Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yanuar
"Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan merupakan masalah penting yang harus diperhatikan, terhadap timbulnya masalah gizi. Kelebihan atau kekurangan terhadap satu atau beberapa jenis pangan akan mengakibatkan kekurangan terhadap zat zat gizi tertentu terutama zat gizi mikro, sedangkan konsumsi pangan yang seimbang, baik secara kuantitas dan kualitas dapat mencegah keadaan salah gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi serta penyakit yang menyertainya kemudian.
Secara umum, kuantitas konsumsi pangan penduduk pada 6 Kotamadya di Propinsi Sumatera Barat telah cukup baik (diatas 90% dari Tingkat Konsumsi Energi), baik pada daerah perkotaan maupun pedesaan. Kualitas konsumsi pangan yang dilihat menurut tingkat keragamannya, terutama yang berasal dari beras belum menunjukkan penurunan, bahkan meningkat sedikit dari tahun sebelumnya (63.4%), yaitu 64% dan 66.2% pada daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Konsumsi protein yang berasal dari hewani relatif sangat tinggi, sedangkan konsumsi protein nabati, terutama yang berasal dari kacang kacangan cukup rendah. Skor PPH secara umum telah melampaui target skor PPH nasional tahun 1997 (72.26), yaitu 82.74 dan 78.66 untuk daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
Jenis penelitian ini adalah survey potong lintang, dengan jumlah sampel 1021 keluarga yang bertujuan untuk mengetahui gambaran dan perbedaan konsumsi pangan keluarga yang dilihat dari kuantitas, yaitu rata rata konsumsi energi dan kualitas yang dilihat dari keragaman konsumsi pangan dan skor PPH pada daerah perkotaan dan pedesaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara konsumsi energi keluarga diperkotaan dan keluarga pedesaan. Besar keluarga merupakan varibel yang berhubungan dengan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan keluarga. Sedangkan secara kualitas dapat dikatakan terdapat perbedaan skor PPH keluarga diperkotaan dan skor PPH keluarga dipedesaan (p< 0.05), dimana skor PPH daerah perkotaan lebih tinggi dari pada skor PPH daerah pedesaan. Selain variabel daerah tempat tinggal, variabel jumlah keluarga merupakan variabel yang berperan dominan berhubungan dengan konsumsi energi dan skor PPH nasional diantara variabel independen lainnya.
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun dengan skor mutu konsumsi pangan yang telah baik, belum dapat dikatakan keragaman konsumsi pangan juga baik. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam peningkatan program gizi, khususnya program penganekaragaman pangan, sesuai dengan anjuran PUGS.

The Analysis of Quantity and Quality of Family Food Consumption using Desirable Dietary Pattern or Pola Pangan Harapan (PPH) approach in Urban and Rural Area in every district of West Sumatera Province in 1997The quantity- and quality food consumption are important matter to pay attention, in relation with nutrition problem. Over and less in one or more kinds of food will cause lack of certain nutrition substances, especially micro nutrition, while balance food consumption, either in quantity or in quality can prevent the condition of malnutrition, either under nutrition or over nutrition and their following disease.
Generally, the quantity of population food consumption in 6 districts in west Sumatra province is quite good (above 90% of energy consumption level), both in rural and urban areas. The quality of food consumption seen according to its diversity level, especially that is made of rice has not decreased, but it even has increased composed to the previous year (63.4%), that is 64% and 66.2% in rural and urban areas. Protein consumption originating from animals is relatively very high, while protein consumption originating from vegetables, especially from peas is relatively low, The PPH score , generally, exceeds the 1.997 national PPH score target (72.26), that is 82.74 and 78.66 for urban and rural areas.
The kind of this research is cross sectional survey, using 1021 samples of family aimed to find out the description and difference of family food consumption seen from the quantity point of view, that is energy consumption diversity and PPH score in rural and urban areas.
The result of this research shows that there's no difference between urban and rural family food consumption. In quantity point of view it can be said that there is PPH score difference between urban and rural families (p < 0.05), where PPH score in urban area is higher than in rural area. Beside domicile variable, family size variable plays a role dominantly in relation with energy consumption and national PPH score among other variables. In this research it can be conclude that, even though the score of food consumption quality is good, it cannot yet be said that food consumption diversity will be automatically good. It is hoped that this research can be used as a consideration in increasing nutrition program, especially food diversification program, in accordance with guideline nutrition balance proposition."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Mulyawati Utari
"Salah satu masalah gizi kurang yang sampai saat ini masih dihadapi Indonesia dan perlu segera mendapat perhatian adalah anemi gizi akibat kurang besi. Anemi jenis ini juga merupakan anemi yang paling banyak terjadi di masyarakat.
