Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aspin Nur Arifin Rivai
"ABSTRAK
Tesis ini menaklik hubungan negara dan bisnis dalam kebijakan ekonomi luar negeri China bernama BRI. Berangkat dari konsep ldquo;bina ekonomi negara rdquo; dan metode penelitian kualitatif ndash; studi kasus, penelitian ini mengafirmasi bahwa agenda konektivitas melalui BRI mengandung motif ekonomi dan politik China di Asia Tenggara. Tujuan strateginya, yaitu pendalaman hubungan kerja sama dan kontiunitas internasionalisasi. Penelitian ini menunjukkan aktor bisnis memiliki keterlibatan penting dalam penyelenggaraan bina ekonomi negara. Industri konstruksi infrastruktur dan transportasi merupakan bagian dari pengendalian tersebut. Proses penetrasi berlangsung dalam empat faktor determinan. Pertama, kebijakan BRI dijadikan sebagai program pembangunan nasional yang sesuai visi China rsquo;s Rejuvenation, sehingga hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah subnasional terunifikasi. Kedua, tujuan antara pemerintah dengan aktor bisnis bersifat kompatibel. Terakhir, hubungan anatar pemerintah dengan kedua sektor industri beserta keterlibatan aktor bisnisnya menjadi direktif dan hierarkis, karena pemerintah melakukan penguasaan sistem kepemilikan, sistem manajemen perusahaan, dan struktur kepemimpinan perusahaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa negara berhasil mengendalikan aktor bisnis.Kata kunci: BRI, Negara-Bisnis, Bina Ekonomi Negara, Konektivitas, dan Industri Konstruksi dan Transportasi.
ABSTRACT
This thesis examines state business relations in Belt and Road Initiative as China rsquo s foreign economic policy. Set forth from ldquo economic statecraft rdquo theory and qualitative method, this research shows that connectivity agenda through BRI have economic and geostrategic motives and interrelated in Southeast Asia. The significance of the strategy are internationalization continuity and deepening of cooperation. This research found that commercial actor as important part to implemented economic statecraft. The penetration process occupy in four determinant factors. First, BRI is positioned as national development and convergent in ldquo China rsquo s Rejuvenation rdquo , so that the relationship between the central government and subnational government is unified. Second, the intrinsic goal is compatible between government and commercial actors. Third, market structure in infrastructure construction and transportation industry sector is created by government become more concentrated and monopoly. Finally, the reporting relationship between state and commercial actors become more directive, hierarchy, and centralized, because government exercises ownership control, corporate managements, and the composition of personnels and company leader is appointed directly by government. The results of this research indicate that state has controlled actor commercial for reach economic and geostrategic aims in Southeast Asia. "
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T50820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jang Yun Hyeong
"Saat ini, banyak negara berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi untuk mempromosikan perdamaian berdasarkan rekonsiliasi dan kerja sama dan mempromosikan kesejahteraan rakyat mereka sendiri daripada konfrontasi ideologis dan militer yang ada dalam proses pembentukan tatanan internasional baru ini. Namun, situasi Asia Timur Laut termasuk semenanjung Korea memiliki ambivalensi rekonsiliasi dan ketegangan karena peningkatan ketergantungan bersama di antara negara-negara di wilayah tersebut, sisa-sisa Perang Dingin, dan ketidakpastian rezim Korea Utara.

 Dalam situasi ini, Six-Party Talks (SPT) belum dilanjutkan untuk waktu yang lama karena uji coba nuklir Korea Utara dan uji coba peluncuran rudal, dan minat dalam perundingan enam negara baru-baru ini meningkat. Dalam tulisan ini, Penulis membahas persepsi dan kebijakan negara-negara Asia Timur Laut yang berfokus pada diskusi tentang pelembagaan multilateral yang disebut SPT. Selain itu, upaya, kinerja dan keterbatasan kelembagaan untuk melembagakan SPT juga dibahas.

 Pada akhirnya, untuk mengembangkan SPT sebagai kerjasama keamanan multilateral di wilayah tersebut, perlu untuk memperkuat elemen multilateral dalam hal operasi dan fungsi perundingan, dan pada saat yang sama, perbaikan lingkungan di wilayah tersebut harus dilakukan untuk membangun kerjasama keamanan multilateral. Selain itu, sangat penting untuk mendapatkan dukungan aktif dan kerjasama di negara-negara tetangga.


