Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sakina Umar
"Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit telinga yang paling sering terjadi pada anak-anak. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan angka kejadian OMA. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar bagi penelitian berskala nasional dalam memperoleh angka prevalensi penyakit telinga khususnya OMA di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi deskriptif potong lintang untuk mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Subyek penelitian dipilih secara multistage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdassarkan tingkat kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomer rumah. Hasil penelitian ini didapatkan prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur sebesar 5,38 %, dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun. Hubungan faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMA adalah usia ( p < 0,001; OR=11,36), jenis kelamin (p= 0,029 dan OR=2,50), riwayat ISPA (p< 0,001; OR=14,07), dan lingkungan tempat tinggal (p= 0,016;OR=2,60). Faktor risiko yang memiliki kecenderungan penyebab terhadap kejadian OMA, namun secara statistik tidak bermakna adalah pajanan asap rokok (p=0,066;OR=2,18), dan pendapatan rumah tangga (p=0,135;OR=0,55). Dari keempat faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur, didapatkan faktor risiko usia (p<0,001;OR=10,00) dan ISPA (p<0,001;OR=10,01) yang paling bermakna dan dominan terhadap kejadian OMA. (koefisien determinan=0,410).

Acute Otitis Media (AOM) is the most common ear disease in children. To date, a standardized national data reporting on the number of OMA cases is still not available. This research was conducted to become basis for nation-based researches to obtain the number of ear disease prevalence in Indonesia especially AOM. This research is epidemiologic study, descriptive and cross-sectional to find out the prevalence and the characteristics description of AOM risk factors in children in the Municipality of East Jakarta. The research subject was selected with multistage stratified random sampling, authority levels ranging from villages to sub-districts based on population density level. After that, the method employed was spatial random sampling based on house numbers. The research resulted in 5,38% in AOM prevalence in children in the Municipality of East Jakarta, and the highest prevalence occurred in the group of 2-5 years old children. Statistically significant risk factor relations in AOM cases were in age ( p < 0,001; OR=11,36), gender (p= 0,029 and OR=2,50), upper airway infection history (p< 0,001; OR=14,07), and living environment (p= 0,016;OR=2,60). Risk factors that have a tendency toward causes of OMA case, but statistically not significant are exposure to cigarette smoke (p=0,066;OR=2,18), and household income (p=0,135;OR=0,55). From the four significant AOM risk factors in children in the Municipality of East Jakarta, age risk factor (p<0,001;OR=10,00) and upper airway infection (p<0,001;OR=10,01) are the most significant and dominant toward AOM cases (coefficient determinant=0,410)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Dwiputeri Erwidodo
"Latar belakang: Microscopic Ear Surgery (MES) memiliki kelebihan berupa stereoskopis dan operator dapat menggunakan kedua tangan untuk memegang alat. Mikroskop memiliki karakteristik penglihatan sudut pandang lurus dan terbatas, sehingga mulai diperkenalkan Endoscopic Ear Surgery (EES) memiliki sudut pandang luas dan panoramik. Korda timpani berisiko mengalami cedera iatrogenik selama operasi yang mengakibatkan dysgeusia (sensasi logam, pahit, asin, perih, mulut kering atau lidah mati rasa). Penggunaan endoskop memungkinkan visualisasi nervus korda timpani lebih jelas, menghindari reseksi korda dan manipulasi. Tujuan: Mengetahui perbedaan prevalensi dysgeusia pasca-timpanoplasti pada kelompok endoskop dibandingkan dengan mikroskop, serta membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran dan durasi operasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan endoskop. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, melibatkan pasien yang merupakan pasien otitis media supuratif kronik dan sudah menjalani timpanoplasti transkanal, dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang teKelompok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok 1 menggunakan alat mikroskop dan kelompok 2 menggunakan alat endoskop. Pengambilan data berdasarkan rekam medis. Data bersifat dysgeusia subjektif berdasarkan keluhan pasien, diambil pada minggu 1, 2, 4, dan 6. Hasil: Pada penelitian ini didaptkan total subjek penelitian 62 pasien, terdiri atas 35 pasien kelompok 1 dan 27 pasien kelompok 2. Rerata usia pada masing-masing kelompok yaitu, 31,26±9,43 tahun pada kelompok 1 dan 33,81±9,17 tahun pada kelompok 2. Tidak terdapat perbedaan bermakna prevalensi komplikasi dysgeusia pasca-timpanoplasti transkanal pada kelompok endoskop dibandingkan dengan kelompok mikroskop. Total 21 pasien mengalami dysgeusia pada minggu pertama, p=0,94 (RR=1; 95% CI=0,64-1,61). Terdapat penurunan pada minggu ke 2,4 dan 6. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keberhasilan tandur, perbaikan fungsi pendengaran, dan durasi pada kelompok mikroskop dibandingkan dengan kelompok endoskop. Kesimpulan: Penggunaan alat operasi endoskop dapat menjadi alternatif mikroskop. Dysgeusia akibat cedera nervus korda timpani inta-operasi bukanlah suatu kejadian yang mengancam nyawa dan tidak bersifat permanen, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Background: Microscopic Ear Surgery (MES) has the advantage of being stereoscopic, and the operator can use both hands to hold the instrument. However, microscopes have the characteristics of a straight and limited viewing angle. This limitation led to Endoscopic Ear Surgery (EES), which offers a comprehensive and panoramic viewing angle. An endoscope allows for more precise visualization of the chorda tympany nerve, potentially avoiding cord resection and manipulation. Objective: To determine the difference in the prevalence of post-tympanoplasty dysgeusia in the endoscope group compared with the microscope and to prove that there is no difference between graft completion, improvement in hearing function, and duration of surgery in the microscope group compared with the endoscope. Methods: This study is a retrospective cohort study involving chronic suppurative otitis media patients who have undergone transcanal tympanoplasty, inclusion and exclusion criteria divided into two groups: group 1 using a microscope and group 2 using an endoscope. Data collection is based on medical records. Data are subjective dysgeusia based on patient complaints taken at weeks 1, 2, 4, and 6. Results: Study, 62 research subjects were obtained, consisting of 35 patients in group 1 and 27 in group 2. The average age for each group was 31.26 ± 9.43 years in group 1 and 33.81 ± 9.17 years in group 2. The prevalence of dysgeusia of post-transcanal tympanoplasty in the endoscopy group was no different compared to the microscope group. A total of 21 patients experienced dysgeusia in the first week, p=0.94 (RR=1; 95% CI=0.64-1.61). There was a decrease at weeks 2, 4 and 6. There were no differences between graft success, improvement in hearing function, and duration in the microscope group compared to the endoscope group. Conclusion: Using an endoscope operating tool can be an alternative to a microscope, offering potential patient outcomes and quality of life benefits. Dysgeusia due to injury to the chorda tympanic nerve during surgery is not a life-threatening event and is not permanent, but it can affect the patient's quality of life."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khaira Utia Yusrie
"Latar Belakang: Keganasan saluran cerna bagian atas terutama esofagus dan gaster
merupakan penyebab kematian akibat kanker keenam dan ketiga di dunia. Beberapa
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien pada
pasien keganasan esofagus, gaster dan duodenum dalam studi yang terpisah telah
banyak dilakukan, namun saat ini belum diketahui sepenuhnya faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas di
Indonesia dengan pengembangan model prognostik.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prognostik kematian 1 tahun pada pasien
keganasan saluran cerna bagian atas di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif berbasis data rekam medis pasien keganasan
saluran cerna bagian atas di RSUPN Cipto Mangunkusumo (2015-2019). Analisis
bivariat dan multivariat dengan uji statistik Cox Proportional Hazards Regression
Model dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor independen yang
mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas. Sistem skor
dikembangkan berdasarkan identifikasi faktor-faktor tersebut.
