kesucian.Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dengan pendekatan analisis model struktural. Analisis model struktural digunakan untuk menguji model pengaruh nilai moral terhadap orientasi politik Islam. Partisipan pada penelitian ini adalah sejumlah individu beragama Islam, baik laki-laki maupun perempuan yang terafiliasi pada kelompok keagamaan muslim tertentu. Jumlah sampel dalam penelitian ini N = 531 orang muslim yang terafilisasi pada Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Persis, Mathlaul Anwar, Persatuan Umat Islam PUI , Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII , dan Hizbut Tahrir Indonesia HTI .Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa secara umum nilai moral dapat memprediksi orientasi politik Islam. Nilai moral yang terdiri dari kepedulian, keadilan, kesetiaan, hormat pada otoritas, dan kesucian dapat memprediksi orientasi politik Islam. Lebih khusus lagi, nilai moral kepedulian, keadilan, kesetiaan, dan hormat pada otoritas dapat memprediksi orientasi politik Islam dengan dimediasi oleh nilai moral kesucian. Perbedaan orientasi politik pada kelompok-kelompok Islam ditentukan oleh nilai moral kesucian. Temuan lainnya adalah setiap kelompok muslim Indonesia memperlihatkan pola yang berbeda dalam nilai moral yang memprediksi orientasi politik Islam. Berdasarkan penelitian ini Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Persatuan Umat Islam PUI , dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII termasuk kelompok Islam dengan orientasi politik inklusif sementara Persis dan Hizbut Tahrir Indonesia HTI termasuk pada kelompok Islam dengan orientasi politik eksklusif.

ABSTRACT
The striking differences of views among various Indonesian Muslim groups on social and constitutional issues are, in fact, differences in understanding Islamic teachings. This difference of understanding then leads to differences in ideology or political orientation adopted, even political struggles. This study aims to see the moral value as a predicator in the political orientation that is formed in five moral values, namely the value of caring, justice, loyalty, respect for authority and the value of sanctity.The research was conducted by quantitative method with structural model analysis approach. Structural model analysis is used to test the model of the influence of moral values on Islamic political orientation. Participants in this study were a number of Muslim individuals, both men and women affiliated with certain Muslim religious groups. The number of samples in this study N 531 of muslims affiliated to Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Persis, Mathlaul Anwar, Islamic Union PUI , Islamic Da 39 wah Institute of Indonesia LDII , and Hizbut Tahrir Indonesia HTI .The results obtained in this study is that in general the moral value can predict the political orientation of Islam. Moral values consisting of caring, justice, loyalty, respect for authority, and holiness can predict the political orientation of Islam. More specifically, the moral values of caring, justice, loyalty, and respect for authority can predict the political orientation of Islam by being mediated by the moral values of purity. The difference of political orientation to Islamic groups is determined by the moral values of purity. Another finding is that every Indonesian Muslim group shows a different pattern of moral values predicting Islamic political orientation. Based on this research, Nahdlatul Ulama NU , Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Islamic Unity PUI , and Islamic Da 39 wah Institute of Indonesia LDII including Islamic groups with inclusive political orientation while Persis and Hizbut Tahrir Indonesia HTI exclusive political orientation."
