Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shaza Fadhilah
Abstrak :
Latar belakang: Corona Virus Disease 19 (COVID-19) merupakan sebuah kumpulan gejala permasalahan saluran napas atas yang disebabkan olehh virus SARS-CoV-2. Penyakit ini telah menjadi permasalahan global, dan diketahui bahwa populasi lanjut usia memiliki risiko jangkitan dan mortalitas yang tinggi. Prevalensi mortalitas pasien COVID-19 lanjut usia adalah 49,9%. Angka ini sangatlah tinggi karena pasien lanjut usia memiliki faktor risiko yang lebih banyak dibandingkan populasi dewasa, faktor risiko tersebut adalah usia, komorbiditas, dan adanya perubahan fungsi tubuh. Salah satu faktor risiko yang penting untuk dipertimbangkan dalam menilai prognosis adalah status nutrisi pasien. Disebutkan bahwa pasien lanjut usia memiliki prevalensi risiko malnutrisi yang tinggi yaitu berkisar antara 18-78%. Oleh karena itulah penelitian memiliki tujuan untuk melihat hubungan status nutrisi dengan mortalitas pasien COVID-19 berusia lanjut. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo. Hasil: Total subjek penelitian berjumlah 459 orang dengan pasien berusia 60-69 tahun sebanyak 302 orang (65,7%) dan pasien berusia ≥70 tahun sebanyak 157 orang (34,2%). Rata-rata usia subjek penelitian adalah 67,78 ± 6,9 tahun dengan median 66 tahun. Jenis kelamin subjek yang paling mendominasi adalah laki-laki dengan jumlah 279 orang (60,8%). Sebanyak 177 orang (38,6%) dinyatakan berisiko malnutrisi menggunakan asesmen malnutrition screening tool (MST). Angka mortalitas dalam perawatan pasien COVID-19 berusia lanjut adalah 28,3%. Pada analisis bivariat, didapatkan bahwa malnutrisi memiliki hubungan yang signifikan pada mortalitas pasien COVID-19 berusia lanjut dengan relative risk 2,63 (95% CI: 2,603-6,273; p = 0,000). Kesimpulan: Malnutrisi meningkatkan risiko mortalitas pasien COVID-19 berusia lanjut. ......Introduction: Corona Virus Disease 19 (COVID-19) is a disease that is caused by SARS-CoV-2 and can be identified by several respiratory symptoms. This disease has been a global threat in every country, and it is known that elderly population have the greatest risk of infection and mortality. The mortality prevalence of eldery patients infected by COVID-19 in Indonesia is 49,9%. The prevalence is so high because elderly patient carries a lot of risk factors, such as age itself, comorbidities, and functional body change. One of the risk factors that we need to consider to be prognostic factors is nutrition status. Malnutrition prevalence in elderly patients is estimated to be 18-78%. With that in mind, this research is intended to look at the effect of nutrition status on mortality in COVID-19 elderly patients.      Method: This research is using retrospective cohort as its study design. We used secondary data from the Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo patient’s medical records. Result: There are 459 research subjects with 302 people (65,7%) in the 60-69 years old age population and 157 remaining people (34,2%) in ≥ 70 years old age population. The mean age in this study was 67,78 ± 6,9 years old with the median of 66 years old. This study population was dominated by males group of 279 people (60,8%). A total of 177 people was diagnosed with risk of malnutrition by malnutrition screening tool (MST) assessment. In-hospital mortality occurred for 28,3% from total sample population.  Bivariat analysis showed that malnutrition has a significant relationship with mortality in COVID-19 elderly patients with a relative risk of 2,63 (95% CI: 2,603-6,273; p = 0,000). Conclusion: Malnutrition increased the mortality risk for COVID-19 elderly patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pitt Akbar
Abstrak :
Latar belakang: Frailty merupakan sindrom biologis yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap hasil yang lebih buruk terhadap pasien. Penilaian frailty saat ini berkembang pada populasi penyakit lainnya antara lain pada populasi pasien sirosis hati. Modalitas yang dikembangkan dan sudah divalidasi untuk menilai frailty pada populasi sirosis hati adalah dengan Liver Frailty Index (LFI). Prevalensi pasien sirosis hati yang mengalami frail ternyata cukup tinggi. Dipikirkan pasien yang mengalami frail akan meningkatkan mortalitas pada pasien sirosis hati. Tujuan: Menilai apakah frailty berdasarkan Liver Frailty Index dapat menjadi prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati Metode: Penelusuran literatur dilakukan melalui basis data daring: PubMed/ MEDLINE, EMBASE, ProQuest, dan EBSCOhost dengan menggunakan kata kunci “sirosis hati” dan “liver frailty index” dalam Bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dilakukan melalui portal data nasional, e-library fakultas kedokteran, dan snowballing. Studi yang dimasukkan ke dalam penelitian adalah studi kohort prospektif dan retrospektif yang mengikutsertakan pasien sirosis hati tanpa keganasan hati dan melaporkan mortalitas pasien berdasarkan status frailty. Hasil: Sebanyak 7 artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis ini, 3 diantaranya diikutkan dalam meta-analisis untuk menilai hubungan dengan mortalitas dan 2 studi menilai hubungan dengan kejadian dekompensasi. Risiko mortalitas lebih tinggi pada pasien sirosis dengan frailty (HR 1,68; IK 95% 1,36-2,08; p<0,00001). Frailty berhubungan dengan kejadian asites (OR 1,84 IK 95% 1,41-2,40; p<0,00001). Tidak didapatkan adanya hubungan antara frailty dengan kejadian EH pada pasien sirosis hati (OR 1,57 IK 95% 0,65-3,80; p=0,31). Kesimpulan: Frailty merupakan prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati. Pasien sirosis hati dengan frailty memiliki risiko kematian lebih besar dibandingkan pasien sirosis hati tanpa frailty. ......Background: Frailty is a biologic syndrome that can lead to susceptibility to poorer outcomes for patients. Frailty assessment is currently developing in other disease populations, including the population of patients with liver cirrhosis. The developed and validated modality to assess frailty in the liver cirrhosis population is the Liver Frailty Index (LFI). The prevalence of liver cirrhosis patients who experience frail is quite high. It is thought that patients who experience frail will increase mortality in patients with liver cirrhosis. Objective: Assessing whether frailty based on the Liver Frailty Index can be a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis. Methods: Literature search was conducted through online databases: PubMed/MEDLINE, EMBASE, ProQuest, and EBSCOhost using the keywords “cirrhosis of the liver” and “liver frailty index” in English and Indonesian. Manual searches were carried out through national data portals, medical faculty e-libraries, and snowballing. The studies included in the study were prospective and retrospective cohort studies that included patients with liver cirrhosis without liver malignancy and reported patient mortality based on frailty status. Results: A total of 7 articles were included in this systematic review, 3 of which were included in a meta-analysis to assess the association with mortality and 2 studies assessed the association with the incidence of decompensation. There was a higher risk of mortality in cirrhotic patients with frailty (HR 1.68; 95% CI 1.36-2.08; p<0.00001). Frailty was found to be associated with the incidence of ascites (OR 1.84 95% CI 1.41-2.40; p<0.00001). There was no association between frailty and the incidence of HE in patients with liver cirrhosis (OR 1.57 95% CI 0.65-3.80; p=0.31). Conclusion: Frailty is a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis. Liver cirrhosis patients with frailty have a greater risk of death than patients with liver cirrhosis without frailty.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Laviani
Abstrak :
Latar Belakang: Kolitis ulseratif distal merupakan kolitis ulseratif yang paling sering ditemukan. Dibandingkan dengan terapi oral, terapi topikal kurang banyak digunakan pasien. Satu studi melaporkan bahwa terapi oral digunakan pada 35,6% pasien sedangkan terapi topikal hanya digunakan pada 6,7% pasien. Namun demikian, berbagai studi yang menilai terapi topikal tersebut memberikan hasil yang inkonsisten. Tujuan: Mengetahui efektivitas pemberian beberapa terapi topikal dalam tatalaksana kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang. Sumber Data: Penelusuran studi dilakukan hingga September 2020 pada empat basis data: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, dan SCOPUS. Pencarian sekunder dilakukan dengan teknik snowballing pada referensi studi yang ditemukan, pencarian melalui ClinicalTrial.Gov, pencarian melalui Garuda, dan Global Index Medicus. Seleksi Studi: Studi randomized controlled trial (RCT). Subyek merupakan pasien kolitis ulseratif distal derajat ringan dan sedang. Studi dengan intervensi yang dilakukan berupa terapi topikal 5-ASA enema, kortikosteroid enema, asam hialuronat enema. Luaran efektivitas yang dinilai berdasarkan respon klinis, remisi klinis, profil keamanan dan efek samping terapi tersebut. Tidak dilakukan pembatasan bahasa maupun waktu. Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau secara independen. Hasil: Respon klinis ditunjukkan pada pemberian 5-ASA enema dibandingkan plasebo enema (RR 2.48, IK 95% 1.81-3.38, p<0.00001). NNT 3 (IK 95% 2-4). Remisi klinis ditunjukkan pada pemberian kortikosteroid enema dibandingkan plasebo enema (RR 1.98, IK 95% 1.59-2.45, p<0.00001). NNT 5 (IK 95% 4-7). Tidak terdapat perbedaan antara pemberian 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema baik Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, IK 95% 0.70-1.54, p=0.85) dan Budesonide enema (RR 1.26, IK 95% 0.91-1.73, p=0.16). Asam hialuronat enema merupakan terapi topikal baru yang cukup aman dan efektif namun membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan kualitas penelitian yang lebih baik. Terapi topikal memiliki profil keamanan yang baik. Sebagian besar adverse event ringan dan tidak signifikan. Kesimpulan: 5-ASA enema dan kortikosteroid enema efektif dalam mencapai respon dan remisi klinis bila dibandingkan dengan plasebo. Tidak terdapat perbedaan antara 5-ASA enema bila dibandingkan dengan kortikosteroid enema ......Background: Distal ulcerative colitis is the most common ulcerative colitis. Compared with oral therapy, topical therapy is less used by patients. One study reported that oral therapy was used in 35.6% of patients whereas topical therapy was used in only 6.7% of patients. However, studies assessing this topical therapy have yielded inconsistent results. Objective: To determine the effectiveness of topical therapy in the management of mild and moderate distal ulcerative colitis. Data Source: Study searching was done through September 2020 on four databases: PubMed / MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and SCOPUS. Secondary searching was done by snowballing method of the study references, searching through ClinicalTrial.Gov, Garuda, and the Global Index Medicus. Study Selection: A randomized controlled trial (RCT). Subjects were mild and moderate distal ulcerative colitis patients. Intervention studies included topical 5-ASA enema therapy, corticosteroid enema, and hyaluronic acid enema. The effectiveness outcome was assessed based on clinical response, clinical remission, safety profile and side effects of the therapy. There are no language or time restrictions. Data Extraction: Data extraction was done by both reviewers independently. Results: Clinical response was shown in 5-ASA enema versus placebo enema (RR 2.48, CI 95% 1.81-3.38, p <0.00001). NNT 3 (CI 95% 2-4). Clinical remission was shown in corticosteroid enema versus placebo enema (RR 1.98, CI 95% 1.59-2.45, p <0.00001). NNT 5 (CI 95% 4-7). There was no difference between 5-ASA enema administration when compared to corticosteroid enema, Beclomethasone diproprionate enema (RR 1.04, 95% CI 0.70-1.54, p = 0.85) and Budesonide enema (RR 1.26, CI 95% 0.91 -1.73, p = 0.16). Hyaluronic acid enema is a new topical therapy that is quite safe and effective in achieving clinical response and remission but requires further research with better research quality. Topical therapies have a good safety profile. Most of the adverse events were mild and insignificant. Conclusion: 5-ASA enemas and corticosteroid enemas were effective in achieving clinical response and remission when compared to placebo. There was no difference between 5-ASA enemas when compared with corticosteroid enemas
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Radityo Prabowo
Abstrak :
Latar Belakang : Major Adverse Cardiac Events (MACE) adalah penyebab penting morbiditas dan mortalitas perioperatif pasien usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak. Geriatric Sensitive Cardiac Risk Index diketahui memiliki akurasi yang baik dalam memprediksi kejadian henti jantung dan infark miokardium pada usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak. Namun, belum pernah dilakukan uji performa index tersebut di Indonesia dengan perbedaan karakteristik usia dan komorbiditas yang berbeda. Tujuan: Mengetahui performa index GSCRI dalam memprediksi kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Event) pada pasien usia lanjut yang menjalani operasi non kardiak dengan karakteristik usia lanjut pada populasi geriatri Indonesia. Metode : Studi retrospektif berbasis uji prognostik dengan data rekam medis pasien usia > 60 tahun yang menjalani operasi non kardiak di poliklinik perioperatif dan rawat Inap Gedung A yang menjalani operasi pada tahun 2021-2022 di RSCM