Hasil: 184 pasien dianalisis, sebagian besar laki-laki (58,7%), dengan rata rata
usia 54,5 tahun. Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian adalah usia > 60 tahun dengan HR
1,93 (IK95% 1,30-2,88), indeks massa tubuh < 20 dengan HR 2,04 (IK95% 1,25-
3,33), riwayat merokok dengan HR 1,77 (IK95%1,20-2,61), performa status ECOG
> 2 dengan HR 3,37 (IK95% 2,11-5,37), stadium tumor dengan stadium 4 dengan
HR 9,42 (IK95% 1,27-69,98) dan stadium 3 HR 9,78 (IK95% 1,31-72,69), dan
derajat diferensiasi tumor dengan HR 2,30 (IK95% 1,48-3,58) Kesintasan 1 tahun
adalah 39,7% dengan median survival 9 bulan. Skor prognotik kematian keganasn
saluran cerna bagian atas yang dikembangkan memiliki nilai AUC yang baik 0,918
Kesimpulan: Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas adalah usia, indeks masa tubuh,
riwayat merokok, performa status, stadium tumor, derajat diferensiasi tumor dan
keterlambatan intervensi. Kesintasan 1 tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas
adalah 39,7%. Telah dibuat sistem skor prediksi probabilitas kematian keganasan
saluran cerna bagian atas

Background: Upper gastrointestinal malignancy especially esophageal and gastric
cancer is the sixth and third leading cause of cancer-related deaths worldwide.
Some studies have been done separately to investigate factors which associated
with survival in patients with upper gastrointestinal malignancy, but not fully
evaluated which factors associated with mortality patients with upper
gastrointestinal malignancy regarding variables and prognostic score model.
Objective: To assess prognostic factors for one-year mortality in patients with
upper gastrointestinal malignancy in Indonesia
Methods: Retrospective cohort study using the hospital database of patients with
upper gastrointestinal malignancy at Cipto Mangunkusumo Hospital (2015-2019).
Bivariate and multivariate cox proportional hazards regression analysis were
performed to identify independent factors associated with mortality upper
gastrointestinal malignancy. Scoring system were developed based on the identified
factors.
Results: 184 patients were analyzed, mostly male (58,7%) with average ages 54,5
years old. Independent factors associated with one-year mortality were age > 60
years with HR 1,93 (95%CI 1,30-2,88), body mass index < 20 with HR 2,04 (95%CI
1,25-3,33), smoking history with HR 1,77 (95%CI 1,20-2,61), performance status
ECOG > 2 with HR 3,37 (95%CI 2,11-5,37), clinical stage which is 4th stage HR
9,42 (95%CI 1,27-69,98) and 3rd stage HR 9,78 (95%CI 1,31-72,69), and cellular
differentiation grade with HR 2,30 (95%CI 1,48-3,58). One-year survival rate was
39,7% with median survival was 9 months. The scoring system for predicting
mortality had AUC values of 0,918 respectively.
Conclusion: The independent factors associated with one-year mortality were age,
body mass index, smoking history, performance status, clinical stage of tumor,
cellular differentiation grade, and delay for start treatment. 1-year survival rate
was 39,7%. The mortality probability prediction scoring system has been developed
for upper gastrointestinal malignancy
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nani Lukmana
"ABSTRAK
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan.
Metode
Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa.
Hasil dan diskusi
Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani, kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif.
Kesimpulan
Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.

ABSTRACT
Objectives
To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated to surgery planning.
Methods
It?s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes. Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test.
Results and Discussion
Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22 and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles, posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05 with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative findings are suitable and significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31953
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Lukmana
"ABSTRAK
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran tomografi komputer (CT Scan) tulang temporal
dalam mengevaluasi adanya kolesteatoma dan erosi tulang pada kasus-kasus OMSK tipe bahaya serta
mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat sehubungan dengan tindakan operasi yang akan
dilakukan.