2016
D2407
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Abdul Rahman
"Umumnya, penelitian mengenai kemunafikan membatasi diri pada moralitas yang berdasarkan prinsip keadilan dan keperdulian. Padahal, bagi masyarakat beragama, seperti masyarakat Indonesia, prinsip moral jauh lebih luas, yaitu meliputi juga prinsip kesucian, loyalitas pada kelompok, dan otoritas. Bahkan dalam banyak kasus, bagi masyarakat beragama, prinsip kesucian kadang jauh lebih berpengaruh terhadap pengambilan keputusan moral daripada prinsip-prinsip lainnya. Dengan demikian, untuk memahami kemunafikan pada masyarakat beragama sebaiknya juga mempertimbangkan prinsip kesucian ini.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada studi ini, peneliti akan mengelaborasi hubungan antara prinsip kesucian dan kemunafikan. Prinsip moral kesucian yang diidentifikasikan ke dalam diri seseorang dan menyatu ke dalam tubuhnya sehingga peka terhadap kejijikan moral diduga akan menurunkan kemunafikan. Hal itu karena orang yang Identitas Kesucian Moralnya kuat akan mempunyai dorongan dan komitmen yang tinggi terhadap prinsip kesucian; lebih mudah mengalami kejijikan moral ketika dihadapkan pada perilaku yang melanggar prinsip kesucian; lebih sadar terhadap prinsip moral yang diyakininya; dan akan menilai kemunafikan dengan penilaian yang lebih buruk sehingga akan cenderung menghindarinya.
Untuk menguji tesis tersebut, peneliti melakukan tiga studi. Dua studi menggunakan rancangan eksperimental, dan satu studi menggunakan rancangan korelasional berganda. Studi pertama menunjukkan bahwa partisipan yang Identitas Kesucian Moralnya lemah lebih munafik daripada partisipan yang Identitas Kesucian Moralnya kuat. Hasil tersebut diperkuat oleh hasil studi kedua. Studi kedua juga menunjukkan bahwa Identitas Kesucian Moral akan lebih negatif pengaruhnya terhadap Kemunafikan jika disertai dengan Kejijikan Moral. Partisipan yang Identitas Kesucian Moralnya lemah akan lebih munafik jika Kejijikan Moralnya pun rendah. Namun, Kejijikan Moral sendiri hanya dapat menurunkan Kemunafikan jika mengendalikan jenis kelamin. Studi ketiga menunjukkan bahwa Identitas Kesucian Moral, Kejijikan Moral, dan interaksi diantara keduanya tidak hanya dapat menurunkan Kemunafikan, tapi juga dapat meningkatkan Integritas Moral. Studi ketiga juga menunjukkan bahwa pengaruh Identitas Kesucian Moral terhadap Integritas Moral didukung oleh kedua aspeknya, yaitu aspek internalisasi dan aspek simbolisasi, sedangkan pengaruh Kejijikan Moral terhadap Integritas Moral hanya didukung oleh aspek kejijikan moral yang ditimbulkan oleh pelanggaran terhadap aturan.

Studies on moral hypocrisy generally was dominated by morality based on principles of fairness and caring. Meanwhile, for the religious community, such as the Indonesian people, the moral principle was broader, included the principle of purity, group loyalty, and authority. For religious community, the principle of purity was sometimes more influence on their moral judgment than other principles. So, to understand the moral hypocrisy of religious community should consider the principle of purity be taken. Different with the previous studies, researcher would examine the impact of moral purity on moral hypocrisy. It was hypothesized that identified moral purity in one's self and embodied moral purity would reduce a moral hypocrisy. Someone who had strong Moral Purity Identity would had high moral motivation and commitment to the principle of purity; easily disgust when watching a moral purity transgression; had higher moral awareness; and made a severe evaluation with moral purity transgression.
