Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benny Nelson
"Latar Belakang: Melasma adalah kelainan hiperpigmentasi yang umum ditemukan pada sebagian besar populasi manusia di dunia. Etiopatogenesis melasma masih belum jelas dan masih menjadi perdebatan. Beberapa hormon diduga berperan pada terjadinya melasma, salah satunya hormon tiroid. Melasma tidak mengancam nyawa, meskipun demikian mampu menimbulkan dampak buruk pada kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui proporsi pasien melasma pada pasien hipertiroid dan menilai perubahan mMASI pada pasien hipertiroid sebelum dan sesudah pengobatan hipertiroid selama tiga bulan.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain studi intervensi (before dan after) dilakukan di Jakarta pada Agustus 2019–Februari 2020. Sebanyak 23 pasien hipertiroid baru ataupun dalam pengobatan hipertiroid dalam 3 bulan terakhir disertai dengan melasma direkrut dan diukur derajat keparahannya menggunakan mMASI dan dermoskopi. Pengukuran derajat keparahan diulang kembali setelah pasien menjalani pengobatan hipertiroid tiga bulan dan dibandingkan saat awal penelitian. Analisis statistik menggunakan software Stata versi 15.0
Hasil: Sebanyak 45 dari 69 pasien hipertiroid yang berobat ke Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Divisi Metabolik-Endokrin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mengalami melasma. Nilai rerata skor mMASI pada awal penelitian adalah 7,08 (SB 3,88). Nilai rerata skor mMASI pada akhir penelitian adalah 5,59 (SB 3,11). Nilai rerata perbedaan mMASI sebelum dan sesudah pengobatan adalah 0,49 (p>0,05). Gambaran dermoskopi tidak menunjukkan adanya perbedaan antara awal dan akhir penelitian
Kesimpulan: Proporsi pasien melasma pada pasien hipertiroid di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah 65,22%. Tidak terdapat penurunan mMASI pada pasien hipertiroid dengan melasma sesudah pengobatan hipertiroid selama tiga bulan.

Background: Melasma is an acquired and chronic disorder of hyperpigmentation characterized by symmetrical hypermelanoses of the face. The exact pathogenesis of melasma is still unknown. Several hormones are thought to play a role, including thyroid hormone. Although melasma is not life-threatening, it affects greatly on the quality of life of patients.
Objectives: To determine proportion of melasma cases in hyperthyroid patients and to compare severity of melasma before and after medications of three months hyperthyroid therapy using mMASI score.
Methods: An experimental (before and after) study was conducted in Jakarta in August 2019–February 2020. Twenty three newly-diagnosed hyperthryoid patients or had taken hyperthyroid medications of maximum 3 months with melasma were recruited. The severity of melasma were scored with mMASI and dermoscopy of the lesions were collected. The same procedures were done after 3 months of hyperthyroid therapy. The data collected was statistically analyzed using Stata version 15.0
Results: There were 45 out of 69 hyperthyroid patients, who went to the Internal Medicine Polyclinic of the Endocrine-Metabolic Division dr. Cipto Mangunkusumo hospital had melasma. The mean difference in mMASI before and after treatment was 0.49 (p> 0.05). Dermoscopy features didn’t show any difference between the start and end of the study.
Conclusion: The proportion of melasma patients in hyperthyroid patients in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital is 65.22%. There was no significant decrease in mMASI in hyperthyroid patients with melasma after three months of hyperthyroid treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Pitaloka
"Proses penuaan kulit secara ekstrinsik dipengaruhi oleh radiasi UV, merokok, gizi buruk, polusi udara, dan stres fisik. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) adalah metode non-invasif untuk menilai penuaan foto. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalensi penuaan kulit akibat paparan sinar UV pada personel militer pria berusia 30-42 tahun, dengan membandingkan kelompok infanteri dan administrasi yakni kelompok kesehatan militer (CKM) menggunakan DPAS. Selain itu, hubungan antara prevalensi penuaan, konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok akan diteliti. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Kriteria penuaan foto dinilai berdasarkan DPAS. Hasil dari penelitian ini yaitu sebanyak 40 subjek penelitian, semuanya memiliki skor DPAS total > 1, dengan kriteria yang paling sering ditemukan adalah ephelides/lentigines, yellow papules, dan superficial wrinkles. Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebiasaan merokok dan skor DPAS di setiap wilayah wajah. Setelah melakukan penelitian, peneliti memiliki kesimpulan bahwa berdasarkan metode DPAS, tidak ada perbedaan prevalensi penuaan foto di kedua kelompok. Namun, skor total DPAS (StDPAS) infanteri lebih tinggi daripada StDPAS kelompok CKM, dengan perbedaan signifikan pada skor DPAS di wilayah pipi kanan dan pipi kiri dibandingkan dengan wilayah wajah lainnya.