dengan memasukkan data-data determinan sesuai kalkulator GSCRI dengan luaran berupa persentase kejadian dan dilihat luaran berupa henti jantung dan infark miokardium pasca operasi. Studi ini dianalisa dengan uji diskriminasi dengan Area Under the Curve (AUC). Hasil : Analisa dilakukan pada 225 subjek dengan median usia 65 tahun dengan proporsi MACE sebesar 3.1% (7 subjek) yang mengalami kejadian MACE pasca pembedahan non kardiak. Performa diskriminasi yang baik (AUC 0.888, IK95% 0.831-0.944). Kesimpulan : Index GSCRI memiliki performa diskriminasi baik dalam memprediksi kejadian MACE pasien usia lanjut yang menjalani pembedahan non kardiak. ......Background : Major Adverse Cardiac Events (MACEs) is an important cause of perioperative morbidity and mortality in elderly patients undergoing non-cardiac surgery. The Geriatric Sensitive Cardiac Risk Index is known to have good accuracy in predicting cardiac arrest and myocardial infarction in the elderly undergoing non-cardiac surgery. However, this performance index has never been tested in Indonesia with different age characteristics and different comorbidities. Objective: We aimed to determine the performance of the GSCRI index predicting the incidence of MACE (Major Adverse Cardiac Event) in elderly patients undergoing non-cardiac surgery with elderly characteristics in the Indonesian geriatric population. Methods : Retrospective study based on prognostic test with medical record data of patients aged > 60 years who underwent non-cardiac surgery at the perioperative outpatient and inpatient who underwent surgery in 2021-2022 at RSCM by entering determinant data according to the GSCRI calculator with outcomes form of cardiac arrest and myocardial infarction postoperative. This study was analyzed by discrimination test with Area Under the Curve (AUC). Results : The analysis was carried out on 225 subjects with an median age of 65 years with a proportion of MACE of 3.1% (7 subjects) who experienced MACE events after non-cardiac surgery. GSCRI had good discrimination performance (AUC 0.888, CI95% 0.831-0.944). Conclusion: GSCRI index has good discriminatory performance in predicting the incidence of MACE in elderly patients undergoing non-cardiac surgery.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Puspadina
Abstrak :
Latar belakang: Sebagian besar pasien kanker usia lanjut terdiagnosis pada stadium lanjut dengan peningkatan risiko mortalitas. Identifikasi faktor prediktor yang memengaruhi terjadinya mortalitas satu tahun diharapkan dapat membantu stratifikasi risiko dan menjadi pertimbangan perencanaan pelayanan kesehatan, edukasi, serta persiapan advanced care planning. Tujuan: Mengetahui faktor prediktor mortalitas satu tahun pada lansia dengan kanker padat metastasis dan mengembangkan model prediksi mortalitas satu tahun. Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien berusia ≥60 tahun dengan kanker padat metastasis berdasarkan pemeriksaan histopatologi atau radiologi yang berobat di poli onkologi RS Kanker Dharmais pada Januari 2020 hingga Desember 2021. Dilakukan analisis bivariat chi-square antara usia, jenis kelamin, ADL, ECOG-PS, jenis kanker, metastasis organ, jumlah metastasis, status nutrisi, komorbid, jumlah komorbid, polifarmasi, gangguan kognitif, gangguan mood, dan best supportive care dengan mortalitas satu tahun sesudah diagnosis kanker metastasis. Analisis multivariat dan model prediksi dilakukan dengan regresi logistik. Hasil: Terdapat 210 subjek dengan hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan antara ECOG-PS, status nutrisi, dan pemberian best supportive care dengan mortalitas satu tahun (p<0,05). Hasil regresi logistik menunjukkan faktor prediktor independen mortalitas yaitu metastasis organ (OR 2,468 [IK 95%1,163-5,317]), status nutrisi (OR 1,943 [IK 95%1,048-3,604]), ECOG-PS (OR 2,302 [IK 95%1,241-4,271]), dan best supportive care (OR 3,157 [IK 95%1,288-7,738]). Model prediksi mortalitas satu tahun memiliki nilai AUC 0,705 (IK 95%95%: 0,629 – 0,781). Kesimpulan:Faktor prediktor independen terhadap mortalitas 1 tahun sesudah diagnosis metastasis yaitu metastasis organ, ECOG-PS, status nutrisi, dan best supportive care. ......Background: Identification of patients on their final year is important to help physicians to make personalized treatment plan according to life expectancy and to guide patients and families to prepare an advanced care planning. Methods: We retrospectively included patients aged ≥60 years who had metastatic solid cancer and in whom geriatric