To examine the thesis, researcher conducted three studies. Two studies used experimental design, and one study used multiple correlation design. The first study indicated that participants with weak Moral Purity Identity were more hypocrite than participant with high Moral Purity Identity. The results of first study were supported by the second study. The second study also indicated that Moral Disgust would the negative effect be enhanced of Moral Purity Identity on moral hypocrisy. Second study indicated that controlling gender of participants also decreased moral hypocrisy. A third study indicated that Moral Purity Identity, Moral Disgust, and the interaction among them not only could decreased on moral hypocrisy, but also they increased on Moral Integrity. The third study indicated that the effects of Moral Purity Identity on Moral Integrity was supported by internalization and symbolization aspects, while the effect of Moral Disgust on Moral Integrity was only supported by god rules transgression.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
D1447
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Tommy Yudha Sumatera Suyasa
"Some behaviors such as arriving late, taking excessive breaks, leaving early, performing tasks not relevant to the interests of the organization during work hours, and performing poor quality work, are all examples of counterproductive work behaviors (CWB). The most common types of CWB are wasted work time (idle time) and making work-relevant mistakes (work errors). Both are treated as indicators of the CWB in this study. Feedback on CWB is one of the main subjects evaluated in this dissertation. The theory used in previous studies has not consistently explained whether negative-feedback can decrease or increase the amount of CWB (Belschak & Den Hartog, 2009; Chang & Smithikrai 2010; Kwok, Au, & Ho, 2005; Smithikrai, 2008). Based on the emotion-centered models, negative-feedback can increase the amount of CWB, because it causes individuals to experience a negative affect. This in turn can cause individuals to intend to or even actually engage in CWB. According to learning theory, negative-feedback is necessary to decrease the amount of CWB. By receiving negative-feedback, individuals learn that their targets have not been reached, that performance should be improved, and that the quality of work should be raised.
In this study, researcher proposes a way of giving feedback (methods in giving feedback) as a concept that should be considered in explaining the CWB. Based on how the feedback is provided, negative-feedback can be either constructive or destructive. To understand the effects of methods in giving feedback on CWB, researcher performed two studies. Study 1 was carried out in a laboratory setting (experimental setting); 97 participants were involved and the study was performed at the Institute of Public Administration (IPDN). Study 2 was conducted in the field (field study), with the aim to better understand the results of Study 1. Participants in Study 2 included 185 civil servants from the local government.
Results showed that negative-feedback without consideration of the manner in which it is given, can increase or decrease the amount of CWB. But negativefeedback given constructively lowers the amount of CWB; while negativefeedback given destructively can increase it. Under controlled circumstances, giving destructive-feedback may reduce the amount of time wasted; but in natural situations, it can increase the tendency of employees to withdraw; a behavior that ultimately wastes even more time. In addition, although destructive feedback in controlled situations can reduce idle time, the amount of work errors can increase.

Penjelasan teoretis pada penelitian sebelumnya (Belschak & Den Hartog, 2009; Chang & Smithikrai, 2010; Kwok, Au, & Ho, 2005; Smithikrai, 2008) kurang menjelaskan secara konsisten apakah negative-feedback menurunkan atau meningkatkan CWB. Berdasarkan emotion-centered model, negative-feedback dapat meningkatkan CWB, karena akan membuat individu mengalami negativeaffect; yang selanjutnya akan membuat individu berniat ataupun melakukan CWB. Sedangkan, berdasarkan learning-theory, negative-feedback justru diperlukan untuk menurunkan CWB. Dengan mendapatkan negative-feedback, individu belajar mengetahui target yang belum tercapai, kinerja yang harus dilakukan, dan kualitas kerja mana yang harus diperbaiki.
Dalam studi ini, peneliti mengajukan konsep cara menegur (method of giving feedback) yang tampaknya perlu dipertimbangkan dalam menjelaskan CWB. Berdasarkan konsep cara menegur, negative-feedback dapat diberikan secara konstruktif (constructive feedback [CF]) maupun secara destruktif (destructive feedback [DF]). Konsep cara menegur diharapkan dapat memperjelas hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan dapat melengkapi theoretical gap dari kelompok teori yang menjelaskan CWB. Untuk memahami pengaruh cara menegur terhadap CWB, peneliti mendekatinya melalui Studi 1 dan Studi 2. Studi 1 dilakukan dalam situasi laboratorium (experimental setting); dengan jumlah partisipan 97 praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Studi 2 dilakukan dalam situasi lapangan (field study), untuk lebih memahami hasil penelitian Studi 1 secara alami. Partisipan dalam Studi 2 adalah 185 orang pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teguran yang diberikan secara destruktif (pemberian negative-feedback yang dilakukan tanpa postive-feedback, tanpa pemilihan kata yang tepat, kurang disertai solusi, dan bahkan disertai ancaman) dapat meningkatkan atau menurunkan CWB. Sedangkan teguran yang diberikan secara constructive (pemberian negative feedback yang disertai positive feedback, dilakukan dengan pemilihan kata-kata yang tepat, didasarkan rasa percaya, dan disertai solusi yang memungkinkan) akan menurunkan CWB.