Hasil survai terbaru SKRT (1992) menyatakan bahwa prevalensi anemi rata-rata nasional ibu hamil adalah 63,5 %. Angka ini merupakan angka prevalensi tertinggi dibanding golongan lain. Anemi ibu hamil selain berpengaruh buruk terhadap kematian maternal juga berpengaruh buruk pula pada janin atau bayi, misalnya abortus, kematian janin dalam rahim atau lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemi pada bayi dan BBLR.
Dosis suplementasi tablet besi yang beredar saat ini adalah tablet besi dengan komposisi ferro sulfat eksitus 200 mg dan asam folat 0,25 mg. Masing-masing berisi 30 tablet dengan aturan.pakai sekali sehari satu tablet. Namun meskipun program suplementasi ini telah cukup lama berjalan, angka prevalensi yang.dilaporkan masih tetap tinggi.
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan sampel ibu hamil anemi, di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Untuk mempelajari perbandingan rata-rata variabel yang telah ditetapkan di dua kelompok yang akan diteliti digunakan uji statistik Z test. Sedang untuk mempelajari variabel yang berhubungan dan paling mempengaruhi kejadian anemi digunakan uji korelasi Pearsen dan regresi berganda. Untuk mempelajari ada tidaknya hubungan antara perubahan hemoglobin berdasar variabel yang ditetapkan digunakan uji F test. Dan untuk mempelajari ada tidaknya perbedaan perubahan hemoglobin sebelum dan setelah pemberian tablet besi di kedua kelompok yang diteliti digunakan uji t-test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan hemoglobin dikedua kelompok yang diteliti tidak berbeda secara bermakna. Dimana setelah diberi suplementasi tablet besi selama 8 minggu kelompok perlakuan (dosis 60 mg per minggu) mengalami peningkatan hemoglobin sebesar 0,48 gr/dl dan kelompok kelompok yang diberi dosis 60 mg per hari mengalami peningkatan sebesar 0,57 gr/dl.

Nutrient anemic as a derived factor from lack of iron is still widely spread in Indonesia. As it is largest found in our society that makes it high time to be taken into a nationwide consideration.
A latest survey done by SKRT in 1992 reveals a highest 63,5 % of anemic prevalence among pregnant woman throughout the country. Not only does anemia threat woman for maternal mortality but it also causes harm to infant; such as abortion, death of infant in the process of birth, neonatal death, gifted born, and infant who suffers from anemia.
Supplementary dosage in every iron tablet nowadays composes 200 mg (Ferro sulfate exitus) and 0,25 mg (folat acid). Each consists of 30 tablets for a daily-single tablet usage. Despite the ongoing supplementary program, anemic prevalence is steadily high.
This is an experimental quasi to sample anemic pregnant women who live in Ciomas district of Bogor. A statistical z test is made to figure out an average variable of the two group being examined. Meanwhile, the Pearsen test and multiple regression are carried out to find out related and influential variable of anemic process. An anova test is given to-seek connection of hemoglobin alteration based on the established variables. Lastly, differences between hemoglobin prior and post to iron consumption is tested by making use of t-test.