Many countries are now focusing on economic development to promote peace and promote the welfare of their citizens based on reconciliation and cooperation rather than ideological and military confrontations that exist in the process of forming a new international order. But the situation in Northeast Asia, including the Korean Peninsula, is ambiguous due to increased interdependence among countries in the region, the remnants of the Cold War and uncertainties in the North Korean regime.

 Under these circumstances, the Six-Party Talks (SPT) did not last long due to North Korea's nuclear and missile tests, and interest in the SPT has recently increased. The paper discusses the perceptions and policies of Northeast Asian countries that focus on discussions on multilateral institutionalization, called SPT. And also discussed efforts, achievements and institutional limitations to institutionalize SPT.

 Finally, in order to develop SPT as a multilateral security cooperation within the region, it is necessary to strengthen multilateral elements in terms of operational and negotiating functions, and at the same time carry out environmental improvements in the region to develop multilateral security cooperation. It is also very important to gain active support and cooperation from neighboring countries.

 

"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diandra Rivanka
"Dalam jangka waktu yang terhitung cepat, Korea Selatan mampu membangkitkan kembali perekonomiannya pasca Krisis Finansial Asia tahun 1997, termasuk dalam sektor perdagangan. Korea Selatan melakukan perubahan dari kebijakan developmentalist yang telah diterapkannya sejak 1960-an menjadi kebijakan neoliberalisme dalam perdagangan. Hal tersebut dilaksanakan melalui implementasi kebijakan perdagangan bebas, secara khusus, proliferasi FTA secara bilateral maupun regional. Penulisan tinjauan literatur ini bertujuan untuk memahami faktor mana yang menonjol dalam proses penyusunan kebijakan perdagangan Korea Selatan pasca Krisis Finansial Asia tahun 1997. Berdasarkan metode taksonomi, penulisan tinjauan literatur ini terbagi dalam empat tema besar, yakni kepemimpinan politik sebagai aktor signifikan dalam penyusunan kebijakan perdagangan, ide dalam penyusunan kebijakan perdagangan, faktor ekonomi internasional dalam penyusunan kebijakan perdagangan, dan faktor keamanan dan strategis dalam penyusunan kebijakan perdagangan perdagangan Korea Selatan pasca Krisis Finansial Asia tahun 1997. Dari keempat tema tersebut, muncul dua belas isu dominan, yakni signifikansi aktor eksekutif, signifikansi National Assembly, perdebatan antara ide developmentalism dan neoliberal, ide konfusianisme, ide proteksionisme, faktor sistemik, perspektif Korea Selatan terhadap mega-FTA, keuntungan ekonomi KORUS FTA, dinamika politik regional, trade-security nexus dengan AS, dan strategi hedging Korea Selatan. Dari keseluruhan tinjauan literatur ini, penulis menemukan beberapa kesenjangan literatur yang dapat digunakan untuk riset selanjutnya, diantaranya adalah pembahasan kepemimpinan politik yang sangat menonjol, basis kekuatan aktor eksekutif dalam proses penyusunan kebijakan perdagangan, minimnya pembahasan mengenai chaebol sebagai salah satu aktor yang berperan dalam penyusunan kebijakan perdagangan, respons kelompok veto terhadap kebijakan perdagangan pemerintah Korea Selatan, dasar ide neoliberalisme dalam kebijakan perdagangan, dan pembahasan rekan FTA Korea Selatan yang kurang beragam dan hanya terpusat pada FTA Korea-Chili dan KORUS FTA.