Pemberian teguran secara destruktif meningkatkan negative-affect dibandingkan secara konstruktif. Pemberian teguran secara destruktif, dalam situasi terkontrol (experimental setting) boleh jadi menurunkan kesantaian-kerja (idle time); namun belum tentu menurunkan kesalahan-kerja (work errors). Pemberian teguran dengan cara destruktif dalam situasi terkontrol, boleh jadi justru meningkatkan. Dalam situasi alami, pemberian teguran secara destruktif berpotensi meningkatkan kecenderungan menarik diri (withdrawal). Perilaku menarik diri yang dilakukan, pada akhirnya menambah kesantaian-kerja. Di samping itu, pegawai yang diberikan teguran secara destruktif, mempersepsi bahwa dirinya banyak melakukan kesalahan atau mempersepsi bahwa tidak ada hal benar yang telah dilakukannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D2003
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Mariani Rahayu
"ABSTRAK
Kayau (headhunting) merupakan skrip budaya yang bersumber dari arketipe budaya masyakat Dayak di Kalimantan yang telah ditinggalkan sejak Rapat Damai Tumbang Anoi tahun 1894. Mulai saat itu, kayau dalam arti perburuan kepala manusia tidak lagi dipraktekkan. Berdasarkan kesepakatan yang diambil, hakayau (saling potong kepala), habunu (saling membunuh), dan hajipen (saling memperbudak) dihentikan. Penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dilakukan dengan mengacu pada hukum adat dan hukum negara.
Setelah lebih dari 100 tahun praktek kayau tidak lagi diajarkan dari generasi ke generasi, pada tragedi nasional kerusuhan Sampit tahun 2001, praktek kayau bangkit kembali. Fenomena ini menjadi penting untuk dikaji, karena praktek kayau yang mengandung ide jahat (evil), dalam konteks budaya masa kini termasuk ke dalam perilaku di luar batas kemanusiaan, dilakukan oleh mereka yang sehari-hari adalah masyarakat kebanyakan (ordinary people). Mereka bukan pelaku kejahatan atau tindak kriminal, dan tidak pernah melakukan pembunuhan dan cenderung tergolong orang baik (good people).
Bagaimana proses yang terjadi sehingga sebuah skrip budaya yang sudah tidak digunakan lebih dari dua generasi dapat bangkit kembali dan dilakukan oleh para pelaku dari generasi yang berbeda, yang tidak pernah melakukan kayau sebelumnya, menjadi pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Untuk memahami gejala yang terjadi, penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Tesis yang diajukan adalah, dalam situasi konflik, di saat identitas kolektif dan kolektif emosi lokal diaktivasi, maka sebuah arketipe budaya yang mengandung ide jahat, yang telah ―tidur‖ (dormant) lebih dari satu abad, dapat bangkit kembali, dan membatasi pilihan alternatif tindakan dalam pemecahan masalah. Meskipun tidak dipraktekkan lagi, skrip budaya kayau yang bersumber dari arketipe budaya, masih tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif. Skrip budaya tersebut dapat diaktivasi kembali pada situasi tertentu. Diduga, sebuah proses narasi dalam reproduksi serial masih terus terjadi dari generasi ke generasi. Tampaknya, kayau adalah sebuah ekspresi budaya kehormatan untuk manyalamat utus yang perlu menemukan bentuk alternatif pengekspresian positif pada masa sekarang ini.

