Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rasyid Saleh
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi dan didorong oleh keinginan untuk melihat hubungan antara dinamika kepemerintahan desa dengan struktur sosial, khususnya dalam bentuk ketiga dimensi stratifikasi sosial masyarakat Bulukumba, yakni: kekuasaan, privilese dan prestise. Peneliti sendiri berasal dari Sulawesi Selatan dan berkecimpung selama puluhan tahun dalam birokrasi, khususnya di Iingkungan Departemen Dalam Negeri RI. Peneliti menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial budaya, dan malah untuk kasus masyarakat Bugis-Makassar dengan tradisi kerajaan dan kebangsawanannya di masa lampau, nampaknya cukup sulit untuk dipisahkan. Ada tiga tujuan yang dicapai melalui penelitian ini, yakni: (i) Menggambarkan pengaruh hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi sosial: kekuasaan, privilese dan prestise dalam pelaksanaan pemerintahan desa di Bulukumba; (ii) Menggambarkan fase-fase pemerintahan desa menurut dimensi stratifikasi sosial yang dominan; (iii) Memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Bulukumba. Sejalan dengan tujuan di atas, penelitian ini dapat berkontribusi pada: (i) Pengembangan teori stratifikasi sosial pada tingkat Iokal, seperti yang pernah dilakukan oleh R.M.Z. Lawang unluk konteks masyarakat Manggarai di Flores Barat (1989/2004); (ii) Identifikasi yang lebih trgas lagi terhadap kontribusi sosiologi pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa di Bulukumba, dimana kekuatan tradisi kebangsawanan masih cukup kuat. Baik tradisi kerajaan dan kebangsawanan Bugis-Makassar maupun sistem pemerintahan desa di Indonesia memiliki sejarahnya sendiri. Dimensi yang menonjol dari sistem stratifikasi sosial juga berbeda-beda dalam setiap kurun waktu (fase) pada rentang sejarah, seperti yang sudah dibuktikan Lawang (ibid.). Pertanyaan penelitian yang memandu pengumpulan informasi dan analisis penelitian, ialah: apakah interaksi antara penyelenggaraan pemerintahan desa dengan struktur sosial terjadi dengan cara yang sama untuk setiap pariode? Dengan kata lain: apakah ketiga dimensi Stratifikasi Sosial itu mempunyai pengaruh yang sama dari dulu sampai sekarang di Bulukumba ? Dinamika sosiologik ini pernah dibahas secara teoritik klasik oleh Max Weber dalam tiga konsep stratifikasi sosial, yakni: kekuasaan, privilese dan prestise, dimana ketiga dimensi itu pada dasarnya berdiri sendiri, namun faktor ekonomi (priviles) mempengaruhi kedua lainnya (M. Weber, 1963). Karl Marx menjawab pertanyaan penelitian itu dengan mengatakan bahwa dimensi ekonomi merupakan dimensi utama yang paling menentukan dalam sejarah perkembangan kapitalisme. Sebaliknya Gerhard E. Lenski justru menempatkan dimensi kekuasaan yang mempengaruhi kedua dimensi lainnya. Dalam studi R.M.Z. Lawang tentang Manggarai, pengaruh ketiga dimensi itu berbeda-beda dalam sejarah. Teori terakhir inilah yang menjadi inspirasi bagi peneliti untuk melihat, apakah sejarah Bulukumba memperlihatkan kecenderungan yang sama. Dari pelaksanaan penelitian, ternyata hasilnya berbeda. Untuk menjabarkan lebih jauh pokok pikiran Lenski dan Lawang, sejarah pemerintahan Bulukumba dibagi ke dalam empat periods, yakni : (i) Periode pra kemerdekaan sampai tahun 1945; (ii) Periode |946-1979; (iii) Periode 1980-2000; (iv) Pcriodc 2001-sekarang. Periodesasi ini mempunyai argumentasi yang dipertanggungjawabkan dalam metodologi. Metode dan teknik penelitian dilakukan melalui: wawancara mendalam, pengamatan dan Focus Group Discussion, merupakan tiga metode utama, disamping analisis dokumen untuk mengumpulkan infomiasi di lapangan. Setelah informasi itu dianalisis, beberapa temuan menarik perlu dikemukakan sebagai berikut: Pertama, selama periode pra kemerdekaan sampai tahun 1945, dimensi kekuasaan