Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggraini
"Kajian tentang femininitas masih relevan dalam kehidupan moderen. Karena konsepsi gender- bermanfaat bag i seseorang untuk menempatkan dirinya sesuai dengan tempatnya dalam kehidupan. Demikian kiranya "ideology? gender dapat bertahan mengatasi derasnya arus kebudayaan moderen yang telah menanamkan pengaruhnya hampir di seluruh belahan bumi.
Pendekatan folklor dalam penelitian ini didasari pada pemikiran bahwa folklor adalah Cermin Cara berpikir yang berisikan nilai-nilai dari masyarakat pendukungnya.
Bertolak dari konsep Clifford Geertr maka nilai? nilai berada dalam kehidupan seseorang melalui proses belajar secara turun menurun. Pembenaran terhadap nilai-nilai akan menjadi penggerak dalam batin yang mempengaruhi perilaku seseorang sehingga menyebabkannya memiliki kekhususan yang membedakannya dengan orang lain. Karena kebudayaan bersifat universal, melainkan spesifik.
Dalam masyarakat Rusia, wanita ibarat motushk Ells yang rela berkorban untuk anak-anaknya yang tak terkira banyaknya. Dalam karya-karya sastra Rusia abad kesembilan belas sifat-sifat feminin ' terlukis dalam diri isteri--isteri setia yaitu pada tokoh Tatyana dan isteri-isteri Dekabris.
Studi ini dilakukan terhadap wanita-wanita Rusia yang tinggal di Jakarta yaitu dalam lingkungan budaya yang berbeda. Dengan demikian maka manfaat penelitian adalah Untuk mengetahui sampai sejauh mana sifat budaya masih melekat, sementars suatu etnik telah meninggalkan batas budaya dan geografisnya? Sehubungan dengan ini maka Barth berpendapat bahwa sifat budaya dapat berlanjut, meskipun terjadi pembauran karena adanya status terdikotomi yaitu hubungan yang bersifat saling ketergantungan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freddy Waibusi
"Pendahuluan
Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan perlu diatur dalam wadah-wadah yang tepat. Salah satu wadah yang dimaksud adalah Koperasi Unit Desa (KUD). Dikemukakan dalam GBHN bahwa KUD adalah "wadah kegiatan ekonomi rakyat, yang diusahakan agar memiliki kemampuan menjadi badan usaha yang efisien dan menjadi gerakan ekonomi rakyat tangguh dan berakar dalam masyarakat (1993.71)".
KUD sebagai badan usaha perlu mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya nasional maupun regional untuk memajukan kesejahteraan ekonomi anggotanya_ KUD harus diberikan kesempatan seluas-luasnya berperan dalam pembangunan, untuk memeeahkan ketidak selarasan ekonomi di dalam masyarakat. Selain itu KUD merupakan langkah strategis dalam upaya memupuk pertumbuhan dan meningkatkan peranan serta tanggung jawab masyarakat golongan ekonomi lemah dalam kegiatan pembangunan.
Berbagai upaya pembinaan dan pengembangan KUD selama Pembangunan Jangka Panjang 25 Tabun yarig ke satu (PJPT I) 1967-1994 meliputi: pendirian lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah lanjut atas (SHEA) sampai dengan perguruan tinggi (Akademi Koperasi) dan Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN). Dengan adanya upaya tersebut, baik berupa pendidikan formal maupun nonformal agar dapat mencetak kader-kader atau pemimpin-pemimpin yang tangguh dalam pengelolaan manajemen koperasi. Begitu pula tersedianya Bukopin akan mempermudah proses pelayanan pemberian kredit kepada manyarakat.
Namun semua upaya pembangunan ini, belum memberikan harapan yang cukup bagi bangsa Indonesia, terutama rakyat di pedesaan. Hal ini, terlihat selama PJPT Kesatu ditargetkan koperasi harus mencapai 50.000 buah, ternyata baru mencapai 36.542 buah yang terdiri dari 8.349 buah KUD dan 28.193 buah koperasi bukan HUD. Sedangkan jumlah anggota ditargetkan mencapai 50 % dari jumlah penduduk Indonesia, ternyata baru mencapai 15 % yaitu berjumlah 29.134.000 anggota yang terdiri dari kurang lebih 18.000.000 anggota KUD dan sejumlah 11.000.000 anggota bukan KUD (Anoraga. P, 1992:174).
Kendala pembangunan HUD ini disebabkan berbagai masalah, baik yang bersumber dari dalam koperasi sendiri maupun yang bersumber dari luar. Kendala-kendala itu antara lain: yang pertama berkaitan dengan aspek kelembagaan.dan yang kedua berkaitan dengan aspek usaha maupun yang ketiga berkaitan dengan aspek lingkungan (Repelita RI 1989-1994:340).
Keadaan dan pengalaman upaya pembinaan dan pengembangan koperasi secara nasional tersebut di atas yang berjalan sangat lamban ini, terasa juga di Propinsi Irian Jaya. Dilihat dari kondisi objektif Irian Jaya yang masih terbatas sarana transportasi, komunikasi dan ketertinggalan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya. Namun Pemerintah Daerah Irian Jaya dengan instansi terkait telah berupaya membina dan mengembangkan KUD ke daerah pedesaan.