assessment was performed in Dharmais National Cancer Center outpatient clinic. A total of 210 subjects were enrolled between January 2020 to December 2021. The primary analyses were performed from April to May 2023. Chi square analysis was performed between age, sex, ADL, ECOG-PS, type of cancer, visceral metastasis, number of metastatic sites, nutritional status, comorbidity, multimorbidity, polypharmacy, cognitive impairment, mood disorder, and best supportive care with one-year mortality. Variables with p value <0.25 were analysed further with logistic regression to develop a prediction model. The model’s discriminative ability was assessed with model’s area under the curve. Calibration was performed using bootstrap method. Result: We collected 210 subjects, with median age, 66,5 years. Lung cancer was the most common malignancy (44.3%). Logistic regression results showed visceral metastasis (OR 2.468; 95% CI 1.163-5.317), nutritional status (OR 1.943; 95% CI 1.048-3.604), ECOG-PS (OR 2.302; 95% CI 1.241-4.271), and best supportive care (OR 3.157; 95% CI 1.288-7.738) were independent predictors of one year mortality. The one-year mortality prediction model has an AUC value of 0.705 (95% CI: 0.629-0.781). Conclusion: Model developed from this study can assist clinicians to identify patients in their last year of life who need palliative care and to prepare an advance care planning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar Hamzah
Abstrak :
Latar Belakang : Tingkat akurasi EUS FNA dalam diagnosis lesi pankreas diduga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi keberhasilan EUS FNA belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan EUS FNA untuk diagnosis lesi pankreas pada populasi Indonesia. Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari data rekam medis pada januari 2012-Juli 2022 atau total seluruh subjek yang dilakukan EUS FNA karena lesi pankreas di PESC RSCM. Pasien dengan data tidak lengkap dan lesi peripankreas tidak diikutkan. Karakteristik dasar subjek penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel. Analisis bivariat menggunakan uji chi square dilakukan dengan masing-masing variabel bebas terhadap keberhasilan diagnostik EUS FNA untuk menghitung nilai odds ratio (OR). Variabel dengan nilai p< 0,25 pada analisa bivariat dimasukkan ke analisa multivariat dengan regresi logistik. Hasil : Sebanyak 201 pasien dengan lesi pankreas yang menjalani pemeriksaan EUS FNA diikutkan dalam penelitian. Angka keberhasilan diagnostik EUS FNA pada lesi pankreas adalah sebesar 77,11%. Ukuran lesi ³3 cm diasoasikan dengan peningkatan keberhasilan diagnosis EUS FNA berdasarkan analisis bivariat (OR 2,46; IK95 1,25-4,86; p= 0,008). Analisis multivariat menunjukan bahwa ukuran lesi ³3 cm (OR 18,95; IK95 4,77-75,29; p = 0,000),  lokasi lesi di korpus (OR 2.82; IK95 1.03-7.77; p= 0,04) dan ukuran jarum 22G (OR 7.49; IK95 1.87-29.97; p= 0.004) diasoasikan dengan peningkatan keberhasilan diagnosis.  Kesimpulan : Ukuran lesi, lokasi lesi dan ukuran jarum, merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan diagnostik EUS FNA pada lesi pankreas. ......Background: Diagnostic accuracy of EUS FNA in diagnosing pancreatic lesion are affected by several factors. Clinical study regarding these factors had not been done in Indonesia. This study aims to study factors affecting the diagnostic yield of EUS FNA in diagnosing pancreatic lesion in Indonesian population.  Method: This study is a cross-sectional study of medical record data in January 2012-July 2022 or a total of all subjects who underwent EUS FNA due to pancreatic lesions at PESC RSCM. Patient with incomplete data and peripacreatic lesion was excluded. Clinical characteristics of sample is presented in a table. Bivariat analysis was conducted with chi square test between independent factors and diagnostic success of EUS FNA to obtained the odds ratio (OR). Factors with p-value above 0,25 are included for multivariat analysis using logistic regression.   Result: A total of 201 patients underwent EUS FNA was included in this study. Success rate of diagnosing pancreatic lesion using EUS FNA was 77,11%. Lesion size ³3 cm increased the odds for diagnostic success based on bivariat analysis (OR 2,46; 95% CI 1,25-4,86; p = 0,008). Multivariate analysis showed that the lesion size ³ 3 cm (OR 18.95; CI95 4.77-75.29; p = 0.000), the location of the lesion in the corpus (OR 2.82; CI95 1.03-7.77; p = 0.04) and needle size 22G (OR 7.49; CI95 1.87-29.97; p= 0.004) was associated with an increase in diagnostic yield. Conclusion: The size of the lesion, the location of the lesion and the size of the needle, are factors that influence the diagnostic yield of EUS FNA in pancreatic lesions