Bugis-Makassar rnasih membayangi prestise bangsawan. Tanpa kekuasaan, prestise bangsawan ini tidak ada kekuatannya. Prestise yang melekat pada bangsawan (Arung, Karaeng, Datu dan Andi) merupakan dimensi yang mempengaruhi dimensi kekuasaan Iokal desa, serta privilese yang mereka peroleh. Distribusi ketiga dimensi stratifikasi sosial ini disajikan dalam Bab Ill. Kedua, periode 1946-i979 tidak berbeda jauh dari yang sebelumnya tetapi selama periode ini berlangsung, sudah terjadi pergeseran. Kalau pada periode sebelumnya dimensi prestise yang dominan, pada periode ini dimensi privilese sudah mulai mendapat tempatnya dan mempengaruhi kedua dimensi lainnya. Distribusi ketiga dimensi ini digambarkan dalam Bab IV. Ketiga, periode 1980-2000 mcmpunyai corak yang lain. Selama periode ini, teori Lenski nampak benar sekali dalam kenyataannya. Orde Baru menginstitusionalisasikan kekuasaan birokrasi yang bertumpu pada UU Nomor 5/I974 dan UU Nomor 5/1979. Efektivitas birokrasi desa terjadi, karena dukungan kekuasaan dan uang (privilese). Mesin politik yang paling dominan ketika itu adalah GOLKAR yang sangat mempengaruhi birokrat. Bab V mcnggambarkan distribusi ini secara panjang lebar. Keempat, periode 2001-sekarang, dengan semangat otonomi desa dan daerah, ada keinginan untuk kembali ke struktur lama yang belum jelas. Di satu pihak prestise yang berakar pada kebangsawanan mulai dihidupkan kembali dengan konsekuensi munculnya feodalisme baru yang mengganggu efektifitas pemerintahan, tetapi dilain pihak identitas lokal mulai menunjukkan wajahnya dalam wacana dan harapan masyarakat. Pembahasannya dapat dilihat dalam Bab VI. Kelima, dalam setiap periode sejarah perkembangan pemerintahan desa di Bulukumba, sangatlah sulit untuk membedakan dimensi kekuasaan dari prestise. Keduanya melebur menjadi satu, seperti halnya hubungan antara kerajaan Bugis-Makassar (kekuasaan) dan kebangsawanan (prestise) di masa silam. Revitalisasi yang dilakukan saat ini belum memperlihatkan arahnya yang jelas.
Depok: 2005
D795
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sobana Hardjasaputra
Abstrak :
ABSTRACT
Bandung city was founded by R.A. Wiranatakusumah I1, the sixth regent of Bandung (1794 _ 1829). It was originally a traditional city that was established as the center of the governmental regency. The result of the study concluded that 25 September 1810 is the birth of the city. So, the date is considered as the starting point of social changes of the city in the nineteenth century. The social changes in Bandung in 1810 _ 1906 were caused due to the interaction of many factors. Among these factors involved three aspects : authority, city physic, and social economic. The first authority was held by both bupati (regent) and governor general/resident. Both authorities influenced the change process of the physic of the city and its sosial economic. So, the interaction of one aspect to the others is the basic pattern of the changes. he process of the changes lasted in three phases. Each was based on the city function. First, as the capital of the regency (1810 _ 1864). The second, as the capital of the residency as well as the first function (1864 _ 1884), and third as the center of the train transportation of ""West Line"", as well as playing the role of the first and the second functions (1884 _ 1906). The changes of the first phase was slow, but it was faster on the second phase and fastest on the last phase. The main factors that supported the speed of the third phase were the train tranportation (technological factor), and the foreign businessmen as well as the social institution who took the important role in developing city. It is concluded that the social change of Bandung city from 1810 to 1906 had unilinear character, that was from traditional condition to the modern condition."