Berbagai upaya pembinaan dan pengembangan yang dilakukan berupa: (a) pelatihan kepemimpinan koperasi, bagi beberapa anggota yang akan menjadi kader-kader KUD; (b) pelatihan anggota pengelolaan manajemen keuangan (bendaharawan) koperasi; (c) pembangunan sarana berupa gedung kantor, gudang, pertokoan, gedung pasar koperasi yang bersifat semi permanen dan permanen; (d) pemberian unit kendaraan roda empat kepada KUD untuk memperlancar terangkutnya hasil-hasil pertanian dari desa ke pasar; dan (e) pemberian modal berupa kredit kepada para anggota koperasi :
Sejak Repelita I sampai-dengan Repelita V, Daerah Irian Jaya ditargetkan 554 buah koperasi secara kuantitatif. Namun pada kenyataan koperasi yang didirikan hanya mencapai 275 buah, yang terdiri atas 74 buah KUD dan yang bukan KJD 140 bush_ Sedangkan keanggotaan KUD-nya berjumlah 12.629 orang dan yang bukan anggota KUD sejumlah 42.631 orang (Repelita Irian Jaya 1989-1994:196).
Ketidaktercapaian target tersebut di atas, disebabkan oleh tiga permasalahan sebagai berikut: yang pertama, berkaitan dengan aspek kelembagaan yang meliputi: (1) pembinaan di bidang organisasi, tatalaksana dan pengawasan; (2) pembinaan para anggota KUD agar membentuk dan mengembangkan unit usaha baru, (3) pembinaan penyelenggaraan latihan, penataran dan penyuluhan bagi pengurus.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiawan
"Program-program pembangunan nasional jangka panjang dua puluh lima tahun pertama telah berlalu dan kini mulai memasuki dua puluh lima tahun kedua, telah membawa dampak perubahan masyarakat dan kebudayaan yang cukup berarti. Perubahan tersebut dapat dibedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan , hal ini terjadi karena dalam hal penerimaan dan tanggapan masyarakat dan kebudayaan setempat.
Untuk masyarakat dan kebudayaan di pedesaan yang masih berciri tradisi onal, dorongan untuk berubah lebih dikarenakan oleh faktor dari luar dari pada dorongan yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan setempat. Akibatnya perrnasalahan yang berlangsung akan lebih merupakan kekacauan atau disorganisasi pada sistem sosial dan sistem budayanya. Hal ini meru pakan suatu adaptasi sistem untuk mencapai keseirnbangan baru. Sebagaimana komuniti Islam di desa Pegayaman , Kecarnatan Sukasada, kabupaten Buleleng, Dati I -Bali .
Disamping dorongan kuat dari p rogram-program pernbangunan melalui pemerintahan desa, dorongan perubahan yang berasal dari dalam kumuniti itu sendiri mendesakkan adanya suatu perubahan adaptif dari bertambahnya komposisi dan jumlah penduduk yang berakibat terjadinya perubahan struktur pemilikkan atas lahan perkebunan dan sawah-ladang mereka. Keadaan tersebut terjadi karena tradisi waris yang masih tetap berlangsung, sementara luas lahan tidak pernah bertambah.
Kombinasi dorongan perubahan dari luar maupun dari dalam tersebut berdampak secara lebih jauh dalam kehidupan politik lokalnya, sebagai sub--sistem politik nasional yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi subsisten. Sehingga setiap akses ke arah perbaikan mutu kehidupan menjadi peluarig-peluang yang kompetitif. Selanjutnya kelompok-kelornpok kepentingan diantara bilarga, komuniti terbentuk dalarn upayanya memperebutkan sumber-sumber daya alarn dan sosial-budaya yang terbatas.
Keberadaan setting komuniti Islam di desa Pegayarnan sebagai minonitas dari mayonitas komuniti-komuniti Hindu memang berkaitan erat dengan sejarah masuknya agama Islam di Buleleng khususnya dan Bali pada umumnya. Aspek kesejarahan ini mempengaruhi cmi kebudayan yang berlaku dalam komuniti Islam di desa Pegayaman tersebut, yaitu agama (Islam) sebagai cetak bi ru hagi kehidupan meraka, sebagaimana yang terwujud melalui pranata--pranata sosialnya, tradisi dan upacara-upacara keagamaannya - Secara tersamar tetapi mantab sistem keyakinarinya itu menyelimuti etos dan pandangari hidup mereka, sebagaimana yang diperlihatkan dalam kehidupan sosial mereka sehani-hari.