The extrinsic process of skin aging influenced by UV radiation, smoking, poor nutrition, air pollution, and physical stress. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) is a non-invasive method to assess photoaging. This study aims to evaluate the prevalence of UV-induced skin aging in male military personnel aged 30-42, comparing infantry and administration groups in this research represented by military medical service group using DPAS. Additionally, the relationship between aging prevalence, alcohol consumption, and smoking habits will be examined. This is a descriptive analytic research with cross-sectional design. Photoaging criteria was assessed based on DPAS. The results of this research are a total of 40 research subjects, all had a total DPAS score > 1, with the most frequently found criteria being ephelides/lentigines, yellow papules, and superficial wrinkles. There was no statistically significant association between smoking habits and DPAS scores in each facial region. After doing this research, the writer concludes that based on DPAS method, there is no prevalence difference of photoaging in both groups. But the infantry's DPAS total score (TsDPAS) was greater than military medical service’s TsDPAS, with a significant difference in the DPAS score in the right and left cheek regions compared to other facial regions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Farah Hilma
"Salah satu peran sistem imunitas terhadap infeksi M.leprae adalah respons makrofag melalui interaksinya dengan vitamin D dan reseptor vitamin D (RVD). Interaksi vitamin D dengan RVD pada berbagai sel imun akan menstimulasi ekspresi katelisidin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) dan kadar plasma RVD serta hubungannya dengan IB pada pasien kusta. Penelitian ini berupa observasional-analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 28 subjek penelitian (SP) menjalani pemeriksaan slit-skin smear kemudian diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Kadar serum 25(OH)D diperiksa dengan metode chemiluminescent immunoassay (CLIA) dan kadar plasma RVD dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median kadar serum 25(OH)D adalah 12,68 ng/ml (4,88 – 44,74). Median kadar plasma RVD adalah 1,36 ng/ml (0,26 – 8,04). Berdasarkan analisis regresi multivariat, tidak terdapat hubungan antara IB dengan kadar serum 25(OH)D dan kadar plasma RVD (R square = 0,055). Tedapat korelasi positif kuat antara kadar serum 25(OH)D dengan skor pajanan sinar matahari (r = 0,863; p < 0,001).

One of many immunity system’s roles against M. leprae infection is macrophage response through its interaction with vitamin D and vitamin D receptor (VDR). The interaction between vitamin D and VDR in various immune cells will stimulate the expression of cathelicidin. The objective is to analyze the serum level of 25-hydroxyvitamin D₃ (25(OH)D) and plasma level of VDR as well as their association with IB in leprosy patients. This observational analytic study was performed with cross-sectional design. A total of 28 subjects underwent a slit-skin smear examination and then the diagnosis of leprosy was made based on the cardinal signs. This study also assessed the patient’s sun exposure with weekly sun exposure questionnaire. Serum 25(OH)D level was assessed with chemiluminescent immunoassay (CLIA) method and RVD plasma level was measured by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median serum level of 25(OH)D was 12.68 ng/ml (4.88 – 44.74). Median plasma level of VDR was 1.36 ng/ml (0.26 – 8.04). Based on multivariate regression analysis, there was no significant association between BI and serum level of 25(OH)D and plasma level of VDR (R square = 0.055). There was strong positive correlation between serum level of 25(OH)D and sun exposure score (r = 0.863; p < 0.001)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anandika Pawitri