2002
D1634
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumintang, Onnie Mentang
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
D1849
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oetami Dewi
Abstrak :
Resistensi petani pada umumnya dipahami sebagai bentuk reaksi terhadap ancaman keamanan atau hilangnya mekanisme sosial yang menjamin terpenuhinya kebutuhan subsistensi rumah tangga petani. Ancaman terhadap subsistensi patani itu dapat muncul dari banyak kasus seperti komersialisasi dan kapitalisasi sistem pertanian di pedesaan, intervensi teknologi baru dalam bidang pertanian yang lebih bersifat padat modal daripada padat karya, tekanan demografis, revolusi hijau dan lain sebagainya. Resistensi petani plasma perkebunan kelapa sawit mulai berkembang setelah produktivitas kebun menurun dan kesejahteraan hidup mereka semakin merosot bersamaan dengan pertambahan populasi penduduk. Petani plasma yang terikat oleh sistem contract farming dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit ini dalam posisi yang sangat tergantung pada perusahaan dan hampir tidak memiliki bargaining position. Pada sisi lain pihak manejemen PTPN XIII PIR V Ngabang telah berhasil membangun kerjasama yang kuat dengan pemerintah daerah, aparat keamanan dan tokoh-tokoh politik serta tokoh-tokoh masyarakat setempat guna menahan segala bentuk resistensi dari petani plasma dan warga masyarakat di sekitar tapak perusahaan perkebunan tersebut berada. Dengan demikian tidak cukup memadai peluang politik bagi para petani plasma untuk memperjuangkan permasalahan mereka. Dalam kondisi seperti ini maka dapat dipahami apabila petani plasma cenderung memilih bentuk resistensi yang bersifat tertutup atau terselubung seperti pencurian buah kelapa sawit, pembakaran pohon sawit, penanaman pohon karat di areal kebun inti, dan penanaman benih tidak bersertifikat. Implikasi teoritis yang dapat dipetik dari studi ini antara lain dalam komunitas petani plasma di Ngabang tidak berkembang kesadaran kelas. Kondisi demikian berkaitan terjadi karena belum berkembangnya institusi kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian secara individual. Sebelmn PTPN XIII beroperasi di Ngabang, terdapat institusi penguasaan tanah pertanian secara kolektif atau komunal. Kesadaran kolektif yang berkembang pada komunitas petani plasma Ngabang adalah kasadaran akan identitas kultural mereka sebagai masyarakat Dayak yang tidak dapat dilepaskan dari adat dan hukum adat Petani plasma dan orang Dayak pada umumnya memlliki rasa inferioritas yang sensitif apabila identitas kultural terasa dilecehkan maka akan muncul tindakan impulsif untuk membuktikan diri mereka sebagai putra daerah "yang berkuasa" di wilayah tersebut. Karakteristik tradisional dalam diri petani plasma di Ngabang bukan sekedar bersifat given, inheren dan melekat dalam pola perilaku petani plasma. Namun karakteristik ini berkaitan dengan serangkaian kebijakan pemerintah, tanggapan pihak perusahaan, dan konstruksi identitas yang telah lama dibangun oleh para aktivis LSM yang menegaskan bahwa identitas petani dan masyarakat Dayak pada umumnya adalah sebagai masyarakat adat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat para ahli bahwa petani memiliki kebudayaan asli yang tradisional. Temuan dalam studi ini menyatakan bahwa karakteristik tradisional dalam diri petani juga merupakan dampak dari proses konstruksi sosial yang dilakukan oleh negara dan Iembaga kapital yang bertujuan menundukkan komunitas petani dan mengambilalih kontrol penguasaan sumber daya alam dari tangan petani. Guna mencapai maksud tersebut, negara melakukan pendekatan teritorialisasi sehingga wilayah "pedalaman" tempat tinggal petani dan tempat keberadaan sumber daya alam berada di bawah kontrol kekuasaan birokrasi negara. Akibat lebih jauh dari konstruksi idenitas tersebut petani plasma menjadi terjebak dalam konstruksi identitas dan solidalitas yang bersifat sempit dan lokal. Dalam keadaan dernikian perusahaan perkebunan merespon semua bentuk resistensi petani seperti permasalahan konflik adat bukan konflik ekonomi. Dengan konstruksi sosial seperti ini segala bentuk resistensi petani plasma menjadi lebih mudah ditundukkan dan dilokalisir dalam ranah kultural adat dan tidak akan berkembang menjadi perlawanan kolektif skala besar. Temuan ini menunjukan bahwa ?adat? menjadi instrument yang dipergunakan perusahaan