Akhirnya hila ditil:ik dalam kehidupan .sosial mereka seharihari melaiui data empirik yang dikumpulkan dari penelitian ini, perrnasalahan disorganisasi sistem sosial dan sistem budaya mewarnai corak interaksi sosialnya (konflik dan integrasi). Semua hal itu ber1angsung tidak lain dalam rangka sebagai upaya-upaya atau strategi strategi untuk memenuhi kebutuhan-kebUtUhan hidup mereka, melalui berbagai perebutan akses pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupannya."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumbrawer, Frans
"Tesis ini membahas perubahan sosiokultural masyarakat pedesaan, yang dikaitkan dengan telah tembusnya jalan trans-Biak ke daerah-daerah pedesaan di Biak, Kabupaten Biak-Numfor. Tiga dari sekian banyak aspek kebudayaan yang menjadi sasaran penelitian ini, adalah aspek perubahan perilaku ekonomi, hubungan kekerabatan, dan aspek pendidikan yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat desa di Biak. Desa Bosnabraidi di Kecamatan Biak Utara telah dipilih sebagai daerah studi kasus. Adapun ketiga aspek sosiokultural yang menjadi objek studi tersebut di atas, hanya dibatasi pada kurun waktu sejak tembusnya jalan trans-Biak di daerah Kecamatan Biak Utara, tahun 1975 sampai dengan tahun 1994.
Latar Belakang Masalah
Jalan merupakan prasarana perhubungan vital dan sifatnya amat klasik, di antara prasarana dan sarana perhubungan lainnya. Keberadaannya agak unik jika dibandingkan dengan fasilitas perhubungan yang lain. Manusia menggunakan jalan sejak ada dalam kandungan sampai lahir ke bumi (merangkak, berdiri, dan berjalan sendiri) fasilitas klasik ini selalu digunakan dalam derap langkah kehidupan atau tingkah lakunya tiap saat.
Silvia Sukirman mengemukakan bahwa "Pada awalnya, jalan hanyalah berupa jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup ataupun sumber air. Setelah manusia mulai hidup berkelompok jejak-jejak itu berubah menjadi jalan setapak" (1992:1), lalu berkembang mengikuti fase perkembangan peradaban manusia, mulai dari jalan setapak (tradisional) sampai dengan jalan raya yang modern, yaitu mengikuti arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai hasil manifestasi dari kebudavaan manusia itu sendiri.
Jadi, sebelum adanya fasilitas yang lain (sarana) seperti, mobil, perahu, kapal dan pesawat terbang, jalanlah yang menempati posisi utama dalam perhubungan dan kehidupan manusia, sebagaimana diungkapkan dalam bahasa Biak bahwa "Nyandayuk ima isya ro kenem pampondi. Ima imaniso wurek kankenem. Inja isyaba (irnuk) ido na komar." (Jalan ada semenjak kehidupan dahulu. la bagaikan urat nadi kehidupan. Akan matilah kita jika tak ada jalan/putus).
Dengan dibangunnya jalan trans-Biak ini, maka dampaknya terhadap pembangunan ekonomi tradisional, kekerabatan dan pendidikan di daerah ini sangat berarti. Jalan mendorong lajunya pembangunan ekonomi, perubahan dalam hubungan kekerabatan dan kemajuan pendidikan yang nyata di daerah pedesaan.
Prasarana klasik ini memberikan inspirasi, motivasi, dan saluran informasi bagi masyarakat desa, untuk lebih mengintensifkan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi barang, dalam konteks kebudayaan masyarakat setempat secara total. Masyarakat dengan mudah mendistribusikan produksi pertanian, perikanan dan hasil-hasil lainnya ke kota untuk dijual dan sebaliknya konsumsi barang-barang menjadi lebih tinggi sehingga perekonomian daerah lebih maju karena masuknya jaringan jalan sampai di desa-desa."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rondhi
"Melalui studi tentang mobilitas penduduk akan dapat diketahui pola tingkah laku mobilitas serta konsekuensinya (Hornby, 1980; Hugo, 1981; Abustam, 1989:1). Perlu diketahui bahwa perpindahan penduduk yang dimulai sejak beberapa tahun lalu telah mengakibatkan heteroginitas penduduk di beberapa wilayah di Indonesia (Mantra, 1984). Konsekuensi dari perpindahan penduduk tersebut di samping tidak meratanya distribusi penduduk di berbagai daerah juga berakibat pada bidang ekonomi maupun social. Dengan demikian mobilitas penduduk penting bukan hanya karena masalah tersebut merupakan penyebab utama variasi pertumbuhan penduduk antar wilayah di Indonesia, tetapi juga karena peran pengaruhnya di dalam perubahan social dan ekonomi di wilayah tempat penduduk yang bersangkutan (Hugo, 1987, Bandiyono, 1991)).
Oleh karena itu pula maka Pemerintah Indonesia telah mengatur mobilitas penduduk tersebut melalui berbagai program dan kebijaksanaan yang nyata dalam upaya memadukan antara distribusi populasi dengan sumber daya lingkungan misalnya dalam program transmigrasi. Sejak awal tahun 1970, pemerintah Indonesia juga telah memusatkan sebagian besar program pembangunannya di Irian Jaya. Dengan bantuan internasional, Pemerintah Indonesia telah memusatkan pada peningkatan infrastruktur dan komunikasi, perluasan pelayanan kesehatan dan pendidikan, peningkatan pertanian terutama melalui program transmigrasi. Meskipun demikian usaha pemerintah tersehut hanya merangsang pertumbuhan ekonomi yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi propinsi yang lain bahkan juga dengan tetangganya yaitu Papua New Guinea (Manning, 1999).