Metode
Penelitian cross-sectional dengan data prospektif ini menganalisis temuan pemeriksaan tomografi
komputerpreoperatif pada 21 pasien OMSK tipe bahaya yang telah didiagnosis secara klinis dan
kemudian dinilai kesesuaiannya dengan temuan intraoperatifnya . Data diambil dari Mei 2012 sampai
Agustus 2012. Menggunakan tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT), tanpa kontras dan potongan
yang digunakan aksial dan koronal. Rekonstruksi dilakukan pada irisan 0,6 mm dan 1 mm. Penilaian
preoperatif dan intraoperatif meliputi adanya temuan kolesteatoma, erosi pada skutum, osikel, tegmen
timpani, kanalis fasialis (pars timpani dan pars mastoid), dinding posterior kavum timpani serta sinus
sigmoid. Uji statistik untuk mengetahui kesesuaian antara temuan preoperatif dan temuan intraoperatif
menggunakan uji McNemar dan perhitungan nilai Kappa.
Hasil dan diskusi
Kolesteatoma merupakan kelainan yang paling banyak terdeteksi baik dengan irisan 0,6 mm maupun 1
mm, masing-masing didapatkan pada 19 dari 22 sampel telinga dan 18 dari 22 sampel. Urutan
kelainan berikutnya yang ditemukan adalah erosi skutum, osikel, dinding posterior kavum timpani,
kanalis fasialis, tegmen timpani dan sinus sigmoid. Uji kesesuaian seluruh pemeriksaan preoperatif
memakai tomografi komputer dengan irisan 0,6 mm maupun 1 mm dengan temuan intraoperatif
memiliki nilai Mc Nemar > 0,05 dan nilai kappa > 0,4. Menandakan adanya kesesuaian yang
signifikan antara temuan preoperatif dan intraoperatif.
Kesimpulan
Terdapat kesesuaian antara temuan erosi tulang dan kolesteatom pada tomografi komputer preoperatif
dengan temuan operasi otitis media supuratif kronik tipe bahaya. Tingkat kesesuaian antara temuan
pemeriksaan preoperatif baik dengan irisan 0,6 mm atau 1 mm dan temuan intraoperatif dinilai
tergolong dalam kategori yang cukup baik dan signifikan.

ABSTRACT
Objectives
To determine the role of temporal bone CT scan in evaluation cholesteatom and bone
erosions in malignant CSOM patients and getting the important informations associated
to surgery planning.
Methods
It’s a cross-sectional study, data taken prospectively, analyzed preoperative CT scan
findings in 21 patients with malignant CSOM diagnosed clinically and planned for
surgery. Data was taken from Mei 2012 until Agust 2012. Using High Resolution
Computed Tomography (HRCT) without contrast with axial and coronal planes.
Reconstructed by 0,6 mm and 1 mm slices. Preoperatif CT scan and intraoperative
appraisal consist of cholesteatom, scutum erosions, ossicles, tegmen tympani, facialis
canal (tympani and mastoid segment), posterior wall of tympanic cavity and sigmoid
sinus findings. Statistical test for determining the suitability between preoperative and
intraoperative findings calculated with McNemar and Kappa test.
Results and Discussion
Cholesteatom is the most finding either with 0,6 mm or 1 mm slices, consecutive 19 0f 22
and 18 0f 22. The next sequence pathologic findings are scutum erosion, ossicles,
posterior wall of tympanic cavity, fascial canal, tegmen tympani and sigmoid sinus. All
suitability test preoperative and intraoperative findings had McNemar value test > 0.05
with the Kappa value test > 0.4. This results indicate the preoperative and intraoperative
findings are suitable and significant.