The result turns out hemoglobin alteration for both group examines do not make a great difference. Having been given supplementary iron tablet within 8 weeks, the weekly 60 mg group experiences 0,48 gr/dl in-crease of hemoglobin when another group rises higher 0,57 gr/dl."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaenal Arifin Tanaya
"Pada dekade belakangan ini populasi lanjut usia meningkat di negara-negara sedang berkembang, yang awalnya hanya terjadi di negara maju. Demikian halnya di Indonesia populasi lanjut usia juga mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disertai dengan peningkatan prevalensi status gizi lebih, yang kemungkinan disebabkan oleh rendahnya aktivitas fisik. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Studi Evaluasi Program Kesehatan Usia Lanjut di Puskesmas DKI Jakarta tahun 1997, yang merupakan kerja sama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktifitas fisik dengan status gizi lebih pada lanjut usia di Jakarta Barat. Penelitian menggunakan Rancangan Potong Lintang (cross sectional) dengan pengambilan sampel secara kluster berdasarkan PPS (probability proportional to size). Sampel adalah lanjut usia yang berumur 55 tahun atau lebih sebanyak 120 orang. Faktor dependen yang dipilih adalah status gizi lebih, sedangkan faktor independen adalah aktivitas fisik. Untuk melihat pengaruh faktor konfonding, maka diuji faktor-faktor umur, jenis kelamin, status kawin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status kesehatan, tingkat ekonomi, konsumsi energi dan kebiasaan merokok terhadap kemaknaan variabel tersebut. Data dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat, serta diuji korelasi antar variabel dengan uji Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi status gizi lebih lanjut usia adalah sebesar 44.2%. Prevalensi lanjut- usia dengan aktivitas fisik tingkat ringan sebesar 51.7%, sisanya dengan aktivitas fisik tingkat berat. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih. Setelah dilakukan pemisahan aktivitas fisik menjadi aktivitas kerja, aktivitas olahraga dan aktivitas waktu luang, ternyata terdapat hubungan antara aktivitas waktu luang dengan status gizi (Indek Masa Tubuh) yang dikontrol faktor wanita, faktor umur 55-59 tahun, faktor pendidikan SMU keatas serta faktor lanjut usia yang mempunyai 3 atau lebih keluhan sakit, menunjukkan hubungan yang bermakna. Kemudian model regresi linier dengan cara dilakukan analisis regresi liner serta dilakukan uji koefisien korelasi parsial yang akan mengetahui faktor yang lebih kuat hubungannya, hasil menunjukkan hanya faktor wanita yang berperan dalam model tersebut. Sebagai saran bagi perencana program pembinaan peningkatan kesehatan lanjut usia adalah: Pola aktivitas pada waktu luang perlu dilakukan perubahan intensitasnya terutama bagi lanjut usia wanita.

Relationship between Physical Activity and Elderly Nutritional Status under Community Health Center Management in West Jakarta in 1997During the last decade, population of the elderly in developing countries including Indonesia has increased due to the improvement of social welfare. Many cases indicated that most elderly people were in malnourished condition that caused the overweight or even obesity. Some studies reported that the elderly people were also lack of physical activities.
This research is aimed to identify the relationship between the physical activities and the overweight status of the elderly in west Jakarta. The research used the secondary data from the Evaluation Studies on the Elderly Health Program in the Public Health Center in Jakarta during 1997. The studies were carried out by Public Health Faculty The University of Indonesia as a joint worked with Jakarta Health Office. The secondary data were taken by cluster sampling through PPS (Probability Proportional to Size) includingmen and women of the age 55 or above. The sample size was 120 persons. The dependent factor was over weight status, and the independent factor was the physical activity. The confounding factors were considered include sex, age group, marital status, education level, health condition, and energy consumption. Data were analyzed using univariate and bivariate correlation test (spearman test). The results showed that the proportion of elderly with overweight was 44.2 % and with the physical activity was 51.7 %.
The result of bivariate analysis showed that there was no meaningful correlation between physical activity and overweight status. After categorizing the physical activity became to work activity, sport activity and leisure time activity it was shown that there was the meaningful correlation between the leisure time activity and the nutritional status (body mass index) after controlling with age of 55-59, high school education and over and the elderly with 3 and over illness complaints. Further more, the multiple liuier regression analysis that in stages made the model also it used the partial correlation coefficients test to the strength correlation. The result showed that only women factor was activity. Suggestions for action on planning the program of elderly health improvement are activity leisure time pattern need for the improvement the intensity of the women elderly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. F. Aryani Suja
"ABSTRAK
Secara klinis xeroftalmia tidak lagi dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat, tetapi status vitamin A serum masih berada pada tingkat marginal sehingga kondisi ini perlu diwaspadai, terutama pada masa paceklik. Salah satu cara untuk mengukur risiko xeroftalmia dengan metoda riwayat konsumsi makanan (Dietary history). Hasilnya dinyatakan dalam nilai usual pattern of food consumption (UPF). Seperempat anak pra sekolah di Jawa Barat mempunyai indeks risiko xeroftalmia sedang dan tinggi. Apakah hal ini disebabkan oleh pengetahuan ibu tentang gizi yang kurang?
Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan rancangan kasus kontrol. Sebanyak 120 anak sebagai kasus dengan nilai UPF S 210 dibandingkan dengan 240 anak sebagai kontrol dengan nilai UPF > 210.