untuk melokalisasi resistensi petani plasma Resistensi petani plasma Ngabang tidak cukup dijelaskan dari sisi internal petani seperti mari-teori klasik tentang perlawanan petani yakni ada atau tidak adanya ideologi dan pemimpin namun harus mempertimbangkan faktor kontekstual yakni konstelasi relasi pasar, negara dan komunitas serta motivasi petani untuk memanfaatkan peluang yang ada. Resistensi terselubung yang dilakukan petani plasma terhadap PTPN XIII di Ngabang bukan bertujuan untuk mengembalikan sistem perekonomian subsisten namun justru didorong oleh motivasi untuk memperbesar akses keterlibatan petani plasma dalam sistem perkebunan kelapa sawit seperti memperoleh penghasilan lebih besar dan manduduki posisi terhormat dalam birokrasi perkebunan. Temuan ini jauh berbeda dengan pernyataan Scott bahwa petani akan selalu mempertahankan sistem perekonomian subsisten karena sistem ini dianggap memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga petani. Petani plasma dalam bertindak lebih mengutamakan kepentingan individual dan tidak mempertimbangkan kepentingan kolektif seperti yang dikatakan oleh para pendukung perspektif teori moral ekonomi. Konsepsi teoritis tentang bentuk-bentuk resistensi petani yang dikembangkan oleh para pendukung paradigma moral ekonomi hanya mampu menjelaskan bentuk resistensi terselubung yang dilakukan oleh petani plasma di Ngabang namun gagal untuk menjelaskan dorongan atau motivasi yang melandasi resistensi petani plasma terhadap PTPN XIII PIR V Ngabang.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D789
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djaka Soehendera
Abstrak :
ABSTRACT The Dissertation problem is concerning about implementation of land adjudication project (LAP) for poor people in slum area at jakarta City. Realization of the project faced fact that the socio economic conditions of the people are heterogenic, and have been defended to through application of various social institutions and culture, including by poor people. People anticipate that project with that variation. After adjudication, existence of land certificate do not always in line with clauses and mechanism of other development projects, hence poor people even also perforce to anticipate that condition with some ability and many ways. For the purpose of law and economics development for the poor people, this dissertation sees that target of adjudication influenced by a number of factors. So, the problem of this dissertation included an absolute poorness form, ownership doubting of land right, or the limited opportunity of poor people to access legal things. Not to mention existence of other resistance which faced by poor people after project of land adjudication done. Land adjudication in fact is only one of the small shares or step of a big and wide development process. Adjudication is only a step early to follow that big current. But if poor people only base on land adjudication is not yet adequate. The poor needed many other formal prerequisites if they want to be successful. And, adjudication also is not ending result. Adjudication of course yields formal evidence, namely land certificate, but certificate remains to have to be related to other formal things so that can useful for them. Thereby, development in fact affects less both for the poor. Development is not merely a planned process which isn't it become a set activity for whosoever, but require selected things, especially productive capital which can continue to develop. As a result, development become to side at owner of capital. Field data indicated regarding importantly of give adequate attention to heterogeneity that happened, especially in slum area. Existing heterogeneity exactly can equip various concept and theory, for example hitting ?culture of poverty' nor macro social and micro social concepts of Southall (1973) less giving of attention at variant that happened and barbed with people dynamics in answering to all sort of matter which intervening their social group, Heterogeneity also indication of is existence of culture knowledge which vary at people which remain to slum area. Culture knowledge which vary that will be used them to answer to various development intervention. If we mentioned more pay attention, hence will be able to assist us to analyze the essence relation between society and development.
