Tanah longsor merupakan pergerakan material pembentuk lereng (tanah, batuan, dan campurannya) pada bidang longsor atau lereng yang bergerak secara cepat atau singkat dalam jumlah atau volume yang relatif besar. Selama 10 tahun terakhir telah terjadi lebih dari 125 kasus tanah longsor di Kabupaten Banyumas dan menghasilkan banyak kerugian dan korban. Pembuatan peta kerentanan tanah longsor menjadi salah satu solusi untuk dapat mengurangi kerugian akibat tanah longsor. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan zona kerentanan tanah longsor di Kabupaten Banyumas menggunakan metode analysis hierarchy process (AHP) dan metode frequency ratio (FR). Penelitian ini dilakukan menggunakan data kejadian tanah longsor sebanyak 125 titik yang dibagi menjadi 2 set data yaitu training data (70%) dan testing data (30%). Pengolahan dan analisis untuk membuat peta kerentanan terhadap dua metode dilakukan menggunakan training data dengan acuan delapan parameter yang berpengaruh terhadap tanah longsor, yaitu kemiringan lereng, elevasi, arah lereng, litologi, curah hujan, penggunaan lahan, jarak terhadap sungai, dan jarak terhadap sesar. Hasil pengolahan data dan analisis menggunakan kedua metode adalah dua buah peta kerentanan tanah longsor yang masingmasingnya dibagi menjadi empat kelas kerentanan. Peta kerentanan juga divalidasi menggunakan training data (success rate) dan testing data (predictive rate) untuk mengetahui akurasi model yang dibuat. Hasil validasi menunjukkan kedua metode menghasilkan nilai AUC yang cukup baik dan dapat diterima, tetapi metode AHP memiliki nilai AUC yang lebih tinggi dari metode FR.
Cekungan Kutai merupakan cekungan terluas di Indonesia. Secara fisiografis, terdapat 3 zona berorientasi utara ke selatan yang membagi Cekungan Kutai pada bagian barat hingga timur. Penelitian biostratigrafi terhadap sedimen berumur tersier di cekungan Kutai penting untuk dilakukan karena dapat meningkatkan akurasi pembatasan umur relatif bagi masing-masing satuan batuan dan peristiwa-peristiwa penting seperti sejarah pembentukan cekungan Kutai. Penelitian terdahulu mengenai sedimen Tersier yang lebih tua daripada Miosen Tengah masih sangat sedikit, terutama penelitian mengenai stratigrafi khususnya biostratigrafi yang dinilai sangat penting. Maka dari itu penelitian ini akan membahas biostratigrafi cekungan Kutai yang berada di pulau Kalimantan bagian Timur dan berumur lebih tua daripada Miosen Tengah, tepatnya pada umur Eosen Akhir hingga Oligosen. Penelitian ini dilakukan berdasarkan kandungan fosil foraminifera yang terdapat pada perconto batuan sedimen dari sumur pengeboran ILM untuk mengetahui zonasi umur, persebaran fosil, dan lingkungan pengendapan batuan yang terdapat dalam sumur pengeboran tersebut. Analisis fosil foraminifera juga akan dilengkapi oleh data fosil nanoplankton sebagai data pelengkap yang dapat meningkatkan ketelitian dari studi biostratigrafi yang dilakukan.
Kutai Basin is the largest sedimentary basin in Indonesia. Physiographically, there are three zones with N-S orientation that divide Kutai Basin from the west side until the east side. Researches related to biostratigraphy of tertiary Kutai basin is important to do because it can enhance the accuracy of age determination within sediment layers and it can help reconstruct the history of Kutai Basin. Previous researches related to biostratigraphy in tertiary Kutai Basin which is older than Middle Miocene is very limited, so the goal of this research is to explain the biostratigraphy of Kutai Basin older than Middle Miocene, from Late Eocene to Oligocene to be exact. This research will be based on foramifera fossils contained in sedimentary rocks of ILM drilling well to explain age zonation, fossil distribution, and sediment depositional environment of the drilling well. Foraminifera fossil analysis will also be complemented with nannoplankton fossil as the secondary data to increase the accuracy of this biostratigraphy research.
"