"Dengan meningkatnya populasi lanjut usia (lansia) di Indonesia, menjaga kualitas kesehatan, termasuk kesehatan kulit, menjadi semakin penting. Penurunan hormon DHEA, prekursor estrogen dan androgen, berkaitan dengan penuaan kulit. Tanda-tanda penuaan contohnya kerutan dan kekenduran kulit dipengaruhi oleh kadar DHEA yang menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dasar kadar DHEA pada populasi lansia di Indonesia sebagai peluang untuk terapi suplementasi dalam memperlambat gejala penuaan kulit. Studi potong lintang dilakukan untuk melihat hubungan kadar DHEA-S dengan kerutan dan kekenduran yang dilakukan pada 30 perempuan dan 30 laki-laki lansia. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pengambilan foto wajah 5 posisi, dan pengambilan serum DHEA-S. Penilaian derajat kerutan dan kekenduran dilakukan dengan membandingkan foto subjek dengan Bazin Skin Aging Atlas: Asian Type. Pada studi ini tidak didapatkan perbedaan kadar DHEA-S yang bermakna secara statistik pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (p=0,941). Selain itu, kadar DHEA-S tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan kerutan dahi (p=0,499), crow’s feet (p=0,888), kekenduran wajah (p=0,769), dan derajat kekenduran leher (p=0,568). Terdapat kecenderungan, semakin berat derajat kerutan dahi dan crow’s feet, nilai rerata DHEA-S semakin rendah. Juga terdapat pola kecenderungan bahwa dengan meningkatnya derajat keparahan kekenduran leher, nilai rerata kadar DHEA-S yang terdeteksi semakin rendah. Pada penelitian ini disimpulkan tidak terdapat hubungan antara kadar DHEA-S dengan derajat keparahan kerutan dan kekenduran di dahi, crow’s feet's, wajah bagian bawah, dan leher pada laki-laki dan perempuan lansia.

With the increasing elderly population in Indonesia, maintaining health quality, including skin health, becomes increasingly important. The decline of DHEA hormone, a precursor to estrogen and androgen, is associated with skin aging. Signs of aging such as wrinkles and skin sagging are influenced by decreasing DHEA levels. This study aims to collect baseline data on DHEA levels in the elderly population in Indonesia as an opportunity for supplementation therapy to slow down skin aging symptoms. A cross-sectional study was conducted to examine the association between DHEA-S levels and wrinkles and sagging in 30 elderly women and 30 elderly men. Anamnesis, physical examinations, facial photographs from 5 angles, and serum DHEA-S sampling were conducted. The degree of wrinkles and sagging was assessed by comparing the subject's photos with the Bazin Skin Aging Atlas: Asian Type. This study found no statistically significant difference in DHEA-S levels between men and women (p=0.941). Additionally, DHEA-S levels were not statistically significantly related to forehead wrinkles (p=0.499), crow’s feet (p=0.888), facial sagging (p=0.769), and neck sagging degree (p=0.568). There was a tendency for lower average DHEA-S values with increased severity of forehead wrinkles and crow’s feet. There was also a trend indicating that as the severity of neck sagging increased, the average detected DHEA-S levels decreased. This study concluded that there is no relationship between DHEA-S levels and the severity of wrinkles and sagging in the forehead, crow’s feet, lower face, and neck in elderly men and women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Irwan Saputra
"Latar belakang: Baumann Skin Type Indicator (BSTI) merupakan instrumen yang dikembangkan pada tahun 2006 untuk menentukan tipe kulit berdasarkan empat parameter dikotom, yaitu: kering atau berminyak; sensitif atau resisten; berpigmen atau tidak berpigmen; dan kencang atau keriput. Kuesioner ini telah dimodifikasi pada tahun 2022 agar lebih praktis dan mudah digunakan. BSTI dapat membantu dokter untuk merekomendasikan produk perawatan kulit harian yang paling sesuai bagi pasien. Hingga saat ini, belum ada klasifikasi penentuan tipe kulit di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan alat yang valid dan reliabel untuk menentukan tipe kulit pada populasi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Baumann Skin Type Indicators berbahasa Indonesia (BSTI-Ina).
Metode: Dilakukan penerjemahan dan adaptasi lintas budaya kuesioner BSTI tahun 2006 dan 2022 ke dalam bahasa Indonesia. Hasil terjemahan kuesioner dianalisis oleh komite yang beranggotakan dokter spesialis Dermatologi, Venereologi dan Estetika, ahli biostatistika, psikolog klinis, dan penerjemah. Hasil kuesioner yang telah disepakati oleh komite diisi oleh 150 subjek dewasa yang berusia antara 18 hingga 59 tahun. Validitas kuesioner BSTI-Ina tahun 2006 dan 2022 dinilai berdasarkan validitas konten dan validitas konstruksi. Reliabilitas dinilai berdasarkan konsistensi internal. Korelasi antara kuesioner BSTI-Ina tahun 2006 dan 2022 dinilai dengan intra-class correlation (ICC).