Harapan bagi penanam modal swasta di bidang industri tidak terpenuhi, dan kegiatan ekspor di bidang perikanan dan perkayuan juga pengaruhnya terbatas pada pendapatan dan kesejahteraan regional (Manning, 1909). Distribusi perubahan ekonomi dan manfaatnya juga tidak merata dalam pengertian geografis maupun sosial antara penduduk asli dan para pendatang. Kota-kota di bagian utara dan daerah pedalaman di sekitarnya, karena lancarnya hubungan dengan Jawa maupun Sulawesi - mengalami peningkatan perdagangan.
Peningkatan pendapatan yang disebabkan oleh investasi yang cukup besar di bidang infrastruktur dan pembangunan pertanian khususnya di daerah transmigrasi juga cukup bisa dirasakan. Akan tetapi hambatan sistem ekonomi dan keadaan alam telah membatasi menyebarnya pengaruh perkembanggan ekonomi di utara terhadap wilayah di daerah selatan dan dataran tinggi. Sebagian penduduk asli Irian Jaya masih hidup dengan pertanian subsistensi, berburu, dan memelihara binatang ternak. Hasil kegiatan pertanian penduduk asli di wilayah itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Andriati
"ABSTRAK
Satu kelompok masyarakat yang menarik untuk dikaji adalah kelompok nelayan, karena mereka umumnya menghadapi kesulitan khusus yang menjadi kendala dalam kehidupannya. Kendala ini berasal dari lingkungan alam dan lingkungan sosial. Akibatnya mereka mengalami ketidakpastian dalam perekonomian rumah tangganya.
Ketergantungan nelayan pada lingkungan alam besar sekali. Hal ini menunjukkan keeratan hubungah antara lingkungan alam dengan nelayan. Jika lingkungan alam terganggu, maka nelayan tidak dapat melaut/mencari ikan. Akibatnya tidak ada pemasukan pendapatan bagi rumah tangganya dan kelangsungan kehidupan nelayan terganggu. Kenyataan ini mendorong nelayan menyesuaikan mekanisme kerja, baik yang menyangkut hubungannya dengan orang lain maupun dengan anggota rumah tangganya. Seluruh anggota rumah tangga harus bekerja dan berusaha, terutama isteri nelayan. Tujuannya agar kebutuhan ekonomi rumah tangga dapat terpenuhi. Dalam hal ini peran isteri nelayan cukup menonjol. Mereka berperan ganda, yaitu di samping sebagai isteri nelayan dan ibu rumah tangga yang mengerjakan tugas-tugas domestik/reproduksi, mereka juga mencari nafkah/produksi.
Mengingat kesulitan kehidupan kaum nelayan umumnya, yang karenanya menghendaki keterlibatan wanita dalam ekonomi rumah tangga, serta belum adanya penelitian mengenai peranan wanita dalam ekonomi rumah tangga nelayan pantai, maka melalui tesis ini penulis bertujuan mempelajari hal tersebut. Ada dua permasalahan yang penulis ingin memperoleh jawaban, yaitu: pertama: bagaimana peranan wanita dalam ekonomi rumah tangga nelayan pantai? , kedua: apakah dampak dari peranan wanita dalam ekonomi rumah tangga nelayan pantai tersebut terhadap kedudukannya sebagai isteri-ibu rumah tangga?
Tipe penelitian ini deskriptif, yang didukung data-data kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah survai yang dikombinasikan dengan metode penelitian kualitatif. Dari dua metode ini penulis berharap data kuantitatif dan data kualitatif dapat saling melengkapi.
Nelayan Kejawan lor,dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) kelompok berdasar karakteristik yang berbeda, yaitu kelompok nelayan pemilik perahu, buruh nelayan dan pengepul ikan. Mayoritas nelayan adalah nelayan pemilik perahu. Mereka mampu membeli perahu, karena bentuk perahu sederhana dan harganya relatif murah. Berdasar hal ini maka jumlah pemilik perahu lebih banyak dibanding jumlah buruh nelayan pantai. Nelayan ini berlayar sendiri per perahu atau nelayan pemilik perahu hanya membutuhkan seorang buruh nelayan, karena itu struktur organisasinya sederhana. Nelayan ini pulang ke rumah setiap selesai melaut. Mereka dapat melaut hampir sepanjang tahun, baik pada musim Angin Timur maupun musim Angin Barat karena mereka tinggal di pinggiran kota Surabaya yang musimnya tidak beraturan. Mereka tidak melaut terutama karena gangguan alam, sedang sebab lain karena perahu atau mesin mereka rusak, tidak punya uang untuk membeli umpan dan gangguan kesehatan nelayan. Mereka mengalami ketidakpastian pendapatan karena mereka menghadapi masalah ketidakpastian keadaan alam. Untuk itu mereka menyesuaikan diri dan memilih serta menentukan beberapa strategi yang dapat mengatasi masalah tersebut agar mereka tetap dapat bertahan hidup. Perilaku adaptasi ini disebut strategi adaptif.