Conclusions
There is a significant suitability between preoperative CT scan and intraoperative
findings in malignant CSOM patients. The suitability level of preoperative CT scan using
0.6 mm or 1 mm slices classified in that category quite good and significantly."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Astri Paramaramya
"Latar belakang: Timpanoplasti tipe 1 merupakan prosedur untuk menangani Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Prosedur ini bertujuan untuk memperbaiki membran timpani, menjaga telinga tengah dari patogen luar dan pada akhirnya memperbaiki fungsi pendengaran. Faktor yang memengaruhi hasil timpanoplasti yaitu faktor operator, alat dan pasien. Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik klinis preoperasi sebagai faktor yang memengaruhi fungsi pendengaran pascatimpanoplasti tipe 1. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien OMSK tipe aman tenang yang telah menjalani timpanoplasti tipe 1. Subjek dengan membran timpani utuh pascaoperasi masuk dalam kriteria penelitian. Karakteristik klinis preoperasi berupa ukuran perforasi, letak perforasi dan fungsi Tuba Eustachius dikumpulkan melalui rekam medis. Fungsi pendengaran pascatimpanoplasti dinilai menggunakan audiometri nada murni. Hasil: Rata-rata ambang dengar preoperasi 44,7 dB ± 15,9dB menurun menjadi 33,2 dB ± 14,4dB. Rata-rata Air Bone Gap (ABG) preoperasi 41,9 dB menurun menjadi 14,4 dB. Tidak adanya perbaikan fungsi pendengaran 1 tahun pascatimpanoplasti terjadi pada 17,6% (n = 6). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ukuran perforasi, letak perforasi dan fungsi Tuba Eustachius preoperasi terhadap fungsi pendengaran pascatimpanoplasti tipe 1. Kesimpulan: Terdapat faktor selain ukuran perforasi, letak perforasi dan fungsi Tuba Eustachius preoperasi yang memengaruhi fungsi pendengaran.

Background: Type 1 tympanoplasty is a procedure in to treat Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM). It aims to repair the tympanic membrane, protect the middle ear from external pathogens and ultimately improve hearing function. Factors that affect the outcome of tympanoplasty, including operator, tools and patient factors. Objective: Identify preoperative clinical characteristics as factors affecting hearing function after type 1 tympanoplasty. Methods: The study was a prospective cohort design involving patients with tubotympanic type CSOM who had undergone type 1 tympanoplasty. Subjects with an intact tympanic membrane postoperatively were included in the study criteria. Data regarding preoperative clinical characteristics such as perforation size, perforation location, and Eustachian tube function were collected from medical records. Pure tone audiometry was performed to determine postoperative hearing function. Results: The preoperative hearing threshold of 44.7 dB ± 15.9dB decreased to 33.2 dB ± 14.4dB. The preoperative Air-Bone Gap (ABG) value of 41.9 dB decreased to 14.4 dB. There was no improvement found in 17.6% subjects (n = 6). There was no significant relationship between perforation size, perforation location, and preoperative Eustachian tube function on postoperative hearing function in type 1 tympanoplasty. Conclusion: There are factors other than perforation size, perforation location and preoperative Eustachian tube function that affect hearing function."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
"Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring.
Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak.
Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring.
Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01).
Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.

Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux.
Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME.
Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not.
Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01).
Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Astria Sriyana
"ABSTRAK
Latar belakang: Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko, salah satunya yang diduga adalah peran dari refluks laringofaring. Refluks laringofaring (RLF) merupakan naiknya cairan lambung yang mengenai daerah laring dan faring. Penelitian mengenai refluks pada pasien OMSK dewasa belum banyak diteliti sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan RLF dalam patofisiologi OMSK. Tujuan: Meningkatkan pengetahuan mengenai peran RLF sebagai salah satu faktor risiko OMSK. Metode: Penelitian potong lintang analitik untuk mengetahui refluks laringofaring sebagai faktor risiko OMSK berdasarkan hubungan reflux symptom index (RSI), reflux finding score (RFS) terhadap kadar pepsin. Hasil: Proporsi subjek OMSK dengan pepsin positif pada sekret telinga tengah sebesar 59,5%. Rerata kadar pepsin sekret telinga tengah lebih tinggi secara bermakna pada kelompok OMSK dengan RFS positif dibandingkan kelompok RFS negatif (P<0,05). RFS positif mempunyai risiko 5,13x terdapat pepsin positif pada telinga tengah (CI 95% = 1,095-24,073). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara nilai RSI dengan kadar pepsin telinga tengah. Kesimpulan: Penilaian RFS perlu dilakukan pada pasien OMSK untuk mengetahui adanya RLF yang dapat meningkatkan risiko terdapatnya pepsin di telinga tengah dan kemungkinan berperan dalam inflamasi kronis OMSK. RLF perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui hubungannya sebagai faktor risiko OMSK.