Hasil: Uji validitas menghasilkan nilai koefisien korelasi setiap pertanyaan pada BSTI-Ina tahun 2006 sebesar -0,037 hingga 0,751, untuk setiap pertanyaan pada BSTI-Ina tahun 2022 sebesar 0,231 hingga 0,685. Uji reliabilitas menunjukkan nilai α Cronbach untuk setiap pertanyaan pada BSTI-Ina tahun 2006 sebesar 0,613 hingga 0,718 dan untuk seluruh pertanyaan pada BSTI-Ina tahun 2022 sebesar 0,704. Intra-class correlation antara BSTI-Ina tahun 2006 dan 2022 sebesar 0,435.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa BSTI-Ina tahun 2006 dan 2022 valid, reliabel, dan dapat digunakan untuk menentukan tipe kulit populasi dewasa di Indonesia.

Backgorund: The Baumann Skin Type Indicator (BSTI) is an instrument developed in 2006 to determine skin types based on four dichotomous parameters, which are: dry or oily; sensitive or resistant; pigmented or non-pigmented; and tight or wrinkled. This questionnaire has been modified in 2022 to make it more practical and simple to use. The BSTI can assist dermatologists in recommending the most appropriate daily skin care products for patients. Until now, there is no classification for determining skin type in Indonesia. Therefore, valid and reliable tools are needed for determining skin type in the Indonesian population. This study aims to develop an Indonesian version of Baumann Skin Type Indicators (BSTI-Ina).
Methods: The English versions of 2006 and 2022 BSTI questionnaires were translated into Bahasa Indonesia and underwent cross-cultural adaptation. The translated questionnaires were analyzed by a committee consisting of dermato-venereologists and aestheticians, biostatistician, clinical psychologist, and translators. The questionnaires were completed online by 150 Indonesian adult subjects ranging between 18 and 59 years old. The validity of the translated questionnaires was measured by content and construct validity. The reliability was assessed by internal consistency. The correlation between the 2006 and 2022 BSTI-Ina was assessed by intra-class correlation (ICC).
Results: The validity test showed correlation coefficient scores for each question in 2006 BSTI-Ina was -0,037 to 0.751, and for each question in 2022 BSTI-Ina was 0,231 to 0,685. The reliability test showed a Cronbach’s α coefficient for each question in 2006 BSTI-Ina was 0,613 to 0,718 and for question in 2022 BSTI-Ina was 0,704. The ICC between 2006 and 2022 BSTI- Ina was 0.435.
Conclusion: This study demonstrates that both 2006 and 2022 BSTI-Ina are valid, reliable, and suitable for determining the skin type of the Indonesian adult population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lelania Ishak
"Kanitis prematur (KP) ialah kondisi dimana individu memiliki minimal 5 helai rambut beruban pada usia kurang dari 25 tahun pada ras Asia. Etiologi KP belum dipahami sepenuhnya dan dianggap sebagai kelainan multifaktorial, salah satunya defisiensi mikronutrien. Vitamin B12 berperan pada proses melanogenesis, sehingga diperkirakan kadar vitamin B12 mencerminkan risiko KP. Pemeriksaan kadar methylmalonic acid (MMA) merupakan indikator defisiensi vitamin B12 yang spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar vitamin B12 dan MMA pada individu KP dibandingkan dengan kontrol dan menganalisis hubungan antara kadar vitamin B12 dan MMA dengan derajat keparahan KP. Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain potong lintang. Populasi target penelitian adalah individu KP dan individu dewasa sehat tanpa KP yang direkrut dengan metode consecutive sampling. Data identitas, awitan KP, riwayat KP dalam keluarga, pola diet, dan kebiasaan merokok didapatkan melalui anamnesis. Penilaian derajat keparahan KP dilakukan sesuai metode oleh Shin dkk. Pemeriksaan kadar vitamin B12 dan MMA dengan metode liquid chromatography-mass spectometry (LC-MS). Analisis statistik menggunakan perangkat lunak Stata v.16 (StataCorp). Dari 30 subjek penelitian (SP) kelompok KP, didapatkan 6 orang dengan KP derajat ringan, 15 orang dengan KP sedang, dan 9 orang dengan KP berat. Tidak ditemukan perbedaan karakteristik dasar lain antara kelompok KP dan kontrol. Terdapat perbedaan median kadar vitamin B12 (320 pg/mL vs 360 pg/mL; p<0,001) dan MMA (0,117 mmol/L vs 0,077mmol/L; p=0,0252) yang bermakna pada kelompok KP dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara kadar vitamin B12 (r = 0,0703, p 0,712) dan MMA (r=0,2370, p=0,2074) dengan derajat keparahan KP. Sebagai kesimpulan, Kadar vitamin B12 dan MMA pada kelompok KP lebih rendah dan berbeda bermakna secara statistik dibandingkan kelompok kontrol. Namun tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara kadar vitamin B12 dan MMA dengan derajat KP.