Salah satu strategi adaptif ini adalah pembagian kerja antara suami dan isteri, yaitu suami melaut dan isteri nelayan mengolah dan menjual ikan. Isteri nelayan berpendapat bahwa menjual ikan adalah kewajibannya sebagai isteri mengingat suami lelah sesudah melaut. Mereka bekerja sama, saling melengkapi dan saling tergantung (hubungannya bersifat komplementer). Di samping itu isteri juga mengerjakan tugas domestik, seperti membersihkan rumab, mengasuh anak, memasak dan mencuci pakaian anggota rumah tangga.
Berdasar pembagian kerja ini ternyata, peranan isteri nelayan di Kejawan Lor relatif besar berdasar banyaknya jenis kegiatan yang dilakukan, dominasi dalam memegang dan mengatur keuangan serta kontribusi tenaga, uang dan ketrampilan dalam mengolah dan menjual ikan. Mereka mengolah ikan perolehan suami, yaitu mulai menimbang, mencuci, memotong, menusuk ikan dengan tusuk sate sampai memanggangnya. Isteri nelayan pantai umumnya mengerjakan pekerjaan ini sendiri, kadang-kadang saja anak perempuan nelayan membantunya. Isteri nelayan mengatur ikan-ikan tersebut di atas nyiru dan menjualnya ke pasar, ke kompleks perumahan Angkatan Laut atau ke Pantai Kenjeran Lama (terutama hari Minggu) keesokan harinya. Isteri nelayan berbelanja untuk hari itu berdasar hasil penjualan ikan tersebut. Artinya, pengeluaran tergantung pendapatan yang diperoleh bukan tergantung pada komposisi atau jumlah anggota keluarga. Mereka umumnya tidak mempunyai pekerjaan sampingan di luar sektor kenelayanan. Mereka berperan ganda. Isteri nelayan pantai ini menggunakan waktu kerjanya hampir sepanjang hari. Mereka istirahat hanya pada waktu tidur malam saja. Hal ini berbeda dengan suaminya, waktu nelayan lebih banyak di darat dari pada di laut. Pada waktu nelayan berada di darat mereka umumnya hanya memperbaiki perahu atau menata panning jala, mereka lebih banyak beristirah atau bersantai, dengan alasan mereka lelah. Padahal mereka mungkin juga malas bekerja produktif yang lain. Mereka kurang membantu pekerjaan-pekerjaan repoduksi sementara isteri nelayan sering juga masih membantu membersihkan dan menata panning serta memasang umpan.
Isteri nelayan bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan ekonomi rumah tangganya. Jika pendapatan mereka tidak cukup, suami tidak melaut pada musim Angin Timur dan musim Angin Barat, maka mereka berhutang dulu ke pemilik warung karena pemilik warung memperbolehkan mereka hutang asal mereka membayar hutang tersebut atau melakukan usaha lain seperti membeli ikan dari keluarga/tetangganya, menjual barang yang dapat dijual atau menjual emas. Mereka juga mengikuti arisan, sebagai tabungan untuk memperbaiki rumah, memperbaiki/membeli perahu, membina hubungan baik dan kerjasama antara sesama isteri nelayan pemilik perahu atau antara isteri pemilik perahu dan isteri buruh nelayan untuk saling menjualkan ikan jika di antara mereka berhalangan berjualan ikan, menjadi buruh dengan membersihkan dan memotong ikan perolehan tetangganya atau membersihkan dan menata panting.
Relatif besarnya peranan isteri dalam perekonomian rumah tangganya ini berdampak terhadap kedudukannya yang relatif kuat sebagai isteri-ibu rumah tangga dalam distribusi dan alokasi kekuasaan di antara nelayan dan isterinya. Hal ini terlihat dari dominasi isteri nelayan dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ekonomi mereka. Mereka mengambil keputusan sendiri tanpa pertimbangan suami. Isteri nelayan berkuasa dan berfungsi sebagai kepala rumah tangga, baik pada musim Angin Timur maupun musim Angin Barat. Mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan rumah tangganya atau agar rumah tangganya tetap survive, karena itu curahan waktu kerja isteri nelayan pantai lebih besar dibanding suami."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ladiawati
"This dissertation focuses on corporate organization culture. Through the case study conducted on PT. Bank Ralcyat Indonesia, Tbk, Parung unit, Bogor, West Java, this dissertation presents problems concerning the mechanism of realizing corporate organization culture, specifically with regards to the social relations within the company and its working environment.
Based on the result of the research, conducted from January to June 2005, using participatory observation and in-depth interviews as the main methods of data collection, this dissertation describes how values and nouns of t.he company are socialized and internalized through various activities. These activities, which are ritualistic in nature, develop, maintain and strengthen solidarity and working order in the company, as well as the loyalty and interest of the company's customers.
For an organization, values are regarded as determinants of the character of the organization. With the existence of values, the members of the organization create an identity for themselves. This feeling of togetherness what renders the values effective."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D814
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Nurjaya
"ABSTRAK
Magersari adalah komunitas-komunitas penduduk di dalam kawasan hutan negara yang dikelola dan diusahakan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) di Jawa. Penduduk telah bertahan-tahun dan bahkan secara turun-temurun bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, dan kehidupan mereka sangat tergantung pada sumber daya hutan, terutama tanah hutan dan pekerjaan kehutanan yang diberikan Perum Perhutani. Penduduk bekerja sebagai petani-petani penggarap lahan hutan dengan sistem tumpangsari (pesanggem), dan sebagai pekerja-pekerja hutan (blandong) yang diandalkan Perum Perhutani dalam kegiatan penjarangan tanaman, penebangan pohon, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu.