In short time, South Korea was able to revive its economy after the Asian Financial Crisis of 1997, including its trade sector. South Korea made a change from developmentalist policies which implemented since 1960s into neoliberalism. It is shown by the implementation of free trade policies, bilateral and regional FTAs in particular. This literature review aims to understand which factors stand out in the process of formulating South Korea`s trade policy after Asian Financial Crisis of 1997. Based on taxonomy method of literature review, this writing is divided into four major themes, namely political leadership as a main actor in the making of trade policy, ideas in the making of the trade policy, international economy factor in the making of trade policy, and strategic and security factors in the making of trade policy. From those four themes, there are twelve dominant issues, namely significance of executive actors, significance of the National Assembly, issue of democracy, debate between developmentalism and neoliberal ideas, the idea of confucianism, the idea of protectionism, systemic factors, South Korean perspective on mega-FTA, economic benefits of KORUS FTA, regional political dynamics, trade-security nexus with US, and South Korea`s hedging strategy. The writer has identify few literature gaps as the main findings of the literature and could be use for the next research: dominance of executive actors in trade policy decision-making process, basis of executive actor`s power in the trade policy, lack of discussion about chaebol as the main actor in the making of trade policy, veto players response to South Korea`s trade policy, basis of neoliberalism ideas in the trade policy, and lack of discussion about South Korea`s FTA partners other than Korea-Chile FTA and KORUS FTA."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Permatasari
"Penelitian ini menganalisis mengenai strategi pengembangan industri antariksa China berfokus pada peran swasta domestik dalam keberhasilan pengembangan industri antariksa China pada 2014-2018. Penulis menganalisis melalui bentuk kerja sama antara perusahaan antariksa swasta domestik dan pemerintah dengan indikator keberhasilan melalui pencapaian teknologi maupun proyek antariksa China, beserta dengan faktor yang mempengaruhinya. Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pengambilan data melalui studi dokumen. Penelitian ini menemukan bahwa strategi pengembangan industri antariksa China dalam mengejar keberhasilan space faring nations melalui adanya kerja sama secara antara pemerintah China dengan sektor swasta domestik. Kerja sama tersebut tergambar melalui empat bentuk. Pertama, disciplined support melalui pemberian subsidi pemerintah yang disertai pengawasan rutin dan pemberian penalti. Kedua, public risk absorption dengan meminimalisasi risiko awal perusahaan diikuti dengan memediasi perusahaan dan konsumen. Ketiga, private initiative in public policies adanya inisiatif swasta untuk pengembangan industri sehingga pemerintah menyokongnya dalam kebijakan publik. Keempat, public-private innovation alliances yaitu kolaborasi antara pemerintah dan swasta dalam riset teknologi industri sehingga risiko yang muncul ditanggung secara bersama-sama.

This study attempts to analyze the strategy of developing the Chinese space industry focusing on the role of the domestic private sector in the success of the development of the Chinese space industry in 2014-2018. The author analyzes through forms of cooperation between domestic and government private space companies with indicators of success through technological achievements and the Chinese space project, along with the factors that influence it. The author uses qualitative research methods with data collection through document studies. This study found that the strategy of developing the Chinese space industry in pursuing the success of space faring nations through the cooperation between Chinese government and domestic private sector. The cooperation is illustrated through four patterns. First, disciplined support through government subsidies accompanied by routine supervision and penalties. Second, public risk absorption by minimizing the company's initial risk is followed by mediating between companies and consumers. Third, private initiatives in public policies are private initiatives for industrial development so that the government supports them in public policy. Fourth, public-private innovation alliances, namely collaboration between the government and the private sector in industrial technology research so that the risks that arise are borne together."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T53182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Caroline Siemarga
"ABSTRACT
Internasionalisasi perusahaan adalah proses untuk membuat perusahaan internasional, salah satunya dengan melakukan investasi atau ekspansi operasional dari suatu perusahaan. Sebelumnya, proses internasionalisasi merupakan fenomena yang terjadi pada perusahaan-perusahaan negara maju yang dinilai memiliki kesiapan, baik melalui merek, paten, kualitas, dan juga kemampuan manajerial. Namun demikian, beberapa dekade ini telah menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan dari Tiongkok, yang merupakan negara berkembang, mengalami internasionalisasi yang pesat. TKA ini berusaha melihat motivasi-motivasi yang melatarbelakangi internasionalisasi perusahaan-perusahaan Tiongkok, dan juga mengelompokkan motivasi-motivasi di balik internasionalisasi perusahaan Tiongkok sesuai dengan perspektif analisis yang digunakan oleh artikel, yaitu perspektif mikro dan perspektif makro. Dari perspektif mikro, terdapat dua motivasi utama yaitu motivasi peningkatan efisiensi dan berkurangnya risiko yang mendorong perusahaan untuk melakukan internasionalisasi. Sedangkan dari perspektif makro, terdapat motivasi ekonomi dan politik yang berdasarkan kepentingan dari negara serta motivasi institusional sebagai efek dari institusi. Berdasarkan proses pemetaan motivasi internasionalisasi perusahaan Tiongkok, TKA ini mengidentifikasi bahwa faktor utama yang paling berpengaruh dalam menentukan negara dan sektor tujuan investasi adalah motivasi dari pespektif makro. Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan analisis dari sisi historis, data empiris, serta kepentingan, di mana nampak bahwa peran dan juga kepentingan yang dimiliki oleh negara lebih mendominasi dibandingkan sektor privat.