Premature canities (PC) is defined as an individual (Asian) aged less than 25 years with at least 5 grey hair strands. The etiology of PC is not completely understood but is thought to be a result of multifactorial abnormalities, one of which is micronutrient deficiency. Vitamin B12 plays a role in melanogenesis, thus it is believed that vitamin B12 level correlate with the risk of developing PC. Methylmalonic acid (MMA) examination is a specific indicator of vitamin B12 deficiency. This study aims to analyze the difference of vitamin B12 and MMA levels among individual with PC and a healthy control, as well as analyzing the correlation between vitamin B12 level and MMA with PC’s degree of severity. This is an analytical observational study with a cross-sectional design. The target population were individuals with PC and healthy individuals recruited by consecutive sampling. Identity of each individual as well as the onset of PC, history of PC among family members, diet, and smoking habit was taken during history taking. The severity of PC was measured using a method developed by Shin et al. Vitamin B12 and MMA level were measured using liquid chromatography-mass spectometry (LC-MS). Statistical analysis was done using Stata v.16 (StataCorp). Among 30 subjects from the PC group, 6 subjects had a mild PC, 15 subjects were moderate PC, and 9 subejcts had a severe PC. Differences among other parameters were found to be not statistically significant. There were statistically significant difference of median Vitamin B12 level ((320 pg/mL vs 360 pg/mL; p<0,001) and MMA level (0,117 mmol/L vs 0,077mmol/L; p=0,0252) between PC and healthy individuals. This study did not find a significant correlation between vitamin B12 (r = 0,0703, p 0,712) and MMA (r=0,2370, p=0,2074) level with the severity of PC. As a conclusion, vitamin B12 and MMA level in group with PC was significantly than the heatlhy individuals. No statistically significant correlations were found between either vitamin B12 or MMA level with the severity of PC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teffy Nuary
"Latar belakang: Penilaian kualitas hidup dibutuhkan untuk menilai respons terapi. Saat
ini belum tersedia instrumen penilaian kualitas hidup pasien urtikaria kronik berbahasa
Indonesia. CU-Q2oL merupakan kuesioner spesifik urtikaria kronik yang pertama kali
dikembangkan dalam versi bahasa Italia. Proses adaptasi lintas bahasa dan budaya
diperlukan agar kuesioner dapat digunakan di Indonesia. Uji validitas dan reliabilitas
penting untuk memastikan telah digunakan bahasa atau istilah yang tepat sesuai budaya
setempat dan tidak terdapat perubahan validitas dan reliabilitas kuesioner tersebut.
Tujuan: Mendapatkan kuesioner CU-Q2oL berbahasa Indonesia yang diadaptasi dari
CU-Q2oL berbahasa Italia untuk menilai secara spesifik kualitas hidup pasien urtikaria
kronik.
Metode: CU-Q2oL asli berbahasa Italia diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Pengisian
kuesioner kualitas hidup urtikaria kronik (KHUK) dilakukan pada 40 pasien dengan
urtikaria kronik di poliklinik Kulit dan Kelamin RS. Dr. Cipto Mangunkusumo secara
daring menggunakan google form. Uji validitas dilakukan dengan menghitung nilai
koefisien korelasi, uji reliabilitas dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach α dan
intraclass coefficient (ICC).