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Nindy Jayatri
Abstrak :
Latar Belakang. Pasien kanker usia lanjut dapat memiliki luaran yang buruk akibat intoleransi terhadap terapi standar, hingga mortalitas, terutama pada stadium lanjut (III dan IV). Memprediksi mortalitas merupakan hal yang penting dalam menentukan pemberian terapi. Hingga saat ini ECOG (Eastern Cooperative Oncology Group) masih digunakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Geriatric 8 (G8) merupakan salah satu instrumen penapis yang dikembangkan untuk memprediksi frailty. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa G8 dapat memprediksi mortalitas. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai performa ECOG dan G8 dalam memprediksi mortalitas 6 bulan pada pasien usia lanjut dengan kanker stadium III dan IV. Metode. Metode penelitian ini adalah kohort retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien berusia > 60 tahun dengan kanker stadium III dan IV yang belum atau sudah menjalani terapi kanker, di Poliklinik Hematologi Onkologi Medik RSCM sejak Oktober 2019-Maret 2021. Peneliti menilai ECOG dan G8, serta melakukan follow-up dalam 6 bulan untuk mengetahui luaran subjek berupa meninggal atau tidak. Peneliti menganalisis uji kalibrasi dengan Hosmer-Lemeshow dan uji diskriminasi dengan Area Under the Curve (AUC). Hasil. Peneliti mendapatkan 230 subjek. Proporsi mortalitas dalam 6 bulan adalah 40,9%, dengan kanker terbanyak adalah kanker kepala dan leher (11,3%). ECOG memiliki performa kalibrasi yang baik (p = 0,085), dan performa diskriminasi yang baik (AUC 0,705; IK95% 0,570 - 0,841), sensitivitas 70,2%, dan nilai prediksi negatif (NPN) 49,3%. Performa kalibrasi skor G8 menunjukkan hasil yang juga baik (p = 0,687), dan performa diskriminasi yang baik (AUC 0,777; IK95% 0,683 - 0,872), sensitivitas 89,4% dan NPN 76%. Kesimpulan. Skor G8 memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang lebih baik untuk memprediksi mortalitas 6 bulan pada pasien usia lanjut dengan kanker stadium III dan IV. ......Background: Elderly cancer patients can have a poor outcome due to intolerance to standard therapy, up to mortality, especially in advanced stages (III and IV). Predicting mortality is important to determine treatment. ECOG is still being used at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM). G8 is one of the screening instruments developed to predict frailty. However, several studies have shown that the G8 can predict mortality. Aim. To assess the performance of ECOG and G8 in predicting six months mortality in elderly cancer patients with stage III and IV. Methods: In this study, a retrospective cohort design was used using medical records of patients aged > 60 years old with stage III and IV cancer who had not or had undergone cancer therapy at the Medical Oncology Hematologic Polyclinic of RSCM since October 2019-March 2021. Collected data were analyzed using the Hosmer-Lemeshow test for the calibration performance and the Area Under the Curve (AUC) test for the discrimination performance in predicting mortality. Results. Among 230 subjects, mortality in 6 months was 40.9%, with the most common types of cancer was head and neck cancer (11.3%). ECOG had good calibration (p = 0.085), and good discrimination performance (AUC 0.705; 95% CI 0.570 - 0.841). G8 also had good calibration (p = 0.687), and good discrimination performance (AUC 0.777; 95% CI 0.683 - 0.872). G8 had higher sensitivity and negative predictive value than ECOG (89,4% vs 70,2%; 76% vs 49,3%). Conclusion. G8 has better calibration and discrimination performance for predicting six months mortality in elderly cancer patients with stages III and IV.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Deviana Nawawi
Abstrak :