Analisis regresi logistik multivariat dilaksanakan untuk menentukan besarnya hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan risiko xeroftalmia pada anak, berdasarkan kecurigaan adanya pengaruh faktor lain secara bersama-lama. Untuk mengetahui validitas dari survey diet (Semi quantitative Dietary Assessmen t/ SDA) dilakukan analisis Sensitifitas dan Spesifisitas (di JawaTengah dan Sulawesi Selatan).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dari ibu yang mempunyai pengetahuan kurang mempunyai risiko xeroftalmia 2,42 kali dibandingkan dengan anak dari ibu yang mempunyai pengetahuan baik campak dan diare berkontribusi terhadap hubungan antara pengetahuan ibu dengan risiko xeroftalmia anak Anak yang mempunyai riwayat campak mempunyai risiko xeroftalmia 1,84 kali dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai riwayat campak dan 2,86 kali untuk anak yang mempunyai riwayat diare.
Walaupun vaksinasi campak, kapsul vitamin A, status sosial ekonomi keluarga, umur dan status gizi tidak secara nyata berkontribusi dalam model, namun kehadirannya tetap perlu diperhatikan dalam mengantisaipasi terjadinya risiko xeroftalmia anak, mengingat pada faktor ini terdapat interaksi dengan model additive.
Probabilitas seorang anak untuk terjadi risiko tinggi xeroflalmia pada ibu yang mempunyai pengetahuan baik dan anaknya tidak mempunyai riwayat campak dan diare sebesar 38%. Bila ibu mempunyai pengetahuan kurang dan anaknya mempunyai riwayat campak dan diare make probabilitas untuk terjadi risiko tinggi xeroftalmia meningkat menjadi 89%.
Dengan pedoman skrining umum, pada nilai serum 10 ug/dl, untuk Jateng pada titik potong UPF-300, SDA mempunyai Se=6677%, Sp-58,6% dan PPV=5,7% dan untuk Sulsel, pada UPF=380, mempunyai Se=75,O%, Sp=29,9% dan PPV=7,4%.
Bila SDA akan digunakan untuk deteksi dini asupan konsurnsi makanan anak yang kurang dari kecukupan, perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan titik potong nilai UPF untuk validitas SDA, mengingat keragaman nilai yang ada di Jateng dan Sulsel.

ABSTRACT
Clinically xerophthalmia is not considered as public health problem, however, status of vitamin A serum needs to be aware of due to it is yet at marginal level, especially at the time of scarcity before harvest. One way to measure risk of xerophthalmia is by means of Dietary History in which the result is stated in score of usual pattern of food consumption (UPF). One-fourth of preschool children at West Java have high and medium risk index of xerophthalmia Is it due to the lack of mother's knowledge of nutrient.
Case-control method is used in this quantitative research. 120 children were classified as case with UPF score 5 210 were compared with 240 children classified as control by having UPF score > 210.
Analysis of multivariate logistic regression was carried out to determine the relationship between mother's knowledge regarding nutrient and risk of xerophthalmia for their children, considering the impact of other factors concurrently. Sensitivity (Se) and Specificity (Sp) analysis were employed to evaluate the validity of the survey diet (semi quantitative dietary assessment / SDA) in East Java and South Sulawesi.
Results of this research showed that mothers who lack of knowledge on nutrient and risk of xerophthalmia their children will have 2.42 times risk of xerophthalmia compared to those whose mother have sufficient knowledge thereof Measles and diarrhea affect the relationship of mother's knowledge and risk of xerophthalmia for their children. Children who ever had measles have 1.84 times of having risk of xerophthalmia compared to those who never had and 2.86 times for those who ever had diarrhea.
Though measles vaccination, supplementation of vitamin A capsule, family socio-economic status, .age and nutrient status (PEM) did not contribute significantly in the model, but their existence need to be priority given in anticipating the risk of xerophthalmia for children, for there factors interacted with mother's knowledge in relation to risk of xerophthalmia in their children in an additive model.
The probability of a child to have risk of xerophthalmia when his/her mother has good knowledge and the child never had measles and diarrhea is 38 %. On the contrary, the probability will be 89 %.
Under common screening, at East Java, using 10 ug/dl of serum value with end point of UPF in 300, SDA has 66.7% Se, 68.6% Sp and 5.7% PPV and for South Sulawesi the cut point of UPF in 380, 75.0% Se, 29.9% Sp and 7.4% PPV.
Considering the variety of values at East Java and South Sulawesi, it is recommended to be more careful in interpreting the cut point for UPF and SDA validity when SDA is used for early detection of insufficient children food consumption.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library