Hasil: Adaptasi lintas bahasa dan budaya CU-Q2oL berbahasa Italia menghasilkan
sebuah kuesioner KHUK. Nilai koefisien korelasi seluruh pertanyaan dengan skor total
berkisar antara 0,467 – 0,856. Koefisien korelasi pertanyaan dengan skor ranah antara
0,585 – 0,958. Cronbach α seluruh pertanyaan 0,923 dan cronbach α pertanyaan sesuai
ranah antara 0,738 – 0,904. ICC seluruh pertanyaan adalah 0,913 dan ICC setiap ranah
antara 0,898 – 0,950.
Kesimpulan: Telah diperoleh kuesioner KHUK berbahasa Indonesia berdasarkan
adaptasi lintas bahasa dan budaya. Kuesioner KHUK berbahasa Indonesia dinyatakan
valid dan reliabel sebagai suatu alat ukur untuk menilai kualitas hidup pasien urtikaria
kronik di Indonesia.

Background: Assessment of quality of life is needed to assess therapeutic response.
There is no instrument for assessing the quality of life of chronic urticaria patients in
Indonesia. CU-Q2oL is a specific questionnaire for chronic urticaria that was first
developed in Italian version. Cross-language and cultural adaptation processes are
needed so that the questionnaire can be used in Indonesia. Validity and reliability tests
are important to ensure that the language or term that used is appropriate to the local
culture and there is no change in the validity and reliability of the questionnaire.
Objective: Obtain an Indonesian-language CU-Q2oL questionnaire that adapted from
Itaian version of CU-Q2oL to specifically assess the quality of life of patients with
chronic urticaria.
Method: The Italian version CU-Q2oL was translated into Indonesian language. The
KHUK questionnaire was answered by 40 chronic urticaria patients in dermatology
dan venereologi clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using google form.
Validity test is done by calculating the value of the correlation coefficient, reliability
test is done by calculating the value of Cronbach α and intraclass coefficient.
Result: Cross-language and cultural adaptations of Italian vesrsion CU-Q2oL resulted
a KHUK questionnaire.. Correlation coefficient values for all questions with a total
score ranging from 0.467 to 0.856. The question correlation coefficient with domain
scores was between 0.585 - 0.958. Cronbach α of all questions 0,923 and the value of
cronbach α of questions according to the realm ranged from 0.738 - 0.904. The ICC for
all questions is 0.913 and the ICC for each domain ranges from 0.898 - 0.950.
Conclusion: KHUK questionnaire based on cross – language and cultural adaptation
has been obtained. The questionnaire is valid and reliable to assess the quality of life of
chronic urticaria patients in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Marina
"Latar belakang: Skabies adalah penyakit kulit akibat infestasi ektoparasit berupa tungau
Sarcoptes scabiei var hominis. Skabies menimbulkan ketidaknyamanan karena
menimbulkan lesi yang sangat gatal, menyebabkan penderita sering menggaruk dan
mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh Streptococcus pyogenes dan
Staphylococcus aureus. Prinsip tata laksana skabies impetigenisata meliputi penggunaan
skabisid dan antibiotik untuk pasien dan narakontak. Sediaan permetrin merupakan pilihan
utama, dengan antibiotik sistemik atau topikal untuk infeksi sekunder bakterial. Asam
Fusidat 2% merupakan antibiotik topikal pilihan pertama yang dianjurkan untuk lesi infeksi
terbatas. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efektivitas kombinasi krim
permetrin 5% dan krim asam fusidat 2% untuk skabies impetigenisata.
Tujuan: Membandingkan efektifitas kombinasi krim permetrin 5% dan krim asam fusidat
2% dengan krim permetrin 5% dan plasebo; membandingkan skor VAS nyeri, Vas gatal
dan efek samping sebelum dan sesudah pengobatan pada kedua kelompok; melihat peta
kuman dan biakan dari skabies impetigenisata
Metode: Sebuah uji klinis acak tersamar ganda dilakukan di Pondok Pesantren Al Islami,
Cibinong, Bogor dan Pondok Pesantren Gaza Al-Islami Bogor pada September hingga
Oktober 2018 dan Maret 2020. Terdapat 41 orang santri yang memenuhi kriteria penelitian,
tetapi hanya 40 subjek penelitian (SP) menyelesaikan penelitian. Alokasi kelompok
dilakukan secara acak mengikuti tabel randomisasi. Kelompok intervensi mendapatkan
krim permetrin 5% dan krim asam fusidat 2%, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan
krim permetrin 5% dan plasebo. Dilakukan pemeriksaan kerokan kulit, apusan Gram,
biakan, skor VAS gatal dan VAS nyeri. Subjek penelitian kemudian di follow-up pada hari
ke-7 dan ke-14 untuk menilai kesembuhan, skor VAS gatal, VAS nyeri dan efek samping
pengobatan.