Studi ini pada dasarnya bertujuan untuk memberi pemahaman mengenai pola adaptasi petani pekerja hutan magersari dalam kegiatan wanatani yang dilakukan Perum Perhutani; mengapa penduduk magersari secara turun-temurun tinggal dan bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, padahal kesejahteraan hidup mereka dari tahun ke tahun selain tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, juga selalu diselimuti dengan ketidakterjaminan (insecurity) ekonomi, sosial, dan hukum dari segi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Untuk memahami pola adaptasi penduduk magersari terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, termasuk adaptasi terhadap kebijakan-kebijakan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan, maka paling tidak dapat dicermati dari tiga aspek, yaitu : (1) adaptasi penduduk di bidang ekonomi tercermin dari kegiatan-kegiatan pencaharian hidup yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya di dalam kawasan hutan; (2) adaptasi sosial penduduk tercermin dari sistem sosial magersari, nilai-nilai, norma-norma, .institusi sosial, dan mekanisme-mekanisme yang digunakan sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan magersari, yang meliputi elemen pengelompokan sosial (social alignment) yang membentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial; elemen media sosial (socia media) yang mengikat dan mempertahankan kehidupan bersama; elemen standar sosial (social standard) yang mengukuhkan dan mempertegas hak dan kewajiban, kedudukan dan peran anggota masyarakat; dan elemen mekanisme kontrol sosial (social control) yang menjaga dan memelihara keteraturan sosial dalam kehidupan bersama; dan (3) staretgi-strategi yang diciptakan penduduk magersari untuk menghadapi kebijakan pengelolaan hutan, sehingga mereka dapat mengakses sumber daya alam lebih banyak dari yang diperbolehkan Perum Perhutani.
Studi ini memperlihatkan bahwa pola interaksi antara penduduk magersari dengan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan pada dasarnya merupakan hubungan yang bercorak mutualistik (mutualistic relationship), yang saling memhutuhkan (mutual need), saling membantu (mutual help), dan saling menguntungkan (mutual benefit) karena : di satu sisi penduduk magersari membutuhkan sumber daya hutan, terutama tanah tempat tinggal, lahan garapan tumpangsari dan kebun kopi, kayu perkakas dan kayu bakar, sedangkan di sisi lain Perum Perhutani sangat memerlukan tenaga petani-pekerja magersari untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kehutanan, mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, penjarangan, penebangan, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu. Namun demikian, apabila dikaji secara lebih mendalam terutama dari substansi kontrak magersari dan kontrak tanaman yang mendasari perjanjian kerja penduduk dengan Perum Perhutani, maka ditemukan pola hubungan yang lebih bersifat patron-klien (patron-client relationship) yang didasarkan pada ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan politik, karena penduduk magersari berada pada kedudukan sub-ordinasi sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai super-ordinasi, atau penduduk magersari berada di pihak yang bersifat inferior, sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai pihak yang bersifat superior dalam kegiatan pemanfaatan dan pengusahaan hutan.
Kondisi ini menyebabkan penduduk magersari tidak mempunyai pilihan dan tidak memiliki posisi tawar, selain menerima semua persyaratan dalam kontrak baku (standard contract) yang ditetapkan Perum Perhutani. Fakta ini pada gilirannya kemudian menciptakan paling tidak tiga kondisi ketidakterjaminan (insecurity) dalam kehidupan petani-pekerja magersari, yaitu : (1) ketidakterjaminan ekonomi (economical insecurity) dalam kaitan dengan hak atas lahan-lahan garapan tumpangsari dan kebun-kebun kopi sebagai sumber kehidupan penduduk sewaktu- waktu dapat dicabut Perum Perhutani; (2) ketidakterjaminan sosial (social insecurity) dalam hubungan dengan asuransi keselamatan kerja, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, bea siswa untuk pendidikan anak-anak magersari belum pemah diberikan, walaupun penduduk magersari telah bertahun-tahun dan turun-temurun bekerja untuk Perum Perhutani; dan (3) ketidakterjaminan hukum (legal insecurity) yang berkaitan dengan status hak atas tanah pemukiman magersari; walaupun tanah magersari telah bertahun-tahun dan bahkan secara turun-temurun dipakai sebagai tempat tinggal, tetapi setiap saat dapat dicabut dan penduduk dapat dikeluarkan dari pemukiman magersari oleh Perum Perhutani.
Dengan menggunakan cara pandang emit: (emit view) dapat diketahui bahwa penduduk magersari tetap bertahan hidup dan tinggal di pemukiman-pemukiman magersari, karena apa yang diperoleh dari pemberian dan belas kasihan (charity) Perum Perhutani dirasakan cekap (cukup secara ekonomi) dan hidup di magersari dinikmati dalam suasana tentrem (tentram secara kejiwaan) dan rukun (bersahabat dalam hubungan antar tetangga). Suasana kehidupan seperti di atas cenderung mendorong penduduk bersikap menerima nasib apa adanya (nrimo ing pandum) dan pasrah menerima keadaan sebagai nasib (pasrah Ian sumarah) seperti ekspresi dari sikap hidup orang Jawa di daerah pedesaan pada umumnya.
