Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardi Jaya Pradipta
"ABSTRAK
Hakim agama dalam menangani perkara perceraian di pengadilan agama memiliki kewajiban untuk mendamaikan para pihak sehingga tidak terjadi suatu perceraian. Usaha hakim untuk mendamaikan para pihak ini merupakan suatu amanah dari Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 82 ayat (1). Peran hakim sangat krusial sebagai penentu dan pemutus dari suatu perkara yang diajukan kepadanya yang dalam hal ini merupakan keputusan atas suatu kelanjutan suatu perkawinan seseorang. Agar mencapai suatu keputusan yang baik dalam mengadili suatu perkara perceraian hakim semaksimal mungkin harus menciptakan suatu perdamaian sehingga tidak tercipta perceraian, akan tetapi apabila memang perceraian merupakan suatu jalan terakhir yang terbaik maka hakim berkewajiban untuk memutus dengan pertimbangan-pertimbangan yang baik. Pelaksanaan Asas Wajib Mendamaikan bukan merupakan pelanggaran atas kewajiban hakim untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke hadapannya dalam hal penanganan kasus perceraian. Hakim dituntut mengupayakan agar para pihak sebaik-baiknya terjauh dari penjatuhan putusan cerai yang berdampak pada putusnya perkawinan seseorang. Pemberian kelenturan waktu atau penundaan waktu hingga perkara tersebut diperiksa secara materiil menjadi salah satu keleluasaan yang memberi kesempatan para pihak mengadakan perdamaian.

ABSTRACT
Religious judges in divorce cases handled in religious courts have a duty to reconcile the parties so that it is not the case of a divorce. Judge's efforts to reconcile the parties, it is a mandate of Act No. 7 of 1989 about Religious Judiciary jo. Act No. 3 of 2006 about changes Of Law No. 7 of 1989 about Religious Judiciary jo. Act No. 50 of 2009 about second amendment law No. 7 of 1989 on Judiciary Religion Article 82 paragraph (1). The role of judges is very crucial as decisive and breaker of a case submitted to him, which in this case is a follow-up to a decision over the marriage of a person. In order to reach a good decision in the case of divorce judges adjudicate a greatest extent may have to create a peace so as not to create a divorce, but if indeed divorce is a last best way then the judge is obliged to break with good considerations. The implementation of the principle of Compulsory Reconcile does not constitute a violation of the obligation of judges to examine and put forward to break the case before him in terms of handling divorce cases. The judge is required to intervene in order for the parties as best as possible the most distant of the overthrow of the ruling of the divorce which resulted in a breakdown in the marriage of a person. Giving the suppleness of the time or the delay time until the review case materially became one of the spaciousness that gives the opportunity the parties held peace."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S315
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Budi Santoso
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah, khususnya kewenangan melaksanakan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) serta hambatan pelaksanaan eksekusinya. Metode penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan dengan ditunjang wawancara. Penelitian ini bersifat diskripsi normatif karena bersifat menerangkan dan menganalisis data serta peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah, berwenang melaksanakan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), sedangkan hambatan dalam kasus ini berupa hambatan yang bersifat yuridis dan administratif. Hasil penelitian juga menyarankan bahwa perlu amandemen Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 untuk memastikan bahwa eksekusi putusan Basyarnas merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Agama. Juga menyarankan agar fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus segera diubah atau dicabut.

ABSTRACT
This skripsi discusses the Religious Court authority to examine, decide and resolve the Islamic banking disputes, in particular on execution of the Award of the National Sharia Arbitration Board (Basyarnas) as well as obstacle in the implementation. This research using a legal normative methodology, wich explained and analyzed the data on legislation or other legal documents The method supported by the data which are derived from legal literatures on law libraries and doing some interviews. The research concludes that the Religious Court has the authority to execute the National Sharia Arbitration Board (Basyarnas) awards, while the constraints in this case are juridical and administrative nature. The results also suggest that the necessary amendments to the Law No. 30 of 1999 to ensure that the seizure execution of Basyarnas award is the absolute authority of Religious Courts. Also suggested that the fatwas National Sharia Board of Indonesian Ulema Council (DSN-MUI) on the settlement of sharia economic disputes should be modified or revoked."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2010
S22581
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library