Hasil: Efektivitas kesembuhan kelompok intervensi pada hari ke-7 lebih tinggi dibanding
kelompok kontrol (80% vs. 35%). Efektivitas kesembuhan kelompok intervensi pada hari
ke-14 lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (95% vs. 35%) yang bemakna secara
statistik (p=<0.001) dan relative risk hari ke-14 adalah 2,714. Terdapat perbedaan
bermakna median selisih skor VAS gatal pada kelompok intervensi dibandingkan
kelompok kontrol setelah pengobatan (p=0,040) dan median selisih skor VAS nyeri
(p=0,035). Bakteri tersering ditemukan adalah Staphylococcus aureus diikuti dengan
bakteri Gram-negatif.Tidak terdapat perbedaan efek samping bermakna pada kedua
kelompok.
Kesimpulan: Pengobatan skabies impetigenisata dengan krim pemetrin 5% dan krim asam
fusidat 2% lebih efektif dibandingkan krim permetrin 5% dan plasebo. Perbaikan skor VAS
nyeri dan Vas Gatal dan tidak terdapat efek samping. Bakteri tersering merupakan
Staphylococcus aureus diikuti dengan bakteri Gram-negatif.

Background: Scabies is a skin disease due to ectoparasitic infestation in the form of
Sarcoptes scabiei var hominis. Scabies causes discomfort, and it causes very itchy lesions,
causing patients to often scratch and result in secondary bacterial infections, especially by
Streptococcus pyogenes and Staphylococcus aureus. The principles of management of
impetiginized scabies include the use of scabicidal and antibiotics for patients and
surrounding people. Permethrin 5% is the first-line treatment, combined with systemic or
topical antibiotics for secondary bacterial infections. Fusidic Acid 2% is the first-line
topical antibiotic recommended for limited infection. There has been no research on the
effectiveness of a combination of permethrin 5% cream and fusidic acid 2% cream for the
treatment of impetiginized scabies
Objectives: Comparing the effectiveness of a combination permethrin 5% cream and
fusidic acid 2% cream with 5% permethrin cream and placebo; comparing VAS pain and
VAS itchy scores, side effects before and after treatment in both groups; Displaying the
germs map of germs and cultures of impetiginized scabies
Methods: A double-blind, randomized clinical trial was carried out at Al-Islamic Boarding
School at Cibinong Bogor and Gaza Al-Islamic Boarding School at Bogor in September to
October 2018 and March 2020. Forty-one students met the study criteria, but only 40
research subjects complete research. Group allocations are carried out randomly following
a randomization table. The intervention group received permethrin 5% cream and fusidic
acid 2% cream, while the control group received permethrin 5% cream and placebo. Skin
scrapings, Gram smears, and cultures were examined. VAS itch and pain were also
examined. The study subjects were followed up on days 7 and 14 to assess healing, VAS
itch and pain, and side effects of treatment.
Results: Healing effectiveness of the intervention group on day 7 was higher than in the
control group (80% vs. 35%). The effectiveness of the intervention group healing on the
14th day was higher than the control group (95% vs. 35%), which was statistically
significant (p = <0.001), and the relative risk of the 14th day was 2,714. There was a
significant difference in median difference in itching VAS score in the intervention group
compared to the control group after treatment (p = 0.040) and median difference in pain
VAS score (p = 0.035). The most common bacterium found was Staphylococcus aureus
followed by Gram-negative bacteria. There were no significant differences in side effects
in the two groups.
Conclusion: The treatment of impetiginized scabies with permethrin 5% cream and fusidic
acid 2% cream is more effective than permethrin 5% cream and placebo. Improved VAS
score for pain and itch with no side effects. The most common bacterium is Staphylococcus
aureus followed by Gram-negative bacteria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library