Dengan demikian, implikasi teoritis dari studi ini memperteguh teori mengenai sikap hidup orang Jawa yang selalu merasa cekap (cukup) dan berupaya menciptakan suasana tentrem (tentram), angel (hangat dalam keluarga), rukun dalam kehidupan bertetangga, dan cenderung memiliki sikap hidup yang menerima nasib (nrimo ing pandum) atau pasrah menerima keadaan sebagai nasib, seperti tercermin dalam temuan-temuan C. Geertz (1985); H. Geertz (1985); Singarimbun dan Penny (1984); Guinness (1984, 1985); dan Sairin (1992). Implikasi metodologis dari studi ini adalah setiap kehijakan peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah pedesaan seperti dicanangkan Perum Perhutani melalui program perhutanan sosial (social forestry), atau program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan dari pemerintah daerah dan intansi-instansi terkait semestinya juga ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk magersari, karena mereka secara administrasi pemerintahan menjadi bagian dari penduduk desa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan penduduk desa-desa di sekitar hutan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
D512
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"ABSTRAK
Secara garis besar penelitian ini menjelaskan mengenai bagaimanakah budaya hukum dan sub-budaya hukum (kepentingan) masyarakat Batak Toba pada umumnya, yang tidak menempatkan perempuan sebagai ahli waris dengan berbagai dampaknya bagi perempuan, menyebabkan kelompok perempuan tertentu mcnciptakan budaya hukum dan sub budaya hukumnya sendiri, hal mana tercermin melalui cara perempuan memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa waris
Janda dan anak perempuan Batak membawa sengketa ke pengadilan negara dengan alasan dan latar belakang yang berbeda. Janda baru membawa sengketa ke pengadilan sebagai the last resort, sedangkan dibawanya sengketa ke pengadilan oleh anak perempuan lebih merupakan pilihan (choice). Keberanian anak perempuan untuk berperkara di pengadilan dengan risiko social loss yang besar, menjadikan mereka agent of change dalam hal waris di kalangan masyarakatnya. Para pihak yang terlibat dalam sengketa dan para hakim menggunakan hukum adat dan hukum negara secara bergantian. Dengan demikian sebenarnya para pihak tunduk sebagian kepada institusi hukum negara, dan sebagian pada hukum adat (borrowing), atau kadang-kadang ?mengemas? substansi hukum adat melalui institusi hukum ncgara (neo-traditional norms). Terdapat variasi hasil akhir dari konflik individual yang berlangsung bersamaan dengan konflik institusional, yaitu: kemenangan bagi perempuan, atau win-win solutions bagi semua pihak, atau kekalahan bagi perempuan. "
2000
D111
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nengah Bawa Atmadja
"Studi ini berbentuk penelitian kualitatif berlokasi di Desa Adat Julah, Buleleng, Bali. Masalah yang dikaji tentang latar belakang tanah paruman desa dan kebertahanannya, konversi dan implikasi social dan politik terhadap desa adat maupun keluarga petani dalam mengelola tanah yang mereka miliki.
Temuan kanoah menunjukkan bahwa latar belakang tanah paruman desa berkaitan dengan pembukaan hutan untuk kepentingan subeistensi atas- dasar ikatan teritorial, yakni desa adat. Mereka menetapkan pemilikan tanah di tangan desa adat adalah untuk mamperkuat demakrasi desa yang bertujuan untuk mewujudkan ideologi.Tri Nita Karana.
Tanah purustan desa amat kuat bertahan, karena pemilikannya berada pule di tangan dews sehingga tabu untuk dikonversi. Berkenaan dengan itu maka Desa Adat Julah pun melakukan adaptasi politik dan sosiakutural untuk melestarikan tanah paruman desa. Di pihak lain politik pertanahan yang diterapkan oleh penguasa supradesa ikut memberikan dukungan, karena masih mentolelir keberlakuan hak ulayat.
Tanah paruman desa dimanfaatkan untuk kepentingan publik, ,yaitu berbentuk hutan desa, pelalangan, dan areal pembangunan sarana umum. Selain itu tanah paruman desa digunakan pula sebagai sarana bagi pemenuhan, kebutuhan subsistensi keluarga, yakni berbentuk tanah hunian dan tegalan yang dikuasai .secara berkala. Pengelolaan tanah paruman desa berlandaskan pada tanah tanah, yakni adat-istiadat dan agama Hindu.
Pada tahun 1930-an hutan desa dialih fungsikan menjadi tegalan yang dilakukan oleh migran dari karangasem dengan status sebagai petani penyakap. Hereka tordiri dart orang Bali Hindu dan Islam. Dena Adat Julah memoriam kaum migran, tidak hanya karena mereka bersedia melunasi rekognisi, tetapi juga karena kehadiran mereka dinilai tidak murugikan dilihat dari segi ekonomi, sosiobudaya, politik maupun agama termasuk di dalamnya aspek kosmologi. Penerimaan ini mengakibatkan penduduk Desa Adat Julah bersifat majemuk, baik dilihat dari segi kesukubangsaan maupun agama.