ABSTRACT
Internationalization is a process in which a firm proceed to internationalize, either by investing or by expanding operations overseas. Previously, the internationalization process was a phenomenon that occurred to firms developed country companies that were considered to have readiness and capabilities to operate abroad. However, these decades have shown how firms from China, a developing country, are experiencing rapid internationalization. The paper seeks to see the motivations behind the internationalization of Chinese firms, and also classifies the motivations behind the internationalization of Chinese companies according to the analytical perspective used by the articles, namely the micro and macro perspective. From a micro perspective, there are two main motivations, namely the motivation to increase efficiency and the reduced risk which drive companies to internationalize. Whereas from a macro perspective, there are economic and political motivations based on the interests of the state as well as institutional motivation as an effect of the institution. Based on the process of mapping the internationalization motivation of Chinese companies, this article identified that the main factor in determining the country and investment destination sector are the motivations of the macro perspective. This conclusion is based on an analysis from the historical side, empirical data, and interests, where it appears that the roles and interests of the state are more dominant than the private sector.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzikri Fakhrudin
"Bali Fintech Agenda adalah seperangkat 12 elemen kebijakan dari International Monetary Funds atau IMF dan Bank Dunia untuk membantu negara anggotanya memanfaatkan keuntungan dan peluang dari pesatnya perkembangan teknologi finansial atau tekfin. Indonesia di sini sangat berperan cukup aktif terhadap agenda ini di saat negaranya masih memiliki kendala dalam tekfin, masih tertinggal di dalam sistem dan memiliki rekam sejarah yang kurang baik dengan IMF. Dalam menganalisis fenomena ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduksi atas teori tipe kepentingan nasional dalam kebijakan luar negeri oleh Donald Nuechterlein didukung dengan data dari studi pustaka dan beberapa sumber primer serta sekunder. Kebijakan luar negeri Indonesia terlihat sangat mendukung tata kelola tekfin global Bali Fintech Agenda dengan menjadi tuan rumah dan mendukung adanya tata kelola tekfin internasional sebelum dan bahkan sesudah agenda ini keluar. Penulis melihat peran aktif ini didasari bahwa Indonesia memiliki kepentingan ekonomi yaitu untuk mendorong pasar keuangan yang kompetitif, menjaga data konsumen, meningkatkan inklusi keuangan pada individu dan pelaku UMKM, membuka lapangan kerja baru bagi generasi milenial dan mendorong infrastruktur. Kepentingan tatanan dunia Indonesia untuk mengatasi ketimpangan tekfin dan menunjukkan peran bridge builder dengan kerja sama dalam sistem keuangan internasional. Kepentingan ideologi Indonesia adalah mendukung nilai light touch dan safe harbour serta agenda inklusi keuangan yang sebenarnya bagian dari ideologi neoliberalisme. Hanya kepentingan keamanan yang kurang terlihat dalam isu ini dan yang ada hanya ekspektasi.

The Bali Fintech Agenda is a set of 12 policy element considerations from the International Monetary Funds or IMF and the World Bank to help member countries utilize the advantages and opportunities of the rapid development of financial technology or fintech. Indonesia here has played an active role in this agenda at a time when the country still has problems in fintech industries, not the advanced one in the system and has an unfavorable history with the IMF. In analyzing this phenomenon, the author will use qualitative research methods with a deductive approach to the theory of the type of national interest in foreign policy by Donald Nuechterlein supported by data from literature studies and several primary and secondary sources. Indonesia's foreign policy seems to strongly support global fintech governance of Bali Fintech Agenda by hosting and supporting international fintech governance before and even after this agenda comes out. The author sees this active role because Indonesia has an economic interest such as to encourage competitive financial markets, safeguard consumer data, increase financial inclusion for individuals and MSME, open new job opportunities for the millennial generation and improving infrastructure. mendorong infrastruktur. Indonesian world order interests are to overcome fintech inequality and to demonstrate the role bridge builder in existing international financial system. Indonesian ideological interests are to support the value of light touch and safe harbour as well as the financial inclusion agenda which all of it was part of neoliberalism. Only security interest is less visible in this issue with only one expectation that is visible."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library