ABSTRACT
Kayau (headhunting) is a cultural script that based on cultural archetype Dayak society in Kalimantan or known as Borneo island in Indonesia that no more conducted since ?Rapat Damai Tumbang Anoi? (the peace agreement Tumbang Anoi) in the year 1894. To commit the agreement, the tribe‟s activities such as hakayau (headhunting), habunu (killing each other), and hajipen (slavery) have been stopped. Conflict resolution in the society is nowadays solved based on ?Adat Law‟or State Law.
Over one hundred years mengayau has been left and not being taught to the next generation, but in the ethnic conflict called as national tragedy in Sampit in 2001, mengayau tradition has emerged. It is interesting to study this phenomenon because mengayau activity includes the idea of evil and in the modern cultural context mengayau activity is categorized as extraordinary evil behavior, and conducted by ordinary man or good people in their daily life.
It is interesting to study how the process of a dormant cultural script that have been run over the two generations can be achieved by people from different cohort and they have never been taught mengayau before. The study is conducted using qualitative and quantitative approaches to understand the phenomenon. Thesis statement being developed is in a conflict situation which is the collective identity and collective indigenous emotion are being activated a dormant cultural script or cultural archetype over one hundred years is emerged and ignoring the concept of good and evil in individual decision making process.
Although mengayau activity has been deactivated over one hundred years, the mengayau cultural script that based on cultural archetype is still kept as collective unconsciousness and can be activated in a certain situation. A narrative process in the term of serial reproduction is running over generations simultaneously. It is hypothesized that mengayau is a kind of culture of honor named ?manyalamat utus‟ that should be expressed in positive behaviour in modern life.
"
2016
D2171
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gumgum Gumelar Fajar Rakhman
"Persuasi adalah usaha penyampai pesan agar penerima pesan berespon sesuai dengan tujuannya. Usaha ini dilakukan di hampir semua bidang kehidupan. Orang tua mempersuasi anak, guru mempersuasi murid, politikus mempersuasi konstituennya dan produsen mempersuasi konsumennya.Luasnya bidang cakupan persuasi mendorong munculnya berbagai penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi keberhasilan persuasi. Sejauh ini, kebanyakan penelitian berpusat pada faktor yang mempengaruhi keberhasilan persuasi yang bersifat argumentatif.Karena penelitian-penelitian itu tidak membawa hasil yang memuaskan, timbullah usaha untuk meneliti efektivitas pesan yang bukan bersifat argumentatif, melainkan bersifat naratif. Pesan naratif ternyata mengurangi kecenderungan penerima pesan untuk memberikan argumen tandingan, karena pesan naratif membuat penerima pesan hanyut dalam alur cerita.Disertasi ini menguraikan hasil penelitian yang dilakukan dengan metode eksperimen dalam konteks perilaku ramah lingkungan. Ditemukan bahwa persuasi naratif terbukti lebih efektif dibandingkan dengan persuasi argumentatif. Selanjutnya juga ditemukan bahwa pesan naratif yang dibingkai dengan risiko kerugian individual ternyata lebih efektif daripada pesan yang dibingkai dengan risiko kerusakan lingkungan.

Persuasion is an attempt to delivers message so the receiver able to respond accordingly. This purpose exists in all of our life aspect. Parents persuade their child, teacher persuade their student, politician persuade their constituent and producer do it as well to their consumers. The breadth of this field encourages many studies about factors that influenced the effectiveness of persuasion process.So far, most of the existing studies focused on factors that influenced to the effectiveness of persuasion with an argumentative type. However, due to unsatisfying results made from these previous studies, there is an attempt, which instead focused on the persuasion with argumentative type, it is focused on a narrative persuasion type. Narrative message type is apparently reduced the receiver tendency to give a counter argument by made them transported into the plot of a story.This research outlined findings through an experimental method with the pro environmental behaviour as its context. It was found that narrative persuasion type significantly effective compared to the argumentative type. Further, it was also proved that a narrative message type which is framed by an individual lost risk was likely more effective compare to a message which framed by an environmental lost scenario.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
D2342
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library