Pada tahan 1978 tegalan paruman desa dikonversi menjadi tanah milik perarangan, Penyebabnya adalah perluasan sietem ekonomi uang sehingga menimbulkan kelompok reformis dengan tujuan mengkonversi tegalan paruman desa agar mereka bisa ditanami tanaman, keras dan diwariskan secara turun-temurun. Gagasan tersebut ditolak oleh dewan desa, tidak saja karena mereka taut kepada dews, tetapi jugs karena tats tanah yang berlaku dianggap masih bersifat fungsional bagi kehidupan desa adat maupun keluarga petani. Penolakan ini menimbulkan konflik pertanahan sehingga pemerintah pun ikut eampur tangan. Dengan berpegang pada kekuasaan, ideologi pembangunan dan berbagai pe-caturan hukum tanah, maka pamerintah memaksa agar Desa Adat mengkonversi tanahnya. Desa Adat Julah pun terpaksa mengkonversi tegalan paruman desa. Pengkonversian itu berlandaskan pula pada pertimbangan politik, sosioekonomi, agama, psikologi dan sosiokultural yang di dalamnya mencakup legitimasi perubahan berdasarkan konsep desa, kaIa, patra dan rwa bhineda.
Konversi menimbulkan dampak sosial pada desa adat, yakni lenyapnya demokrasi ekonomi dan hilangnya kontrol desa adat terhadap tanah. Selain itu desa adat memberikan pula pelonggaran kepada warga desa adat untuk marantau dengan oars menyeauaikan kaidah adat dan agama yang menghambtannya. Hal ini dimakaudkan sebagai suatu upaya guna menetralisir masalah sosial yang timbul sebagai akibat dari ketidakmampuan desa adat untuk memberikan jatah tanah kepada warganya. Namun di sisi yang lain kegiatan merantau pun menimbulkan pula dampak sosial balk pada lingkungan keluarga maupun desa adat.
Konversi menimbulkan pula dampak sosial pada lingkungan keluarga. dalam pengelolaan tegalan. Hal ini terlihat dari adanya kenyataan, yakni kegiatan beroocok tanam mengarah pada penanaman komoditas yang disertai dengan peningkatan konservasi lahan dan teritorialites. Selain itu mereka mengenal pula pengalihan tegalan baik lewat pewarisan maupun pasar tanah. Namun orang Julah enggan membeli tegalan, tidak saja karena keterbatasan modal dan sektor pertanian kurang menguntungkan, tetapi juga karena mereka memiliki aneka keperluan yang lebih mendesak, yakni menoukupi kebutuhan pangan, pagan, dan dana ritual. Karena itu tidak mangherankan .jika pembelian tegalan kebanyakan dilakukan oleh orang dari luar Desa Adat Julah, sehingga masyarakat Desa Adat-JuIah. yang semula bersifat korporatif tertutup menjadi bersifat terbuka.
Dampak sosial lainnya pada lingkungan keluarga adalah ketidakmampuan desa adat menyadiakan tanah perumahan karena persediaannya telah habis, mengakibatkan setiap keluarga melakukan penataan ulang stets rumah mereka agar bisa menampung hunian., sebanyak mungkin. Hal ini tidak saja menimbulkan perubahan fisik, tetapi juga hubungan sosial di kalangan. pars penghuni tanah perumahan. Mereka yang memiliki modal bisa membeli tegalan untuk dialihfungsikan manj adi tanah hunian, sehingga luas tegalan di rasa Adat Julah menjadi semakin berkurang.
Konversi menimbulkan pula dampak positif pada desa adat, yakni melemahnya otonomi desa adat. Selain itu konversi tidak saja mengakibatkan desa adat kehilangan tanah ulayat, tetapi juga memudarkan demokrasi desa. Terbukti dari adanya kenyataan bahwa keluarga yang terbentuk pada masa pasoakonversi menolak duduk dalam dewa desa. Karena itu Desa Adat Julah melakukan strukturalisasi, yakni semilahkan keanggotaan desa adat menjadi dua, yakni anggota penuh dan tidak penuh. Hal ini memang bisa mengatasi masalah yang mereka hadapi, namum karena anggota tidak penuh tidak duduk di dalam dewan desa, maka prinsip demokrasi desa dalam bidang politik, yakni partisipasi seluruh kepala keluarga dalam proses pengambilan keputusan menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini dapat memberikan peluang bagi timbulnya ketidaksepakatan atau kesalahpengertian antara anggota penuh dengan anggota tidak penuh. Status anggota tidak penuh pun menjadi lebih rendah daripada anggota penuh, sehingga masa persamaan sosial yang tercakup di dalam demokrasi desa menjadi terabaikan.
Desa adat juga kehilangan tegalan sebagai sumber daya untuk menunjang kekuasaan. Walaupun demikian desa adat masih memiliki sumber daya kekuasaan, yakni tanah perkarangan desa, kuburan dan pura. Dengan menggunakan sumber daya tersebut desa adat masih mampu mengikat dan mengintegrasikan warganya ke dalam suatu wadah, yakni desa adat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
D671
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library