Kata kunci: Refluks laringofaring, pepsin, OMSK

ABSTRACT
Background: Laryngopharyngeal reflux is suspected to be the one of risk factor that contributes in chronic suppurative otitis media. Laryngopharyngeal reflux is defined as the reflux of gastric content into larynx and pharynx. This study purpose is to know the role of laryngopharyngeal reflux in the pathophysiology of CSOM. Objective: To increase the knowledge about the role of LPR as a risk factor CSOM. Methods: This study is a cross-sectional analytic research to study LPR as a risk factor CSOM based on RSI and RFS relationship with pepsin level in the middle ear. Results: This study found 59.5% CSOM subjects having positive pepsin in the middle ear. Mean middle ear pepsin levels were significantly higher in the group of CSOM with positive RFS than negative group (p<0.05). RFS positive increase the risk by 5.13 times the presence of positive pepsin in the middle ear (95% CI = 1.095 to 24.073). There are no significant relationship between RSI with pepsin levels in the middle ear. Conclusion: Positive RFS increase the risk of the presence of pepsin in the middle ear and may have role in chronic inflamation. LPR should be investigated further to determine its relationship as a CSOM risk factor
Keywords: Laryngopharyngeal reflux, Pepsin, CSOM"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Supit
"Latar belakang: Botol susu saat ini sudah rutin digunakan, terutama pada ibu yang aktif dan bekerja. Penggunaan botol susu secara global mencapai 56%, sedangkan di Indonesia mencapai 37,9%. Penggunaan botol susu yang tidak tepat dapat mengakibatkan locking phenomenonkarena peningkatan tekanan negatif secara berlebih pada rongga nasofaring, yang berujung pada kejadian disfungsi tuba Eustachius. Penelitian ini menilai faktor yang berkaitan dan pengaruhnya terhadap disfungsi tuba Eustachius pada anak-anak yang menggunakan botol susu.Tujuan : mengetahui pengaruh dan hubungan faktor yang dapat menyebabkan disfungsi tuba Eustachius pada penggunaan botol susu. Metode :Penelitian ini melibatkan 160 subjek berusia 24 – 48 bulan yang menggunakan botol susu. Fungsi tuba Eustachius setiap subjek dievaluasi menggunakan alat sonotubometer untuk menentukan ada tidaknya disfungsi tuba Eustachius. Pengolahan data dilakukan dengan uji chi square, menggunakan Pvalue <0,25 untuk melihat hubungan antar faktor dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius. Faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius dianalisis dengan uji regresi logistik untuk menentukan faktor determinan terhadap kejadian disfungsi tuba Eustachius.Hasil : Penelitian ini mendapatkan gambaran penggunaan botol susu yang baik dapat mencegah kejadian disfungsi TE hingga 6,8 kali. Hipertrofi adenoid memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE hingga 10,5 kali. Jenis susu memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE 4,1 kali. Kesimpulan : Cara penggunaan botol susu, hipertrofi adenoid dan jenis susu sebagai faktor determinan terhadap disfungsi tuba Eustachius.

Backgroud: Bottle feeding has been considered normal and widely used, preferably by active and working mother. Numbers of bottle feeding globally reach 56% of total population, while the Indonesian use of bottle feeding up to 37,9%. Improper use of bottle feeding may lead to locking phenomenon due to excessive pressure changes in nasopharynx area. This study aims to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Aims : to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Methods : This study involved 160 subjects 24 – 48 months old children with bottle feeding. We evaluated their Eustachian tube using a sonotubometer to determine the presence of Eustachian tube dysfunction. Data analysis was done using chi square method to determine the significant factors with Pvalue<0,25. Significant factors then analyzed by logistic regretion in order to determine determinan factors. Result : This study found that proper used of bottle feeding protect children from Eustachian tube dysfunction up to 6,8 times. Adenoid hypertrophy 10,5 times effected the Eustachian Tube, Type of milk consumed contributed up 4,1 times toward Eustachian tube dysfunction.Conclusion : Proper used of bottle feeding, adenoid hypertrophy and milk type are the determinant factors on Eustachian tube dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>