2006
D813
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saharuddin
Abstrak :
I would like to point out through this dissertation that the network established among the institutions have a significant contribution in the firmation and integration occurs through a series of cooperation and competition among actors in the use of scarce resource based on the 'surplus' possessed by each party. The foundation of cooperation and competition is built through patterns of relationship that is developed by three categories of Aceh Besar fisherman economic main actor; i.e. lake boat, pawang, and toke bangku (actors of the base-structure). The relationship system of cooperation and competition that runs parallel to the symmetrical relationship paterns succeed to avoid the symptom of 'patronage' as often in every fisherman community in other parts of Indonesia. I would like to point out the symptom of the above integration by observing the behavior of actors in the fish catching system of Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam Province like toke boat, pawang, and toke bangku, and other actors related to them in the frame of economic purposed such as margee, pengrajin ikan asin (salted-fish maker), aneuk pukat, and becak laut, or others i called as periphery actors. Each of the mentioned actors acts as key actor in the expansion of cooperation networking and competition among fisherman. Outside of the above two actor categories: there are auxiliaries that o called as environmental components such as aoutside capital provider, panglima laot lhok, panglima laot provinsi, and the clement from the government. Such environmental componen possess the functions to facilitate, suppress, limit, and control the actions of actors especially the actions of actors in the 'base structure'. The effect of environment pressure has caused Aceh fisherman to get stuck in the middle of the two main powers. The first is the power came from the land in the form of coastal resource exploitation that significantly affect the traditional fisherman's way of life. Th second is the power came from the sea that the development of global capitalist in the sector of marine resource exploitation has produced large capitalized fish catchers that over exploit marine resource which make the traditional fisherman' yield significantly decrease. Such a power is the result of the cooperatio. between the government's policy and the capitalist. In the mean time, th institution of Lembaga Adat Laor/Pan lima Laot of Nanggroe Aceh Darussalar. Province gives strong pressure to panglima laot lhok, so that the panglima lac llwk then lost his autonomy. In confronting the environmental pressure that occurs in the fish catching sector, the economic actor of Aceh Besar traditional fishermen try to empower the 'surplus' they have and by using the institution and the existing inter-institution network; such as familial network, cooperation network by complementing 'surplus' - toke boat. pawang , and toke bangku, panglima laot institution and state institution; although the las institution is applid limited to only certain actors.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D821
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Putri Permata
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini membahas tentang Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin KUBE FM , sebagai upaya pemberdayaan masyarakat miskin melalui kelompok. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada proses pembentukan kelompok, rekruitmen terjadi secara top-down, dan pendamping berfungsi sebagai fasilitator. Dalam proses pendampingan dan pembinaan yang dilakukan, yang paling berperan dalam menentukan perkembangan KUBE FM adalah pendamping desa. Hal ini karena pendamping desalah yang paling sering berinteraksi dengan ketua dan para anggota KUBE FM. Kualitas interaksi, peran pendamping sebagai pelaku perubahan, serta adanya komitmen terhadap tujuan kelompok merupakan fakror-faktor yang berinteraksi dalam menentukan perkembangan kelompok. Penelitian ini menyimpulkan bahwa KUBE FM dapat menjadi media dalam memberdayakan fakir miskin. Kelompok yang dinamis disertai dengan pendampingan yang intensif dapat memperbesar peluang keberhasilan pemberdayaan masyarakat miskin melalui KUBE FM.
ABSTRACT
This dissertation discussed about economical joint group effort of the poorest KUBE FM as an effort to empower poor community through group. This research used qualitative design. The result of this research showed that at group formation processs, recruitment was top down and the consultant roled as facilitator. Generally, at consultation and supervision process, the most influenced person in determining the development of KUBE FM was village consultant. This was because he did most interaction with the leader as well as members of the group. Quality of interaction, roles of consultant as change agent and commitment toward the goal were factors which interact in determining the the development of KUBE FM. This research conclude that KUBE FM could be used as medium to empower the poorest community. Dynamic group accompanied by intensive consultation could enhance the success of KUBE FM in empowering poor community.
2017
D1721
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library