Usia lanjut berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D, sedangkan vitamin D memiliki efek protektif terhadap massa otot. Penurunan massa otot dan fungsinya disebut dengan sarkopenia. Prevalensi sarkopenia sangat tinggi pada usia lanjut yang tinggal di panti wreda, kondisi ini disebabkan gaya hidup sedentari pada penghuni panti wreda. Deteksi dini sarkopenia dapat dilakukan dengan mengukur fungsi otot, salah satunya adalah mengukur performa fisik dengan tes short physical performance battery (SPPB). Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk melihat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara proportional random sampling, didapatkan 100 usila yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan kadar vitamin D menggunakan kadar kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA). Pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectric impedance analysis Tanita SC-330. Analisis korelasi menggunakan uji nonparametrik. Didapatkan nilai tengah usia subjek adalah 74,89 tahun dan 72% subjek adalah perempuan. Terdapat  85% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang dan  94% subjek memiliki skor pajanan sinar matahari yang rendah, serta seluruh subjek masih memiliki massa otot yang normal. Nilai tengah kadar vitamin D serum  adalah 15,50(4-32) ng/mL, dengan 72% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Nilai tengah performa fisik adalah 9(3-12) dan sebanyak 47% subjek mengalami performa fisik yang buruk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di panti wreda (r=0,130; p=0,196). ......Elderly individuals have a risk of vitamin D deficiency, whereas vitamin D has a protective effect on muscle mass. Decrease in muscle mass and function is called sarcopenia. The prevalence of sarcopenia is very high in the elderly who live in nursing homes, this condition is due to the sedentary lifestyle. Early detection of sarcopenia can be done by measuring physical performance with short physical performance battery (SPPB) test. This cross-sectional study aimed to explore the correlation between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in five nursing homes registered in South Tangerang. A hundred subjects who fulfilled study criteria gathered using proportional random sampling method. Examination of vitamin D levels using calcidiol serum with the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method. Muscle mass was measured using bioelectric impedance analysis Tanita type SC-330. Nonparametric correlation was used for correlation analysis. Median age of subjects was 74.89 years old and 72% were female. Eighty-five percent of subjects had low vitamin D intake, 94% of subjects had low sun exposure score, and all subjects had normal muscle mass. Mean level of vitamin D serum was 15.50 (4-32) ng/mL, with 72% of subjects had vitamin D deficiency. Mean score of physical performance was 9(3-12) and 47% of subjects had low physical performance. This study showed that there was no correlation found between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in nursing homes (r=0.130; p=0.196).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Englando Alan Adesta
Abstrak :
Latar Belakang. Penyembuhan luka kaki diabetik (LKD) memerlukan waktu yang lama sehingga risiko infeksi, amputasi, dan kematian menjadi lebih tinggi. Salah satu parameter untuk menilai penyembuhan luka adalah pertumbuhan jaringan granulasi. Kadar Vitamin D diketahui terkait dengan risiko terjadinya LKD, infeksi, dan penyembuhan luka. Namun sampai saat ini masih belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan jaringan granulasi LKD. Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecnepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21. Metode. Penelitian ini menggunakan bahan tersimpan berupa serum dan dokumentasi foto LKD dari penelitian sebelumnya. Analisis kadar 25(OH)D pada sampel serum darah awal perawatan menggunakan metode Elisa. Sedangkan analisis kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil foto LKD pasien pada visit ke-4 dengan menggunakan program ImageJ. Hasil. Dari 52 sampel yang dianalisis, kadar 25(OH)D pada awal perawatan menunjukan nilai median = 8.8 ng/mL. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar vitamin D dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi (p=0.815). Kesimpulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21. ......Background. Wound in diabetic foot ulcer need a long time to heal which increase risk of infection, amputataion and mortality. One of the criteria in wound healing is growth of granulation tissue. Vitamin D level is known to be related to increase incidence of diabetic foot ulcer, infection, and wound healing. But until now, the effect of vitamin D to the growth of granulation tissue is not clear. Objective. To know the Association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment. Methods. This research uses stored sample in form of serum and footage documentation. It is the initial blood sample from 52 patients with DFU before starting treatment. Vitamin D is calculated with 25 (OH) D level by using ELISA. Analysis of growth in granulation tissue is counted by comparing the footage documentation at initial treatment to the 21st day of treatment with the help of ImageJ software. Result. From 52 analysed sample, vitamin D level at initial presentation showed a median value of 8.8 ng/mL. The result of the analysis showed that there was no statistically significant association between vitamin D level with the granulation growth rate of diabetic foot ulcer (p=0,815). Conclusion. There is no significant association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chris Tanto
Abstrak :
Latar Belakang. Prediksi mortalitas pada kelompok lanjut usia yang semakin meningkat jumlahnya akan memberikan banyak manfaat bagi kesehatan. Cystatin C ditunjukkan memiliki kemampuan sebagai prediktor mortalitas pada beberapa studi. Studi-studi mengenai kemampuan prediksi cystatin c masih sangatlah beragam dan belum ada telaah sistematis untuk menilai kemampuannya dalam memprediksi mortalitas jangka panjang pada kelompok lansia. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan cystatin c sebagai prediktor mortalitas semua sebab dan mortalitas kardiovaskular jangka panjang pada kelompok lanjut usia. Metode. Studi ini merupakan telaah sistematis dan meta-analisis dari studi kohort prospektif observasional. Pencarian studi dilakukan di PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOHost, dan Proquest serta pencarian menual. Kriteria inklusi berupa lansia minimal berusia 65 tahun dengan data cystatin c serum tercantum, kematian semua sebab sebagai luaran. Waktu follow up minimal 5 tahun. Seleksi studi dilakukan berdasarkan alur dari PRISMA. Penilaian kualitas studi dan risiko bias dinilai menggunakan Newcastle Ottawa Scale untuk studi kohort. Hasil studi ditampilkan dalam bentuk deskriptif serta Forest plot. Hasil. Dari 609 studi hasil pencarian, didapatkan 12 studi yang memenuhi kriteria: 5 studi menilai kematian semua sebab, 3 studi menilai kematian kardiovaskular saja, dan 4 studi menilai keduanya. Sebanyak 6 studi dengan kualitas baik dan 6 studi kualitas sedang setelah dilakukan penilaian. Hasil meta-analisis menunjukkan kadar Cystatin C yang tinggi meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang akibat semua sebab [HR: 1,74 (95% CI: 1,48 – 2,04); p < 0,00001)] dan mortalitas jangka panjang kardiovaskular [(HR: 2,01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,00001)] pada lansia. Kemampuan prognostik cystatin c tergolong moderat [AUC 0,70 (95% CI: 0,68-0,72); p = 0,02)]. ...... Background. Prediction of mortality in growing aged-population will offer several benefits for health sector. Cystatin C, which has long been known as biomarker to more accurately evaluate glomerular filtration rate in elderly, has also been shown to predict mortality from several studies. Studies regarding its predictive ability were vastly varied and there has not been systematic review to examine its ability in predicting long-term mortality in elderly population. Objectives. This study aimed to evaluate Cystatin C performance as predictor for all-cause and cardiovascular mortality among elderly population. Methods. A systematic review of prospective cohort studies was performed. Literature searching was done in major databases such as PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOhost, and Proquest. Manual searching was also performed. Inclusion criteria were studies involving elderly age 65 or older, cystatin c serum levels available, all-cause mortality as outcome, and 5-years minimum of follow-up. Study selection was performed according to PRISMA algorithm. Newcastle Ottawa Scale for cohort study was used to assess primary studies’ quality and risk of bias. Study results were presented in descriptive tables and Forest plot. Results. Initial searching revealed 609 hits with 12 studies eligible for the review: five studies evaluated all-cause mortality, three studies evaluated cardiovascular mortality, and four studies evaluated both. Meta-analysis showed that high cystatin c levels increasing risk of long-term all-cause mortality [(HR: 1.74 (95% CI: 1.48 – 2.04); p < 0.0001)] and cardiovascular mortality [HR: 2.01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,0001)]. The prognostic ability of cystatin c was considerably moderate [AUC 0.70 (95% CI: 0.68-0,72); p = 0.02]. Conclusion. Cystatin C was able to predict long-term mortality in elderly population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>